"Ya Allah, Sayang ...."Suara dari belakangku langsung menghentikan Alina yang tengah menggendong sebuah boneka. Dengan cepat, Alina menjatuhkan benda yang sedari tadi dipeluknya ke atas ranjang bayi. "Mas, ta–tadi ... aku hanya ingin memindahkannya," tutur Alina dengan wajah panik seperti maling yang tertangkap basah. Alih-alih marah dengan kelakuan istrinya yang seperti orang gila, Adikara malah menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Diusap serta diciumnya ubun-ubun Alina dengan penuh kasih dan cinta. "Jangan seperti itu, Sayang ... tolong jangan buat aku semakin khawatir denganmu," ujar Adi dengan suara bergetar menahan tangis.Sungguh miris, kecelakaan yang merenggut bayinya membuat Alina bukan hanya sakit fisik, melainkan mentalnya juga. Aku sampai tidak bisa berkata-kata. Hanya mampu menatap nanar pada wanita yang mencoba tetap waras, padahal mentalnya terguncang. "Aku, aku hanya ingin memindahkan boneka itu, Mas." Alina merajuk membantah apa yang sedang dipikirkan suaminy
"Tidak usah teriak-teriak, Aruna!" ujar pria buruk rupa yang beridiri dengan kardus berbalut plastik hitam di tangannya itu. Aku menoleh ke belakang, takutnya ada yang melihatku. Akan tetapi, aman. Tidak ada siapa pun yang mencurigaiku di sini. "Ngapain ke sini?" tanyaku menekankan suara. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak lupa dengan tujuan kita, Aruna."Aku mencebikkan bibir seraya memutar bola mata malas kepada pria yang tak lain adalah Damar. "Kapan Aldi akan menikah?" Kini Damar yang bertanya. "Sudah kubilang, aku belum tahu waktu jelasnya. Jika sudah ada kabar, aku pun pasti akan memberitahumu, Dam.""Baguslah. Selain tentang pernikahan Aldi, apa lagi yang kamu dapat di sini?" tanya Damar lagi. Aku melongokkan kepala ke arah jalan, melirik kanan kiri takutnya ada tetangga yang mengintip dan mengadukanku pada Alina atau Adi."Alina setres.""Apa?" Damar sedikit menaikan nada bicara membuatku melotot ke arahnya. "Tadi pagi, ada drama Alina yang memomong boneka. Mungkin
"Satya .... Apa kabar kamu, Nak? Bahagiakah kamu di surga sana? Mama di sini sangat merindukanmu, Sayang."Usapan jari-jari lentik Alina menari membelai batu nisan yang bertuliskan nama putranya yang pergi sebelum sempat melihat dunia. Air mata wanita itu kembali mengalir deras laksana hujan yang turun dari langit. Isakan Alina, rintihan wanita itu membuat sudut hatiku tercubit. Setelah memohon dan meminta untuk ditemani ke makam putranya, di sinilah kami berada sekarang. Di pusara Satya, putra bungsu Alina yang meninggal akibat kejahatan seorang pria buruk rupa."Sayang ... maafkan Mama, ya Nak? Maaf, Mama tidak menjagamu dengan baik, tidak bisa menyelamatkan kamu hingga akhirnya kita harus berpisah."Aku mengusap pundak Alina. Memberikan kekuatan agar dia lebih tenang dan ikhlas atas kepergian putranya.Melihat wajah Alina yang dibasahi air mata, menghadirkan rasa bersalah dari lubuk hatiku. Aku ikut andil dalam kematian putranya. Aku salah satu orang yang membuat dia kehilangan
Sepasang mataku terkunci ke arah luar setelah mendengar benturan keras yang menghantam mobil. Segera aku mematikan mesin, kemudian menoleh ke arah Alina yang juga merasa kaget luar biasa. "Aruna, jangan turun," ujar Alina ketakutan. Aku menelan ludah dengan sangat kasar seraya terus mengikuti pergerakan orang-orang yang ada di luar mobil kami.Iya, suara keras yang tadi menghantam mobil berasal dari beberapa pria di luar sana. Mereka sengaja memukul bagian depan mobil dan entah apa maksudnya. "Buka!" Aku meringis seraya berjingkat kaget ketika salah satu dari mereka menggebrak pintu mobil."Hey, buka!!" teriaknya lagi membuat nyaliku menciut. "Jangan Aruna, jangan kamu bukakan pintu untuk mereka. Nanti mereka akan mencelakai kamu." Alina kembali berucap seraya memegang pundakku dari arah belakang. Aku tahu Alina sangat ketakutan. Kulirik wajah putih itu yang sekarang tambah memucat. Aku mencoba tenang, menarik napas perlahan agar bisa berpikir bagaimana cara lepas dari mereka.
"Saudara Pak Adi?" tanyaku ketika Alina menggantung jawabannya. "Bukan, tapi ayahnya Saffa.""Mantan suami, Bu Alina?""Iya."Aku manggut-manggut seraya membulatkan mulut. Alina berjalan mendahuluiku, dan aku mengikutinya dari belakang. Saat berada di ambang pintu, ternyata memang ada tamu yang tengah duduk seorang diri tanpa ada yang menemani. Melihat Alina datang, pria bertubuh berisi itu langsung berdiri dan mengulurkan tangannya. "Hay, Al. Apa kabar?" tanya Pria yang tak lain adalah Haikal. "Baik, Mas. Kapan datang? Sudah lama?" "Tidak, baru saja sampai. Aku ke sini ingin bertemu Saffa. Tapi ... ternyata dia belum pulang sekolah.""Kamu terlalu pagi datangnya, Mas. Kan, aku sudah pernah bilang padamu, datanglah di akhir pekan, pasti putrimu ada di rumah," ujar Alina pada mantan suaminya. "Iya, aku yang salah. Aku terlalu merindukan dia. Apa boleh, aku menunggu di sini sampai Saffa pulang?" Alina mengangguk pelan. Kedua orang itu pun duduk di sofa ruang tamu, tapi tidak den
"Berikan ini pada putriku," ucap Haikal seraya memberikan paper bag berukuran sedang kepadaku. "Kenapa dititipkan?" Haikal membuang napas dengan kasar. Wajahnya menyiratkan kekecewaan, juga rasa tak enak hati karena telah membuat Alina dan Adi bertengkar. Dan sekarang, Alina sedang ditangani dokter. Dia yang kesehatannya masih belum pulih, harus kembali menjalani perawatan karena tadi sempat pingsan saat menyaksikan suaminya bertengkar dengan Haikal. "Saya akan pulang. Mungkin lain waktu akan kembali saat Adi tidak sedang dalam keadaan marah. Tolong, sampaikan maaf saya pada Adi dan Alina. Juga ... pada Saffa," pungkas Haikal. Kulihat punggung pria itu hingga menghilang masuk ke dalam mobilnya. Haikal benar-benar pergi membawa kekecewaan karena tidak bisa bertemu dengan putri semata wayangnya. Setelah mobil Haikal keluar dari halaman rumah, aku masuk dan menyimpan pemberian Haikal ke kamar Saffa. Syafiq masih berada di kamar Alina bersama ayah dan dokter yang sedang menangani ibu
"Jangan katakan apa pun pada Saffa. Rahasiakan jika saya dan ayahnya bertengkar hingga membuat Alina pingsan," pinta Adikara. Saat ini hanya ada aku dan dia. Saffa tengah sibuk dengan barang pemberian ayahnya, yang ternyata isinya sebuah boneka Barbie lengkap dengan pakaian gantinya. "Baik, Pak." Aku mengangguk. Ada rasa lega dalam hatiku mendengar permintaan Adikara. Ternyata, tatapan tajamnya bukan karena tahu apa yang ada dalam pikiranku. Melainkan tidak ingin putri sambungnya membenci salah satu di antara mereka yang telah menjadi penyebab pingsannya Alina. "Emh ... saya mau tanya satu hal sama kamu Aruna. Benar, tadi kamu keluar bersama istri saya?" Diam adalah caraku saat sedang bingung mencari jawaban. Apa yang harus aku katakan pada Adi, sedangkan tadi aku dan Alina sudah sepakat untuk merahasiakan kepergian kami? "Tadi ....""Katakan saja, Runa. Jangan takut, Alina pun sudah mengatakannya kepada saya. Benar, kamu yang menemani dia jalan-jalan pagi tadi?" Jalan-jalan?
"Siapa yang kelaparan?" tanya pria itu lagi menatapku dan Lasmi bergantian. Lasmi menunduk dalam, sedangkan aku mengangkat dagu menunjukan rasa berani menghadapi apa pun yang terjadi. Termasuk, Aldi yang saat ini menanti jawaban atas pertanyaannya. "Bapak tanya saja pada dia. Maaf, saya permisi dulu," kataku seraya keluar dari dapur meninggalkan Lasmi yang sudah pucat pasi dengan tangan yang bergetar. Pasti dia takut kena marah Aldi, juga majikannya yang baru saja datang. Dengan membawa satu piring nasi beserta lauknya, aku menghampiri Saffa dan Syafiq yang masih bermain di tempat semula. Tidak ada sofa di ruangan yang luas ini. Alina dan Adi sengaja tidak menyimpan banyak perabotan di sini agar terlihat luas dan anak-anak bebas bermain. "Hey, sini kita makan!" ajakku membuat kakak beradik itu langsung menoleh. Wajah Saffa dan Syafiq berseri, mereka menghampiri dan duduk di depanku. Satu suapan aku berikan pada Saffa, kemudian selanjutnya untuk Syafiq. Begitulah seterusnya hin
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan