"Berapa harganya?" Seorang pria paruh baya berambut klimis bertanya kepada wanita yang berdiri di sampingku.
"Tujuh juta dolar, Tuan. Dia baru di sini. Masih segel," jawab wanita yang harus kupanggil Mami itu.
Pria tambun dengan jas yang terlihat tak mampu menutupi perut buncitnya itu memindaiku dari atas ke bawah. Matanya menyipit, seperti sedang menilai kelayakanku. Setelah menimbang beberapa saat, dia berujar.
"Baiklah, aku ingin dia malam ini." Kemudian, pria itu berlalu meninggalkanku dan Mami di sini.
Setelah kepergiannya, Mami menepuk bahuku dan berkata dengan penuh penekanan, "Rose, layani Tuan Rob dengan baik. Dia pelanggan tetap Mami."
Aku mengangguk ragu, meski dalam hati bertanya, bagaimana caranya melayani yang baik?
Mami mengajakku ke sebuah ruangan tempat para gadis sepertiku bersiap sebelum mulai bekerja.
Aku mendudukkan diri di kursi depan meja rias, lalu tangan lentik Mami mulai menunjukkan keahliannya merias wajah. Eye shadow smokey eyes dan lipstik merah terang menghiasi wajahku setengah jam kemudian. Mami berdecak kagum, mungkin bangga melihat hasil kerjanya. Setelah menyuruhku mengganti baju dengan dress merah selutut yang bagian bahunya terbuka, Mami mengantarku ke tempat di mana laki-laki tadi menunggu.
Kami turun ke lantai satu, tempat manusia-manusia yang ingin menghilangkan penat berkumpul jadi satu. Mereka berjejal-jejalan di dance floor, melenggak-lenggok serempak menggerakkan tubuh mengikuti irama musik layaknya cacing dalam bejana.
Beberapa orang terlihat duduk di sofa-sofa yang disediakan di sudut-sudut ruangan. Ada yang meracau tak jelas sembari mencekik leher botol, ada pula yang asik bercumbu dengan kekasihnya, atau selingkuhan—atau mungkin seseorang yang baru mereka temui malam ini? Entahlah.
Beberapa orang lebih memilih duduk di depan meja bar, bercengkrama dengan bartender sembari menikmati minuman di gelas masing-masing. Semua suara bercampur menjadi satu, memekakkan telinga. Lampu sorot redup warna-warni yang berkelap-kelip membuat kepalaku terasa pening.
Aku bahkan belum menginjakkan kaki di lantai satu, tapi melihat penampakan tempat itu dari balkon lantai dua saja sudah membuat kepalaku nyut-nyutan. Bagaimana jika aku sampai ke sana? Apa aku akan pingsan?
"Rose," tegur Mami saat melihatku mematung.
Aku menelan ludah. Lalu, dengan perlahan mengayunkan kaki mengikuti Mami yang telah terlebih dahulu menuruni satu-satu anak tangga.
Langkahku terseok, sementara jemariku mencengkeram erat railing tangga besi yang menjadi tumpuan tangan. Sepatu heels merah yang kupakai menjadi alasan mengapa aku kesusahan berjalan —selain degup jantung yang berpacu terlalu kencang, tentu saja.
"Rose, bergegaslah. Jangan buat tamu pertamamu menunggu lama!" tegas Mami.
Aku terkesiap, lantas berusaha sebisa mungkin mempercepat langkah. Meski harus sesekali terpincang karena sepatu yang kugunakan, namun pada akhirnya aku sampai di bawah dengan selamat.
Sekali lagi, aku harus berhadapan dengan pria buncit di depanku ini. Kini, matanya tidak lagi memicing, tetapi justru melotot. Kurasa sebentar lagi kedua bola mata itu akan melompat keluar dari tempurungnya. Seringai di bibirnya yang hitam menambah kesan menyeramkan laki-laki itu di mataku.
"Polesanmu memang tidak pernah gagal." Pria itu mencolek dagu Mami. Aku bergidik melihatnya.
Anehnya, Mami justru tersipu malu. "Silakan, Tuan. Rose sudah siap."
Tuan Rob mengangguk setuju, dia merangkul bahuku. "Ayo, cantik."
"Ke mana?" tanyaku sembari menahan langkah.
