Lama aku menatap wanita yang memakai jas putih di sampingku ini. Mataku memindai penampilannya dari atas kepala hingga ke bawah. Anggun. Kesan pertama yang aku lihat darinya. Dress warna merah yang membalut tubuhnya terlihat sangat cocok dengan kulit putih bersih milik wanita itu. "Anda seorang dokter?" Pertanyaan itu muncul secara tiba-tiba."Iya, saya dokter spesialis saraf."Kini keningku mengkerut mendengar jawabannya itu. Dia seorang dokter, tapi ingin menghancurkan Alina. Siapa dia sebenarnya?"Ini kartu nama serta nomor telponku. Jika kamu tertarik dengan tawaranku, silahkan menghubungiku segera."Wanita itu pergi begitu saja meninggalkan aku yang masih diliputi dengan kebingungan. Kulihat kertas kecil di tanganku yang tadi diberikannya. "Dokter Kamila," kataku menyebutkan nama yang tertulis di sana. Aku berjalan cepat masuk ke dalam supermarket. Mencari keberadaan wanita tadi yang sudah masuk terlebih dahulu untuk menanyakan semua pertanyaan yang bersarang di dalam otakku
Segera aku mematikan sambungan telepon ketika mendengar suara benda jatuh di luar kamar yang aku tempat sekarang. Aku berdiri, kemudian berjalan ke arah pintu untuk memeriksa apa yang terjadi di luar sana. Mungkinkah ada seseorang yang menguping pembicaraanku tadi? Tiba-tiba dadaku langsung berdetak kencang membayangkan jika di luar sana adalah Aldi. "Saffa?" kataku ketika melihat gadis kecil itu tengah memungut pecahan vas bunga."Tante ... aku haus, di kamar tidak ada air minum," adunya saat melihatku keluar dari kamar. "Jadi, Saffa keluar untuk ambil air minum?" Saffa mengangguk dengan wajah merengut. Cahaya remang-remang membuat anak itu tidak dapat melihat jelas jalan yang ia lalui. "Sudah, jangan dibereskan dulu. Biarkan nanti Tante Runa yang bersihkan. Sekarang, Tante antar kamu ke dapur, yuk." Aku mengambil tangan Saffa, lalu menuntun anak itu hingga sampai di ruangan makan.Satu gelas air putih aku tuangkan ke dalam gelas, lalu memberikannya pada Saffa. Tidak hanya itu
"Emm ... apa Bapak menginginkannya juga?" "Ah, tidak. Aku hanya bertanya saja.""Oh, oke," kataku mulai mengambil sendok, mengaduk mie dan meniup kuah yang ada di sendok. Wanginya langsung membuat perutku meronta. Namun, rasanya tidak tega untuk menikmatinya seorang diri apalagi mata Aldi tak lepas dari mangkuk di depanku itu. "Buat Bapak saja," kataku seraya menggeser mangkuk ke dekat Aldi. "Lupa, jika saya sedang diet.""Diet? Badan sudah kurus seperti itu masih diet?" tutur Aldi melihatku setengah mengejek. "Ya ... biar lebih terlihat awet muda saja, Pak. Diet itu, kan tidak melulu untuk menguruskan tubuh. Selain untuk menyehatkan tubuh, bisa untuk menambah kecantikan dan kebugaran juga. Jadi—""Dasar wanita!" Aku tidak melanjutkan kata-kata saat mangkuk berisikan mie instan sudah berpindah tangan. Aldi memakan mie yang masih hangat itu seorang diri membuatku hanya bisa menggigit bibir. Tanganku langsung mengambil gelas berisikan cokelat yang sudah hangat, lalu menegaknya sed
"Apa kamu mengundangnya, Al?" tanya Aldi pada adiknya. "Tidak, Bang. Yasudah, lanjutkan saja sarapannya, biar aku yang temui Dokter Kamila."Wanita yang masih belum pulih seratus persen dari sakitnya itu berdiri, kemudian disusul suaminya yang tak pernah membiarkan istrinya pergi seorang diri. Alina dan Adi keluar dari ruang makan untuk menemui tamunya, sedangkan yang lain kembali menikmati makanannya masing-masing. Kecuali aku. Belum ada satu makanan pun yang masuk ke dalam perut sejak kedatanganku tadi. Bukan tidak mau, tapi pikiran ini pergi mencari alasan mengapa wanita bernama Kamila itu datang ke sini. Bukankah dia musuh keluarga Alina? Atau ... itu hanya akal-akalan dia sebagai mata-mata keluarga Dinata? Astaga ... aku benar-benar pusing mencari jawaban dari pertanyaan yang bersarang di dalam otakku ini. "Tante, kok tidak makan-makan, sih?" Aku mengangkat kepala melihat pada Saffa yang tengah menatapku heran. Bukan hanya anak itu yang matanya memperhatikanku, tapi sekar
