"Apa harus di sini?" tanyaku seraya mengeratkan gigi. "Lakukan sekarang, bodoh!" umpatnya seraya berlalu. Aku memejamkan mata sejenak, kemudian membukanya kembali dan bergegas pergi mengikuti langkah kaki Alina. Wanita itu benar-benar membuat hidupku menjadi sulit. Aku harus segera melenyapkannya agar Rindu dan Damar bisa tersenyum bahagia. Jadi aku juga bisa turut berbahagia.Bunyi pantofel yang bersentuhan dengan lantai menghadirkan suara layaknya genderang perang yang memberikan kobaran semangat untukku bertindak cepat dalam menyingkirkan Alina. Membuat wanita itu celaka, bahkan sampai tiada. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menghampiri Alina yang tengah duduk di kursi dengan pandangan lurus ke depan melihat beberapa perhiasan yang terpajang indah di sana. Otakku langsung memiliki pikiran buruk saat melihat posisi Alina yang akan mudah sekali untuk aku celakai. Dengan tekad yang kuat, kulangkahkan kaki semakin cepat seraya kedua tangan memegang kepala layaknya orang yan
Aku memekik kaget saat tangan seseorang menampar sebelah pipiku hingga rasa panas menjalar ke seluruh aliran tubuh. Pandangan ini kupertajam menatap seorang pria yang berdiri dengan wajah buruk penuh amarah. "Damar? Sedang apa kamu di toilet wanita?" tanyaku masih memegangi pipi yang tadi ditamparnya. Ah, bodohnya aku. Harusnya pertanyaan itu tidak aku berikan pada Damar. Sudah pasti kedatangan dia ke sini untuk membahas kegagalan yang kulakukan tadi. Damar pasti melihatnya. Damar mendorong dadaku dengan kasar hingga saat ini aku dan dia benar-benar berada di dalam ruangan kecil dan sempit ini. Aku tidak berani bertanya lagi hingga akhirnya tangan besar Damar mencengkram rahangku dengan kuat. "Bodoh!" semprotnya di depan wajahku hingga hembusan napas dia terasa hangat menerpa kulitku. "Aku hampir berhasil, tapi tiba-tiba—""Makanya melek, lihat dulu sebelum bertindak! Kedatangan Adikara satu langkah di belakangmu. Dan kamu tidak menyadari itu?!" "Jika pun aku tahu dia ada di sa
"Permisi, Pak," ucapku hormat seraya membuka pintu. "Masuk." Aldi memberikan perintah. Dengan dagu yang terangkat sedikit, dia menyuruhku untuk duduk di kursi yang ada di depannya. Hatiku waswas, takut jika dia akan bertanya soal Alina. Pasalnya, pada saat di telepon tadi dia tidak mengatakan apa pun padaku. Aldi hanya menyuruhku agar segera datang jika Alina dan Adi sudah tidak bersamaku. Tanpa menunggu nanti, aku pun langsung tancap gas agar bisa sampai ke sini. Dan di sinilah aku berada sekarang. Di depan pria dingin yang belum mengatakan apa pun sejak kedatanganku beberapa menit yang lalu. "Gimana jalan-jalannya?" tanya Aldi membuatku sedikit sesak napas. "Apakah Alina bahagia?" "Tidak tahu, Pak," jawabku asal. "Tidak tahu? Bukannya tadi kamu dengan dia?" "Iya, tapi saya tidak bisa menebak apakah dia bahagia atau tidak. Kadang, hati dan wajah seseorang tidak sama. Mereka sering menutupi rasa duka dengan tawa, pun sebaliknya. Dan saya tidak bisa memastikan apakah seseorang b
"Abang, ada apa dengan Mbak Alina?" Naima kembali bertanya, tapi tidak dijawab oleh Aldi. Pria yang tengah mengendarai mobil seraya berbicara lewat telepon itu memelankan laju mobilnya, kemudian perlahan menepi di pinggir jalan. Jika aku perhatikan, sepertinya ada yang gawat. Dan tadi, Aldi menyebut nama Alina dan bayinya. Apa terjadi sesuatu dengan wanita itu? "Nai, kita tidak bisa ke butik sekarang. Aku harus ke rumah sakit." Aldi menyimpan ponsel ke dashboard mobil. "Mama memberi kabar jika Alina kecelakaan," ujar Aldi panik. "Innalillahi .... Aku ikut ke rumah sakit, Bang," tutur Naima. Aldi mengangguk dan kembali melajukan mobilnya. Di sini, aku diam dengan pikiran berkelana jauh. Mungkinkah Damar dibalik kecelakaan itu? Kecelakaan seperti apa hingga membuat wajah Aldi yang tadinya tenang mendadak berubah menjadi tegang? Aku merogoh ponsel untuk mengirimkan pesan pada Damar. Jika kabar yang kudapat sekarang memang ada hubungannya dengan Damar, maka dia sudah mulai berani
