Share

Bab 1

Author: Hanna Aisha
last update Last Updated: 2022-06-16 22:13:04

Bagaimana rasanya terkurung dalam kamar hotel yang terkunci bersama laki-laki yang pernah sangat kau benci? Menyebalkan, bukan?

Kini aku merasakannya. Laki-laki yang harus kupanggil Tuan Smith ini mengurungku dalam kamar hotelnya, yang sialnya harus kuterima dengan senang hati. Seseorang yang harus aku layani, seseorang yang menjadi pembeli pertamaku, mengapa harus dia? Masih kuingat dengan jelas bagaimana dia mengataiku gendut sambil melemparkan tomat busuk ke wajahku dulu. Ah, setidaknya aku sudah tidak gendut sekarang.

Lelaki itu perlahan mendekat setelah memastikan pintu tertutup rapat. Suara ujung sepatunya yang mengetuk-ngetuk lantai kamar seirama dengan suara jarum jam yang berdetak konstan di dinding. Aku menelan ludah dengan susah payah seiring langkahnya yang semakin mendekat. Kedua matanya menatapku lekat, dengan sebelah sudut bibir yang tertarik membentuk senyum mengintimidasi.

Dia terus melangkah lagi dan lagi, sembari melepas jas dan melemparnya asal ke arah sofa. Masih sambil melangkah, tangannya bergerak membuka kancing di pergelangan tangan dan menggulung bagian lengannya sampai ke siku. Setelah itu, jemarinya bergerak naik, melepas dasi sekaligus dua kancing teratas kemeja putih yang dikenakannya itu.

Gerakannya baru berhenti ketika dia telah berada tepat di depanku. Benar-benar di depanku. Lututnya bahkan bersentuhan dengan lututku yang saat ini sedang terduduk dengan gugup di tepi ranjang.

Aku tidak berani menghadap ke atas untuk membalas tatapannya. Melihat ke depan pun bukan pilihan yang bijak, karena kedua mataku sekarang persis berhadapan dengan perutnya yang rata—tidak seperti perut Tuan Rob yang buncit tadi. Akhirnya aku memalingkan muka ke samping. Namun, sial! Dia dengan cepat meraih daguku dan mengangkatnya, membuatku mendongak.

Wajahnya perlahan merendah, hingga kini embusan napas hangatnya terasa membelai wajahku.

"A–apa yang kau lakukan?" tanyaku tergagap saat bibirnya hampir tak berjarak dengan bibirku.

Dia terkekeh kecil. "Apa yang kulakukan?" ulangnya. "Aku mengeluarkan lima puluh juta untuk membawamu ke mari. Menurutmu apa lagi yang akan kulakukan selain menikmatimu malam ini?"

Setelah berucap demikian, dia bergerak menjauh lalu berhenti di depan kabinet yang berada di samping kiri kamar. Mengambil sebotol whiskey dan menuangkannya ke dalam gelas kristal berisi es batu di tangannya.

"Senang bertemu denganmu lagi, Bubble." Dia tersenyum miring, lalu menyesap minumannya pelan.

"Jangan panggil aku Bubble lagi. Kau tidak lihat aku sudah kurus?"

Dia kembali terkekeh. "Ya benar. Kau sekarang sudah kurus, begitu cantik dan menggairahkan. Aku bahkan hampir tidak percaya jika kau adalah Naomi. Bocah ingusan yang bertahun lalu menjadi mainanku di sekolah."

Seketika, aku mencengkeram paha yang sedari tadi menjadi tumpuan tangan demi mendengar ucapannya. Mainan, katanya?

"Aku benar-benar tidak sabar untuk mencicipimu. Kau belum pernah melakukan ini sebelumnya, kan?" tanyanya. Pandangannya seolah menembus ke dalam pakaianku.

Astaga! Mengapa nasib buruk selalu menimpaku begini? Dulu, bertahun-tahun lalu, laki-laki ini adalah orang yang membullyku dengan begitu parah di sekolah. Lalu, apa sekarang laki-laki ini juga yang harus merenggut kesucianku?

"Ahahaha ... kenapa wajahmu tegang begitu, Bubble?" Tawanya meledak. Dia kembali melangkah mendekat.

"Kau takut?" tanyanya seraya merendahkan tubuh, membuat wajahnya berada tepat di depan wajahku.

Aku menggeleng terbata. Tentu saja aku takut!

Dia tak lagi menimpali, hanya mendudukkan diri di sampingku. Tangannya sibuk memutar-mutar gelas, membuat suara es batu yang membentur-bentur dinding gelas mengisi keheningan kamar. Beradu dengan suara pendingin ruangan yang menderu pelan.

