Langit begitu cerah dengan awan yang terlihat putih bersih. Angin berembus pelan membelai daun-daun yang masih berembun. Kuhirup udara sebanyak-banyaknya menikmati pagi yang sangat indah ini. Pandangan lurus pada dua anak beda usia yang tengah berlari ke sana kemari mengejar kupu-kupu yang hinggap pada bunga bermekaran. "Ah ...." Aku menoleh ke samping, pada pria yang baru saja menghenyakkan bokong seraya mendesah panjang. "Sepertinya mereka sangat gembira," celetuk Aldi kemudian. "Seperti yang Bapak lihat, mereka nampak tak ada beban," timpalku menjawab ucapan pria itu. Setelah menjemputku, Aldi tidak langsung membawaku ke rumahnya. Dia memilih mampir ke sebuh taman untuk sekedar memanjakan dua keponakannya. Dan bodohnya aku ialah, lupa jika hari ini akhir pekan. Pakaian yang kukenakan pun masih formal dengan setelan blazer dan celana panjang.Malu? Iya. Akan tetapi, Aruna wanita paling percaya diri dan tidak pernah merasa salah. Aku justru merasa lebih cantik hari ini dengan
"Alina akan pulang sore ini. Saya minta tolong kamu untuk mengawasi dan menjaga Syafiq, agar tidak mengganggu ibunya terlebih dahulu."Aku mengangguk pelan dengan pikiran yang terbagi antara Dinata dan Alina. Jadi, wanita itu akan pulang dari rumah sakit? Jika Alina sembuh, pasti pernikahan Aldi dan Naima akan segera digelar. Aku harus melaporkan ini pada Damar, agar dia berpikir bagiamana menyingkirkan Naima dan membatalkan pernikahan mereka. "Kamu dengar apa yang saya katakan, Aruna?" Aku mengerjapkan mata melihat pada Dinata yang juga menatapku serius. Untuk yang kedua kali aku menganggukkan kepala menjawab pertanyaannya. "Kenapa saya memberikan tugas ini pada kamu, bukan pada Lasmi? Karena saya lihat, kamu lebih bisa menenangkan hati Syafiq dibandingkan Lasmi yang memang bertugas untuk menjaga Saffa," papar Dinata lagi menjelaskan. "Iya, Pak. Saya tidak keberatan untuk itu. Kemarin, Pak Aldi pun sudah meminta saya untuk tinggal bersama anak-anak." Mataku menoleh sebentar pa
"Maksud Bu Nai, apa?" Aku bertanya pura-pura kaget. Di dalam dadaku, jantung ini terus berdetak tak karuan. Entah ini sebuah ancaman, atau tanda jika aku dan Damar harus bergerak cepat menyingkirkan Naima. "Saya mendengar semua percakapan antara kamu dan Mama, barusan. Dan saya sangat tidak percaya dengan ucapan kamu tentang Mbak Alina."Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku harus tenang, tidak boleh tegang. "Bu .... Saya, menyampaikan apa yang saya dengar. Jika Ibu tidak berkenan, tidak apa-apa. Tapi, jangan mengatakan saya mempengaruhi Bu Ratna, karena itu tidak ada untungnya untuk saya. Apa yang saya dapat dari menjelekkan Bu Alina?" Naima menarik napasnya perlahan seraya melepaskan tangannya dariku. Dia menegakkan tubuh dengan pandangan lurus ke depan. Dengan masih memasang wajah sedih, aku menggeser tubuh agar bisa melihat wanita di sampingku dengan jelas. Kusenderkan sebelah pundak pada sandaran sofa dengan kaki kiri yang kusilangkan. "Saya bunu
Lama aku menatap wanita yang memakai jas putih di sampingku ini. Mataku memindai penampilannya dari atas kepala hingga ke bawah. Anggun. Kesan pertama yang aku lihat darinya. Dress warna merah yang membalut tubuhnya terlihat sangat cocok dengan kulit putih bersih milik wanita itu. "Anda seorang dokter?" Pertanyaan itu muncul secara tiba-tiba."Iya, saya dokter spesialis saraf."Kini keningku mengkerut mendengar jawabannya itu. Dia seorang dokter, tapi ingin menghancurkan Alina. Siapa dia sebenarnya?"Ini kartu nama serta nomor telponku. Jika kamu tertarik dengan tawaranku, silahkan menghubungiku segera."Wanita itu pergi begitu saja meninggalkan aku yang masih diliputi dengan kebingungan. Kulihat kertas kecil di tanganku yang tadi diberikannya. "Dokter Kamila," kataku menyebutkan nama yang tertulis di sana. Aku berjalan cepat masuk ke dalam supermarket. Mencari keberadaan wanita tadi yang sudah masuk terlebih dahulu untuk menanyakan semua pertanyaan yang bersarang di dalam otakku