"Aruna. Runa bangun."Aku mengerjapkan mata, menguceknya perlahan hingga tampaklah seorang pria tengah berdiri di sampingku. Gegas aku bangun dan merapikan rambut, kemudian tangan ini meraih blazer yang tadi kusimpan di atas ranjang besar rumah Aldi. "Maaf, Pak. Saya ketiduran," kataku seraya berdiri dengan kepala menunduk. "Tak apa, Run. Justru saya harus mengucapkan terima kasih padamu. Makasih, sudah mau menjaga keponakanku sampai mereka tidur."Aku menoleh ke samping ke mana arah mata Aldi mengarah. Di atas kasur ada dua anak yang terlelap memimpikan kehadiran seorang ibu yang mereka rindukan. Belum satu hari Alina berada di rumah sakit, kedua anaknya itu sudah sangat kehilangan. Jika tidak ada aku, mungkin mereka akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Ada pun Lasmi, dia tidak mampu menjaga dua anak dengan segala kerewelan mereka. Apalagi Syafiq yang masih kecil dan sangat manja. Semuanya harus dilayani tidak bisa melakukan apa pun sendiri."Kamu bisa pulang diantar
"Luna!" Aku membentak gadis itu hingga dia diam dan menunduk. Suasana kembali diliputi keheningan. Luna sibuk mengunyah makanannya dengan wajah yang ditekuk. Aku menyalakan korek api, membakar sebatang rokok yang sedari tadi sudah terselip di jari. Kunikmati malam kelam ini dengan kepulan asap rokok yang beterbangan, lalu menghilang tak berjejak. Kulirik Luna yang masih diam, tapi tangannya terus menyuapkan pizza agar masuk ke dalam mulut. "Kamu lupa, saat-saat kita hidup di kampung dan harus merawat Ibu?" Aku melirik adikku. "Dari mana kita membeli beras, sedangkan aku tidak bekerja?" lanjutku membuat Luna menghentikan suapannya. Dia menoleh ke arahku dengan mengembuskan napas berat. Kemudian tangan itu terulur mengambil kopi kemasan yang berada di samping botol minuman keras. Tanpa menjelaskan lagi, Luna pun sudah tahu jika Damar berperan banyak dalam kelangsungan hidup kami sewaktu di desa. Pria itu menjadi penopang hidup keluargaku hingga akhirnya Ibu meninggal dunia. Dama
"Loh, kok Bapak yang jemput?" Aku terperangah saat ternyata bukan supir keluarga Dinata yang datang menjemputku. Melainkan Aldi, bosku sendiri. Kuamati pria itu sebelum masuk ke dalam mobil. Dia tidak bicara, tapi seseorang yang ada bersamanya menjadi sebuah jawaban. Ada Syafiq yang turut bersama Aldi menjemputku. Anak itu langsung diam ketika melihatku. Matanya masih mengembun dengan jejak air mata uang tertinggal di kedua pipinya. Oh Tuhan ... ada rasa iba dalam diri ini ketika melihat wajah anak itu. Benarkah aku orang jahat karena terlibat dalam kecelakaan ibu dari anak itu?"Masuklah, Run. Kita harus cepat sampai di rumah," ujar Aldi membuatku mengalihkan pandangan dari Syafiq. Aku masuk ke mobil, duduk di samping Aldi seraya menggendong keponakannya. Anak berusia satu tahun setengah itu memelukku dengan tanpa bicara. Tanganku mengusap punggungnya memberikan kenyamanan pada dia yang membutuhkan belaian. "Aku minta maaf sudah menyuruhmu bekerja di jam yang seharusnya kamu m
"Iya, rencananya aku ingin mengundur pernikahanku dengan Naima sampai kondisi Alina benar-benar pulih. Aku tidak bisa melihat adikku seperti itu."Kesedihan begitu terlihat jelas dari raut wajah Aldi. Bukannya ikut bersedih, tapi aku merasakan kesenangan yang luar biasa. Meskipun kesedihan mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Rindu waktu dulu, tapi setidaknya Aldi tahu bagaimana rasanya melihat orang yang disayangi terluka. Sama seperti Damar yang harus merelakan kekasih yang dia cintainya pergi untuk selama-lamanya. "Gimana anak-anak? Tadi aku mendengar Syafiq menangis," ujar Aldi lagi menarik mataku untuk menatapnya. "Oh, iya, barusan Syafiq nangis karena popoknya penuh, Pak. Tapi, sudah kembali tenang," kataku sok paling tahu. Untungnya Lasmi sudah bisa membuat anak itu berhenti menangis, hingga aku berbangga diri karena bisa diandalkan dalam urusan anak. Waktu terus berjalan hingga sekarang matahari sudah mulai meninggi. Aku beserta keluarga Dinata Wiratmadja perg