"Jelaskan padaku, Bubble, apa yang membuatmu senekat ini. Berada di tempat ini dan menjajakkan tubuhmu kepada pria hidung belang di sini?" Dia kembali membuka suara, memecah kebisuan yang sedari tadi kami pertahankan.

"Bisakah kau berhenti memanggilku Bubble?!" jawabku setengah berteriak. "Panggil aku Rose. Namaku Rose di sini."

Aku kesal. Setiap kali dia memanggilku Bubble, kenangan masa lalu dengan cepat memenuhi kepalaku. Membuatku merasa sedang berada di sekolah dan kembali dibully olehnya.

Dia mengangguk. "Baiklah, baiklah. Rose, sekarang katakan padaku."

"Bukan urusanmu!" ketusku.

"Begitukah?" Dia menoleh ke arahku. "Aku bertanya karena ingin berbaik hati menawarkan kesepakatan padamu. Jika kau tidak mau, ya sudah. Ayo, kita mulai."

Dengan cepat dia memajukan tubuhnya hingga bibirnya kembali hampir bersentuhan dengan bibirku.

"Sebentar ... sebentar," tolakku seraya menahan tubuhnya agar tidak kembali mendekat. "Kau ingin menawariku kesepakatan apa?"

Dia kembali menjauhkan tubuhnya dariku. Duduk dengan punggung tegak sembari menatap lurus ke depan.

"Pertama-tama, jelaskan padaku apa yang membuatmu berada di tempat ini? Aku yakin, kau tidaklah semurahan itu."

Aku diam, menunduk. Jemariku saling meremas di atas paha.

"Rose," tuntutnya.

Akhirnya, masih dengan menundukkan kepala, aku menjawab, "Aku ... dipaksa menjual diri oleh tanteku. Wanita tadi."

"Kenapa kau mau? Di mana orang tuamu?"

Hening menjeda percakapan kami sesaat, sebelum aku kembali berbicara. "Orang tuaku bercerai, lalu ayahku menikah lagi dan ibuku meninggal. Aku tidak sudi tinggal bersama ibu tiri, maka aku memilih tinggal bersama tanteku. Siapa sangka, dia justru melemparku ke tempat ini." Aku tertawa hambar. Menertawakan nasib burukku sendiri, lebih tepatnya.

"Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari tempat ini."

Aku menoleh ke samping, agak mendongak. Menatap wajahnya yang lebih tinggi dariku. "Kenapa?"

"Aku akan membantumu, jika kau juga mau membantuku."

"Apa yang harus kulakukan?"

"Mudah." Dia menoleh, lalu mencondongkan tubuh ke depan, membuat wajahnya hanya berjarak tak sampai satu inci dengan wajahku. "Kau hanya perlu menikah denganku."

"Apa?!"

***

"Bubble!" Kudengar teriakan dari balik punggung, sesaat setelah aku melewati gerbang sekolah.

Aku mempercepat langkah. Jemari menggenggam erat tali tas punggung yang menggantung di pundak. Setengah berlari, aku melewati koridor kelas-kelas lain, berusaha secepat mungkin sampai di kelasku yang terletak paling ujung. Belum juga sampai di depan kelas, seseorang sudah menarik tasku hingga aku terjerembab ke belakang.

Tawa membahana seketika terdengar. Orang-orang yang sejak tadi memanggilku dengan sebutan Bubble itu kini telah berdiri mengelilingiku.

Pemuda bertubuh tambun dengan kulit pucat dan rambut merah ikal berdiri di samping kiri. Andrew namanya. Mulutnya yang besar terbuka lebar sembari mengeluarkan tawa menjengkelkan.

Sebelah kanan berdiri Fang, lelaki bertubuh tinggi kurus yang warna kulitnya sama sepertiku—putih cerah. Kedua matanya yang sipit semakin terlihat segaris saat tertawa terbahak-bahak.

Di antara ketiga orang yang suka membullyku, orang yang berdiri di depanku inilah yang paling kutakuti. Darren. Alexander Darren Smith. Tubuhnya tinggi tegap, bahkan terlalu tegap untuk ukuran anak seusianya. Dia baru kelas enam, tetapi tubuhnya sudah terlihat seperti pemuda di tingkat high school.

Wajahnya tampan, dengan rambut yang berwarna cokelat gelap, hidung mancung, dan bibir yang kini tengah menyunggingkan seringai mengerikan.

Mata hazelnya menatapku tajam, seperti tatapan elang yang melihat seekor kelinci. Rahangnya tegas, membingkai wajah tampannya sehingga terlihat semakin sempurna. Yah, memang, dia terlihat tampan. Kuakui itu. Bahkan, dialah yang paling tampan di antara mereka bertiga. Namun, dia jugalah yang kelakuannya paling iblis. Sangat mengerikan.

