"Satya .... Apa kabar kamu, Nak? Bahagiakah kamu di surga sana? Mama di sini sangat merindukanmu, Sayang."Usapan jari-jari lentik Alina menari membelai batu nisan yang bertuliskan nama putranya yang pergi sebelum sempat melihat dunia. Air mata wanita itu kembali mengalir deras laksana hujan yang turun dari langit. Isakan Alina, rintihan wanita itu membuat sudut hatiku tercubit. Setelah memohon dan meminta untuk ditemani ke makam putranya, di sinilah kami berada sekarang. Di pusara Satya, putra bungsu Alina yang meninggal akibat kejahatan seorang pria buruk rupa."Sayang ... maafkan Mama, ya Nak? Maaf, Mama tidak menjagamu dengan baik, tidak bisa menyelamatkan kamu hingga akhirnya kita harus berpisah."Aku mengusap pundak Alina. Memberikan kekuatan agar dia lebih tenang dan ikhlas atas kepergian putranya.Melihat wajah Alina yang dibasahi air mata, menghadirkan rasa bersalah dari lubuk hatiku. Aku ikut andil dalam kematian putranya. Aku salah satu orang yang membuat dia kehilangan
Sepasang mataku terkunci ke arah luar setelah mendengar benturan keras yang menghantam mobil. Segera aku mematikan mesin, kemudian menoleh ke arah Alina yang juga merasa kaget luar biasa. "Aruna, jangan turun," ujar Alina ketakutan. Aku menelan ludah dengan sangat kasar seraya terus mengikuti pergerakan orang-orang yang ada di luar mobil kami.Iya, suara keras yang tadi menghantam mobil berasal dari beberapa pria di luar sana. Mereka sengaja memukul bagian depan mobil dan entah apa maksudnya. "Buka!" Aku meringis seraya berjingkat kaget ketika salah satu dari mereka menggebrak pintu mobil."Hey, buka!!" teriaknya lagi membuat nyaliku menciut. "Jangan Aruna, jangan kamu bukakan pintu untuk mereka. Nanti mereka akan mencelakai kamu." Alina kembali berucap seraya memegang pundakku dari arah belakang. Aku tahu Alina sangat ketakutan. Kulirik wajah putih itu yang sekarang tambah memucat. Aku mencoba tenang, menarik napas perlahan agar bisa berpikir bagaimana cara lepas dari mereka.
"Saudara Pak Adi?" tanyaku ketika Alina menggantung jawabannya. "Bukan, tapi ayahnya Saffa.""Mantan suami, Bu Alina?""Iya."Aku manggut-manggut seraya membulatkan mulut. Alina berjalan mendahuluiku, dan aku mengikutinya dari belakang. Saat berada di ambang pintu, ternyata memang ada tamu yang tengah duduk seorang diri tanpa ada yang menemani. Melihat Alina datang, pria bertubuh berisi itu langsung berdiri dan mengulurkan tangannya. "Hay, Al. Apa kabar?" tanya Pria yang tak lain adalah Haikal. "Baik, Mas. Kapan datang? Sudah lama?" "Tidak, baru saja sampai. Aku ke sini ingin bertemu Saffa. Tapi ... ternyata dia belum pulang sekolah.""Kamu terlalu pagi datangnya, Mas. Kan, aku sudah pernah bilang padamu, datanglah di akhir pekan, pasti putrimu ada di rumah," ujar Alina pada mantan suaminya. "Iya, aku yang salah. Aku terlalu merindukan dia. Apa boleh, aku menunggu di sini sampai Saffa pulang?" Alina mengangguk pelan. Kedua orang itu pun duduk di sofa ruang tamu, tapi tidak den
"Berikan ini pada putriku," ucap Haikal seraya memberikan paper bag berukuran sedang kepadaku. "Kenapa dititipkan?" Haikal membuang napas dengan kasar. Wajahnya menyiratkan kekecewaan, juga rasa tak enak hati karena telah membuat Alina dan Adi bertengkar. Dan sekarang, Alina sedang ditangani dokter. Dia yang kesehatannya masih belum pulih, harus kembali menjalani perawatan karena tadi sempat pingsan saat menyaksikan suaminya bertengkar dengan Haikal. "Saya akan pulang. Mungkin lain waktu akan kembali saat Adi tidak sedang dalam keadaan marah. Tolong, sampaikan maaf saya pada Adi dan Alina. Juga ... pada Saffa," pungkas Haikal. Kulihat punggung pria itu hingga menghilang masuk ke dalam mobilnya. Haikal benar-benar pergi membawa kekecewaan karena tidak bisa bertemu dengan putri semata wayangnya. Setelah mobil Haikal keluar dari halaman rumah, aku masuk dan menyimpan pemberian Haikal ke kamar Saffa. Syafiq masih berada di kamar Alina bersama ayah dan dokter yang sedang menangani ibu
"Jangan katakan apa pun pada Saffa. Rahasiakan jika saya dan ayahnya bertengkar hingga membuat Alina pingsan," pinta Adikara. Saat ini hanya ada aku dan dia. Saffa tengah sibuk dengan barang pemberian ayahnya, yang ternyata isinya sebuah boneka Barbie lengkap dengan pakaian gantinya. "Baik, Pak." Aku mengangguk. Ada rasa lega dalam hatiku mendengar permintaan Adikara. Ternyata, tatapan tajamnya bukan karena tahu apa yang ada dalam pikiranku. Melainkan tidak ingin putri sambungnya membenci salah satu di antara mereka yang telah menjadi penyebab pingsannya Alina. "Emh ... saya mau tanya satu hal sama kamu Aruna. Benar, tadi kamu keluar bersama istri saya?" Diam adalah caraku saat sedang bingung mencari jawaban. Apa yang harus aku katakan pada Adi, sedangkan tadi aku dan Alina sudah sepakat untuk merahasiakan kepergian kami? "Tadi ....""Katakan saja, Runa. Jangan takut, Alina pun sudah mengatakannya kepada saya. Benar, kamu yang menemani dia jalan-jalan pagi tadi?" Jalan-jalan?
