"Bang Aldi ....""Aku sungguh-sungguh, Nai. Tolong jangan batalkan pernikahan kita," ujar Aldi membuat Naima diam. Oh ... jadi Naima ingin membatalkan pernikahan, makanya Aldi datang menemui wanita itu dan memohon? Apa ini ada hubungannya dengan pembicaraanku waktu itu pada Tante Ratna? Mereka termakan omonganku? "Bang—""Secepatnya aku akan mengurus semuanya. Aku janji, pernikahan kita akan tetap digelar sesuai rencana awal. Tolong Nai, jangan patahkan impianku untuk bersanding di pelaminan denganmu." Aldi kembali berucap memotong ucapan Naima yang belum selesai. Rasanya aku ingin muntah mendengar permintaan Aldi. Segampang itu dia mengucapkan kata, meyakinkan Naima bahwa dirinya yang menginginkan pernikahan ini. Padahal, aku sangat yakin jika sebenarnya ucapan itu tidak keluar dari hatinya. Aldi si anak penurut hanya mengikuti keinginan ayah dan ibunya, bukan perasaannya. Aku sangat yakin tentang itu. Sorot mata Aldi menyimpan rasa takut dan kecewa. Namun, bukan takut pernika
"Mencuri hati Naima. Buktinya, dia mengurungkan niat untuk membatalkan pernikahan kami.""Oh, Bapak bisa saja," ujarku merasa tersanjung atas ucapan Aldi. "Terima kasih, ya, kamu sudah membantuku. Aku berhutang budi padamu." Aldi berucap lagi. "Sama-sama, Pak. Saya hanya ingin yang terbaik untuk Bapak dan Bu Nai."Pria di sampingku itu tersenyum simpul dengan pandangan lurus ke depan. Beberapa saat perjalanan, kini aku sudah sampai di depan rumah Alina. Tempat tinggalku yang baru. "Bapak, tidak mau masuk dulu?" tanyaku pada Aldi sebelum turun dari mobilnya. "Tidak, Run, masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Bilang saja aku buru-buru jika Alina bertanya."Aku mengangguk, kemudian turun dari kendaraan Aldi. Mobil Pajero berwarna putih pun melaju kembali meninggalkan aku seorang diri. Tidak ingin jadi patung di bawah gelapnya langit malam, aku pun masuk dan langsung mendapat pertanyaan dari tuan rumah. "Sudah pulang, Run?" "Eh, Ibu. Saya kaget, loh." Aku memegang dada keti
"Ya Allah, Sayang ...."Suara dari belakangku langsung menghentikan Alina yang tengah menggendong sebuah boneka. Dengan cepat, Alina menjatuhkan benda yang sedari tadi dipeluknya ke atas ranjang bayi. "Mas, ta–tadi ... aku hanya ingin memindahkannya," tutur Alina dengan wajah panik seperti maling yang tertangkap basah. Alih-alih marah dengan kelakuan istrinya yang seperti orang gila, Adikara malah menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Diusap serta diciumnya ubun-ubun Alina dengan penuh kasih dan cinta. "Jangan seperti itu, Sayang ... tolong jangan buat aku semakin khawatir denganmu," ujar Adi dengan suara bergetar menahan tangis.Sungguh miris, kecelakaan yang merenggut bayinya membuat Alina bukan hanya sakit fisik, melainkan mentalnya juga. Aku sampai tidak bisa berkata-kata. Hanya mampu menatap nanar pada wanita yang mencoba tetap waras, padahal mentalnya terguncang. "Aku, aku hanya ingin memindahkan boneka itu, Mas." Alina merajuk membantah apa yang sedang dipikirkan suaminy
"Tidak usah teriak-teriak, Aruna!" ujar pria buruk rupa yang beridiri dengan kardus berbalut plastik hitam di tangannya itu. Aku menoleh ke belakang, takutnya ada yang melihatku. Akan tetapi, aman. Tidak ada siapa pun yang mencurigaiku di sini. "Ngapain ke sini?" tanyaku menekankan suara. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak lupa dengan tujuan kita, Aruna."Aku mencebikkan bibir seraya memutar bola mata malas kepada pria yang tak lain adalah Damar. "Kapan Aldi akan menikah?" Kini Damar yang bertanya. "Sudah kubilang, aku belum tahu waktu jelasnya. Jika sudah ada kabar, aku pun pasti akan memberitahumu, Dam.""Baguslah. Selain tentang pernikahan Aldi, apa lagi yang kamu dapat di sini?" tanya Damar lagi. Aku melongokkan kepala ke arah jalan, melirik kanan kiri takutnya ada tetangga yang mengintip dan mengadukanku pada Alina atau Adi."Alina setres.""Apa?" Damar sedikit menaikan nada bicara membuatku melotot ke arahnya. "Tadi pagi, ada drama Alina yang memomong boneka. Mungkin