Segera aku mematikan sambungan telepon ketika mendengar suara benda jatuh di luar kamar yang aku tempat sekarang. Aku berdiri, kemudian berjalan ke arah pintu untuk memeriksa apa yang terjadi di luar sana. Mungkinkah ada seseorang yang menguping pembicaraanku tadi? Tiba-tiba dadaku langsung berdetak kencang membayangkan jika di luar sana adalah Aldi. "Saffa?" kataku ketika melihat gadis kecil itu tengah memungut pecahan vas bunga."Tante ... aku haus, di kamar tidak ada air minum," adunya saat melihatku keluar dari kamar. "Jadi, Saffa keluar untuk ambil air minum?" Saffa mengangguk dengan wajah merengut. Cahaya remang-remang membuat anak itu tidak dapat melihat jelas jalan yang ia lalui. "Sudah, jangan dibereskan dulu. Biarkan nanti Tante Runa yang bersihkan. Sekarang, Tante antar kamu ke dapur, yuk." Aku mengambil tangan Saffa, lalu menuntun anak itu hingga sampai di ruangan makan.Satu gelas air putih aku tuangkan ke dalam gelas, lalu memberikannya pada Saffa. Tidak hanya itu
"Emm ... apa Bapak menginginkannya juga?" "Ah, tidak. Aku hanya bertanya saja.""Oh, oke," kataku mulai mengambil sendok, mengaduk mie dan meniup kuah yang ada di sendok. Wanginya langsung membuat perutku meronta. Namun, rasanya tidak tega untuk menikmatinya seorang diri apalagi mata Aldi tak lepas dari mangkuk di depanku itu. "Buat Bapak saja," kataku seraya menggeser mangkuk ke dekat Aldi. "Lupa, jika saya sedang diet.""Diet? Badan sudah kurus seperti itu masih diet?" tutur Aldi melihatku setengah mengejek. "Ya ... biar lebih terlihat awet muda saja, Pak. Diet itu, kan tidak melulu untuk menguruskan tubuh. Selain untuk menyehatkan tubuh, bisa untuk menambah kecantikan dan kebugaran juga. Jadi—""Dasar wanita!" Aku tidak melanjutkan kata-kata saat mangkuk berisikan mie instan sudah berpindah tangan. Aldi memakan mie yang masih hangat itu seorang diri membuatku hanya bisa menggigit bibir. Tanganku langsung mengambil gelas berisikan cokelat yang sudah hangat, lalu menegaknya sed
"Apa kamu mengundangnya, Al?" tanya Aldi pada adiknya. "Tidak, Bang. Yasudah, lanjutkan saja sarapannya, biar aku yang temui Dokter Kamila."Wanita yang masih belum pulih seratus persen dari sakitnya itu berdiri, kemudian disusul suaminya yang tak pernah membiarkan istrinya pergi seorang diri. Alina dan Adi keluar dari ruang makan untuk menemui tamunya, sedangkan yang lain kembali menikmati makanannya masing-masing. Kecuali aku. Belum ada satu makanan pun yang masuk ke dalam perut sejak kedatanganku tadi. Bukan tidak mau, tapi pikiran ini pergi mencari alasan mengapa wanita bernama Kamila itu datang ke sini. Bukankah dia musuh keluarga Alina? Atau ... itu hanya akal-akalan dia sebagai mata-mata keluarga Dinata? Astaga ... aku benar-benar pusing mencari jawaban dari pertanyaan yang bersarang di dalam otakku ini. "Tante, kok tidak makan-makan, sih?" Aku mengangkat kepala melihat pada Saffa yang tengah menatapku heran. Bukan hanya anak itu yang matanya memperhatikanku, tapi sekar
Masih dengan mata yang melihat pada Kamila, aku mengambil buah tangan pemberian wanita itu dan membawanya ke belakang. Sungguh aku sangat penasaran dengan apa yang diberikan Kamila padaku. Jika dirasa-rasa, sepertinya benda kecil di telapak tanganku ini sebuah kertas. Aku langsung menyimpan parcel buah di atas meja setelah berada di ruang makan. Kemudian melihat apa yang diberikan Kamila tadi. Dan benar saja, secarik kertas kecil berada di tanganku saat ini. Cepat aku membuka lipatan kertas tersebut hingga nampaklah sebuah kalimat yang membuatku mengerutkan kening. [Bagaimana dengan tawaranku? Kenapa belum menghubungi?] bunyi kalimat yang ada pada kertas tersebut. "Jadi dia ...?" Aku tidak melanjutkan kata-kataku dan langsung memasukkan kertas ke dalam saku celana saat melihat Bi Narsih datang. Wanita itu tersenyum seraya menganggukkan kepala yang langsung kubalas dengan senyum manis. "Buahnya mau dipotong sekarang, Bu?" tanya Bi Narsih kemudian. "Tidak usah, Bi. Cuci dan simp