"Kenapa kau tidak menyahut saat kupanggil, Bubble?" Darren menundukkan wajah, membuat wajahnya sejajar dengan wajahku yang kini menunduk takut.

"Jika ada yang bertanya, jawab!" bentaknya seraya menarik rambut hitamku yang dikuncir satu, membuatku mendongak sambil meringis kesakitan.

Yang lain tertawa semakin keras.

Kepalaku terasa nyut-nyutan karena Darren tak kunjung melepas cengkeramannya dari rambutku. Aku bahkan takut, seluruh rambutku akan tercabut dari akarnya.

"Sa–sakit," lirihku. Mataku terpejam erat, menahan sakit sekaligus menghindari tatapan Darren.

"Lihat aku!" Dia menggeram. Deru napasnya menyapu wajahku.

Perlahan, aku membuka mata. Dan seketika tatap kami bertemu. Sorot tajam dari manik hazelnya berjumpa dengan manik kecoklatanku yang redup. Wajahnya terlihat samar, tertutup kabut-kabut yang membayang di pelupukku.

Dia menarik wajahnya menjauh setelah setetes air mata jatuh di pipiku. Kulit kepala yang terasa panas, ditambah tatapan mengintimidasi darinya membuat pertahananku runtuh.

Dia menegakkan tubuh, lalu melempar tasnya ke wajahku.

"Bawakan tasku ke kelas." Kemudian, tanpa menunggu balasanku—yang tentunya tidak dia perlukan, dia berbalik dan berlalu diikuti teman-temannya yang mengekor di belakang.

'Sialan! Sampai kapan pun, kau takkan kumaafkan, Darren!' umpatku dalam hati.

***

"Bagaimana? Mudah, bukan? Toh, kita sama-sama akan hidup sebatang kara setelah ini. Bukankah lebih baik kita hidup bersama, dari pada hidup sendiri-sendiri?" Suara Darren membuyarkan lamunanku tentangnya. Tentang masa lalu kami, lebih tepatnya.

Aku membelalakkan mata. "Kau gila?! Jangan bercanda!"

"Aku masih waras dan aku serius." Dia membuang muka. "Jika kau tidak mau, aku hanya akan menikmatimu sekali, setelah itu kau boleh pergi," lanjutnya seraya melipat tangan di dada.

Aku gamang. Aku tidak ingin tidur dengannya. Namun, menikah dengannya bukankah sama saja aku akan tidur dengannya pada akhirnya? Lalu, apa bedanya?

"A–pa yang akan kudapatkan jika mau menikah denganmu?" tanyaku ragu.

"Aku akan membebaskanmu dari tempat menjijikan ini dan kau masih bertanya apa yang akan kau dapatkan?" Dia geleng-geleng kepala.

Memangnya apa yang salah dengan pertanyaanku? Bukankah aku juga harus hidup?

"Aku hanya berusaha bertahan hidup."

Helaan napasnya terdengar kasar. "Kau akan tetap hidup. Dan aku akan menjamin seluruh kebutuhan hidupmu. Apa itu cukup?"

"Kau serius?"

"Duarius!"

Aku menghela napas. Haruskah? Maksudku, bahkan sampai detik ini aku masih belum bisa melupakan segala perbuatannya terhadapku dulu. Lalu, bagaimana mungkin tiba-tiba kami menikah dan hidup bersama? Apa baginya, semua yang dia lakukan padaku dulu bukanlah apa-apa?

"Aku tidak punya banyak waktu, Rose. Cepatlah!" sentaknya.

"Aku ...." Kugigit bibir keras-keras untuk menghilangkan kegugupan.

Apa yang harus kulakukan? Aku bingung.

"Tiga ...." Dia mulai menghitung mundur. Tak sabar.

Sementara aku masih belum selesai berpikir. Tak ada jawaban yang terlintas di otakku.

"Dua ...," ucapnya. Membuatku semakin gugup. Jemariku saling meremas di atas paha.

"Sa—"

"Baiklah, baiklah," ucapku pada akhirnya. "Aku mau menikah denganmu. Tapi ada syaratnya," sambungku sambil perlahan mengangkat wajah. Memberanikan diri menatap wajahnya.

"Apa syaratnya?"

Aku menggeleng. "Sebelumnya, aku ingin tau dulu, apa yang membuatmu ingin menikahiku."

"Kau benar-benar ingin tau?"

Aku mengangguk. Kembali kudengar helaan napas panjangnya sebelum dia berbicara.

