Demi Tuhan aku sangat kaget saat Luna hendak melukai dirinya sendiri. Dia memegang pisau buah yang diarahkan pada pergelangan tangan. Tentu saja aku langsung mengambil pisau itu dan menyingkirkannya dari adikku. "Kamu sudah gila!" kataku dengan napas yang terengah.Tubuh Luna merosot, dia bersandar pada ranjang sambil menjambak rambutnya sendiri. "Aku akan lebih gila lagi, jika Kakak mengikuti semua maunya mereka, Kak!" Segera aku menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Damar dan Kamila tidak boleh mendengar penolakan Luna tentang rencana yang sudah di depan mata. "Mau mereka yang mana?" tanyaku."Yang menyuruh Kakak membunuh Alina! Apa Kakak akan mengorbankan masa depan Kakak dan aku demi kepuasan mereka?""Pelankan suaramu, Luna. Nanti Damar dengar, dan kamu akan dikasarinya.""Aku tidak mau Kakak dipenjara, aku takut sendirian, Kak. Aku adikmu, satu-satunya orang yang memiliki darah denganmu. Tapi, kenapa Kakak malah mendengarkan kata-kata mereka, dibandingkan aku?" tutur Lun
"Aruna, apa-apaan kamu pake minta bayaran segala? Dia dan kita punya misi yang sama. Sama-sama ingin menghancurkan keluarga Dinata," ujar Damar keberatan dengan permintaanku. "Aku tahu, Dam. Tapi, dia orang luar yang tidak begitu dekat dengan kita. Aku tidak mau, ya dimanfaatkan olehnya. Siapa yang akan menjamin jika nanti dia berkhianat?" kataku seraya membuka tangan ke arah Damar. Pria itu tidak lagi bicara. Dia hanya melihatku sekilas, kemudian menatap Kamila sejenak. Sedangkan wanita yang ada di sampingnya tak sedikit pun berucap. Dia terlihat pasrah akan keinginanku yang meminta bayaran. "Aku tidak masalah jika kamu meminta bayaran dariku. Yah, aku cukup tahulah jika kalian memang membutuhkan uang. Orang miskin memang tidak jauh dari urusan rupiah."Darahku berdesir panas mendengar penuturan Kamila yang terkesan merendahkan. Dan dengan santainya, dia malah kembali menyalakan sebatang rokok tanpa tahu perasaanku yang tercabik akan kata-katanya. Aku diam bukan berarti tidak ber
"Jangan pernah berniat untuk berkhianat dariku. Ingat, kamu berhutang banyak padaku."Aku berhenti bernapas untuk beberapa detik, kemudian menghirup udara dengan pelan. Kepala kuanggukkan sebagai sebuah jawaban. Lidahku kelu, tak mau bicara kepada Damar meskipun hanya untuk berkata 'iya'. Setelah berjalan sejauh ini dengan niat yang kuat untuk menghancurkan keluarga Dinata, tiba-tiba perasaan gamang hadir begitu saja setelah melihat adikku yang selalu bersedih ketika aku membahas pembalasan.Ah, mungkin ini hanya perasaan sesaat saja. Besok atau lusa, semangat untuk merebut semua yang dimiliki Aldi akan datang kembali. Damar melepaskan kedua tangannya dari pundakku. Kaki ini pun kembali melangkah meninggalkan pria buruk rupa yang sekarang masih berdiri menatap kepergianku. "Taksi!" Aku berteriak mencegat mobil berwarna biru yang melintas di depanku. "Ke mana, Bu?" tanya si supir. "Jalan saja dulu, Pak. Nanti saya arahkan Bapak ke tempat tujuan saya."Pria yang memakai seragam war
Segera aku menutup bagian dadaku dengan kedua tangan saat tahu jika tiga kancing bagian atas dilepas oleh Syafiq. Sungguh aku sangat malu sekali hingga wajah ini terasa memanas. Apalagi, tingkah Aldi yang langsung menundukkan pandangan seraya mengulum senyum membuatku ingin menghilang dari muka bumi ini. "Syafiq nakal, ih!" ujar Alina mengangkat tubuh balita itu. Aku langsung mengambil bantal sofa, lalu menempelkannya pada bagian dada. Kemudian aku beranjak dari tempat duduk seraya membungkuk hormat pada Alina. Dalam hati aku menggerutu merutuki kebodohan diri ini dan kenakalan putra bungsu Alina. Jika tadi aku tidak terhipnotis oleh bentuk tubuh Aldi, mungkin aku akan tahu jika Syafiq membuka kancing bajuku. "Dasar anak nakal." Aku berucap seorang diri setelah sudah berada di kamar. Tanggung. Aku pun membuka kemejaku, lalu menggantinya dengan blouse tangan pendek tanpa kancing. "Mana dalemannya sampe keliatan, lagi," ujarku lagi seraya merapikan penampilan yang sempat berantak
"Aruna!" Panggilan kembali terdengar, dan kali ini aku membalikkan badan melihat dari mana sumber suara tersebut. Aku bisa bernapas lega saat ternyata Alina memanggil dari arah dapur. Bukan memergokiku yang tengah mengintip di depan ruang kerja Adi. "Iya, Bu!" Buru-buru aku menjawab agar wanita itu tidak terus berteriak. "Cepat ke sini! Syafiq muntah, nih!" Astaga ...! Anak muntah saja teriaknya sudah seperti kesurupan. Aku mempercepat langkah untuk bisa segera sampai di mana Alina berada. Dari arah ruang tamu, Lasmi datang terpogoh-pogoh dengan wajah paniknya. "Ya Allah, Bu, kenapa bisa muntah?" tanyaku ketika melihat anak balita Alina yang tengah mengeluarkan isi perutnya. Ih, sangat menjijikkan! Untungnya, Lasmi sigap dan langsung mengambil lap untuk membersihkan kotoran di meja makan, juga di lantai. Jadi, aku tak perlu memegang muntahan anak itu. "Ada Apa, Sayang?" Adi datang, dan langsung bertanya pada istrinya. "Tadi Syafiq makan ikan itu, Mas. Sepertinya ada tulang
"Bang Aldi ....""Aku sungguh-sungguh, Nai. Tolong jangan batalkan pernikahan kita," ujar Aldi membuat Naima diam. Oh ... jadi Naima ingin membatalkan pernikahan, makanya Aldi datang menemui wanita itu dan memohon? Apa ini ada hubungannya dengan pembicaraanku waktu itu pada Tante Ratna? Mereka termakan omonganku? "Bang—""Secepatnya aku akan mengurus semuanya. Aku janji, pernikahan kita akan tetap digelar sesuai rencana awal. Tolong Nai, jangan patahkan impianku untuk bersanding di pelaminan denganmu." Aldi kembali berucap memotong ucapan Naima yang belum selesai. Rasanya aku ingin muntah mendengar permintaan Aldi. Segampang itu dia mengucapkan kata, meyakinkan Naima bahwa dirinya yang menginginkan pernikahan ini. Padahal, aku sangat yakin jika sebenarnya ucapan itu tidak keluar dari hatinya. Aldi si anak penurut hanya mengikuti keinginan ayah dan ibunya, bukan perasaannya. Aku sangat yakin tentang itu. Sorot mata Aldi menyimpan rasa takut dan kecewa. Namun, bukan takut pernika
"Mencuri hati Naima. Buktinya, dia mengurungkan niat untuk membatalkan pernikahan kami.""Oh, Bapak bisa saja," ujarku merasa tersanjung atas ucapan Aldi. "Terima kasih, ya, kamu sudah membantuku. Aku berhutang budi padamu." Aldi berucap lagi. "Sama-sama, Pak. Saya hanya ingin yang terbaik untuk Bapak dan Bu Nai."Pria di sampingku itu tersenyum simpul dengan pandangan lurus ke depan. Beberapa saat perjalanan, kini aku sudah sampai di depan rumah Alina. Tempat tinggalku yang baru. "Bapak, tidak mau masuk dulu?" tanyaku pada Aldi sebelum turun dari mobilnya. "Tidak, Run, masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Bilang saja aku buru-buru jika Alina bertanya."Aku mengangguk, kemudian turun dari kendaraan Aldi. Mobil Pajero berwarna putih pun melaju kembali meninggalkan aku seorang diri. Tidak ingin jadi patung di bawah gelapnya langit malam, aku pun masuk dan langsung mendapat pertanyaan dari tuan rumah. "Sudah pulang, Run?" "Eh, Ibu. Saya kaget, loh." Aku memegang dada keti
"Ya Allah, Sayang ...."Suara dari belakangku langsung menghentikan Alina yang tengah menggendong sebuah boneka. Dengan cepat, Alina menjatuhkan benda yang sedari tadi dipeluknya ke atas ranjang bayi. "Mas, ta–tadi ... aku hanya ingin memindahkannya," tutur Alina dengan wajah panik seperti maling yang tertangkap basah. Alih-alih marah dengan kelakuan istrinya yang seperti orang gila, Adikara malah menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Diusap serta diciumnya ubun-ubun Alina dengan penuh kasih dan cinta. "Jangan seperti itu, Sayang ... tolong jangan buat aku semakin khawatir denganmu," ujar Adi dengan suara bergetar menahan tangis.Sungguh miris, kecelakaan yang merenggut bayinya membuat Alina bukan hanya sakit fisik, melainkan mentalnya juga. Aku sampai tidak bisa berkata-kata. Hanya mampu menatap nanar pada wanita yang mencoba tetap waras, padahal mentalnya terguncang. "Aku, aku hanya ingin memindahkan boneka itu, Mas." Alina merajuk membantah apa yang sedang dipikirkan suaminy
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan