"Bagiamana keadaanmu sekarang, Al?" "Sudah membaik, Tante. Terima kasih sudah menyempatkan datang," jawab Alina pada calon mertua kakaknya itu. Aku terpaksa berdiri agar Tante Ratna dan Naima bisa duduk di dekat Alina. Saat ini, aku sedang tau diri akan posisi yang masih sebagai bawahan. Naima menyimpan tentengan yang ia bawa ke atas meja. Kemudian wanita itu duduk di kursi yang ada di samping ranjang. Sedangkan Tante Ratna, dia duduk di pinggir ranjang seperti yang tadi aku lakukan. "Syukurlah kalau kamu sudah membaik, Al. Tante tahu, kehilangan seorang anak memang berat, tapi hidup harus terus berjalan, bukan? Sembuhlah, untuk kami semua."Alina mengangguk lemah. Dia tidak tahu, jika kalimat yang diucapkan Tante Ratna adalah sebuah kode, kalau dirinya dan keluarga tengah dalam kesedihan. Bagaimana tidak, anak semata wayangnya harus gagal menikah karena kecelakaan yang menimpa Alina. Dan wanita itu belum mengetahuinya. Alina belum sempat mengambil ponsel dan melihat berita kare
"Mama ...." Naima menyebutkan wanita yang berdiri tak jauh dariku. Tante Ratna menghampiri kami dan berhenti tepat di samping meja kami. Dia melihatku dan putrinya bergantian, kemudian ikut duduk di kursi kosong.Aku menunduk, merasa cemas dengan kedatangan dia yang tiba-tiba. Akankah wanita itu menuduhku sebagai pembuat fitnah? Tapi ... dari jawaban dia tadi, sepertinya Tante Ratna ini, juga kesal pada keputusan Aldi dan keluarganya. "Mama setuju dengan apa yang dikatakan Aruna mengenai Alina. Pasti dia yang sengaja meminta Aldi untuk menunda pernikahan kalian," tutur Tante Ratna pada putrinya. Aku tersenyum mendengar ucapan wanita itu. Ternyata dia ada di pihakku. Wajah Asli Tante Ratna nampak lebih nyata sekarang ini. Keihklasan dia menerima kenyataan putri semata wayangnya yang gagal menikah, ternyata hanya topeng. Di dalam hatinya menyimpan rasa kecewa yang luar biasa. "Maaf, Bu saya sudah lancang menceritakan hal yang sangat pribadi pada Ibu Naima dan Bu Ratna. Maaf ...." A
"Bu, maaf saya harus pulang, sudah ditelpon Pak Aldi," kataku setelah menerima panggilan. "Silahkan, Aruna. Aku titip anak-anak padamu, ya? Kata Gang Aldi, Syafiq dekat dan lebih suka bermain denganmu."Aku tersenyum malu-malu merasa tersanjung dengan ucapan Alina. Aku selalu mengandalkan pikiran dalam setiap tindakan. Termasuk dalam mengasuh Syafiq. Aku bela-belain mencari tahu tentang bagaimana cara menaklukkan anak kecil dari internet, agar bisa dekat dengan balita nakal itu. "Saya memang suka anak kecil, Bu. Jadi ... dekat dengan mereka suatu kebahagiaan bagi saya," ujarku penuh kepalsuan. Alina tersenyum kecil. Wanita itu membiarkan aku mengambil pakaian kotor serta wadah kosong bekas makanan dari rumah untuk kubawa pulang. Saat hendak keluar dari kamar rawat inap Alina, tiba-tiba Adi menyuruhku menunggu. Aku kira dia akan memberikan uang ongkos taksi padaku, tapi ternyata bukan. "Kamu pulang bareng saya saja," ujar pria berbadan tinggi tegap itu. Aku tidak langsung menjaw
"Papaaaaah ...!" Teriakan serta tepukan tangan dari Saffa dan Syafiq menyambut kedatangan kami. Kedatangan Adi, lebih tepatnya. Kedua anak-anak itu langsung menghambur ke pelukan Adikara saat pria itu turun dari mobil. Seperti biasa, aku turun belakangan seraya menenteng barang-barang. Dua paperbag berisikan mainan anak-anak, juga makanan serta tas besar berisikan baju kotor milik Alina. Lasmi yang melihatku kesusahan, langsung menghampiri dan membantuku membawa barang tersebut. Huft! Nasib masih bawahan. "Papa, Mama mana? Kok, enggak pulang?" tanya Saffa masih bergelayut manja di tangan ayah tirinya itu. Sedangkan Syafiq, dia sudah berada di gendong Adi. Aku berjalan mendahului Adi dan langsung masuk masuk ke rumah besar Dinata Wiratmadja. Aku meletakkan dua paper bag di atas meja ruang tengah, kemudian pergi ke dapur untuk mengambil air minum. "Bu Runa, ini cucian semua?" tanya Bi Narsih memegang tas yang tadi diambil Lasmi. "Betul, Bi," kataku singkat, lalu melanjutkan me