"Satya .... Apa kabar kamu, Nak? Bahagiakah kamu di surga sana? Mama di sini sangat merindukanmu, Sayang."Usapan jari-jari lentik Alina menari membelai batu nisan yang bertuliskan nama putranya yang pergi sebelum sempat melihat dunia. Air mata wanita itu kembali mengalir deras laksana hujan yang turun dari langit. Isakan Alina, rintihan wanita itu membuat sudut hatiku tercubit. Setelah memohon dan meminta untuk ditemani ke makam putranya, di sinilah kami berada sekarang. Di pusara Satya, putra bungsu Alina yang meninggal akibat kejahatan seorang pria buruk rupa."Sayang ... maafkan Mama, ya Nak? Maaf, Mama tidak menjagamu dengan baik, tidak bisa menyelamatkan kamu hingga akhirnya kita harus berpisah."Aku mengusap pundak Alina. Memberikan kekuatan agar dia lebih tenang dan ikhlas atas kepergian putranya.Melihat wajah Alina yang dibasahi air mata, menghadirkan rasa bersalah dari lubuk hatiku. Aku ikut andil dalam kematian putranya. Aku salah satu orang yang membuat dia kehilangan
Sepasang mataku terkunci ke arah luar setelah mendengar benturan keras yang menghantam mobil. Segera aku mematikan mesin, kemudian menoleh ke arah Alina yang juga merasa kaget luar biasa. "Aruna, jangan turun," ujar Alina ketakutan. Aku menelan ludah dengan sangat kasar seraya terus mengikuti pergerakan orang-orang yang ada di luar mobil kami.Iya, suara keras yang tadi menghantam mobil berasal dari beberapa pria di luar sana. Mereka sengaja memukul bagian depan mobil dan entah apa maksudnya. "Buka!" Aku meringis seraya berjingkat kaget ketika salah satu dari mereka menggebrak pintu mobil."Hey, buka!!" teriaknya lagi membuat nyaliku menciut. "Jangan Aruna, jangan kamu bukakan pintu untuk mereka. Nanti mereka akan mencelakai kamu." Alina kembali berucap seraya memegang pundakku dari arah belakang. Aku tahu Alina sangat ketakutan. Kulirik wajah putih itu yang sekarang tambah memucat. Aku mencoba tenang, menarik napas perlahan agar bisa berpikir bagaimana cara lepas dari mereka.
"Saudara Pak Adi?" tanyaku ketika Alina menggantung jawabannya. "Bukan, tapi ayahnya Saffa.""Mantan suami, Bu Alina?""Iya."Aku manggut-manggut seraya membulatkan mulut. Alina berjalan mendahuluiku, dan aku mengikutinya dari belakang. Saat berada di ambang pintu, ternyata memang ada tamu yang tengah duduk seorang diri tanpa ada yang menemani. Melihat Alina datang, pria bertubuh berisi itu langsung berdiri dan mengulurkan tangannya. "Hay, Al. Apa kabar?" tanya Pria yang tak lain adalah Haikal. "Baik, Mas. Kapan datang? Sudah lama?" "Tidak, baru saja sampai. Aku ke sini ingin bertemu Saffa. Tapi ... ternyata dia belum pulang sekolah.""Kamu terlalu pagi datangnya, Mas. Kan, aku sudah pernah bilang padamu, datanglah di akhir pekan, pasti putrimu ada di rumah," ujar Alina pada mantan suaminya. "Iya, aku yang salah. Aku terlalu merindukan dia. Apa boleh, aku menunggu di sini sampai Saffa pulang?" Alina mengangguk pelan. Kedua orang itu pun duduk di sofa ruang tamu, tapi tidak den
"Berikan ini pada putriku," ucap Haikal seraya memberikan paper bag berukuran sedang kepadaku. "Kenapa dititipkan?" Haikal membuang napas dengan kasar. Wajahnya menyiratkan kekecewaan, juga rasa tak enak hati karena telah membuat Alina dan Adi bertengkar. Dan sekarang, Alina sedang ditangani dokter. Dia yang kesehatannya masih belum pulih, harus kembali menjalani perawatan karena tadi sempat pingsan saat menyaksikan suaminya bertengkar dengan Haikal. "Saya akan pulang. Mungkin lain waktu akan kembali saat Adi tidak sedang dalam keadaan marah. Tolong, sampaikan maaf saya pada Adi dan Alina. Juga ... pada Saffa," pungkas Haikal. Kulihat punggung pria itu hingga menghilang masuk ke dalam mobilnya. Haikal benar-benar pergi membawa kekecewaan karena tidak bisa bertemu dengan putri semata wayangnya. Setelah mobil Haikal keluar dari halaman rumah, aku masuk dan menyimpan pemberian Haikal ke kamar Saffa. Syafiq masih berada di kamar Alina bersama ayah dan dokter yang sedang menangani ibu