Di sore hari setelah kepergian Ainsley dan Amber, Darren baru memunculkan batang hidungnya di hadapanku. Wajahnya terlihat lelah, atau seperti sedang memendam sesuatu. Dia masuk lalu duduk di kursi di samping ranjangku. Matanya memindai piring kosong di atas nakas."Sudah minum obatmu?" tanyanya memastikan, meski aku yakin dia tau jawabannya.Aku hanya mengangguk. Rasanya canggung sekali berada dalam satu kamar dengan Darren. Ini mengingatkanku pada kejadian di malam pertama kami kembali bertemu.Darren hanya mengedikkan bahu dan tak mengatakan apa pun lagi. Dia beranjak duduk di sofa panjang yang tepat berada di seberang ranjangku. Tangannya merogoh ponsel, kemudian terlihat berkutat dengan benda itu. Huft. Lagi-lagi dia sibuk dengan dunianya. Aku tau dia adalah seorang CEO dari perusahaan ternama, wajar jika dia sesibuk itu. Namun, apakah sopan bila menjenguk seseorang yang sedang sakit tetapi malah sibuk sendiri dengan ponselnya? Dasar lelaki tidak tau tata krama!Sepertinya dia s
Deru mesin mobil yang bersahut-sahutan memecahkan keheningan malam. Lampu mobil menyorot tajam menembus kegelapan. Tiga buah mobil; abu-abu, hitam, dan merah—yang saling berkejaran melaju dengan kecepatan tinggi membelah rute jalanan Abercado menuju Hillston. Memasuki salah satu boulevard, mobil terdepan berbelok masuk ke arah sebuah pelataran rumah megah.Darren turun dari BMW abu-abunya setelah menghentikan kendaraan itu di halaman parkir dekat teras bawah. Disusul di belakangnya Zach, dan mobil merah milik Orlando terparkir terakhir.Kakeknya sedari tadi menghubungi bahwa perusahaannya dan perusahaan milik Sanchez sedang berada dalam perebutan sengit mengenai pembagian wilayah penjualan. Sebelumnya, hal-hal seperti ini tak pernah terjadi, karena kedua perusahaan itu akan selalu bekerja sama dalam berbagai hal, entah untuk penyelundupan, maupun penjualan barang.Namun, sepertinya masalah mulai muncul saat keduanya mulai mencampuradukkan antara masalah pekerjaan dan masalah personal.
Sudah empat hari aku dirawat di rumah sakit. Selama empat hari itu pula Darren setia menjaga dan merawatku di sini. Meskipun tak jarang di malam hari saat aku hendak tertidur, dia menyelinap keluar untuk pergi entah ke mana. Lalu pagi harinya dia sudah kembali berada di sofa, menyapaku yang baru bangun tidur. Beberapa kali Ainsley juga datang lagi hanya untuk menjagaku. Katanya, Darren yang meminta. Hubunganku dengan Darren pun kurasa tak lagi setegang dulu. Meskipun cara bicaranya masih dingin dan terkadang ketus, aku bisa merasakan sisi lembut dari perhatiannya padaku selama sakit ini. Kadang kala Darren melontarkan candaan, atau kadang mengajakku berbincang hanya demi mengenyahkan rasa sepi yang tak mengenakkan. Kurasa aku sudah tak lagi terlalu takut jika harus berduaan dengan lelaki itu.Karena kondisi kesehatanku yang cukup stabil, aku diperbolehkan pulang hari ini. Namun, karena lukaku masih basah maka aku diharuskan beristirahat dari kegiatan berat selama beberapa hari ke dep
Dua Minggu pasca insiden penembakan, keluarga Sanchez semakin gencar melakukan penyerangan. Wilayah-wilayah bagian timur telah habis dikuasai Kartel Sanchez. Sepertinya usaha Bill untuk melakukan negosiasi berakhir gagal dan Darren harus mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Lelaki itu menggoyangkan gelas kristal berisi whiskey dan es batu yang sudah mulai mencair dengan tatapan kosong ke depan. Berdiri di depan meja bar dengan sebelah tangannya menopang dagu. Dahinya berkerut sesekali, lalu mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya menenggak minumannya hingga tandas. Dia mengunyah es batunya dengan tatapan kosong yang tajam. Jelas sekali terlihat kepanikan dan ketegangan dari raut wajahnya. Banyak hal yang dia pikirkan di situasi seperti ini. Sedikit banyak dia menyesali beberapa hal yang dia lakukan dalam kurun waktu beberapa bulan ini. Salah satunya adalah keputusannya untuk menikahi Naomi. Entah apa yang ada di benak lelaki itu saat dengan mudahnya menyuruh Naom
