Suara ketukan di pintu membuatku menoleh. Aku dan Darren saling pandang sejenak, sebelum suara seseorang di luar membuat kami mengalihkan pandangan kembali ke daun pintu yang masih tertutup."Excuse me, Sir, dinner is ready," kata seorang pelayan dari luar pintu kamar."We come," sahut Darren dengan nada datar.Tepat pukul tujuh malam, aku dan Darren digelandang ke arah ruang makan yang berada di sebelah kamar tempatku beristirahat. Yah, meskipun bersebelahan tentu saja jaraknya tidak hanya satu dua langkah. Seorang pelayan memandu kami kemudian mengarahkan kami untuk duduk di kursi yang disediakan.Ruang makan yang luas itu masih sepi. Meja makan panjang dengan empat pasang kursi yang berhadapan serta satu kursi di masing-masing ujungnya itu hanya diisi oleh Kakek Darren, aku, dan Darren. Sedangkan kursi kosong yang tersisa masih banyak. Aku duduk di sebelah Darren, di bagian tengah meja. Sementara kakek berada di kursi paling ujung, laksana raja yang duduk di singgasana.Berbagai hi
Darren sama sekali tidak bisa basa-basi. Setelah tempo hari bilang dengan sangat berterus terang kepada tanteku bahwa dia akan menikahiku, lalu esoknya dia bilang pernikahan kami akan diselenggarakan minggu depan. Astaga! Aku benar-benar tidak diizinkan untuk bernapas barang sebentar.Pukul dua siang kelasku selesai. Segera kukemasi buku-buku di meja dan kumasukkan secara asal ke dalam tas. Ponselku berdering tepat saat aku baru saja bangkit dari duduk. Kuraih benda pipih itu dan dengan cepat menempelkan layar ke telinga setelah mengusap ikon telepon berwarna hijau ke atas."Ada apa?" ucapku tanpa basa-basi. Buat apa juga basa-basi kepada orang yang tidak bisa basa-basi?"Keluar. Aku di depan."Aku mengembuskan napas kesal. Padahal aku baru saja berniat pulang dan tidur. Dasar laki-laki tukang atur menyebalkan!"Untuk apa ke mari? Aku bisa pulang sendiri.""Keluar sekarang atau aku yang akan masuk dan menyeretmu?"Ish! Mengapa manusia ini sangat suka mengancam orang? Sifatnya sama sek
Hari yang ditunggu-tunggu —entah oleh siapa— akhirnya tiba. Pukul tujuh pagi Darren menjemputku untuk kemudian berangkat bersama ke Dallas, tepatnya ke The Adolphus hotel, salah satu hotel termewah di Texas, tempat pesta pernikahan kami akan digelar.Pemberkatan dijadwalkan pukul sembilan pagi. Lalu, dilanjutkan dengan resepsi sampai dini hari. Begitulah yang dikatakan Darren padaku selama perjalanan. Setelah hampir tiga puluh menit berkendara, BMW Darren memasuki Commerce street, dan berbelok ke arah kiri memasuki tempat parkir gedung. Darren mengambil tempat parkir bawah tanah dan menghentikan mobilnya di sudut area.Udara dingin seketika menusuk tulang. Kueratkan coat yang kukenakan untuk menghalau hawa dingin yang berusaha menelusup masuk. Di depan lift, kami sudah di sambut oleh sepasang laki-laki dan sepasang perempuan berpakaian formal. Mereka kemudian menggiring kami ke sebuah kamar untuk berganti pakaian dan melakukan persiapan.Darren bersama laki-laki yang tadi menjemput ka
Bel kamar berbunyi tepat saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Masih dengan bathrobe yang membalut tubuh serta handuk kecil yang kugunakan untuk mengeringkan rambut, aku membuka pintu.Darren menerobos masuk begitu saja dan segera melemparkan tubuh ke atas ranjang. Wajahnya tampak lesu, setelan yang dia kenakan juga sudah kusut acak-acakan. Kantung mata hitam yang menggantung di bawah kelopak matanya menandakan dia tidak tidur semalaman."Kau dari mana?" Aku bertanya. Hanya untuk basa-basi lebih tepatnya."Bukan urusanmu," jawabnya datar. Aku mengembuskan napas kesal.Merasa tidak sepantasnya aku bertanya lebih jauh, kuteruskan saja kegiatan yang tadi sempat tertunda. Hair dryer di meja rias kugunakan untuk mengeringkan rambut, kemudian menyisirnya. Setelah itu, aku mengambil baju ganti yang tadinya akan kupakai di kamar, kubawa ke kamar mandi.Mana mungkin aku memakai baju di depan Darren, kan? Meskipun dia tengah tidur terlentang sambil menutup mata sekarang, aku yakin dia bel
Aku sedang mengerjakan jurnal untuk diberikan kepada Mrs. Moore besok, saat telingaku mendengar suara deru mesin mobil memasuki halaman. Kulirik jam di sudut bawah laptopku. Pukul setengah satu malam. Aku mengernyitkan dahi. Siapa gerangan yang bertamu selarut ini? Apakah itu Darren?Penasaran, segera aku berlari ke arah jendela di samping kanan ranjangku dan mengintip dari celah tirai yang sedikit terbuka.Benar. Itu mobil yang dibawa Darren sore tadi.Kembali kududukkan diri di atas ranjang berseprai biru langit. Berusaha menekuri pekerjaanku lagi, meski kini konsentrasiku telah terganggu. Kira-kira ke mana perginya Darren tadi? Apa ke klub? Apa dia baru saja tidur dengan seorang gadis? Aku menggelengkan kepala buru-buru. Untuk apa memikirkan hal-hal seperti itu?Tak lama, terdengar suara seseorang menaiki tangga, disusul suara Darren yang memanggilku dari luar, membuatku berjengkit kaget."Bubble ...." Langkah kaki lelaki itu berhenti di depan pintu kamarku.Shit! Manusia itu mema
Jarum jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam saat aku akhirnya memasuki halaman rumah milik Darren, setelah sebelumnya turun dari taksi yang kutumpangi. Seorang security menyambutku dengan membukakan gerbang sambil menganggukkan kepala sopan, yang kubalas dengan senyuman tipis. Dalam keadaan tubuh lelah aku melangkah masuk ke rumah.Suasana rumah sudah sepi. Para pelayan yang biasa berkeliaran di rumah besar ini tak terlihat lagi kehadirannya. Mungkin semua penghuni rumah sudah terlelap, tak terkecuali Darren. Atau mungkin lelaki itu justru masih di luar? Entahlah. Aku malas memikirkannya.Dengan gontai kutatih langkah untuk menaiki satu per satu anak tangga. Namun, saat kakiku baru sampai anak tangga tengah, kudengar pintu kamar sebelah kanan terbuka, memunculkan tubuh tegap dengan dada bidang milik seorang Darren Smith, setelah itu dia menutup daun pintu dengan keras. Aku terlonjak."Ke mana saja kau hingga baru pulang tengah malam begini?" Suaranya te
Aku berdiri dengan gugup di tengah ruangan, dikelilingi oleh orang-orang yang menatapku dengan tatapan berbeda-beda. Ada yang prihatin, ada yang bersimpati, ada pula yang menatapku dengan senyum miring meremehkan.Kami sedang berkumpul di ruang pertemuan, sesuai instruksi dari Mr. Johannes. Semua pegawai berdiri berkeliling membentuk lingkaran, dengan aku, Mr. Johannes, dan bos kami yang menjadi porosnya.Berdiri di tengah-tengah mereka, bersama dua orang paling penting di kafe ini membuatku merasa seperti terdakwa yang sedang menunggu sidang vonis mati. Kutundukkan kepala dalam-dalam, jemari saling meremas di depan perut. Kaki yang terasa lemah kupaksa berdiri menopang tubuh dengan tegak.Suara dehaman maskulin terdengar. Lelaki di hadapanku maju satu langkah ke arahku. Aku meremas jari semakin keras, rasa gugup juga panik dan takut bercampur jadi satu dalam dadaku. Membuat ritme detak jantungku berantakan."Apa yang kau lakukan, Frederick? Apa ramainya pelanggan yang datang ke mari
Rahang Darren seketika mengeras mendengar ucapan sarat kemarahan dari Naomi. Dirinya sama sekali tak menyangka, gadis pendiam itu memiliki keberanian untuk menumpahkan kata-kata makian untuknya seperti tadi. Tangannya mengepal, menahan diri sekuat tenaga agar tak meninju dinding di sampingnya.Sepeninggal Naomi, dia merogoh saku celananya dan meraih ponsel. Dicarinya salah satu nama orang kepercayaannya, kemudian membuat panggilan."Aku punya pekerjaan untukmu," ucapnya tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. Setelah menjelaskan beberapa hal, tanpa menunggu jawaban dari seberang, dia segera memutus panggilan.Kembali dimasukkannya ponsel itu ke dalam saku, lalu dia berjalan keluar rumah. Gegas dia masuki mobil abu-abu miliknya yang terparkir rapi di carport, kemudian menyalakan mesin sebelum melajukannya keluar dari halaman. Sebelum meninggalkan halaman, ujung mata Darren menangkap bayangan korden dibuka di kamar sebelah. Senyum miring tersungging di bibir. Meskipun marah, terny