"Kakekku menginginkan salah satu di antara aku dan sepupuku untuk menikah dengan anak dari mitra bisnisnya. Wanita itu menginginkanku, sedangkan aku tidak berminat menikahinya. Maka dari itu, aku akan menikahimu supaya kakekku tidak menyuruhku menikah dengan wanita itu."

"Kau memperalatku?" Seketika aku berdiri.

Dia terkekeh. "Kenapa terkejut begitu? Menurutmu apa lagi alasanku menikahimu selain itu?"

"Dari dulu sampai sekarang, kau tidak berubah, Darren. Tetap menyebalkan."

"Aku tau." Dia mengangguk. "Terima kasih. Akan kuanggap itu pujian."

Dia ikut beranjak dari duduk, melangkah ke kabinet untuk meletakkan gelas kosong yang masih dipegangnya sedari tadi, lalu kembali melangkah ke arahku.

"Sekarang katakan, apa syarat yang kau ajukan?"

Aku menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan detak jantung, lalu sambil menatap kedua matanya aku berkata dengan tegas, "Aku mau menikah denganmu, tapi kau tak boleh menyentuhku."

Dia membulatkan mata. "Syarat macam apa itu?"

"Kita akan hidup bersama, tapi jangan ikut campur urusan satu sama lain. Kau, hiduplah seperti biasa kau hidup. Dan aku akan hidup seperti aku ingin hidup. Anggap saja, kita akan jadi dua orang asing yang tinggal dalam satu rumah," terangku tanpa jeda.

"Apa itu masuk akal?"

"Pernikahan kita lebih tidak masuk akal bagiku, Tuan Smith!" sergahku. "Aku mau menikah denganmu untuk menghindar dari kewajiban melayanimu malam ini. Jika dengan menikah denganmu aku tetap harus melayanimu, lebih baik kita tidak perlu menikah. Karena bagiku akan sama saja."

Dia terlihat mengangguk-angguk, mungkin memaklumi alasanku. Suara langkah kakinya menyentakku, membuatku mengangkat wajah dan menatapnya was-was. Dia berjalan mendekat, langkah demi langkahnya terdengar seperti hitungan mundur kematian, membuatku takut.

"Baiklah. Aku setuju," ucapnya setelah berdiri tepat di depanku. "Kita akan jadi orang asing yang tinggal dalam satu rumah."

Aku mendesah lega. Huh, syukurlah.

"Tapi, bukankah setidaknya aku berhak mendapat sesuatu setelah mengeluarkan lima puluh juta dolar?" ucapnya kemudian.

Aku mengerutkan dahi. Tak mengerti maksud dari ucapannya. Lalu, detik berikutnya bibirnya sudah menempel dengan begitu lekat di bibirku. Membuatku terbelalak.

First kissku ... Darren sialan!

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mirielle
woilahh first kiss anak orang itu Darren...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 2

    "What the hell are you doing?!" pekikku seraya mendorong tubuhnya. Dia terhuyung, tetapi dengan cepat menguasai diri. Bibirnya yang basah mengkilap tertimpa cahaya lampu kamar. Aku mengusap bibirku dengan punggung tangan, membuat lipstik merah yang kugunakan seketika berpindah, menempel di punggung tanganku. "Aku hanya mengambil apa yang seharusnya kudapatkan. Lima puluh juta hanya untuk mencicipi bibirmu saja, menurutmu itu sepadan?" "Tapi kau ...," hardikku tertahan. Pipiku terasa panas saat aku melanjutkan kalimat, "Mengambil ciuman pertamaku." "Ohohoho, kau tidak pernah berciuman sebelumnya? Yang benar saja!" Aku hanya menunduk dalam-dalam. Sial! Dia malah menertawakanku. 'Memangnya aku mau ciuman dengan siapa jika pacaran saja tidak pernah?' rutukku dalam hati. Kutarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-paruku dengan oksigen. Jantungku berpacu begitu cepat, membuat napas terdengar menderu. Suara langkah kakinya yang menjauh membuatku mengangkat wajah. Dia sudah berdi

    Last Updated : 2022-06-16
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 3

