Naomi Rosalina Mahuze terlahir dari keluarga berada. Ayahnya seorang pengusaha properti yang sukses, sementara ibunya pemilik restoran ternama di kota. Namun, semua itu hilang saat satu per satu badai di kehidupannya melanda. Kehilangan orang tua, kehilangan harta benda, kehilangan kenikmatan hidup yang selama ini dia miliki. Pada akhirnya dia harus merelakan dirinya mengikuti sang Tante yang seorang wanita malam. * Alexander Darren Smith, seorang CEO dari perusahaan besar yang sukses di usianya yang relatif muda. Memiliki banyak properti, investasi di berbagai tempat, serta beragam barang-barang mewah bisa dia beli dengan mudah. Namun, satu yang tidak dia miliki, keluarga. Masa lalunya yang suram menjadikannya lelaki berhati dingin, sebelum dia bertemu dengan seseorang di masa lalu, yang perlahan-lahan berhasil meluluhkan gunung es hatinya yang selama ini beku. ***
View More"Berapa harganya?" Seorang pria paruh baya berambut klimis bertanya kepada wanita yang berdiri di sampingku.
"Tujuh juta dolar, Tuan. Dia baru di sini. Masih segel," jawab wanita yang harus kupanggil Mami itu.
Pria tambun dengan jas yang terlihat tak mampu menutupi perut buncitnya itu memindaiku dari atas ke bawah. Matanya menyipit, seperti sedang menilai kelayakanku. Setelah menimbang beberapa saat, dia berujar.
"Baiklah, aku ingin dia malam ini." Kemudian, pria itu berlalu meninggalkanku dan Mami di sini.
Setelah kepergiannya, Mami menepuk bahuku dan berkata dengan penuh penekanan, "Rose, layani Tuan Rob dengan baik. Dia pelanggan tetap Mami."
Aku mengangguk ragu, meski dalam hati bertanya, bagaimana caranya melayani yang baik?
Mami mengajakku ke sebuah ruangan tempat para gadis sepertiku bersiap sebelum mulai bekerja.
Aku mendudukkan diri di kursi depan meja rias, lalu tangan lentik Mami mulai menunjukkan keahliannya merias wajah. Eye shadow smokey eyes dan lipstik merah terang menghiasi wajahku setengah jam kemudian. Mami berdecak kagum, mungkin bangga melihat hasil kerjanya. Setelah menyuruhku mengganti baju dengan dress merah selutut yang bagian bahunya terbuka, Mami mengantarku ke tempat di mana laki-laki tadi menunggu.
Kami turun ke lantai satu, tempat manusia-manusia yang ingin menghilangkan penat berkumpul jadi satu. Mereka berjejal-jejalan di dance floor, melenggak-lenggok serempak menggerakkan tubuh mengikuti irama musik layaknya cacing dalam bejana.
Beberapa orang terlihat duduk di sofa-sofa yang disediakan di sudut-sudut ruangan. Ada yang meracau tak jelas sembari mencekik leher botol, ada pula yang asik bercumbu dengan kekasihnya, atau selingkuhan—atau mungkin seseorang yang baru mereka temui malam ini? Entahlah.
Beberapa orang lebih memilih duduk di depan meja bar, bercengkrama dengan bartender sembari menikmati minuman di gelas masing-masing. Semua suara bercampur menjadi satu, memekakkan telinga. Lampu sorot redup warna-warni yang berkelap-kelip membuat kepalaku terasa pening.
Aku bahkan belum menginjakkan kaki di lantai satu, tapi melihat penampakan tempat itu dari balkon lantai dua saja sudah membuat kepalaku nyut-nyutan. Bagaimana jika aku sampai ke sana? Apa aku akan pingsan?
"Rose," tegur Mami saat melihatku mematung.
Aku menelan ludah. Lalu, dengan perlahan mengayunkan kaki mengikuti Mami yang telah terlebih dahulu menuruni satu-satu anak tangga.
