Prang!“Aduh!”Suara pecahan sampai ringisan terdengar dari arah pintu membuat Kinara dan Aavar spontan menoleh. “Lusi?” pekik Kinara dengan terkejut kala melihat Lusi terjatuh dengan sebuah makanan yang berhamburan di depanya. Dengan segera Kinara berlari untuk membantu, Aavar pula terkejut membuat pria itu ikut berlari untuk melihat. “Ya ampun Lusi, kenapa bisa jatuh begini?” “Ah, kak, sakit.” Lusi terpekik kala Kinara mencoba untuk membantunya. Bagian sikunya yang terkena lantai habis jatuh di sentuh oleh Kinara. “Owh, maaf.” Dengan pelan Kinara membantu Lusi agar gadis itu terduduk. Terdengar ringisan kecil dari mulutnyaooi“Makannya kalau jalan pake mata,” ucap Aavar membuat Lusi menatapnya tajam. “Jalan pake kaki, Kak. Kalau mata buat liat.”“Ya itu tau, kenapa pula harus terjatuh hm, adik manis?” Aavar menertawakan Lusi yang tampak kuyu, dia mengerucutkan sedikit bibirnya. “Namanya kecelakaan gak bisa diprediksi.”“Itu mah kamunya aja yang ceroboh, kalau lebih berhati-hat
“Dek, kakak pergi ke rumah sakit dulu ya, mau lihat keadaan Mas Aarav,” ucap Kinara dengan menatap Lusi yang tengah belajar. Adiknya itu sedang ujian kelulusan, untuk itulah Lusi memintanya agar menemaninya tadi. Bukan semata-mata karena ingin ditemani mandi, melainkan belajar. “Lusi juga mau ketemu Kak Aarav, Kak. Lusi belum ke sana.” Lusi langsung berbinar. Pasca ulang tahun yang gagal Lusi tidak tahu keadaan kakak iparnya itu, bahkan sampai hari ini. “Tapi Lusi kan lagi ujian?”“Pulangnya kan bisa?” jawab Lusi dengan cepat. “Please, Kak. Lusi juga pengen jengukin kak Aarav.”Kinara menghela nafas. “Baiklah, sekarang Lusi siap-siap dulu, tapi gak boleh lama-lama ntar kesorean.”“Siap Kak!”**Kinara terdiam dari dalam mobil, wanita itu hanya menatap ke arah kaca jendela enggan menoleh pada pria di sampingnya. Sialnya dia Devan! Sekarang ia tengah berada di dalam mobil dengan Devan yang mengendarainya. Kenapa bisa bersama? Karena kebetulan Aavar sedang tidak ada di rumah, entah ke
“Mas … ku mohon, bangunlah. Bangun Mas ….” Kinara menangis di dalam punggung tangan suaminya. “Aku mohon sadarlah!” ucapnya setengah berteriak. “Jika kau tidak bangun aku akan pergi bersama Devan. Kau dengar? Aku akan pergi dengannya.” Kinara merengut dalam menatap Aarav, namun masih sama, Aarav suaminya tidak kunjung sadar dari komanya. “Aku bingung Mas … hatiku bingung. Tolong, tolonglah sadar Mas … bagaimana caranya agar hatiku tertaut hanya pada satu orang? Aku bingung dengan perasaan ini Mas ….”Kinara mengusap pipinya yang basah. Teringat kembali akan beberapa jam yang lalu… “Kalau begitu … tolong, kembalilah Kinar. Tolong ….” Kinara mati kutu, mendadak dirinya tidak bisa bergerak ataupun membuka suara. Merasakan pelukan hangat yang Devan beri berhasil membuat otaknya terasa diputar balikan. Hilang kendali untuk menolaknya. “Kamu tau kan kalau aku cinta kamu,Nar? Dan aku juga tau kalau kamu masih cinta aku Kinar. Aku tau itu,” ujar Devan lirih. Pelukan hangat yang tidak per
”Mas, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Kinara pada Aavar.Pagi ini Aavar menyempatkan diri untuk melihat keadaan saudaranya. Seperti biasa, Kinara lah yang paling sering menemani dari malam sampai pagi menjelang. Dan pagi ini masih sama, Kinara tengah duduk di kursi dekat Aarav, sedang Aavar berada di sebrangnya. “Tanya apa?” Aavar melihat kedua mata Kinara tampak bengkak, seperti habis menangis. Terlebih perempuan itu pasti kurang tidur karena terus-menerus menemani Aarav siang-malam. Padahal sebelum-sebelumnya Aavar sering meminta Kinara untuk ia saja yang menemani Aarav, tapi perempuan itu selalu menolak. Katanya ia mau Aarav melihat istrinya sebelum melihat orang lain. Yah, mungkin sebegitu cintanya Kinara pada Aarav pun sebaliknya,Aarav pada Kinara, menjadikan keduanya ingin terus bersama. “Mas Aavar pasti pernah jatuh cinta, kan?” tanya Kinara. Aavar mengernyitkan alisnya. Sebelum menjawab pria itu duduk di kursi yang ada di dekatnya—pinggir Aarav. Alhasil sekarang antara