"Berapa harganya?" Seorang pria paruh baya berambut klimis bertanya kepada wanita yang berdiri di sampingku."Tujuh juta dolar, Tuan. Dia baru di sini. Masih segel," jawab wanita yang harus kupanggil Mami itu.Pria tambun dengan jas yang terlihat tak mampu menutupi perut buncitnya itu memindaiku dari atas ke bawah. Matanya menyipit, seperti sedang menilai kelayakanku. Setelah menimbang beberapa saat, dia berujar."Baiklah, aku ingin dia malam ini." Kemudian, pria itu berlalu meninggalkanku dan Mami di sini.Setelah kepergiannya, Mami menepuk bahuku dan berkata dengan penuh penekanan, "Rose, layani Tuan Rob dengan baik. Dia pelanggan tetap Mami."Aku mengangguk ragu, meski dalam hati bertanya, bagaimana caranya melayani yang baik?Mami mengajakku ke sebuah ruangan tempat para gadis sepertiku bersiap sebelum mulai bekerja. Aku mendudukkan diri di kursi depan meja rias, lalu tangan lentik Mami mulai menunjukkan keahliannya merias wajah. Eye shadow smokey eyes dan lipstik merah terang me
Bagaimana rasanya terkurung dalam kamar hotel yang terkunci bersama laki-laki yang pernah sangat kau benci? Menyebalkan, bukan? Kini aku merasakannya. Laki-laki yang harus kupanggil Tuan Smith ini mengurungku dalam kamar hotelnya, yang sialnya harus kuterima dengan senang hati. Seseorang yang harus aku layani, seseorang yang menjadi pembeli pertamaku, mengapa harus dia? Masih kuingat dengan jelas bagaimana dia mengataiku gendut sambil melemparkan tomat busuk ke wajahku dulu. Ah, setidaknya aku sudah tidak gendut sekarang. Lelaki itu perlahan mendekat setelah memastikan pintu tertutup rapat. Suara ujung sepatunya yang mengetuk-ngetuk lantai kamar seirama dengan suara jarum jam yang berdetak konstan di dinding. Aku menelan ludah dengan susah payah seiring langkahnya yang semakin mendekat. Kedua matanya menatapku lekat, dengan sebelah sudut bibir yang tertarik membentuk senyum mengintimidasi. Dia terus melangkah lagi dan lagi, sembari melepas jas dan melemparnya asal ke arah sofa. Mas
"What the hell are you doing?!" pekikku seraya mendorong tubuhnya. Dia terhuyung, tetapi dengan cepat menguasai diri. Bibirnya yang basah mengkilap tertimpa cahaya lampu kamar. Aku mengusap bibirku dengan punggung tangan, membuat lipstik merah yang kugunakan seketika berpindah, menempel di punggung tanganku. "Aku hanya mengambil apa yang seharusnya kudapatkan. Lima puluh juta hanya untuk mencicipi bibirmu saja, menurutmu itu sepadan?" "Tapi kau ...," hardikku tertahan. Pipiku terasa panas saat aku melanjutkan kalimat, "Mengambil ciuman pertamaku." "Ohohoho, kau tidak pernah berciuman sebelumnya? Yang benar saja!" Aku hanya menunduk dalam-dalam. Sial! Dia malah menertawakanku. 'Memangnya aku mau ciuman dengan siapa jika pacaran saja tidak pernah?' rutukku dalam hati. Kutarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-paruku dengan oksigen. Jantungku berpacu begitu cepat, membuat napas terdengar menderu. Suara langkah kakinya yang menjauh membuatku mengangkat wajah. Dia sudah berdi
Matahari musim panas bersinar terang di langit Texas. Gumpalan awan seputih kapas mengarak pelan menghiasi langit biru yang terbentang luas. Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan kering dari pohon-pohon yang mulai meranggas. Suhu udara siang ini mencapai tiga puluh satu derajat celsius. Meskipun musim panas sebentar lagi berakhir, suhu udara di sini masih setinggi itu. Begitu turun dari mobil Darren, aku segera masuk ke rumah untuk berlindung dari sengatan terik dan berlari menuju kamar. Kurebahkan tubuh yang lelah —sepulang kuliah— di atas ranjang sembari menatap nanar langit-langit kamar. Pendingin ruangan menderu pelan, mengembuskan hawa dingin yang menerpa seluruh badan. Pandanganku beralih ke arah meja rias. Di sana berjejer foto-foto keluarga yang terbingkai dalam figura kecil-kecil. Ada aku, Mommy, nenek, juga saudara sepupuku. Itu adalah foto-foto yang kami ambil setiap kali kami berkunjung ke tempat nenek. Di dinding juga masih terpasang foto saat aku masih kecil da