"Siapa yang kelaparan?" tanya pria itu lagi menatapku dan Lasmi bergantian. Lasmi menunduk dalam, sedangkan aku mengangkat dagu menunjukan rasa berani menghadapi apa pun yang terjadi. Termasuk, Aldi yang saat ini menanti jawaban atas pertanyaannya. "Bapak tanya saja pada dia. Maaf, saya permisi dulu," kataku seraya keluar dari dapur meninggalkan Lasmi yang sudah pucat pasi dengan tangan yang bergetar. Pasti dia takut kena marah Aldi, juga majikannya yang baru saja datang. Dengan membawa satu piring nasi beserta lauknya, aku menghampiri Saffa dan Syafiq yang masih bermain di tempat semula. Tidak ada sofa di ruangan yang luas ini. Alina dan Adi sengaja tidak menyimpan banyak perabotan di sini agar terlihat luas dan anak-anak bebas bermain. "Hey, sini kita makan!" ajakku membuat kakak beradik itu langsung menoleh. Wajah Saffa dan Syafiq berseri, mereka menghampiri dan duduk di depanku. Satu suapan aku berikan pada Saffa, kemudian selanjutnya untuk Syafiq. Begitulah seterusnya hin
Semakin sore, rumah Alina menjadi sangat ramai dan berisik. Apa lagi setelah Dinata Wiratmadja dan istrinya datang, juga mertua Alina yang sekarang ada di sini juga. Katanya mereka ke sini untuk menjenguk Alina, tapi malah membuat berisik seisi rumah dengan celotehan dan candaan dua pasang orang tua itu. Ditambah, Saffa dan Syafiq yang kesenangan karena dikunjungi kakek dan neneknya. "Alina sakit lagi, kesehatannya kembali menurun. Padahal, waktu pernikahan Aldi sudah semakin dekat."Semua orang yang ada di sini langsung menatap Nyonya Marta, tak terkecuali aku. Kepala yang sedari tadi menunduk dengan tangan memainkan rubik milik Saffa, kini kuangkat dan melihat wanita yang usianya tak muda lagi itu. Tidak ada yang berani bicara, hingga akhirnya Aldi mengucapkan kalimat yang membuat semua orang tak percaya. "Ditunda lagi juga tidak apa-apa, Mah. Aku tidak akan keberatan, kok.""Mana mungkin, Aldi. Bagaimana tanggapan Tante Ratna, jika pernikahan kalian terus ditunda? Pasti mereka
"Run, tolong temenin Mama belanja. Katanya mau masak-masak buat nyambut kedatangan Tante Ratna dan Naima."Ucapan Alina yang menggantung langsung terhenti ketika Adi datang dan mengatakan sesuatu. Aku yang menanti jawaban dari Alina, harus berbesar hati tidak mendapatkan informasi mengenai di mana pernikahan Aldi akan digelar. Anggukkan kepala terasa hampa, tubuh yang berdiri pun terasa tak menapak bumi, saking kesal dan kecewanya aku pada Adi, karena masuk di waktu yang kurang tepat. "Anak-anak, gimana, Pak?" tanyaku seraya berbalik badan ketika kaki sudah hampir sampai di ambang pintu. "Anak-anak biar sama saya dan Papa di sini. Kamu ke supermarket saja sama Mama dan Bang Aldi."Untuk kedua kalinya aku mengangguk, kemudian keluar dari kamar Alina dan Adi. Ternyata, di luar sana Aldi dan ibunya sudah bersiap untuk pergi. Tanpa menunggu nanti, aku pun langsung lari ke kamar untuk mengambil tas dan ponsel, kemudian ikut dengan mereka. "Aruna duduk di depan saja sama Aldi, biar saya