Langkahku terseok, sementara jemariku mencengkeram erat railing tangga besi yang menjadi tumpuan tangan. Sepatu heels merah yang kupakai menjadi alasan mengapa aku kesusahan berjalan —selain degup jantung yang berpacu terlalu kencang, tentu saja.
"Rose, bergegaslah. Jangan buat tamu pertamamu menunggu lama!" tegas Mami.
Aku terkesiap, lantas berusaha sebisa mungkin mempercepat langkah. Meski harus sesekali terpincang karena sepatu yang kugunakan, namun pada akhirnya aku sampai di bawah dengan selamat.
Sekali lagi, aku harus berhadapan dengan pria buncit di depanku ini. Kini, matanya tidak lagi memicing, tetapi justru melotot. Kurasa sebentar lagi kedua bola mata itu akan melompat keluar dari tempurungnya. Seringai di bibirnya yang hitam menambah kesan menyeramkan laki-laki itu di mataku.
"Polesanmu memang tidak pernah gagal." Pria itu mencolek dagu Mami. Aku bergidik melihatnya.
Anehnya, Mami justru tersipu malu. "Silakan, Tuan. Rose sudah siap."
Tuan Rob mengangguk setuju, dia merangkul bahuku. "Ayo, cantik."
"Ke mana?" tanyaku sembari menahan langkah.
Dia terlihat menautkan alis. "Aku tidak suka bermain di sini. Kita ke hotel langgananku saja." Dia melanjutkan langkah, tetapi detik berikutnya kembali berbalik. "Oh, iya, aku mengeluarkan biaya yang tidak murah untuk memesanmu. Jadi, kuharap pelayanan yang kau berikan juga sebanding dengan itu."
Tuan Rob kembali merangkul bahuku dan mengajakku keluar. Namun, belum sampai tiga langkah, seseorang telah terlebih dahulu menahan kami.
"Tunggu!" Suara serak dari laki-laki itu mengalahkan dentuman musik. Kami menoleh.
Dalam keremangan lampu disko, tubuh tegapnya terlihat mendekat ke arahku. Tangannya bergerak membuka kancing jas yang dia kenakan. Rahang kokoh yang membingkai wajahnya begitu tegas, memancarkan aura menyeramkan, sekaligus mempesona di waktu bersamaan.
Pria itu menghentikan langkah tepat di depanku. Tatapannya beradu pandang dengan manik kecoklatan milikku, membuat pipiku terasa menghangat. Aku menunduk demi menyembunyikan rona wajah, yang belum tentu bisa dia lihat.
"Aku ingin dia," ucapnya tanpa basa-basi. Membuatku mendongak.
"T-tapi ... dia sudah dipesan Tuan Rob." Mami mendekat dan berusaha menjelaskan.
"Berapa Anda membelinya?" tanya lelaki itu pada Tuan Rob.
"Tujuh juta dolar."
Lelaki tampan dengan bulu-bulu halus menghiasi rahangnya itu terlihat mengangguk-angguk. "Kalau begitu, aku akan membelinya darimu 10 juta."
"Tidak. Aku tidak butuh uangmu. Aku hanya butuh dia untuk menemaniku malam ini." Tuan Rob menoleh ke arahku sambil menyeringai, sekali lagi aku bergidik.
"Ma'am, aku akan membayarnya 10 juta, jadi serahkan dia padaku." Lelaki itu mengalihkan pandangan ke arah Mami.
Mami terlihat berpikir. Aku tahu, baginya uang sebanyak itu pasti terasa sayang untuk dilewatkan.
"Kalau begitu, aku akan menambahkan transferanku menjadi 12 juta." Tuan Rob tak mau kalah.
"Aku akan membelinya 15 juta."
"Dariku 17 juta."
Lelaki di depanku menghela napas. "Penawaran terakhir, 50 juta dolar. Deal?" tanya lelaki tampan itu kepada Mami. Sedangkan, di sebelahku, Tuan Rob mematung.