Tidak lama Adi berada di rumah Dinata. Dia kembali ke rumah sakit meninggalkan anak-anak yang masih merindukannya. Syafiq dibuat menangis karena ingin ikut bersama ayahnya, hingga akulah yang sekarang repot olehnya. Berusaha menenangkan dia, membujuk agar mau masuk ke rumah setelah kepergian Adi. "Papa ...!" rengek anak itu masih cadel. Tangannya menunjuk ke gerbang yang masih terbuka, bekas keluarnya mobil Adikara."Cup-cup, Sayang ... kita masuk, yuk! Nanti, Papa pulang lagi, kok," kataku mengangkat tubuh gemuk Syafiq yang saat ini terduduk di lantai teras rumah. Namun, anak itu malah berontak. Dia langsung tiduran di lantai masih dengan tangis memanggil ayahnya. Aku yang capek membujuk, ikut duduk seraya terus memperhatikan anak bungsu Alina itu. Tanganku terkepal menahan rasa kesal yang bercampur aduk dengan emosi. Seketika ucapan Damar yang menyuruhku melenyapkan Syafiq, terlintas dalam benak. Haruskah aku melakukannya? Jika aku berhasil melenyapkan anak itu, pasti pekerj
"Tiga!" kataku seraya berdiri. Tawa Syafiq semakin lepas ketika aku mengulang berhitung, lalu menurunkan tubuhnya hingga kaki anak itu menyentuh air. Kemudian aku berdiri lagi dan akhirnya menggendong balita yang terlihat sangat senang dengan apa yang aku lakukan.Beberapa kali aku menarik napas untuk menghilangkan kegugupan yang sempat menyelimuti diri. Untung saja aku cepat menyadari jika di belakang sana ada seseorang yang tengah memperhatikanku. Aldi, dia beridiri di balik pintu kaca dengan pandangan lurus ke arahku dan Syafiq. Dari mana aku? Dari kaca di sebrang kolam yang ada di depanku. Air mancur berdindingkan kaca tebal dan besar itu memantulkan bayangan Aldi sehingga aku bisa melihat dia ada di belakangku. "Aruna!" Aku membalikkan badan menoleh pada pria itu. "Loh, kok Bapak ada di sana? Bukannya mau ke rumah sakit?" Aku balik bertanya seraya mengahmpiri Aldi. "Kunci mobilku ketinggalan," katanya, "jangan main di pinggir kolam, bahaya!" lanjut Aldi lagi memberikan p
"Dari mana aja, jam segini baru pulang?" Huft! Baru saja masuk rumah, sudah disambut wajah jutek Damar dengan nada bicara yang tak enak didengar. "Kerja lah, dari mana lagi." "Kok, enggak diantar supir lagi? Mana nomormu gak aktif, lagi. Ngapain aja, sih di sana?" cecar Damar mengikutiku sampai ke kamar. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan dilipat di perut. Sebelah pundaknya menempel pada daun pintu yang terbuka lebar. "Hapeku mati dilempar anaknya si Alina!" Aku merogoh tas mengambil ponsel dari sana. "Nih,!" lanjutku lagi melemparkannya hingga benda pipih itu mendarat tepat di kaki Damar. Aku membuka blazer, melemparnya asal saking kesal dan lelahnya. Sudahlah tadi jalan kaki dari rumah Dinata Wiratmadja sampai ke depan kompleks, terus sekarang malah dicecar dengan setengah dimarahi. Lengkaplah sudah penderitaanku hari ini. "Aruna ... Aruna! Bodohmu memang tidak ada obat, ya? Kenapa harus pulang dengan membawa barang rongsokan ke sini?""Maksudmu aku harus bu
Bukan pada Luna kali ini mataku berfokus. Melainkan pada dua sejoli yang saling merangkul mesra dengan sesekali melempar tawa penuh cinta. "Kakak!" ujar Luna saat melihat kedatanganku. Namun, aku abaikan dia yang sudah ketakutan. Kuhampiri meja lain dengan beberapa orang melingkar menikmati momen bahagia penuh canda. Emosi sudah menguasai diri membuatku gelap mata hingga akhirnya melayangkan tangan menampar pria yang pernah mengucapkan kata cinta padaku. "Aruna!" Yoga terlonjak kaget melihatku dengan tindakan yang mengejutkan semua orang. Wanita yang sedari tadi bergelayut manja padanya, melepaskan diri. Menjauhkan tubuhnya dari Yoga dan menghindari tanganku yang hendak menjambak rambut lebat nan tergerai indah itu. Dadaku naik turun. Amarah sudah berada di puncaknya sehingga mengabaikan teriakan Yoga. Hingga akhirnya, tangan pria itu mencekal pergelangan tanganku, lalu menyeretnya ke luar dari kafe."Lepas!" kataku berontak. "Diam! Dasar wanita gila!" umpat Yoga masih mencekal