"Abang, ada apa dengan Mbak Alina?" Naima kembali bertanya, tapi tidak dijawab oleh Aldi. Pria yang tengah mengendarai mobil seraya berbicara lewat telepon itu memelankan laju mobilnya, kemudian perlahan menepi di pinggir jalan. Jika aku perhatikan, sepertinya ada yang gawat. Dan tadi, Aldi menyebut nama Alina dan bayinya. Apa terjadi sesuatu dengan wanita itu? "Nai, kita tidak bisa ke butik sekarang. Aku harus ke rumah sakit." Aldi menyimpan ponsel ke dashboard mobil. "Mama memberi kabar jika Alina kecelakaan," ujar Aldi panik. "Innalillahi .... Aku ikut ke rumah sakit, Bang," tutur Naima. Aldi mengangguk dan kembali melajukan mobilnya. Di sini, aku diam dengan pikiran berkelana jauh. Mungkinkah Damar dibalik kecelakaan itu? Kecelakaan seperti apa hingga membuat wajah Aldi yang tadinya tenang mendadak berubah menjadi tegang? Aku merogoh ponsel untuk mengirimkan pesan pada Damar. Jika kabar yang kudapat sekarang memang ada hubungannya dengan Damar, maka dia sudah mulai berani
"Aruna. Runa bangun."Aku mengerjapkan mata, menguceknya perlahan hingga tampaklah seorang pria tengah berdiri di sampingku. Gegas aku bangun dan merapikan rambut, kemudian tangan ini meraih blazer yang tadi kusimpan di atas ranjang besar rumah Aldi. "Maaf, Pak. Saya ketiduran," kataku seraya berdiri dengan kepala menunduk. "Tak apa, Run. Justru saya harus mengucapkan terima kasih padamu. Makasih, sudah mau menjaga keponakanku sampai mereka tidur."Aku menoleh ke samping ke mana arah mata Aldi mengarah. Di atas kasur ada dua anak yang terlelap memimpikan kehadiran seorang ibu yang mereka rindukan. Belum satu hari Alina berada di rumah sakit, kedua anaknya itu sudah sangat kehilangan. Jika tidak ada aku, mungkin mereka akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Ada pun Lasmi, dia tidak mampu menjaga dua anak dengan segala kerewelan mereka. Apalagi Syafiq yang masih kecil dan sangat manja. Semuanya harus dilayani tidak bisa melakukan apa pun sendiri."Kamu bisa pulang diantar
"Luna!" Aku membentak gadis itu hingga dia diam dan menunduk. Suasana kembali diliputi keheningan. Luna sibuk mengunyah makanannya dengan wajah yang ditekuk. Aku menyalakan korek api, membakar sebatang rokok yang sedari tadi sudah terselip di jari. Kunikmati malam kelam ini dengan kepulan asap rokok yang beterbangan, lalu menghilang tak berjejak. Kulirik Luna yang masih diam, tapi tangannya terus menyuapkan pizza agar masuk ke dalam mulut. "Kamu lupa, saat-saat kita hidup di kampung dan harus merawat Ibu?" Aku melirik adikku. "Dari mana kita membeli beras, sedangkan aku tidak bekerja?" lanjutku membuat Luna menghentikan suapannya. Dia menoleh ke arahku dengan mengembuskan napas berat. Kemudian tangan itu terulur mengambil kopi kemasan yang berada di samping botol minuman keras. Tanpa menjelaskan lagi, Luna pun sudah tahu jika Damar berperan banyak dalam kelangsungan hidup kami sewaktu di desa. Pria itu menjadi penopang hidup keluargaku hingga akhirnya Ibu meninggal dunia. Dama
"Loh, kok Bapak yang jemput?" Aku terperangah saat ternyata bukan supir keluarga Dinata yang datang menjemputku. Melainkan Aldi, bosku sendiri. Kuamati pria itu sebelum masuk ke dalam mobil. Dia tidak bicara, tapi seseorang yang ada bersamanya menjadi sebuah jawaban. Ada Syafiq yang turut bersama Aldi menjemputku. Anak itu langsung diam ketika melihatku. Matanya masih mengembun dengan jejak air mata uang tertinggal di kedua pipinya. Oh Tuhan ... ada rasa iba dalam diri ini ketika melihat wajah anak itu. Benarkah aku orang jahat karena terlibat dalam kecelakaan ibu dari anak itu?"Masuklah, Run. Kita harus cepat sampai di rumah," ujar Aldi membuatku mengalihkan pandangan dari Syafiq. Aku masuk ke mobil, duduk di samping Aldi seraya menggendong keponakannya. Anak berusia satu tahun setengah itu memelukku dengan tanpa bicara. Tanganku mengusap punggungnya memberikan kenyamanan pada dia yang membutuhkan belaian. "Aku minta maaf sudah menyuruhmu bekerja di jam yang seharusnya kamu m
"Iya, rencananya aku ingin mengundur pernikahanku dengan Naima sampai kondisi Alina benar-benar pulih. Aku tidak bisa melihat adikku seperti itu."Kesedihan begitu terlihat jelas dari raut wajah Aldi. Bukannya ikut bersedih, tapi aku merasakan kesenangan yang luar biasa. Meskipun kesedihan mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Rindu waktu dulu, tapi setidaknya Aldi tahu bagaimana rasanya melihat orang yang disayangi terluka. Sama seperti Damar yang harus merelakan kekasih yang dia cintainya pergi untuk selama-lamanya. "Gimana anak-anak? Tadi aku mendengar Syafiq menangis," ujar Aldi lagi menarik mataku untuk menatapnya. "Oh, iya, barusan Syafiq nangis karena popoknya penuh, Pak. Tapi, sudah kembali tenang," kataku sok paling tahu. Untungnya Lasmi sudah bisa membuat anak itu berhenti menangis, hingga aku berbangga diri karena bisa diandalkan dalam urusan anak. Waktu terus berjalan hingga sekarang matahari sudah mulai meninggi. Aku beserta keluarga Dinata Wiratmadja perg
Matahari sudah meninggi, langit semakin terang karena sinar sang surya. Namun, awan mendung begitu pekat menyelimuti mereka yang tengah berduka. Naima beserta keluarganya sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Kini, hanya ada keluarga inti saja di rumah ini. Ketiga orang yang tengah duduk di sofa ruang tengah hanya diam tidak mengeluarkan suara. Pandangannya tertuju pada Syafiq, si balita yang sedang aktif-aktifnya itu. Nakal, lebih tepatnya. "Kenapa kamu diam di sana, Runa?" tanya Aldi padaku. Aku mengerjap mata dan berdehem pelan untuk menetralkan perasaan gugup karena pertanyaan pria itu. "Em ... ini, Pak, saya lupa mau bawa apa, ya tadi dari dapur?" kataku mencari alasan seraya menggaruk pelipis. "Biskuitnya dedek, Tante!" Saffa berteriak mengingatkan. "Oh, iya lupa!" Aku kembali ke dapur untuk mengambil cemilan Syafiq yang sebenarnya sudah ada di atas nampan. Untungnya, Aldi dan kedua orang tuanya tidak memperhatikan nampan yang kubawa, di mana sudah ada makanan Syafiq di
"Kenapa diam? Keberatan?" Damar kembali bertanya. Aku menarik napas dengan sangat dalam, lalu mengembuskannya kasar. "Tentu saja tidak, aku bisa saja membuat dua saudara itu tiada bersamaan. Namun, tidak sekarang. Fokusku saat ini pada Aldi dan pernikahannya yang batal digelar satu minggu lagi.""Apa? Batal?" "Iya," jawabku dengan sebelah bibir terangkat ke atas. "Aldi tidak ingin berpesta di atas lara adiknya. Dia mengundur pernikahan hingga Alina sembuh.""Bukannya katamu Alina setres?" Lagi-lagi Damar bertanya. Waktu itu aku memang memberikan informasi demikian pada Damar. Padahal sebenarnya aku belum bisa memastikan keadaan wanita itu yang sebenarnya. Benarkah setres, atau hanya tekanan mental biasa. "Sekarang aku akan memastikannya," pungkasku tak ingin terlalu panjang membahas tentang Alina. Damar terus memacu kendaraannya hingga kini aku dan dia sudah berada di depan rumah sakit di mana tempat Alina dirawat. Aku mengemasi barang yang harus dibawa ke dalam, yaitu pakaian
"Bagiamana keadaanmu sekarang, Al?" "Sudah membaik, Tante. Terima kasih sudah menyempatkan datang," jawab Alina pada calon mertua kakaknya itu. Aku terpaksa berdiri agar Tante Ratna dan Naima bisa duduk di dekat Alina. Saat ini, aku sedang tau diri akan posisi yang masih sebagai bawahan. Naima menyimpan tentengan yang ia bawa ke atas meja. Kemudian wanita itu duduk di kursi yang ada di samping ranjang. Sedangkan Tante Ratna, dia duduk di pinggir ranjang seperti yang tadi aku lakukan. "Syukurlah kalau kamu sudah membaik, Al. Tante tahu, kehilangan seorang anak memang berat, tapi hidup harus terus berjalan, bukan? Sembuhlah, untuk kami semua."Alina mengangguk lemah. Dia tidak tahu, jika kalimat yang diucapkan Tante Ratna adalah sebuah kode, kalau dirinya dan keluarga tengah dalam kesedihan. Bagaimana tidak, anak semata wayangnya harus gagal menikah karena kecelakaan yang menimpa Alina. Dan wanita itu belum mengetahuinya. Alina belum sempat mengambil ponsel dan melihat berita kare