Share

Bab 3

Penulis: Hanna Aisha
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-16 22:20:00

Matahari musim panas bersinar terang di langit Texas. Gumpalan awan seputih kapas mengarak pelan menghiasi langit biru yang terbentang luas. Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan kering dari pohon-pohon yang mulai meranggas.

Suhu udara siang ini mencapai tiga puluh satu derajat celsius. Meskipun musim panas sebentar lagi berakhir, suhu udara di sini masih setinggi itu. Begitu turun dari mobil Darren, aku segera masuk ke rumah untuk berlindung dari sengatan terik dan berlari menuju kamar. Kurebahkan tubuh yang lelah —sepulang kuliah— di atas ranjang sembari menatap nanar langit-langit kamar. Pendingin ruangan menderu pelan, mengembuskan hawa dingin yang menerpa seluruh badan.

Pandanganku beralih ke arah meja rias. Di sana berjejer foto-foto keluarga yang terbingkai dalam figura kecil-kecil. Ada aku, Mommy, nenek, juga saudara sepupuku. Itu adalah foto-foto yang kami ambil setiap kali kami berkunjung ke tempat nenek. Di dinding juga masih terpasang foto saat aku masih kecil dan berada dalam gendongan Mommy. Tubuhku masih gempal saat itu. Aku bahkan lupa foto itu diambil saat umurku berapa tahun, yang jelas saat itu keluargaku masih sempurna. Hidupku masih bahagia.

Ini adalah musim panas pertama yang kulalui tanpa Mommy, tanpa berlibur ke pantai, tanpa berkunjung ke rumah nenek di Indonesia. Musim panas pertama yang kulalui seorang diri. Dengan berbagai macam ujian yang tak kunjung sanggup kulewati.

Aku selalu menyukai musim panas. Terik matahari yang begitu menyengat tak menggentarkanku untuk tetap menyukai musim itu. Bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Mommy adalah alasan mengapa aku begitu mencintai libur musim panas. Namun, musim panas tahun lalu adalah musim yang paling kubenci dalam hidup. Aku bahkan berharap, musim itu tak perlu hadir di hidupku.

Sepulangnya aku dan Mommy dari Indonesia, kami dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa Daddy ternyata selama ini berselingkuh dengan sekretarisnya di kantor—Emily Milton. Wanita ular itu bahkan berhasil menghasut Daddy untuk mengalihkan semua aset perusahaan atas namanya.

Tentu saja Mommy sangat marah. Mereka bertengkar hebat selama berhari-hari. Pertengkaran yang membuatku begitu ketakutan sampai tak berani keluar kamar. Aku bahkan membolos kuliah beberapa hari saking tertekannya dengan keadaan kala itu. Sayangnya, aku hanya bisa meringkuk di atas ranjang kamar sambil menutup telinga dengan kedua tangan, tanpa bisa melakukan apa-apa. Mommy lalu mengajakku meninggalkan rumah yang dulu kami tempati bersama Daddy, dan pindah ke rumah ini.

Setelah beberapa bulan berjuang mati-matian menghidupi aku dan dirinya sendiri, tubuh Mommy akhirnya menyerah. Dia jatuh sakit, sampai harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Restoran yang selama ini menjadi sumber penghasilan penunjang hidup kami, dengan terpaksa harus dijual. Mommy bangkrut dengan cepat, dan tak lama setelahnya dia meninggal. Dia pergi menjemput kebahagiaan abadi dan meninggalkanku seorang diri menghadapi hidup yang pahit ini.

"Bubble ...." Suara Darren menyentakku dari lamunan.

Aish! Laki-laki itu ....

Segera kuusap sudut mata yang berair menggunakan ibu jari, lalu bangkit dari tempat tidur dan bergegas menemui laki-laki itu di ruang tamu.

"Berhentilah memanggilku Bubble, Mr. Smith. Tidakkah kau mengerti ucapanku?" sergahku sambil menghentak-hentakkan kaki menuju sofa tempatnya duduk.

Sepulang kuliah, aku memang menghubungi Darren untuk memintanya menjemputku—seperti pesannya pagi tadi. Lalu, dia mengantarku ke rumah dan menyuruhku bersiap untuk menemui kakeknya. Namun, apa tidak bisa dia mengizinkanku beristirahat sebentar?

Tanpa mengindahkan ucapanku, dia justru berkata, "Bergegaslah. Waktuku tidak banyak."

Spontan sudut bibirku tertarik sebelah, mencibir. "Sabarlah! Aku butuh istirahat sebentar. Memangnya kau tidak lelah?"

Tanpa menunggu jawaban darinya, aku kembali masuk ke kamar. Sejenak aku berdiri di depan lemari. Mengedarkan pandangan ke tumpukan baju di dalam sana, tetapi aku bingung harus mengenakan baju seperti apa untuk bertemu kakek Darren. Akhirnya pilihanku jatuh pada setelan kemeja putih, rok span sebatas lutut berwarna hitam, serta blazer hitam.

Segera saja aku mengganti baju, memulas wajah dengan makeup sederhana yang kubisa, menata rambut agar terlihat lebih rapi, lalu keluar untuk kembali menemui lelaki yang sedari tadi berisik memanggil-manggil namaku.

"Begini, cukup?" tanyaku setelah berdiri di hadapannya.

Sesaat dia terpaku. Matanya tak berkedip menatapku. Lalu, tiba-tiba tawanya pecah.

"Apa kau mau melamar kerja di rumahku? Yang benar saja, Bubble! Kau tidak punya gaun atau apa pun yang lebih masuk akal?"

Aku memberengut. Salah sendiri, dia tidak bilang aku harus memakai baju seperti apa!

Akhirnya kembali kuputar langkah ke kamar untuk mengganti baju. Dress berwarna pink salmon sepertinya cocok. Itu adalah baju yang dihadiahkan Mommy untuk ulang tahunku yang ke enam belas, saat berat badanku akhirnya menyentuh angka normal. Dress selutut dengan bagian bahu terbuka itu terlihat feminine dan elegan. Jika dipadukan dengan wedges putih pasti akan sangat cantik.

Setelah mematut diri di depan cermin untuk memastikan dress itu terpasang sempurna di tubuh, aku melepaskan ikatan rambut dan memutuskan untuk menggerainya saja. Bagian leher yang terbuka kupasang aksesoris berupa kalung dengan liontin kecil. Setelah merasa puas, aku meraih tas tangan di lemari dan memasukkan ponsel beserta dompet ke dalamnya.

Aku melangkah keluar menemui Darren untuk menunjukkan hasil make-overku. Awas saja jika dia berani mencemooh lagi.

"Begini?" tanyaku lagi. Kepalaku menunduk sambil jemari memilin ujung renda di bagian pinggang.

Aku tak berani menatap wajahnya. Akan tetapi, suara decaknya membuatku mengangkat wajah seketika.

Binar di kedua matanya menunjukkan bahwa aku tidak salah kostum lagi sekarang.

"Ini baru bagus. Kau tidak kalah cantik dengan wanita yang dijodohkan denganku." Dia menyeletuk sebelum bangkit dan keluar rumah mendahuluiku.

Aish! Dia selalu saja begitu.

***

Mobil melaju kencang dari Abercado street menuju Hillston street selama empat puluh lima menit. Setelah melewati persimpangan, Darren memutar kemudi memasuki Boulevard tempat tinggal kakeknya berada. Semakin mendekati lokasi, entah mengapa telapak tanganku semakin dingin. Aku deg-degan, takut, cemas, semua rasa tidak nyaman bercampur menjadi satu hingga membuatku merasa mulas.

Seharusnya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku tinggal mengikuti semua instruksi Darren, dan semuanya akan berlalu dengan mudah. Aku yakin, dia juga takkan membiarkanku bingung sendirian jika ditanya hal-hal yang aku tak paham. Namun, tetap saja suasana di rumah itu dan respon kakek Darren saat melihatku nanti tak bisa diprediksi, membuatku semakin gelisah.

"Kau takut?" tanya lelaki yang sedang memutar kemudi memasuki gerbang sebuah mansion mewah, tanpa mengalihkan pandangan ke arahku.

Aku meremas jari di atas paha. "Sedikit."

"Santai saja. Kalau kau tidak bisa menjawab pertanyaan kakekku, cukup diam. Biar aku yang menangani."

Aku mengangguk dalam diam. Rasanya seluruh tubuhku terasa menggigil. AC dalam mobil yang kunaiki juga memperparah keadaan.

Dia menghentikan mobil di tempat parkir dan bergegas turun setelah seseorang membukakan pintu miliknya. Orang yang sama memutari mobil dan membukakan pintu untukku juga. Setelah itu, Darren meraih tanganku dan menggandengnya. Praktis tubuhku tersentak.

"Relax, Bubble," bisiknya.

Aku berusaha memperbaiki mimik muka. Semoga saja raut tegang wajahku tak terdeteksi oleh mereka.

Kami melangkah menaiki anak-anak tangga kecil di teras mansion. Dua pilar besar menyangga langit-langit teras. Mansion bernuansa hitam putih itu begitu megah, apalagi saat kakiku melangkah memasuki pintu utama yang berdiri menjulang, setinggi tiga meter.

Darren masih saja menggenggam tanganku saat kami masuk ke ruang tamu. Interiornya bergaya Eropa klasik. Satu set sofa mewah yang berada di tengah ruangan menjadi tujuan kami untuk duduk. Ruang tamu itu begitu luas, bahkan mungkin lebih luas dari gabungan ruang tamu dan ruang keluarga di rumahku.

Berbagai barang-barang antik yang kutaksir harganya jutaan dolar, terpajang dalam lemari kaca berpelitur emas di keempat sudutnya, beberapa yang lain dipajang di atas bufet mewah berwarna senada dengan lemari kaca di sudut ruangan.

Bingkai-bingkai besar menggantung di dinding, menampilkan foto orang-orang yang kuprediksi adalah keluarga pemilik rumah. Salah satunya Darren kecil. Astaga, otakku seketika memutar memori lama begitu melihat wajah itu.

Seorang gadis cantik berambut pirang yang mengenakan pakaian khas pelayan rumah keluar membawa nampan berisi teh hangat. Dia meletakkan cangkir teh di meja depan kami, lalu pamit undur diri.

"Oh, lihatlah siapa yang datang ...." Suara serak seseorang dari lantai dua membuatku memalingkan muka.

Sesosok tubuh tegap pria tua menuruni tangga secara perlahan. Keriput di wajah itu sama sekali tak sanggup menghapus sisa-sisa ketampanan di sana. Rambutnya telah memutih sempurna, tetapi cara berjalannya masih begitu tegap. Orang itu —yang kutebak adalah kakek Darren— seperti hanya wajahnya saja yang menua, sementara tubuhnya masih sebugar saat muda.

Pria tua itu berdiri di depan kami, atau lebih tepatnya di depan Darren. Menarik lengan Darren dan meraup tubuh cucunya itu dalam pelukan singkat. Senyuman lebar tak lepas dari bibirnya sejak pertama kali melihat Darren datang. Mungkin lelaki yang berdiri di sampingku kini adalah seorang cucu kesayangan. Senyum itu seketika musnah begitu kakek Darren melirik ke arahku. Detak jantungku semakin berpacu melihat raut wajah penuh selidik itu.

"Bagaimana kabarmu, Cucuku?" tanya kakek Darren seraya mendudukkan diri di sofa tunggal dekat Darren.

"Seperti yang kau lihat, Kek. Aku baik."

"Kau datang terlalu cepat. Acara makan malamnya masih beberapa jam lagi." Kakek Darren lalu mengalihkan pandangan ke arahku, matanya memicing. "Lalu ... siapa gadis ini?"

Lidahku mendadak kelu, sedang jemari sibuk memainkan ujung gaun. Aura mengintimidasi dari tatapan kakek Darren mengingatkanku pada kelakuan cucunya saat kecil dulu.

"Aku ke sini bukan untuk menghadiri acara makan malam itu, melainkan untuk menepati ucapanku tempo hari."

Darren menoleh ke arahku, membuatku secara otomatis membalas tatapannya. "Dia wanita yang ingin kunikahi."

"Apa?!" Kakek Darren terbelalak.

"Waktu itu kau sendiri yang bilang, Kakek, jika aku bisa membawa wanita lain yang akan kunikahi, maka aku akan terbebas dari belenggu perjodohan itu. Inilah wanitanya. Aku membawanya hari ini untuk mengenalkannya padamu," jelas Darren.

Kakeknya terlihat mengerutkan kening. Jemarinya memilin rambut halus yang tumbuh di dagu.

"Siapa kau? Dari keluarga mana?" tanya kakek setelah mengamatiku beberapa saat.

"Saya Naomi, Kek." Aku berucap dengan susah payah.

"Dari keluarga mana kau berasal?"

Aku terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa, tetapi Darren dengan cepat menimpali. "Apa itu penting?"

"Tentu saja. Aku harus memastikan dia tidak berasal dari keluarga musuh yang diam-diam menggodamu untuk menghancurkan keluarga ini," tegas kakek Darren yang membuatku menahan napas karena kaget. Lelaki tua itu menghela napas sesaat sebelum melanjutkan, "Aku juga harus memastikan bahwa dia bukan pelacur yang kau bayar untuk mengelabuhiku."

Deg!

Jantungku seolah berhenti berdetak. Aku yakin, wajahku juga sudah pucat pasi sekarang. Tebakan kakek Darren begitu telak menghantamku. Bukankah saat memutuskan menerima tawaran Darren, aku memang berstatus sebagai wanita malam?

Namun, entah bagaimana Darren menggeleng.

"Dia temanku saat di sekolah dulu. Kami tidak bertemu bertahun-tahun, dan saat bertemu lagi beberapa bulan lalu aku jatuh hati padanya," terangnya.

Yah, itu juga tidak sepenuhnya salah—kecuali penjelasan terakhir tentang jatuh hati, mungkin. It's a totally wrong!

Kakek Darren terlihat mengangguk-angguk mengerti. Namun, beberapa saat kemudian, dia kembali mengajukan pertanyaan. "Dia dari keluarga mana?" Ternyata Kakek Darren masih mempermasalahkan asal usulku.

"Keluarga Anderson. Kau tau? Perusahaan ayahnya bergerak di bidang yang berbeda dengan kita."

"Anderson? Antonio Anderson?" Dahi pria tua itu berkerut.

Aku terbelalak seketika. Lidahku yang sedari tadi kelu tiba-tiba menjadi begitu ringan untuk bersuara. "Kakek kenal Daddyku?"

Derai tawa kakek seketika mengisi keheningan ruangan. Dia menggelengkan kepala, seolah fakta yang baru saja dia ketahui tak masuk di akalnya.

"Tentu saja aku mengenalnya. Yang aku tidak tau adalah ternyata bocah ingusan itu memiliki anak gadis secantik dirimu." Setelah tawanya reda, Kakek menghadapku dan menatap intens ke kedua manikku.

"Siapa tadi namamu?" tanyanya seraya mencondongkan tubuh ke depan.

"Naomi, Kek."

"Naomi ...." Dia menggumamkan namaku sambil memindaiku dari atas ke bawah. "Kau benar-benar punya hubungan dengan cucuku?"

Aku menelan ludah, lalu kupaksakan kepalaku untuk mengangguk.

Kakek terlihat mengembuskan napas kasar. Lalu pandangannya beralih ke Darren lagi. "Baiklah jika itu keputusanmu. Aku akan mengizinkan. Tapi, kau tau kan apa konsekuensinya?"

Darren mengangguk. "Tentu. Aku tau dan aku sudah siap menerima segala konsekuensinya."

Aku melirik was-was ke arah Darren. Konsekuensi apa?

"Kalau begitu ... apa kami sudah boleh pergi?"

"Pergi ke mana?" Kakek Darren balik bertanya. "Kalian akan tetap di sini untuk menghadiri makan malam nanti. Kau harus menjelaskan sendiri maksudmu menolak perjodohan ini."

Kulihat Darren terpaku di tempat. Wajahnya berubah tegang.

***

Bab terkait

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 4

    Suara ketukan di pintu membuatku menoleh. Aku dan Darren saling pandang sejenak, sebelum suara seseorang di luar membuat kami mengalihkan pandangan kembali ke daun pintu yang masih tertutup."Excuse me, Sir, dinner is ready," kata seorang pelayan dari luar pintu kamar."We come," sahut Darren dengan nada datar.Tepat pukul tujuh malam, aku dan Darren digelandang ke arah ruang makan yang berada di sebelah kamar tempatku beristirahat. Yah, meskipun bersebelahan tentu saja jaraknya tidak hanya satu dua langkah. Seorang pelayan memandu kami kemudian mengarahkan kami untuk duduk di kursi yang disediakan.Ruang makan yang luas itu masih sepi. Meja makan panjang dengan empat pasang kursi yang berhadapan serta satu kursi di masing-masing ujungnya itu hanya diisi oleh Kakek Darren, aku, dan Darren. Sedangkan kursi kosong yang tersisa masih banyak. Aku duduk di sebelah Darren, di bagian tengah meja. Sementara kakek berada di kursi paling ujung, laksana raja yang duduk di singgasana.Berbagai hi

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 5

    Darren sama sekali tidak bisa basa-basi. Setelah tempo hari bilang dengan sangat berterus terang kepada tanteku bahwa dia akan menikahiku, lalu esoknya dia bilang pernikahan kami akan diselenggarakan minggu depan. Astaga! Aku benar-benar tidak diizinkan untuk bernapas barang sebentar.Pukul dua siang kelasku selesai. Segera kukemasi buku-buku di meja dan kumasukkan secara asal ke dalam tas. Ponselku berdering tepat saat aku baru saja bangkit dari duduk. Kuraih benda pipih itu dan dengan cepat menempelkan layar ke telinga setelah mengusap ikon telepon berwarna hijau ke atas."Ada apa?" ucapku tanpa basa-basi. Buat apa juga basa-basi kepada orang yang tidak bisa basa-basi?"Keluar. Aku di depan."Aku mengembuskan napas kesal. Padahal aku baru saja berniat pulang dan tidur. Dasar laki-laki tukang atur menyebalkan!"Untuk apa ke mari? Aku bisa pulang sendiri.""Keluar sekarang atau aku yang akan masuk dan menyeretmu?"Ish! Mengapa manusia ini sangat suka mengancam orang? Sifatnya sama sek

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 6

    Hari yang ditunggu-tunggu —entah oleh siapa— akhirnya tiba. Pukul tujuh pagi Darren menjemputku untuk kemudian berangkat bersama ke Dallas, tepatnya ke The Adolphus hotel, salah satu hotel termewah di Texas, tempat pesta pernikahan kami akan digelar.Pemberkatan dijadwalkan pukul sembilan pagi. Lalu, dilanjutkan dengan resepsi sampai dini hari. Begitulah yang dikatakan Darren padaku selama perjalanan. Setelah hampir tiga puluh menit berkendara, BMW Darren memasuki Commerce street, dan berbelok ke arah kiri memasuki tempat parkir gedung. Darren mengambil tempat parkir bawah tanah dan menghentikan mobilnya di sudut area.Udara dingin seketika menusuk tulang. Kueratkan coat yang kukenakan untuk menghalau hawa dingin yang berusaha menelusup masuk. Di depan lift, kami sudah di sambut oleh sepasang laki-laki dan sepasang perempuan berpakaian formal. Mereka kemudian menggiring kami ke sebuah kamar untuk berganti pakaian dan melakukan persiapan.Darren bersama laki-laki yang tadi menjemput ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 7

    Bel kamar berbunyi tepat saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Masih dengan bathrobe yang membalut tubuh serta handuk kecil yang kugunakan untuk mengeringkan rambut, aku membuka pintu.Darren menerobos masuk begitu saja dan segera melemparkan tubuh ke atas ranjang. Wajahnya tampak lesu, setelan yang dia kenakan juga sudah kusut acak-acakan. Kantung mata hitam yang menggantung di bawah kelopak matanya menandakan dia tidak tidur semalaman."Kau dari mana?" Aku bertanya. Hanya untuk basa-basi lebih tepatnya."Bukan urusanmu," jawabnya datar. Aku mengembuskan napas kesal.Merasa tidak sepantasnya aku bertanya lebih jauh, kuteruskan saja kegiatan yang tadi sempat tertunda. Hair dryer di meja rias kugunakan untuk mengeringkan rambut, kemudian menyisirnya. Setelah itu, aku mengambil baju ganti yang tadinya akan kupakai di kamar, kubawa ke kamar mandi.Mana mungkin aku memakai baju di depan Darren, kan? Meskipun dia tengah tidur terlentang sambil menutup mata sekarang, aku yakin dia bel

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 8

    Aku sedang mengerjakan jurnal untuk diberikan kepada Mrs. Moore besok, saat telingaku mendengar suara deru mesin mobil memasuki halaman. Kulirik jam di sudut bawah laptopku. Pukul setengah satu malam. Aku mengernyitkan dahi. Siapa gerangan yang bertamu selarut ini? Apakah itu Darren?Penasaran, segera aku berlari ke arah jendela di samping kanan ranjangku dan mengintip dari celah tirai yang sedikit terbuka.Benar. Itu mobil yang dibawa Darren sore tadi.Kembali kududukkan diri di atas ranjang berseprai biru langit. Berusaha menekuri pekerjaanku lagi, meski kini konsentrasiku telah terganggu. Kira-kira ke mana perginya Darren tadi? Apa ke klub? Apa dia baru saja tidur dengan seorang gadis? Aku menggelengkan kepala buru-buru. Untuk apa memikirkan hal-hal seperti itu?Tak lama, terdengar suara seseorang menaiki tangga, disusul suara Darren yang memanggilku dari luar, membuatku berjengkit kaget."Bubble ...." Langkah kaki lelaki itu berhenti di depan pintu kamarku.Shit! Manusia itu mema

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 9

    Jarum jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam saat aku akhirnya memasuki halaman rumah milik Darren, setelah sebelumnya turun dari taksi yang kutumpangi. Seorang security menyambutku dengan membukakan gerbang sambil menganggukkan kepala sopan, yang kubalas dengan senyuman tipis. Dalam keadaan tubuh lelah aku melangkah masuk ke rumah.Suasana rumah sudah sepi. Para pelayan yang biasa berkeliaran di rumah besar ini tak terlihat lagi kehadirannya. Mungkin semua penghuni rumah sudah terlelap, tak terkecuali Darren. Atau mungkin lelaki itu justru masih di luar? Entahlah. Aku malas memikirkannya.Dengan gontai kutatih langkah untuk menaiki satu per satu anak tangga. Namun, saat kakiku baru sampai anak tangga tengah, kudengar pintu kamar sebelah kanan terbuka, memunculkan tubuh tegap dengan dada bidang milik seorang Darren Smith, setelah itu dia menutup daun pintu dengan keras. Aku terlonjak."Ke mana saja kau hingga baru pulang tengah malam begini?" Suaranya te

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-02
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 10

    Aku berdiri dengan gugup di tengah ruangan, dikelilingi oleh orang-orang yang menatapku dengan tatapan berbeda-beda. Ada yang prihatin, ada yang bersimpati, ada pula yang menatapku dengan senyum miring meremehkan.Kami sedang berkumpul di ruang pertemuan, sesuai instruksi dari Mr. Johannes. Semua pegawai berdiri berkeliling membentuk lingkaran, dengan aku, Mr. Johannes, dan bos kami yang menjadi porosnya.Berdiri di tengah-tengah mereka, bersama dua orang paling penting di kafe ini membuatku merasa seperti terdakwa yang sedang menunggu sidang vonis mati. Kutundukkan kepala dalam-dalam, jemari saling meremas di depan perut. Kaki yang terasa lemah kupaksa berdiri menopang tubuh dengan tegak.Suara dehaman maskulin terdengar. Lelaki di hadapanku maju satu langkah ke arahku. Aku meremas jari semakin keras, rasa gugup juga panik dan takut bercampur jadi satu dalam dadaku. Membuat ritme detak jantungku berantakan."Apa yang kau lakukan, Frederick? Apa ramainya pelanggan yang datang ke mari

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-02
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 11

    Rahang Darren seketika mengeras mendengar ucapan sarat kemarahan dari Naomi. Dirinya sama sekali tak menyangka, gadis pendiam itu memiliki keberanian untuk menumpahkan kata-kata makian untuknya seperti tadi. Tangannya mengepal, menahan diri sekuat tenaga agar tak meninju dinding di sampingnya.Sepeninggal Naomi, dia merogoh saku celananya dan meraih ponsel. Dicarinya salah satu nama orang kepercayaannya, kemudian membuat panggilan."Aku punya pekerjaan untukmu," ucapnya tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. Setelah menjelaskan beberapa hal, tanpa menunggu jawaban dari seberang, dia segera memutus panggilan.Kembali dimasukkannya ponsel itu ke dalam saku, lalu dia berjalan keluar rumah. Gegas dia masuki mobil abu-abu miliknya yang terparkir rapi di carport, kemudian menyalakan mesin sebelum melajukannya keluar dari halaman. Sebelum meninggalkan halaman, ujung mata Darren menangkap bayangan korden dibuka di kamar sebelah. Senyum miring tersungging di bibir. Meskipun marah, terny

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05

Bab terbaru

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 19

    Dua Minggu pasca insiden penembakan, keluarga Sanchez semakin gencar melakukan penyerangan. Wilayah-wilayah bagian timur telah habis dikuasai Kartel Sanchez. Sepertinya usaha Bill untuk melakukan negosiasi berakhir gagal dan Darren harus mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Lelaki itu menggoyangkan gelas kristal berisi whiskey dan es batu yang sudah mulai mencair dengan tatapan kosong ke depan. Berdiri di depan meja bar dengan sebelah tangannya menopang dagu. Dahinya berkerut sesekali, lalu mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya menenggak minumannya hingga tandas. Dia mengunyah es batunya dengan tatapan kosong yang tajam. Jelas sekali terlihat kepanikan dan ketegangan dari raut wajahnya. Banyak hal yang dia pikirkan di situasi seperti ini. Sedikit banyak dia menyesali beberapa hal yang dia lakukan dalam kurun waktu beberapa bulan ini. Salah satunya adalah keputusannya untuk menikahi Naomi. Entah apa yang ada di benak lelaki itu saat dengan mudahnya menyuruh Naom

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 18

    Sudah empat hari aku dirawat di rumah sakit. Selama empat hari itu pula Darren setia menjaga dan merawatku di sini. Meskipun tak jarang di malam hari saat aku hendak tertidur, dia menyelinap keluar untuk pergi entah ke mana. Lalu pagi harinya dia sudah kembali berada di sofa, menyapaku yang baru bangun tidur. Beberapa kali Ainsley juga datang lagi hanya untuk menjagaku. Katanya, Darren yang meminta. Hubunganku dengan Darren pun kurasa tak lagi setegang dulu. Meskipun cara bicaranya masih dingin dan terkadang ketus, aku bisa merasakan sisi lembut dari perhatiannya padaku selama sakit ini. Kadang kala Darren melontarkan candaan, atau kadang mengajakku berbincang hanya demi mengenyahkan rasa sepi yang tak mengenakkan. Kurasa aku sudah tak lagi terlalu takut jika harus berduaan dengan lelaki itu.Karena kondisi kesehatanku yang cukup stabil, aku diperbolehkan pulang hari ini. Namun, karena lukaku masih basah maka aku diharuskan beristirahat dari kegiatan berat selama beberapa hari ke dep

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 17

    Deru mesin mobil yang bersahut-sahutan memecahkan keheningan malam. Lampu mobil menyorot tajam menembus kegelapan. Tiga buah mobil; abu-abu, hitam, dan merah—yang saling berkejaran melaju dengan kecepatan tinggi membelah rute jalanan Abercado menuju Hillston. Memasuki salah satu boulevard, mobil terdepan berbelok masuk ke arah sebuah pelataran rumah megah.Darren turun dari BMW abu-abunya setelah menghentikan kendaraan itu di halaman parkir dekat teras bawah. Disusul di belakangnya Zach, dan mobil merah milik Orlando terparkir terakhir.Kakeknya sedari tadi menghubungi bahwa perusahaannya dan perusahaan milik Sanchez sedang berada dalam perebutan sengit mengenai pembagian wilayah penjualan. Sebelumnya, hal-hal seperti ini tak pernah terjadi, karena kedua perusahaan itu akan selalu bekerja sama dalam berbagai hal, entah untuk penyelundupan, maupun penjualan barang.Namun, sepertinya masalah mulai muncul saat keduanya mulai mencampuradukkan antara masalah pekerjaan dan masalah personal.

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 16

    Di sore hari setelah kepergian Ainsley dan Amber, Darren baru memunculkan batang hidungnya di hadapanku. Wajahnya terlihat lelah, atau seperti sedang memendam sesuatu. Dia masuk lalu duduk di kursi di samping ranjangku. Matanya memindai piring kosong di atas nakas."Sudah minum obatmu?" tanyanya memastikan, meski aku yakin dia tau jawabannya.Aku hanya mengangguk. Rasanya canggung sekali berada dalam satu kamar dengan Darren. Ini mengingatkanku pada kejadian di malam pertama kami kembali bertemu.Darren hanya mengedikkan bahu dan tak mengatakan apa pun lagi. Dia beranjak duduk di sofa panjang yang tepat berada di seberang ranjangku. Tangannya merogoh ponsel, kemudian terlihat berkutat dengan benda itu. Huft. Lagi-lagi dia sibuk dengan dunianya. Aku tau dia adalah seorang CEO dari perusahaan ternama, wajar jika dia sesibuk itu. Namun, apakah sopan bila menjenguk seseorang yang sedang sakit tetapi malah sibuk sendiri dengan ponselnya? Dasar lelaki tidak tau tata krama!Sepertinya dia s

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 15

    Hal pertama yang aku lihat saat aku membuka mata adalah langit-langit kamar berwarna putih, selang infus di tangan, juga aroma antiseptik yang memenuhi seluruh ruangan segera menusuk penciuman. Lalu, saat menoleh ke kiri, di sana ada Darren. Duduk di sisi brankarku sambil menelungkupkan wajah ke kasur brankar dengan lengan yang menjadi penopangnya. Matanya memejam. Nafasnya teratur dan tenang. Punggungnya terlihat naik turun dengan irama konstan setiap kali dia menarik napas.Aku memutar otak, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. Yang kutahu aku sedang berada di rumah sakit. Tapi kenapa?Ah, benar. Makan malam di rumah Ainsley, lalu terdengar suara tembakan dari balik pohon di halaman belakang rumah. Begitu otakku berhasil mengingat kejadian itu, aku baru menyadari rasa nyeri yang menyengat di bahu sebelah kiri. Kulirik bahuku. Di sana memang ada perban. Telapak tangan kananku juga diperban, sementara selang infus ada di punggung tangan kiri.Sekarang aku mengerti apa y

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 14

    "Chill out, Dude. Bisakah kau memperlakukan perempuan dengan lebih gentle?" Zach berdiri di depanku, seakan ingin melindungiku dari serangan mematikan Darren. Tangannya masih menggenggam pergelangan tanganku dengan lembut, namun erat.Darren mengembuskan napas keras sembari menyugar rambutnya ke belakang. "Bisakah kau berhenti ikut campur urusan rumah tanggaku?"Tatapan kami bertemu untuk sepersekian detik. Maksudku, aku dan Darren. Lalu, buru-buru aku kembali menunduk, melepaskan tanganku dari Zach pelan-pelan, meraih tas, lalu berdiri."Eum ... maafkan aku, Zach. Sepertinya aku harus pulang sekarang. Terima kasih untuk makan malamnya." Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, aku segera berlalu. Melangkah dengan cepat menuruni tangga dan terus melangkah hingga keluar dari restoran tanpa sedikit pun berniat menoleh ke belakang. Aku tak peduli bahkan jika di dalam sana mereka sedang baku hantam. Aku tak ingin terlibat dengan apa pun itu dan membuat urusan menjadi panjang.Namun, seper

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 13

    Shiftku berakhir pukul tujuh. Selesai mengganti seragam kafe dengan kemeja yang sebelumnya kukenakan, aku bergegas keluar dari ruang loker. Beberapa karyawan yang berpapasan menyapa ramah. Aku tersenyum seraya melambaikan tangan untuk berpamitan. Juliette juga baru saja memasuki kafe karena jadwal shiftnya baru dimulai. Aku tersenyum saat dia menyapaku, sambil terus melanjutkan langkah keluar kafe.Langit sudah hampir gelap saat aku menginjakkan kaki di pelataran kafe. Begitu sampai di halaman, kulihat Zach baru saja masuk ke dalam mobilnya. Aku memperlambat langkah kaki untuk menunggunya pergi terlebih dahulu. Namun, sampai beberapa menit kemudian, mobilnya tak kunjung berlalu. Hingga akhirnya kulihat dia justru membuka kaca mobil dan memanggilku."Masuklah. Kuantar kau pulang," katanya setelah aku berhenti di samping mobilnya."Tak usah. Aku bisa pulang sendiri," ujarku. Merasa tidak enak karena walau bagaimanapun, dia adalah bosku.Zach tersenyum sekilas. "Tak perlu merasa sungkan

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 12

    Pagi ini kelas terasa hening. Hanya suara detak jarum jam serta penjelasan dari Mr. Robinson yang berdengung samar-samar di telingaku. Entah keadaan kelas yang memang hening karena anak-anak merasa bosan dengan materi yang dibawakan Mr. Robinson, atau aku yang sedari tadi sibuk melamun, memikirkan tingkah Darren yang terasa aneh akhir-akhir ini.Beberapa hari terakhir sikap Darren agak berubah. Semenjak malam itu, malam di mana aku diantar pulang oleh Zach yang berujung pada pertengkaran kami, sikap Darren menjadi berubah. Pagi harinya dia memaksa mengantarku ke kampus, lalu pulangnya dia memaksa mengantarku ke kafe tempatku bekerja—yang mana adalah kafe milik Zach, lalu setelah pekerjaanku selesai, dia juga memaksa menjemputku pulang. Dan hal itu berlangsung hingga beberapa hari belakangan. Sikap seperti itu sebenarnya tidak aneh jika dilakukan oleh orang lain. Akan tetapi, menjadi cukup aneh jika itu adalah Darren, mengingat bagaimana dingin dan kejamnya dia kepadaku dahulu. Aku se

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 11

    Rahang Darren seketika mengeras mendengar ucapan sarat kemarahan dari Naomi. Dirinya sama sekali tak menyangka, gadis pendiam itu memiliki keberanian untuk menumpahkan kata-kata makian untuknya seperti tadi. Tangannya mengepal, menahan diri sekuat tenaga agar tak meninju dinding di sampingnya.Sepeninggal Naomi, dia merogoh saku celananya dan meraih ponsel. Dicarinya salah satu nama orang kepercayaannya, kemudian membuat panggilan."Aku punya pekerjaan untukmu," ucapnya tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. Setelah menjelaskan beberapa hal, tanpa menunggu jawaban dari seberang, dia segera memutus panggilan.Kembali dimasukkannya ponsel itu ke dalam saku, lalu dia berjalan keluar rumah. Gegas dia masuki mobil abu-abu miliknya yang terparkir rapi di carport, kemudian menyalakan mesin sebelum melajukannya keluar dari halaman. Sebelum meninggalkan halaman, ujung mata Darren menangkap bayangan korden dibuka di kamar sebelah. Senyum miring tersungging di bibir. Meskipun marah, terny

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status