Dia terlihat menautkan alis. "Aku tidak suka bermain di sini. Kita ke hotel langgananku saja." Dia melanjutkan langkah, tetapi detik berikutnya kembali berbalik. "Oh, iya, aku mengeluarkan biaya yang tidak murah untuk memesanmu. Jadi, kuharap pelayanan yang kau berikan juga sebanding dengan itu."
Tuan Rob kembali merangkul bahuku dan mengajakku keluar. Namun, belum sampai tiga langkah, seseorang telah terlebih dahulu menahan kami.
"Tunggu!" Suara serak dari laki-laki itu mengalahkan dentuman musik. Kami menoleh.
Dalam keremangan lampu disko, tubuh tegapnya terlihat mendekat ke arahku. Tangannya bergerak membuka kancing jas yang dia kenakan. Rahang kokoh yang membingkai wajahnya begitu tegas, memancarkan aura menyeramkan, sekaligus mempesona di waktu bersamaan.
Pria itu menghentikan langkah tepat di depanku. Tatapannya beradu pandang dengan manik kecoklatan milikku, membuat pipiku terasa menghangat. Aku menunduk demi menyembunyikan rona wajah, yang belum tentu bisa dia lihat.
"Aku ingin dia," ucapnya tanpa basa-basi. Membuatku mendongak.
"T-tapi ... dia sudah dipesan Tuan Rob." Mami mendekat dan berusaha menjelaskan.
"Berapa Anda membelinya?" tanya lelaki itu pada Tuan Rob.
"Tujuh juta dolar."
Lelaki tampan dengan bulu-bulu halus menghiasi rahangnya itu terlihat mengangguk-angguk. "Kalau begitu, aku akan membelinya darimu 10 juta."
"Tidak. Aku tidak butuh uangmu. Aku hanya butuh dia untuk menemaniku malam ini." Tuan Rob menoleh ke arahku sambil menyeringai, sekali lagi aku bergidik.
"Ma'am, aku akan membayarnya 10 juta, jadi serahkan dia padaku." Lelaki itu mengalihkan pandangan ke arah Mami.
Mami terlihat berpikir. Aku tahu, baginya uang sebanyak itu pasti terasa sayang untuk dilewatkan.
"Kalau begitu, aku akan menambahkan transferanku menjadi 12 juta." Tuan Rob tak mau kalah.
"Aku akan membelinya 15 juta."
"Dariku 17 juta."
Lelaki di depanku menghela napas. "Penawaran terakhir, 50 juta dolar. Deal?" tanya lelaki tampan itu kepada Mami. Sedangkan, di sebelahku, Tuan Rob mematung.
"Bagaimana, Tuan? Apa kau mau menaikkan harganya lagi?" tanya Mami memecah keheningan di antara kami.
Tuan Rob melirikku sekilas. "Membuang uang 50 juta hanya untuk wanita ini, kurasa bukanlah keputusan yang bijak." Dia mendorongku pelan ke depan, ke arah lelaki yang sedari tadi tak berhenti menatapku. "Silakan ambil. Aku bisa cari wanita lain."
Tuan Rob melenggang pergi setelah mengatakan itu, sementara lelaki yang kini berdiri di sampingku tersenyum senang, merasa menang. Mami mengejar Tuan Rob yang keluar dari tempat ini sembari menghentakkan kaki, meninggalkan aku dan lelaki di sampingku, berdua.
Setelah bayangan Tuan Rob dan Mami menghilang di balik pintu kaca besar tempat mereka keluar, lelaki yang berdiri di sampingku menoleh. Dia membungkukkan badan, membuat wajahnya sejajar dengan wajahku, kemudian menarik kedua sudut bibir.
"Long time no see."