    Matahari musim panas bersinar terang di langit Texas. Gumpalan awan seputih kapas mengarak pelan menghiasi langit biru yang terbentang luas. Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan kering dari pohon-pohon yang mulai meranggas. Suhu udara siang ini mencapai tiga puluh satu derajat celsius. Meskipun musim panas sebentar lagi berakhir, suhu udara di sini masih setinggi itu. Begitu turun dari mobil Darren, aku segera masuk ke rumah untuk berlindung dari sengatan terik dan berlari menuju kamar. Kurebahkan tubuh yang lelah —sepulang kuliah— di atas ranjang sembari menatap nanar langit-langit kamar. Pendingin ruangan menderu pelan, mengembuskan hawa dingin yang menerpa seluruh badan. Pandanganku beralih ke arah meja rias. Di sana berjejer foto-foto keluarga yang terbingkai dalam figura kecil-kecil. Ada aku, Mommy, nenek, juga saudara sepupuku. Itu adalah foto-foto yang kami ambil setiap kali kami berkunjung ke tempat nenek. Di dinding juga masih terpasang foto saat aku masih kecil da

    Last Updated : 2022-06-16
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 4

    Suara ketukan di pintu membuatku menoleh. Aku dan Darren saling pandang sejenak, sebelum suara seseorang di luar membuat kami mengalihkan pandangan kembali ke daun pintu yang masih tertutup."Excuse me, Sir, dinner is ready," kata seorang pelayan dari luar pintu kamar."We come," sahut Darren dengan nada datar.Tepat pukul tujuh malam, aku dan Darren digelandang ke arah ruang makan yang berada di sebelah kamar tempatku beristirahat. Yah, meskipun bersebelahan tentu saja jaraknya tidak hanya satu dua langkah. Seorang pelayan memandu kami kemudian mengarahkan kami untuk duduk di kursi yang disediakan.Ruang makan yang luas itu masih sepi. Meja makan panjang dengan empat pasang kursi yang berhadapan serta satu kursi di masing-masing ujungnya itu hanya diisi oleh Kakek Darren, aku, dan Darren. Sedangkan kursi kosong yang tersisa masih banyak. Aku duduk di sebelah Darren, di bagian tengah meja. Sementara kakek berada di kursi paling ujung, laksana raja yang duduk di singgasana.Berbagai hi

    Last Updated : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 5

    Darren sama sekali tidak bisa basa-basi. Setelah tempo hari bilang dengan sangat berterus terang kepada tanteku bahwa dia akan menikahiku, lalu esoknya dia bilang pernikahan kami akan diselenggarakan minggu depan. Astaga! Aku benar-benar tidak diizinkan untuk bernapas barang sebentar.Pukul dua siang kelasku selesai. Segera kukemasi buku-buku di meja dan kumasukkan secara asal ke dalam tas. Ponselku berdering tepat saat aku baru saja bangkit dari duduk. Kuraih benda pipih itu dan dengan cepat menempelkan layar ke telinga setelah mengusap ikon telepon berwarna hijau ke atas."Ada apa?" ucapku tanpa basa-basi. Buat apa juga basa-basi kepada orang yang tidak bisa basa-basi?"Keluar. Aku di depan."Aku mengembuskan napas kesal. Padahal aku baru saja berniat pulang dan tidur. Dasar laki-laki tukang atur menyebalkan!"Untuk apa ke mari? Aku bisa pulang sendiri.""Keluar sekarang atau aku yang akan masuk dan menyeretmu?"Ish! Mengapa manusia ini sangat suka mengancam orang? Sifatnya sama sek

    Last Updated : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 6

    Hari yang ditunggu-tunggu —entah oleh siapa— akhirnya tiba. Pukul tujuh pagi Darren menjemputku untuk kemudian berangkat bersama ke Dallas, tepatnya ke The Adolphus hotel, salah satu hotel termewah di Texas, tempat pesta pernikahan kami akan digelar.Pemberkatan dijadwalkan pukul sembilan pagi. Lalu, dilanjutkan dengan resepsi sampai dini hari. Begitulah yang dikatakan Darren padaku selama perjalanan. Setelah hampir tiga puluh menit berkendara, BMW Darren memasuki Commerce street, dan berbelok ke arah kiri memasuki tempat parkir gedung. Darren mengambil tempat parkir bawah tanah dan menghentikan mobilnya di sudut area.Udara dingin seketika menusuk tulang. Kueratkan coat yang kukenakan untuk menghalau hawa dingin yang berusaha menelusup masuk. Di depan lift, kami sudah di sambut oleh sepasang laki-laki dan sepasang perempuan berpakaian formal. Mereka kemudian menggiring kami ke sebuah kamar untuk berganti pakaian dan melakukan persiapan.Darren bersama laki-laki yang tadi menjemput ka