"Bagaimana, Tuan? Apa kau mau menaikkan harganya lagi?" tanya Mami memecah keheningan di antara kami.
Tuan Rob melirikku sekilas. "Membuang uang 50 juta hanya untuk wanita ini, kurasa bukanlah keputusan yang bijak." Dia mendorongku pelan ke depan, ke arah lelaki yang sedari tadi tak berhenti menatapku. "Silakan ambil. Aku bisa cari wanita lain."
Tuan Rob melenggang pergi setelah mengatakan itu, sementara lelaki yang kini berdiri di sampingku tersenyum senang, merasa menang. Mami mengejar Tuan Rob yang keluar dari tempat ini sembari menghentakkan kaki, meninggalkan aku dan lelaki di sampingku, berdua.
Setelah bayangan Tuan Rob dan Mami menghilang di balik pintu kaca besar tempat mereka keluar, lelaki yang berdiri di sampingku menoleh. Dia membungkukkan badan, membuat wajahnya sejajar dengan wajahku, kemudian menarik kedua sudut bibir.
"Long time no see."
***
Hari mulai gelap, dan aku masih mondar-mandir di depan jendela kamar, menatap cemas ke jalanan temaram di luar sana. Sudah beberapa hari aku terkurung di kamar ini karena Darren sama sekali tak mengizinkanku keluar, bahkan hanya untuk ke taman belakang rumah. Jangankan taman, untuk ke dapur saja aku harus memohon kepada para pelayan dan bodyguard, karena mereka sama sekali tidak membiarkanku meninggalkan kamar ini. Aku sangat yakin ada yang Darren sembunyikan dariku. Sikapnya akhir-akhir ini sangat aneh. Terlalu overprotektif tanpa alasan yang jelas. Aku benar-benar ingin menyelidiki apa yang sebenernya terjadi, tetapi aku bingung harus memulainya dari mana. Lagi pula, Darren sama sekali tidak mau menjawab pertanyaanku. Lelaki itu juga jelas sedang menghindar karena semakin jarang terlihat di rumah. Lama-lama aku bisa gila jika terus-menerus dikurung seperti burung dalam sangkar begini! Deru mesin mobil memasuki carport membuatku menoleh seketika ke arah pintu. Itu pasti Darren. L
Dua Minggu pasca insiden penembakan, keluarga Sanchez semakin gencar melakukan penyerangan. Wilayah-wilayah bagian timur telah habis dikuasai Kartel Sanchez. Sepertinya usaha Bill untuk melakukan negosiasi berakhir gagal dan Darren harus mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Lelaki itu menggoyangkan gelas kristal berisi whiskey dan es batu yang sudah mulai mencair dengan tatapan kosong ke depan. Berdiri di depan meja bar dengan sebelah tangannya menopang dagu. Dahinya berkerut sesekali, lalu mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya menenggak minumannya hingga tandas. Dia mengunyah es batunya dengan tatapan kosong yang tajam. Jelas sekali terlihat kepanikan dan ketegangan dari raut wajahnya. Banyak hal yang dia pikirkan di situasi seperti ini. Sedikit banyak dia menyesali beberapa hal yang dia lakukan dalam kurun waktu beberapa bulan ini. Salah satunya adalah keputusannya untuk menikahi Naomi. Entah apa yang ada di benak lelaki itu saat dengan mudahnya menyuruh Naom