***
Bagaimana rasanya terkurung dalam kamar hotel yang terkunci bersama laki-laki yang pernah sangat kau benci? Menyebalkan, bukan? Kini aku merasakannya. Laki-laki yang harus kupanggil Tuan Smith ini mengurungku dalam kamar hotelnya, yang sialnya harus kuterima dengan senang hati. Seseorang yang harus aku layani, seseorang yang menjadi pembeli pertamaku, mengapa harus dia? Masih kuingat dengan jelas bagaimana dia mengataiku gendut sambil melemparkan tomat busuk ke wajahku dulu. Ah, setidaknya aku sudah tidak gendut sekarang. Lelaki itu perlahan mendekat setelah memastikan pintu tertutup rapat. Suara ujung sepatunya yang mengetuk-ngetuk lantai kamar seirama dengan suara jarum jam yang berdetak konstan di dinding. Aku menelan ludah dengan susah payah seiring langkahnya yang semakin mendekat. Kedua matanya menatapku lekat, dengan sebelah sudut bibir yang tertarik membentuk senyum mengintimidasi. Dia terus melangkah lagi dan lagi, sembari melepas jas dan melemparnya asal ke arah sofa. Mas
"What the hell are you doing?!" pekikku seraya mendorong tubuhnya. Dia terhuyung, tetapi dengan cepat menguasai diri. Bibirnya yang basah mengkilap tertimpa cahaya lampu kamar. Aku mengusap bibirku dengan punggung tangan, membuat lipstik merah yang kugunakan seketika berpindah, menempel di punggung tanganku. "Aku hanya mengambil apa yang seharusnya kudapatkan. Lima puluh juta hanya untuk mencicipi bibirmu saja, menurutmu itu sepadan?" "Tapi kau ...," hardikku tertahan. Pipiku terasa panas saat aku melanjutkan kalimat, "Mengambil ciuman pertamaku." "Ohohoho, kau tidak pernah berciuman sebelumnya? Yang benar saja!" Aku hanya menunduk dalam-dalam. Sial! Dia malah menertawakanku. 'Memangnya aku mau ciuman dengan siapa jika pacaran saja tidak pernah?' rutukku dalam hati. Kutarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-paruku dengan oksigen. Jantungku berpacu begitu cepat, membuat napas terdengar menderu. Suara langkah kakinya yang menjauh membuatku mengangkat wajah. Dia sudah berdi
Matahari musim panas bersinar terang di langit Texas. Gumpalan awan seputih kapas mengarak pelan menghiasi langit biru yang terbentang luas. Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan kering dari pohon-pohon yang mulai meranggas. Suhu udara siang ini mencapai tiga puluh satu derajat celsius. Meskipun musim panas sebentar lagi berakhir, suhu udara di sini masih setinggi itu. Begitu turun dari mobil Darren, aku segera masuk ke rumah untuk berlindung dari sengatan terik dan berlari menuju kamar. Kurebahkan tubuh yang lelah —sepulang kuliah— di atas ranjang sembari menatap nanar langit-langit kamar. Pendingin ruangan menderu pelan, mengembuskan hawa dingin yang menerpa seluruh badan. Pandanganku beralih ke arah meja rias. Di sana berjejer foto-foto keluarga yang terbingkai dalam figura kecil-kecil. Ada aku, Mommy, nenek, juga saudara sepupuku. Itu adalah foto-foto yang kami ambil setiap kali kami berkunjung ke tempat nenek. Di dinding juga masih terpasang foto saat aku masih kecil da
Suara ketukan di pintu membuatku menoleh. Aku dan Darren saling pandang sejenak, sebelum suara seseorang di luar membuat kami mengalihkan pandangan kembali ke daun pintu yang masih tertutup."Excuse me, Sir, dinner is ready," kata seorang pelayan dari luar pintu kamar."We come," sahut Darren dengan nada datar.Tepat pukul tujuh malam, aku dan Darren digelandang ke arah ruang makan yang berada di sebelah kamar tempatku beristirahat. Yah, meskipun bersebelahan tentu saja jaraknya tidak hanya satu dua langkah. Seorang pelayan memandu kami kemudian mengarahkan kami untuk duduk di kursi yang disediakan.Ruang makan yang luas itu masih sepi. Meja makan panjang dengan empat pasang kursi yang berhadapan serta satu kursi di masing-masing ujungnya itu hanya diisi oleh Kakek Darren, aku, dan Darren. Sedangkan kursi kosong yang tersisa masih banyak. Aku duduk di sebelah Darren, di bagian tengah meja. Sementara kakek berada di kursi paling ujung, laksana raja yang duduk di singgasana.Berbagai hi
Darren sama sekali tidak bisa basa-basi. Setelah tempo hari bilang dengan sangat berterus terang kepada tanteku bahwa dia akan menikahiku, lalu esoknya dia bilang pernikahan kami akan diselenggarakan minggu depan. Astaga! Aku benar-benar tidak diizinkan untuk bernapas barang sebentar.Pukul dua siang kelasku selesai. Segera kukemasi buku-buku di meja dan kumasukkan secara asal ke dalam tas. Ponselku berdering tepat saat aku baru saja bangkit dari duduk. Kuraih benda pipih itu dan dengan cepat menempelkan layar ke telinga setelah mengusap ikon telepon berwarna hijau ke atas."Ada apa?" ucapku tanpa basa-basi. Buat apa juga basa-basi kepada orang yang tidak bisa basa-basi?"Keluar. Aku di depan."Aku mengembuskan napas kesal. Padahal aku baru saja berniat pulang dan tidur. Dasar laki-laki tukang atur menyebalkan!"Untuk apa ke mari? Aku bisa pulang sendiri.""Keluar sekarang atau aku yang akan masuk dan menyeretmu?"Ish! Mengapa manusia ini sangat suka mengancam orang? Sifatnya sama sek
Hari yang ditunggu-tunggu —entah oleh siapa— akhirnya tiba. Pukul tujuh pagi Darren menjemputku untuk kemudian berangkat bersama ke Dallas, tepatnya ke The Adolphus hotel, salah satu hotel termewah di Texas, tempat pesta pernikahan kami akan digelar.Pemberkatan dijadwalkan pukul sembilan pagi. Lalu, dilanjutkan dengan resepsi sampai dini hari. Begitulah yang dikatakan Darren padaku selama perjalanan. Setelah hampir tiga puluh menit berkendara, BMW Darren memasuki Commerce street, dan berbelok ke arah kiri memasuki tempat parkir gedung. Darren mengambil tempat parkir bawah tanah dan menghentikan mobilnya di sudut area.Udara dingin seketika menusuk tulang. Kueratkan coat yang kukenakan untuk menghalau hawa dingin yang berusaha menelusup masuk. Di depan lift, kami sudah di sambut oleh sepasang laki-laki dan sepasang perempuan berpakaian formal. Mereka kemudian menggiring kami ke sebuah kamar untuk berganti pakaian dan melakukan persiapan.Darren bersama laki-laki yang tadi menjemput ka
Bel kamar berbunyi tepat saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Masih dengan bathrobe yang membalut tubuh serta handuk kecil yang kugunakan untuk mengeringkan rambut, aku membuka pintu.Darren menerobos masuk begitu saja dan segera melemparkan tubuh ke atas ranjang. Wajahnya tampak lesu, setelan yang dia kenakan juga sudah kusut acak-acakan. Kantung mata hitam yang menggantung di bawah kelopak matanya menandakan dia tidak tidur semalaman."Kau dari mana?" Aku bertanya. Hanya untuk basa-basi lebih tepatnya."Bukan urusanmu," jawabnya datar. Aku mengembuskan napas kesal.Merasa tidak sepantasnya aku bertanya lebih jauh, kuteruskan saja kegiatan yang tadi sempat tertunda. Hair dryer di meja rias kugunakan untuk mengeringkan rambut, kemudian menyisirnya. Setelah itu, aku mengambil baju ganti yang tadinya akan kupakai di kamar, kubawa ke kamar mandi.Mana mungkin aku memakai baju di depan Darren, kan? Meskipun dia tengah tidur terlentang sambil menutup mata sekarang, aku yakin dia bel
Aku sedang mengerjakan jurnal untuk diberikan kepada Mrs. Moore besok, saat telingaku mendengar suara deru mesin mobil memasuki halaman. Kulirik jam di sudut bawah laptopku. Pukul setengah satu malam. Aku mengernyitkan dahi. Siapa gerangan yang bertamu selarut ini? Apakah itu Darren?Penasaran, segera aku berlari ke arah jendela di samping kanan ranjangku dan mengintip dari celah tirai yang sedikit terbuka.Benar. Itu mobil yang dibawa Darren sore tadi.Kembali kududukkan diri di atas ranjang berseprai biru langit. Berusaha menekuri pekerjaanku lagi, meski kini konsentrasiku telah terganggu. Kira-kira ke mana perginya Darren tadi? Apa ke klub? Apa dia baru saja tidur dengan seorang gadis? Aku menggelengkan kepala buru-buru. Untuk apa memikirkan hal-hal seperti itu?Tak lama, terdengar suara seseorang menaiki tangga, disusul suara Darren yang memanggilku dari luar, membuatku berjengkit kaget."Bubble ...." Langkah kaki lelaki itu berhenti di depan pintu kamarku.Shit! Manusia itu mema