    Last Updated : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 7

    Bel kamar berbunyi tepat saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Masih dengan bathrobe yang membalut tubuh serta handuk kecil yang kugunakan untuk mengeringkan rambut, aku membuka pintu.Darren menerobos masuk begitu saja dan segera melemparkan tubuh ke atas ranjang. Wajahnya tampak lesu, setelan yang dia kenakan juga sudah kusut acak-acakan. Kantung mata hitam yang menggantung di bawah kelopak matanya menandakan dia tidak tidur semalaman."Kau dari mana?" Aku bertanya. Hanya untuk basa-basi lebih tepatnya."Bukan urusanmu," jawabnya datar. Aku mengembuskan napas kesal.Merasa tidak sepantasnya aku bertanya lebih jauh, kuteruskan saja kegiatan yang tadi sempat tertunda. Hair dryer di meja rias kugunakan untuk mengeringkan rambut, kemudian menyisirnya. Setelah itu, aku mengambil baju ganti yang tadinya akan kupakai di kamar, kubawa ke kamar mandi.Mana mungkin aku memakai baju di depan Darren, kan? Meskipun dia tengah tidur terlentang sambil menutup mata sekarang, aku yakin dia bel

    Last Updated : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 8

    Aku sedang mengerjakan jurnal untuk diberikan kepada Mrs. Moore besok, saat telingaku mendengar suara deru mesin mobil memasuki halaman. Kulirik jam di sudut bawah laptopku. Pukul setengah satu malam. Aku mengernyitkan dahi. Siapa gerangan yang bertamu selarut ini? Apakah itu Darren?Penasaran, segera aku berlari ke arah jendela di samping kanan ranjangku dan mengintip dari celah tirai yang sedikit terbuka.Benar. Itu mobil yang dibawa Darren sore tadi.Kembali kududukkan diri di atas ranjang berseprai biru langit. Berusaha menekuri pekerjaanku lagi, meski kini konsentrasiku telah terganggu. Kira-kira ke mana perginya Darren tadi? Apa ke klub? Apa dia baru saja tidur dengan seorang gadis? Aku menggelengkan kepala buru-buru. Untuk apa memikirkan hal-hal seperti itu?Tak lama, terdengar suara seseorang menaiki tangga, disusul suara Darren yang memanggilku dari luar, membuatku berjengkit kaget."Bubble ...." Langkah kaki lelaki itu berhenti di depan pintu kamarku.Shit! Manusia itu mema

    Last Updated : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 9

    Jarum jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam saat aku akhirnya memasuki halaman rumah milik Darren, setelah sebelumnya turun dari taksi yang kutumpangi. Seorang security menyambutku dengan membukakan gerbang sambil menganggukkan kepala sopan, yang kubalas dengan senyuman tipis. Dalam keadaan tubuh lelah aku melangkah masuk ke rumah.Suasana rumah sudah sepi. Para pelayan yang biasa berkeliaran di rumah besar ini tak terlihat lagi kehadirannya. Mungkin semua penghuni rumah sudah terlelap, tak terkecuali Darren. Atau mungkin lelaki itu justru masih di luar? Entahlah. Aku malas memikirkannya.Dengan gontai kutatih langkah untuk menaiki satu per satu anak tangga. Namun, saat kakiku baru sampai anak tangga tengah, kudengar pintu kamar sebelah kanan terbuka, memunculkan tubuh tegap dengan dada bidang milik seorang Darren Smith, setelah itu dia menutup daun pintu dengan keras. Aku terlonjak."Ke mana saja kau hingga baru pulang tengah malam begini?" Suaranya te

    Last Updated : 2022-07-02

Latest chapter

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 19

    Dua Minggu pasca insiden penembakan, keluarga Sanchez semakin gencar melakukan penyerangan. Wilayah-wilayah bagian timur telah habis dikuasai Kartel Sanchez. Sepertinya usaha Bill untuk melakukan negosiasi berakhir gagal dan Darren harus mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Lelaki itu menggoyangkan gelas kristal berisi whiskey dan es batu yang sudah mulai mencair dengan tatapan kosong ke depan. Berdiri di depan meja bar dengan sebelah tangannya menopang dagu. Dahinya berkerut sesekali, lalu mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya menenggak minumannya hingga tandas. Dia mengunyah es batunya dengan tatapan kosong yang tajam. Jelas sekali terlihat kepanikan dan ketegangan dari raut wajahnya. Banyak hal yang dia pikirkan di situasi seperti ini. Sedikit banyak dia menyesali beberapa hal yang dia lakukan dalam kurun waktu beberapa bulan ini. Salah satunya adalah keputusannya untuk menikahi Naomi. Entah apa yang ada di benak lelaki itu saat dengan mudahnya menyuruh Naom

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 18

    Sudah empat hari aku dirawat di rumah sakit. Selama empat hari itu pula Darren setia menjaga dan merawatku di sini. Meskipun tak jarang di malam hari saat aku hendak tertidur, dia menyelinap keluar untuk pergi entah ke mana. Lalu pagi harinya dia sudah kembali berada di sofa, menyapaku yang baru bangun tidur. Beberapa kali Ainsley juga datang lagi hanya untuk menjagaku. Katanya, Darren yang meminta. Hubunganku dengan Darren pun kurasa tak lagi setegang dulu. Meskipun cara bicaranya masih dingin dan terkadang ketus, aku bisa merasakan sisi lembut dari perhatiannya padaku selama sakit ini. Kadang kala Darren melontarkan candaan, atau kadang mengajakku berbincang hanya demi mengenyahkan rasa sepi yang tak mengenakkan. Kurasa aku sudah tak lagi terlalu takut jika harus berduaan dengan lelaki itu.Karena kondisi kesehatanku yang cukup stabil, aku diperbolehkan pulang hari ini. Namun, karena lukaku masih basah maka aku diharuskan beristirahat dari kegiatan berat selama beberapa hari ke dep

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 17

    Deru mesin mobil yang bersahut-sahutan memecahkan keheningan malam. Lampu mobil menyorot tajam menembus kegelapan. Tiga buah mobil; abu-abu, hitam, dan merah—yang saling berkejaran melaju dengan kecepatan tinggi membelah rute jalanan Abercado menuju Hillston. Memasuki salah satu boulevard, mobil terdepan berbelok masuk ke arah sebuah pelataran rumah megah.Darren turun dari BMW abu-abunya setelah menghentikan kendaraan itu di halaman parkir dekat teras bawah. Disusul di belakangnya Zach, dan mobil merah milik Orlando terparkir terakhir.Kakeknya sedari tadi menghubungi bahwa perusahaannya dan perusahaan milik Sanchez sedang berada dalam perebutan sengit mengenai pembagian wilayah penjualan. Sebelumnya, hal-hal seperti ini tak pernah terjadi, karena kedua perusahaan itu akan selalu bekerja sama dalam berbagai hal, entah untuk penyelundupan, maupun penjualan barang.Namun, sepertinya masalah mulai muncul saat keduanya mulai mencampuradukkan antara masalah pekerjaan dan masalah personal.

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 16

    Di sore hari setelah kepergian Ainsley dan Amber, Darren baru memunculkan batang hidungnya di hadapanku. Wajahnya terlihat lelah, atau seperti sedang memendam sesuatu. Dia masuk lalu duduk di kursi di samping ranjangku. Matanya memindai piring kosong di atas nakas."Sudah minum obatmu?" tanyanya memastikan, meski aku yakin dia tau jawabannya.Aku hanya mengangguk. Rasanya canggung sekali berada dalam satu kamar dengan Darren. Ini mengingatkanku pada kejadian di malam pertama kami kembali bertemu.Darren hanya mengedikkan bahu dan tak mengatakan apa pun lagi. Dia beranjak duduk di sofa panjang yang tepat berada di seberang ranjangku. Tangannya merogoh ponsel, kemudian terlihat berkutat dengan benda itu. Huft. Lagi-lagi dia sibuk dengan dunianya. Aku tau dia adalah seorang CEO dari perusahaan ternama, wajar jika dia sesibuk itu. Namun, apakah sopan bila menjenguk seseorang yang sedang sakit tetapi malah sibuk sendiri dengan ponselnya? Dasar lelaki tidak tau tata krama!Sepertinya dia s

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 15

    Hal pertama yang aku lihat saat aku membuka mata adalah langit-langit kamar berwarna putih, selang infus di tangan, juga aroma antiseptik yang memenuhi seluruh ruangan segera menusuk penciuman. Lalu, saat menoleh ke kiri, di sana ada Darren. Duduk di sisi brankarku sambil menelungkupkan wajah ke kasur brankar dengan lengan yang menjadi penopangnya. Matanya memejam. Nafasnya teratur dan tenang. Punggungnya terlihat naik turun dengan irama konstan setiap kali dia menarik napas.Aku memutar otak, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. Yang kutahu aku sedang berada di rumah sakit. Tapi kenapa?Ah, benar. Makan malam di rumah Ainsley, lalu terdengar suara tembakan dari balik pohon di halaman belakang rumah. Begitu otakku berhasil mengingat kejadian itu, aku baru menyadari rasa nyeri yang menyengat di bahu sebelah kiri. Kulirik bahuku. Di sana memang ada perban. Telapak tangan kananku juga diperban, sementara selang infus ada di punggung tangan kiri.Sekarang aku mengerti apa y

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 14

    "Chill out, Dude. Bisakah kau memperlakukan perempuan dengan lebih gentle?" Zach berdiri di depanku, seakan ingin melindungiku dari serangan mematikan Darren. Tangannya masih menggenggam pergelangan tanganku dengan lembut, namun erat.Darren mengembuskan napas keras sembari menyugar rambutnya ke belakang. "Bisakah kau berhenti ikut campur urusan rumah tanggaku?"Tatapan kami bertemu untuk sepersekian detik. Maksudku, aku dan Darren. Lalu, buru-buru aku kembali menunduk, melepaskan tanganku dari Zach pelan-pelan, meraih tas, lalu berdiri."Eum ... maafkan aku, Zach. Sepertinya aku harus pulang sekarang. Terima kasih untuk makan malamnya." Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, aku segera berlalu. Melangkah dengan cepat menuruni tangga dan terus melangkah hingga keluar dari restoran tanpa sedikit pun berniat menoleh ke belakang. Aku tak peduli bahkan jika di dalam sana mereka sedang baku hantam. Aku tak ingin terlibat dengan apa pun itu dan membuat urusan menjadi panjang.Namun, seper

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 13

    Shiftku berakhir pukul tujuh. Selesai mengganti seragam kafe dengan kemeja yang sebelumnya kukenakan, aku bergegas keluar dari ruang loker. Beberapa karyawan yang berpapasan menyapa ramah. Aku tersenyum seraya melambaikan tangan untuk berpamitan. Juliette juga baru saja memasuki kafe karena jadwal shiftnya baru dimulai. Aku tersenyum saat dia menyapaku, sambil terus melanjutkan langkah keluar kafe.Langit sudah hampir gelap saat aku menginjakkan kaki di pelataran kafe. Begitu sampai di halaman, kulihat Zach baru saja masuk ke dalam mobilnya. Aku memperlambat langkah kaki untuk menunggunya pergi terlebih dahulu. Namun, sampai beberapa menit kemudian, mobilnya tak kunjung berlalu. Hingga akhirnya kulihat dia justru membuka kaca mobil dan memanggilku."Masuklah. Kuantar kau pulang," katanya setelah aku berhenti di samping mobilnya."Tak usah. Aku bisa pulang sendiri," ujarku. Merasa tidak enak karena walau bagaimanapun, dia adalah bosku.Zach tersenyum sekilas. "Tak perlu merasa sungkan

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 12

    Pagi ini kelas terasa hening. Hanya suara detak jarum jam serta penjelasan dari Mr. Robinson yang berdengung samar-samar di telingaku. Entah keadaan kelas yang memang hening karena anak-anak merasa bosan dengan materi yang dibawakan Mr. Robinson, atau aku yang sedari tadi sibuk melamun, memikirkan tingkah Darren yang terasa aneh akhir-akhir ini.Beberapa hari terakhir sikap Darren agak berubah. Semenjak malam itu, malam di mana aku diantar pulang oleh Zach yang berujung pada pertengkaran kami, sikap Darren menjadi berubah. Pagi harinya dia memaksa mengantarku ke kampus, lalu pulangnya dia memaksa mengantarku ke kafe tempatku bekerja—yang mana adalah kafe milik Zach, lalu setelah pekerjaanku selesai, dia juga memaksa menjemputku pulang. Dan hal itu berlangsung hingga beberapa hari belakangan. Sikap seperti itu sebenarnya tidak aneh jika dilakukan oleh orang lain. Akan tetapi, menjadi cukup aneh jika itu adalah Darren, mengingat bagaimana dingin dan kejamnya dia kepadaku dahulu. Aku se

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 11

    Rahang Darren seketika mengeras mendengar ucapan sarat kemarahan dari Naomi. Dirinya sama sekali tak menyangka, gadis pendiam itu memiliki keberanian untuk menumpahkan kata-kata makian untuknya seperti tadi. Tangannya mengepal, menahan diri sekuat tenaga agar tak meninju dinding di sampingnya.Sepeninggal Naomi, dia merogoh saku celananya dan meraih ponsel. Dicarinya salah satu nama orang kepercayaannya, kemudian membuat panggilan."Aku punya pekerjaan untukmu," ucapnya tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. Setelah menjelaskan beberapa hal, tanpa menunggu jawaban dari seberang, dia segera memutus panggilan.Kembali dimasukkannya ponsel itu ke dalam saku, lalu dia berjalan keluar rumah. Gegas dia masuki mobil abu-abu miliknya yang terparkir rapi di carport, kemudian menyalakan mesin sebelum melajukannya keluar dari halaman. Sebelum meninggalkan halaman, ujung mata Darren menangkap bayangan korden dibuka di kamar sebelah. Senyum miring tersungging di bibir. Meskipun marah, terny

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status