Sudah empat hari aku dirawat di rumah sakit. Selama empat hari itu pula Darren setia menjaga dan merawatku di sini. Meskipun tak jarang di malam hari saat aku hendak tertidur, dia menyelinap keluar untuk pergi entah ke mana. Lalu pagi harinya dia sudah kembali berada di sofa, menyapaku yang baru bangun tidur. Beberapa kali Ainsley juga datang lagi hanya untuk menjagaku. Katanya, Darren yang meminta. Hubunganku dengan Darren pun kurasa tak lagi setegang dulu. Meskipun cara bicaranya masih dingin dan terkadang ketus, aku bisa merasakan sisi lembut dari perhatiannya padaku selama sakit ini. Kadang kala Darren melontarkan candaan, atau kadang mengajakku berbincang hanya demi mengenyahkan rasa sepi yang tak mengenakkan. Kurasa aku sudah tak lagi terlalu takut jika harus berduaan dengan lelaki itu.Karena kondisi kesehatanku yang cukup stabil, aku diperbolehkan pulang hari ini. Namun, karena lukaku masih basah maka aku diharuskan beristirahat dari kegiatan berat selama beberapa hari ke dep
Deru mesin mobil yang bersahut-sahutan memecahkan keheningan malam. Lampu mobil menyorot tajam menembus kegelapan. Tiga buah mobil; abu-abu, hitam, dan merah—yang saling berkejaran melaju dengan kecepatan tinggi membelah rute jalanan Abercado menuju Hillston. Memasuki salah satu boulevard, mobil terdepan berbelok masuk ke arah sebuah pelataran rumah megah.Darren turun dari BMW abu-abunya setelah menghentikan kendaraan itu di halaman parkir dekat teras bawah. Disusul di belakangnya Zach, dan mobil merah milik Orlando terparkir terakhir.Kakeknya sedari tadi menghubungi bahwa perusahaannya dan perusahaan milik Sanchez sedang berada dalam perebutan sengit mengenai pembagian wilayah penjualan. Sebelumnya, hal-hal seperti ini tak pernah terjadi, karena kedua perusahaan itu akan selalu bekerja sama dalam berbagai hal, entah untuk penyelundupan, maupun penjualan barang.Namun, sepertinya masalah mulai muncul saat keduanya mulai mencampuradukkan antara masalah pekerjaan dan masalah personal.
Di sore hari setelah kepergian Ainsley dan Amber, Darren baru memunculkan batang hidungnya di hadapanku. Wajahnya terlihat lelah, atau seperti sedang memendam sesuatu. Dia masuk lalu duduk di kursi di samping ranjangku. Matanya memindai piring kosong di atas nakas."Sudah minum obatmu?" tanyanya memastikan, meski aku yakin dia tau jawabannya.Aku hanya mengangguk. Rasanya canggung sekali berada dalam satu kamar dengan Darren. Ini mengingatkanku pada kejadian di malam pertama kami kembali bertemu.Darren hanya mengedikkan bahu dan tak mengatakan apa pun lagi. Dia beranjak duduk di sofa panjang yang tepat berada di seberang ranjangku. Tangannya merogoh ponsel, kemudian terlihat berkutat dengan benda itu. Huft. Lagi-lagi dia sibuk dengan dunianya. Aku tau dia adalah seorang CEO dari perusahaan ternama, wajar jika dia sesibuk itu. Namun, apakah sopan bila menjenguk seseorang yang sedang sakit tetapi malah sibuk sendiri dengan ponselnya? Dasar lelaki tidak tau tata krama!Sepertinya dia s
Hal pertama yang aku lihat saat aku membuka mata adalah langit-langit kamar berwarna putih, selang infus di tangan, juga aroma antiseptik yang memenuhi seluruh ruangan segera menusuk penciuman. Lalu, saat menoleh ke kiri, di sana ada Darren. Duduk di sisi brankarku sambil menelungkupkan wajah ke kasur brankar dengan lengan yang menjadi penopangnya. Matanya memejam. Nafasnya teratur dan tenang. Punggungnya terlihat naik turun dengan irama konstan setiap kali dia menarik napas.Aku memutar otak, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. Yang kutahu aku sedang berada di rumah sakit. Tapi kenapa?Ah, benar. Makan malam di rumah Ainsley, lalu terdengar suara tembakan dari balik pohon di halaman belakang rumah. Begitu otakku berhasil mengingat kejadian itu, aku baru menyadari rasa nyeri yang menyengat di bahu sebelah kiri. Kulirik bahuku. Di sana memang ada perban. Telapak tangan kananku juga diperban, sementara selang infus ada di punggung tangan kiri.Sekarang aku mengerti apa y