Aavar tersenyum melihat ketulusan Kinara pada Aarav. Perempuan itu pasti sangat putus asa karena suaminya tak kunjung buka mata, membuat Aavar ikut merasakan sedih saja. Pertanyaan yang sempat Kinara lontarkan kini beralih topik, keduanya terdiam dengan pikiran yang sama-sama mengarah pada Aarav. “Kira-kira, kapan ya Mas Aarav akan sadar?” tanya Kinara. Perempuan itu mengelus punggung tangan suaminya yang di tempeli oleh selang infus. “Sudah hampir mau seminggu, tapi Mas Aarav tak kunjung buka mata,” ucapnya. Tatapannya sayu,bola mata hitamnya memancarkan sebuah kerinduan yang amat dalam, cairan bening menjadi saksi akan harapannya yang kian membungkah, berharap bahwa Aarav segera sadar. Aavar hanya bisa diam. Sembari melihat ke arah Aarav, pria itu berkecamuk dengan isi pikirannya. “Ada suatu hal yang harus aku katakan padamu, Kinar,” ucap Aavar setelah beberapa menit terdiam. Kinara mengernyit, pembicaraan apa? tanyanya dalam hati. “Harusnya aku bicarakan ini dengan kakek juga
Perjuangan dalam mencari dalang dibalik kecelakaan Aarav nyatanya tak membuahkan hasil. Terbukti satu bulan ini Aavar, Kinara maupun Vanzo tak menemukan kecurigaan apapun. Tak menemukan bukti apapun dan tak menemukan apa-apa yang membuat mereka curiga. Semuanya bersih, tidak ada yang mampu mereka curigai. Ya, nyatanya satu bulan lebih mereka mengawasi setiap orang yang ada. Dan sudah satu bulan pula Aarav masih koma, masih setia dengan tidurnya yang terhitung amat lama ini. Awal mula mereka mencurigai Devan, namun pria itu sampai sejauh ini tak melakukan apapun. Bertanya? Jelas akan membuat pria itu curiga. Atau … akan menjadi masalah teruntuk Aavar, Kinara, maupun Vanzo sekalipun. Dan lagian, dari sisi Devan pun memang tidak ada hal yang perlu dicurigai. Laki-laki itu sering datang satu minggu sekali untuk melihat keadaan Aarav, dengan penjagaan yang super ketat menjadikan wajah di balik layar itu tertutup sifat aslinya. Sebenarnya siapa orang yang masih menjadi abu-abu itu? Siap
“Aaaa… !” Kinara terpekik heboh. Tak bisa mengendalikan rasa bahagianya Kinara memeluk tubuh Aarav sampai pria itu terperanjat, kaget. “Aduh!” Aarav meringis, membuat Kinara tersadar bahwa ia terlalu erat dalam memeluk suaminya. “Maaf, Mas. Kinara terlalu kencang ya,” ujarnya cengengesan. Tatapan mata itu saling bertemu dalam pancaran penuh kerinduan. Baik Aarav maupun Kinara keduanya saling melepas rasa rindu tersebut. Aarav yang masih terbaring berinisiatif untuk bersandar, dengan sigap Kinara membantu pria itu yang masih lemah. “Kalo gak kuat baringan aja, Mas.” Aarav menggeleng. “Mas baik-baik aja,” jawabnya tersenyum tipis. Pria itu kini tengah bersandar pada sisi ranjang. Matanya masih sayu, bibirnya masih terlihat pucat, namun senyum itu … tidak bisa mengalahkan aura hagiaannya saat melihat Kinara. Aarav menghela nafas sejenak, menoleh pada Kinara yang juga menatapnya. Hendak membuka suara namun tiba-tiba Kinara menangis. Menangis yang berhasil membasahi pipinya. Aarav
“Makan yang banyak ya Mas, biar badan Mas kembali ngisi,” ujar Kinara sembari menyuapi makanan ke dalam mulut Aarav.“Selama sebulan ini badan kamu semakin kurusan saja, Rav. Berbeda denganku, lihat?” Aavar yang berada di sebelah Aarav menaikan kaos lengan pendeknya, memperlihatkan otot-ototnya yang keluar. Begitu padat nan kekar. “punyaku besar nan keren kan? Kinar saja sampai tak berkedip,” ucap Aavar diiringi tawa. Kinara ikut tertawa, merasa terhibur atas humor yang dibawakan Aavar. Namun berbeda dengan Aarav, pria itu merasa tidak terima jika dibandingkan begini, apalagi Aavar yang membawa-bawa nama istrinya. Hal tersebut terlihat jelas dari mukanya. “Kau kira aku gak punya, heh?” Aarav merasa tersaingi, pria itu menaikan tangan kirinya dengan gagah berani. “Lihat? Ak--aw!”“Mas?” Kinara terkejut panik saat Aarav meringis sakit. Tangan yang sempat Aarav angkat kembali turun. “Udah tau Mas masih lemah, so-soan kuat lagi!” Kinara menggeleng, menarik pelan lengan Aarav agar lurus