Masih dengan mata yang melihat pada Kamila, aku mengambil buah tangan pemberian wanita itu dan membawanya ke belakang. Sungguh aku sangat penasaran dengan apa yang diberikan Kamila padaku. Jika dirasa-rasa, sepertinya benda kecil di telapak tanganku ini sebuah kertas. Aku langsung menyimpan parcel buah di atas meja setelah berada di ruang makan. Kemudian melihat apa yang diberikan Kamila tadi. Dan benar saja, secarik kertas kecil berada di tanganku saat ini. Cepat aku membuka lipatan kertas tersebut hingga nampaklah sebuah kalimat yang membuatku mengerutkan kening. [Bagaimana dengan tawaranku? Kenapa belum menghubungi?] bunyi kalimat yang ada pada kertas tersebut. "Jadi dia ...?" Aku tidak melanjutkan kata-kataku dan langsung memasukkan kertas ke dalam saku celana saat melihat Bi Narsih datang. Wanita itu tersenyum seraya menganggukkan kepala yang langsung kubalas dengan senyum manis. "Buahnya mau dipotong sekarang, Bu?" tanya Bi Narsih kemudian. "Tidak usah, Bi. Cuci dan simp
"Kenapa? Kaget, gajimu bulan ini tambahannya banyak?" Aku menoleh pada Aldi yang terkekeh mengetahui kekagetanku atas upah yang dia berikan. Padahal, bukan karena itu aku kaget. Bukan karena nominal uang yang dia berikan Aldi padaku. Melainkan pesan yang dikirim Damar.Pria itu mengirimkan pesan disertai foto dirinya dan wanita yang tadi datang ke rumah Dinata Wiratmadja. Kamila. Dan yang membuatku kaget ialah, wanita bergelar dokter spesialis itu duduk menyilangkan kaki seraya menikmati sebatang rokok di tangannya. "Apa ini tidak salah?" gumamku nyaris tanpa suara. "Tidak, Aruna. Sengaja aku lebihkan gajimu agar kamu menjalankan tanggung jawab lebih baik lagi." Lagi-lagi Aldi salah paham dengan ucapanku. Dan aku hanya melihatnya sekilas, lalu kembali fokus pada ponsel. Sebuah pesan aku kirimkan pada Damar untuk mempertanyakan keberadaan wanita itu di rumah kontrakan kami. Apalagi dengan pose seperti itu, membuatku benar-benar ingin tahu lebih jauh lagi tentang dia. [Apa aku ti
"Ayo, Aruna!" ajak Aldi lagi seraya bangkit. Hatiku menolak pergi dengannya, tapi tubuh ini malah mengikuti apa maunya pria itu. Aku melangkah, berjalan di belakang Aldi setelah mengangguk hormat pada semua orang di ruang tengah ini. "Pak!" kataku menghentikan langkah Aldi yang sudah berada di samping mobil miliknya. "Kenapa?" Dia balik bertanya. "Emh ... saya pulang sendiri saja, tidak enak jika harus diantar sama Bapak.""Ck, kenapa harus tidak enak? Kan, sebelumnya pun aku pernah mengantarmu pulang? Bahkan menjemput juga pernah."Aku menggaruk tengkuk leher seraya nyengir memperlihatkan deretan gigi. Beda denganku yang sulit mencari alasan agar Aldi mengurungkan niatnya, pria itu justru memperlihatkan ekspresi heran sekaligus bertanya lewat tatapan matanya padaku. "Iya, Pak. Tapi ... malu aja, soalnya sering diomongin tetangga kalau pulang bareng Bapak. Katanya, aku simpanan Bapak," tuturku dengan penuh kebohongan. "Untuk apa mendengarkan kata orang lain? Dikasih makan kamu s
"Siapa yang meneleponmu, Aruna?" Aldi kembali bertanya. Aku berdehem untuk menghilangkan kegugupan. Kemudian sebelah tangan mematikan telepon yang tadi sempat berdering. "Emh ... ini, Pak. Adik saya yang telepon. Sepertinya saya harus segera pulang sekarang," jawabku beralasan. "Yasudah, pulang sana.""Sekarang, Pak?" tanyaku menatapnya lekat. "Iya. Aku masih mau di sini," jawab Aldi. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tanpa menunggu nanti yang mungkin akan merubah pikiran Aldi, aku pun bangkit dari dudukku dan keluar dari kafe tersebut setelah pamit pada pria dingin itu. Seperti ada angin segar saat bisa terbebas dari pria menyebalkan yang selalu mengekangku itu. Hidup dalam lingkungannya, membuatku tertekan dan terpenjara. Karena tadi aku datang bersama Aldi, alhasil sekarang harus mencari taksi untuk bisa sampai ke rumah. Ponsel terus berdering dengan nomor Damar yang menghubungi. Aku tidak mengangkatnya. Lebih fokus ke jalanan yang tidak akan lama lagi sampai di depa