"Chill out, Dude. Bisakah kau memperlakukan perempuan dengan lebih gentle?" Zach berdiri di depanku, seakan ingin melindungiku dari serangan mematikan Darren. Tangannya masih menggenggam pergelangan tanganku dengan lembut, namun erat.Darren mengembuskan napas keras sembari menyugar rambutnya ke belakang. "Bisakah kau berhenti ikut campur urusan rumah tanggaku?"Tatapan kami bertemu untuk sepersekian detik. Maksudku, aku dan Darren. Lalu, buru-buru aku kembali menunduk, melepaskan tanganku dari Zach pelan-pelan, meraih tas, lalu berdiri."Eum ... maafkan aku, Zach. Sepertinya aku harus pulang sekarang. Terima kasih untuk makan malamnya." Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, aku segera berlalu. Melangkah dengan cepat menuruni tangga dan terus melangkah hingga keluar dari restoran tanpa sedikit pun berniat menoleh ke belakang. Aku tak peduli bahkan jika di dalam sana mereka sedang baku hantam. Aku tak ingin terlibat dengan apa pun itu dan membuat urusan menjadi panjang.Namun, seper
Shiftku berakhir pukul tujuh. Selesai mengganti seragam kafe dengan kemeja yang sebelumnya kukenakan, aku bergegas keluar dari ruang loker. Beberapa karyawan yang berpapasan menyapa ramah. Aku tersenyum seraya melambaikan tangan untuk berpamitan. Juliette juga baru saja memasuki kafe karena jadwal shiftnya baru dimulai. Aku tersenyum saat dia menyapaku, sambil terus melanjutkan langkah keluar kafe.Langit sudah hampir gelap saat aku menginjakkan kaki di pelataran kafe. Begitu sampai di halaman, kulihat Zach baru saja masuk ke dalam mobilnya. Aku memperlambat langkah kaki untuk menunggunya pergi terlebih dahulu. Namun, sampai beberapa menit kemudian, mobilnya tak kunjung berlalu. Hingga akhirnya kulihat dia justru membuka kaca mobil dan memanggilku."Masuklah. Kuantar kau pulang," katanya setelah aku berhenti di samping mobilnya."Tak usah. Aku bisa pulang sendiri," ujarku. Merasa tidak enak karena walau bagaimanapun, dia adalah bosku.Zach tersenyum sekilas. "Tak perlu merasa sungkan
Pagi ini kelas terasa hening. Hanya suara detak jarum jam serta penjelasan dari Mr. Robinson yang berdengung samar-samar di telingaku. Entah keadaan kelas yang memang hening karena anak-anak merasa bosan dengan materi yang dibawakan Mr. Robinson, atau aku yang sedari tadi sibuk melamun, memikirkan tingkah Darren yang terasa aneh akhir-akhir ini.Beberapa hari terakhir sikap Darren agak berubah. Semenjak malam itu, malam di mana aku diantar pulang oleh Zach yang berujung pada pertengkaran kami, sikap Darren menjadi berubah. Pagi harinya dia memaksa mengantarku ke kampus, lalu pulangnya dia memaksa mengantarku ke kafe tempatku bekerja—yang mana adalah kafe milik Zach, lalu setelah pekerjaanku selesai, dia juga memaksa menjemputku pulang. Dan hal itu berlangsung hingga beberapa hari belakangan. Sikap seperti itu sebenarnya tidak aneh jika dilakukan oleh orang lain. Akan tetapi, menjadi cukup aneh jika itu adalah Darren, mengingat bagaimana dingin dan kejamnya dia kepadaku dahulu. Aku se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments