"Jangan katakan apa pun pada Saffa. Rahasiakan jika saya dan ayahnya bertengkar hingga membuat Alina pingsan," pinta Adikara. Saat ini hanya ada aku dan dia. Saffa tengah sibuk dengan barang pemberian ayahnya, yang ternyata isinya sebuah boneka Barbie lengkap dengan pakaian gantinya. "Baik, Pak." Aku mengangguk. Ada rasa lega dalam hatiku mendengar permintaan Adikara. Ternyata, tatapan tajamnya bukan karena tahu apa yang ada dalam pikiranku. Melainkan tidak ingin putri sambungnya membenci salah satu di antara mereka yang telah menjadi penyebab pingsannya Alina. "Emh ... saya mau tanya satu hal sama kamu Aruna. Benar, tadi kamu keluar bersama istri saya?" Diam adalah caraku saat sedang bingung mencari jawaban. Apa yang harus aku katakan pada Adi, sedangkan tadi aku dan Alina sudah sepakat untuk merahasiakan kepergian kami? "Tadi ....""Katakan saja, Runa. Jangan takut, Alina pun sudah mengatakannya kepada saya. Benar, kamu yang menemani dia jalan-jalan pagi tadi?" Jalan-jalan?
"Siapa yang kelaparan?" tanya pria itu lagi menatapku dan Lasmi bergantian. Lasmi menunduk dalam, sedangkan aku mengangkat dagu menunjukan rasa berani menghadapi apa pun yang terjadi. Termasuk, Aldi yang saat ini menanti jawaban atas pertanyaannya. "Bapak tanya saja pada dia. Maaf, saya permisi dulu," kataku seraya keluar dari dapur meninggalkan Lasmi yang sudah pucat pasi dengan tangan yang bergetar. Pasti dia takut kena marah Aldi, juga majikannya yang baru saja datang. Dengan membawa satu piring nasi beserta lauknya, aku menghampiri Saffa dan Syafiq yang masih bermain di tempat semula. Tidak ada sofa di ruangan yang luas ini. Alina dan Adi sengaja tidak menyimpan banyak perabotan di sini agar terlihat luas dan anak-anak bebas bermain. "Hey, sini kita makan!" ajakku membuat kakak beradik itu langsung menoleh. Wajah Saffa dan Syafiq berseri, mereka menghampiri dan duduk di depanku. Satu suapan aku berikan pada Saffa, kemudian selanjutnya untuk Syafiq. Begitulah seterusnya hin
Semakin sore, rumah Alina menjadi sangat ramai dan berisik. Apa lagi setelah Dinata Wiratmadja dan istrinya datang, juga mertua Alina yang sekarang ada di sini juga. Katanya mereka ke sini untuk menjenguk Alina, tapi malah membuat berisik seisi rumah dengan celotehan dan candaan dua pasang orang tua itu. Ditambah, Saffa dan Syafiq yang kesenangan karena dikunjungi kakek dan neneknya. "Alina sakit lagi, kesehatannya kembali menurun. Padahal, waktu pernikahan Aldi sudah semakin dekat."Semua orang yang ada di sini langsung menatap Nyonya Marta, tak terkecuali aku. Kepala yang sedari tadi menunduk dengan tangan memainkan rubik milik Saffa, kini kuangkat dan melihat wanita yang usianya tak muda lagi itu. Tidak ada yang berani bicara, hingga akhirnya Aldi mengucapkan kalimat yang membuat semua orang tak percaya. "Ditunda lagi juga tidak apa-apa, Mah. Aku tidak akan keberatan, kok.""Mana mungkin, Aldi. Bagaimana tanggapan Tante Ratna, jika pernikahan kalian terus ditunda? Pasti mereka
"Run, tolong temenin Mama belanja. Katanya mau masak-masak buat nyambut kedatangan Tante Ratna dan Naima."Ucapan Alina yang menggantung langsung terhenti ketika Adi datang dan mengatakan sesuatu. Aku yang menanti jawaban dari Alina, harus berbesar hati tidak mendapatkan informasi mengenai di mana pernikahan Aldi akan digelar. Anggukkan kepala terasa hampa, tubuh yang berdiri pun terasa tak menapak bumi, saking kesal dan kecewanya aku pada Adi, karena masuk di waktu yang kurang tepat. "Anak-anak, gimana, Pak?" tanyaku seraya berbalik badan ketika kaki sudah hampir sampai di ambang pintu. "Anak-anak biar sama saya dan Papa di sini. Kamu ke supermarket saja sama Mama dan Bang Aldi."Untuk kedua kalinya aku mengangguk, kemudian keluar dari kamar Alina dan Adi. Ternyata, di luar sana Aldi dan ibunya sudah bersiap untuk pergi. Tanpa menunggu nanti, aku pun langsung lari ke kamar untuk mengambil tas dan ponsel, kemudian ikut dengan mereka. "Aruna duduk di depan saja sama Aldi, biar saya
"Aruna, mari makan bersama kita," ucap orang itu lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian membalikkan badan melihat siapa yang mengajakku bicara. Senyum kuukir semanis mungkin agar dia tidak mencurigaiku. Di bawah sana, sebelah kaki sengaja menginjak rokok yang masih menyala, hingga kurasakan panas tiada tara menyentuh kulit telapak kaki. "Tidak usah, Pak. Saya di sini saja," kataku menolak ajakan pria itu. "Ayolah, Runa. Jangan diam di sini seorang diri. Kamu berada satu atap dengan kami, berarti kamu pun bagian dari kami," ujar Adikara lagi lebih meyakinkanku.Senyum tulus tapi palsu kembali aku berikan. Badan terpaksa kutegakkan untuk menahan rasa sakit nan panas di bawah sana. "Terima kasih tawarannya, Pak. Tapi ... saya di sini saja. Maaf, bukan tidak sopan telah menolak ajakan Bapak, tapi saya sedang mengobrol dengan adik saya," kataku seraya mengacungkan ponsel seraya terbalik ke arah Adikara. "Oh, baiklah kalau begitu. Saya kembali lagi ke meja makan."Aku menganggu
Mataku celingukan mencari sekiranya ada orang lain yang melihat tingkahku saat ini. Setelah memastikan hanya aku seorang diri di sini, aku pun langsung pergi ke kamar dengan membawa serta pizza yang tadi aku simpan di atas meja. Pintu kamar aku tutup rapat-rapat, lalu kukunci dari dalam. Kemudian duduk di pinggir ranjang seraya memangku kotak berisikan pizza yang masih hangat. Mata ini membaca lagi pesan yang tadi seseorang kirim untukku.[Tidak bisakah kamu membaca nota pembelian yang diberikan kurir? Aku yang memesan makanan itu untukmu, Aruna. Karena kasihan padamu yang belum makan, dan tidak mau ikut makan dengan keluargaku.]Bunyi pesan itu masih sama seperti pertama aku membacanya tadi. Tidak terasa, kedua sudut bibirku terangkat membayangkan wajah Aldi yang mungkin tengah kesal padaku. Iya, rupanya Aldi lah yang memesan makanan ini untukku. Tanpa sepengetahuan orang lain, dia ternyata memperhatikanku. "Oh ... baik sekali bosku itu." Aku berkata seraya membuka kotak pizza, l
"Sudah, Run?" tanya Alina saat aku menghampiri dia dan Syafiq. "Sudah, Bu. Yuk, kita pulang sekarang. Takutnya Saffa keburu pulang." Alina mengangguk. Dia pun membujuk putranya untuk berhenti bermain dan pulang bersama kami. Meskipun awalnya sulit, tapi Syafiq akhirnya menurut. Dia mau diajak pulang meskipun wajahnya cemberut. Tidak ada pembicaraan penting selama perjalanan kami pulang. Ocehan masih didominasi Syafiq dan Alina. Dari depan, kulirik ibu dan anak itu dari spion. Tidak ada lagi guratan kesedihan dari wajah Alina, seperti satu minggu yang lalu. Dia sudah bisa tersenyum lebar dengan sesekali menggelitik putranya. "Run, apa kamu bisa menjahit?" Aku sedikit tersentak dengan pertanyaan Alina. Namun, tak urung aku jawab dengan jujur sesuai yang aku mampu. "Bisa, Bu. Tapi ... sedikit," kataku diakhiri dengan kekehan. "Kalau begitu, kegiatan hari ini kita isi dengan jahit menjahit, saja, Run? Kita bikin baju, gitu?" tutur Alina lagi terdengar bersemangat. "Boleh, Bu. Ema
"Loh, kok masuk kamar Tante Aruna? Sini keluar bawa adeknya, Fa." Alina berucap seraya beranjak dari tempat tadi dia berdiri. Jantungku semakin berdegup kencang ketika Alina mulai berjalan ke arah kamarku. Dan dengan cepat, aku pun berjalan ke mana arah tujuan Alina, kemudian masuk ke kamar mendahului wanita itu. Setelah sampai di kamar, aku berdiri mematung kehabisan kata-kata. Perasaanku tak menentu antara kaget bercampur senang, karena ternyata bukan kardus berisikan minuman keras yang dibuka Syafiq. Melainkan paper bag berisikan kado pernikahan untuk Aldi yang aku beli tadi. "Ya ampun, Sayang. Simpan lagi, tidak boleh, lho buka-buka barang orang lain. Yuk, kita keluar, yuk!" Alina bergegas masuk dan mengajak kedua anaknya untuk pergi dari kamarku. Seperti orang bodoh, aku hanya bisa diam seraya memperhatikan dua anak yang digiring ibunya keluar. Setelahnya, aku langsung menghembuskan napas lega karena terbebas dari masalah besar. "Uuh .... Untung saja bukan tempat rokokku yan