Share

Bab 3

Matahari musim panas bersinar terang di langit Texas. Gumpalan awan seputih kapas mengarak pelan menghiasi langit biru yang terbentang luas. Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan kering dari pohon-pohon yang mulai meranggas.

Suhu udara siang ini mencapai tiga puluh satu derajat celsius. Meskipun musim panas sebentar lagi berakhir, suhu udara di sini masih setinggi itu. Begitu turun dari mobil Darren, aku segera masuk ke rumah untuk berlindung dari sengatan terik dan berlari menuju kamar. Kurebahkan tubuh yang lelah —sepulang kuliah— di atas ranjang sembari menatap nanar langit-langit kamar. Pendingin ruangan menderu pelan, mengembuskan hawa dingin yang menerpa seluruh badan.

Pandanganku beralih ke arah meja rias. Di sana berjejer foto-foto keluarga yang terbingkai dalam figura kecil-kecil. Ada aku, Mommy, nenek, juga saudara sepupuku. Itu adalah foto-foto yang kami ambil setiap kali kami berkunjung ke tempat nenek. Di dinding juga masih terpasang foto saat aku masih kecil dan berada dalam gendongan Mommy. Tubuhku masih gempal saat itu. Aku bahkan lupa foto itu diambil saat umurku berapa tahun, yang jelas saat itu keluargaku masih sempurna. Hidupku masih bahagia.

Ini adalah musim panas pertama yang kulalui tanpa Mommy, tanpa berlibur ke pantai, tanpa berkunjung ke rumah nenek di Indonesia. Musim panas pertama yang kulalui seorang diri. Dengan berbagai macam ujian yang tak kunjung sanggup kulewati.

Aku selalu menyukai musim panas. Terik matahari yang begitu menyengat tak menggentarkanku untuk tetap menyukai musim itu. Bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Mommy adalah alasan mengapa aku begitu mencintai libur musim panas. Namun, musim panas tahun lalu adalah musim yang paling kubenci dalam hidup. Aku bahkan berharap, musim itu tak perlu hadir di hidupku.

Sepulangnya aku dan Mommy dari Indonesia, kami dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa Daddy ternyata selama ini berselingkuh dengan sekretarisnya di kantor—Emily Milton. Wanita ular itu bahkan berhasil menghasut Daddy untuk mengalihkan semua aset perusahaan atas namanya.

Tentu saja Mommy sangat marah. Mereka bertengkar hebat selama berhari-hari. Pertengkaran yang membuatku begitu ketakutan sampai tak berani keluar kamar. Aku bahkan membolos kuliah beberapa hari saking tertekannya dengan keadaan kala itu. Sayangnya, aku hanya bisa meringkuk di atas ranjang kamar sambil menutup telinga dengan kedua tangan, tanpa bisa melakukan apa-apa. Mommy lalu mengajakku meninggalkan rumah yang dulu kami tempati bersama Daddy, dan pindah ke rumah ini.

Setelah beberapa bulan berjuang mati-matian menghidupi aku dan dirinya sendiri, tubuh Mommy akhirnya menyerah. Dia jatuh sakit, sampai harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Restoran yang selama ini menjadi sumber penghasilan penunjang hidup kami, dengan terpaksa harus dijual. Mommy bangkrut dengan cepat, dan tak lama setelahnya dia meninggal. Dia pergi menjemput kebahagiaan abadi dan meninggalkanku seorang diri menghadapi hidup yang pahit ini.

"Bubble ...." Suara Darren menyentakku dari lamunan.

Aish! Laki-laki itu ....

Segera kuusap sudut mata yang berair menggunakan ibu jari, lalu bangkit dari tempat tidur dan bergegas menemui laki-laki itu di ruang tamu.

"Berhentilah memanggilku Bubble, Mr. Smith. Tidakkah kau mengerti ucapanku?" sergahku sambil menghentak-hentakkan kaki menuju sofa tempatnya duduk.

Sepulang kuliah, aku memang menghubungi Darren untuk memintanya menjemputku—seperti pesannya pagi tadi. Lalu, dia mengantarku ke rumah dan menyuruhku bersiap untuk menemui kakeknya. Namun, apa tidak bisa dia mengizinkanku beristirahat sebentar?

Tanpa mengindahkan ucapanku, dia justru berkata, "Bergegaslah. Waktuku tidak banyak."

Spontan sudut bibirku tertarik sebelah, mencibir. "Sabarlah! Aku butuh istirahat sebentar. Memangnya kau tidak lelah?"

Tanpa menunggu jawaban darinya, aku kembali masuk ke kamar. Sejenak aku berdiri di depan lemari. Mengedarkan pandangan ke tumpukan baju di dalam sana, tetapi aku bingung harus mengenakan baju seperti apa untuk bertemu kakek Darren. Akhirnya pilihanku jatuh pada setelan kemeja putih, rok span sebatas lutut berwarna hitam, serta blazer hitam.

Segera saja aku mengganti baju, memulas wajah dengan makeup sederhana yang kubisa, menata rambut agar terlihat lebih rapi, lalu keluar untuk kembali menemui lelaki yang sedari tadi berisik memanggil-manggil namaku.

"Begini, cukup?" tanyaku setelah berdiri di hadapannya.

Sesaat dia terpaku. Matanya tak berkedip menatapku. Lalu, tiba-tiba tawanya pecah.

"Apa kau mau melamar kerja di rumahku? Yang benar saja, Bubble! Kau tidak punya gaun atau apa pun yang lebih masuk akal?"

Aku memberengut. Salah sendiri, dia tidak bilang aku harus memakai baju seperti apa!

Akhirnya kembali kuputar langkah ke kamar untuk mengganti baju. Dress berwarna pink salmon sepertinya cocok. Itu adalah baju yang dihadiahkan Mommy untuk ulang tahunku yang ke enam belas, saat berat badanku akhirnya menyentuh angka normal. Dress selutut dengan bagian bahu terbuka itu terlihat feminine dan elegan. Jika dipadukan dengan wedges putih pasti akan sangat cantik.

Setelah mematut diri di depan cermin untuk memastikan dress itu terpasang sempurna di tubuh, aku melepaskan ikatan rambut dan memutuskan untuk menggerainya saja. Bagian leher yang terbuka kupasang aksesoris berupa kalung dengan liontin kecil. Setelah merasa puas, aku meraih tas tangan di lemari dan memasukkan ponsel beserta dompet ke dalamnya.

Aku melangkah keluar menemui Darren untuk menunjukkan hasil make-overku. Awas saja jika dia berani mencemooh lagi.

"Begini?" tanyaku lagi. Kepalaku menunduk sambil jemari memilin ujung renda di bagian pinggang.

Aku tak berani menatap wajahnya. Akan tetapi, suara decaknya membuatku mengangkat wajah seketika.

Binar di kedua matanya menunjukkan bahwa aku tidak salah kostum lagi sekarang.

"Ini baru bagus. Kau tidak kalah cantik dengan wanita yang dijodohkan denganku." Dia menyeletuk sebelum bangkit dan keluar rumah mendahuluiku.

Aish! Dia selalu saja begitu.

***

Mobil melaju kencang dari Abercado street menuju Hillston street selama empat puluh lima menit. Setelah melewati persimpangan, Darren memutar kemudi memasuki Boulevard tempat tinggal kakeknya berada. Semakin mendekati lokasi, entah mengapa telapak tanganku semakin dingin. Aku deg-degan, takut, cemas, semua rasa tidak nyaman bercampur menjadi satu hingga membuatku merasa mulas.

Seharusnya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku tinggal mengikuti semua instruksi Darren, dan semuanya akan berlalu dengan mudah. Aku yakin, dia juga takkan membiarkanku bingung sendirian jika ditanya hal-hal yang aku tak paham. Namun, tetap saja suasana di rumah itu dan respon kakek Darren saat melihatku nanti tak bisa diprediksi, membuatku semakin gelisah.

"Kau takut?" tanya lelaki yang sedang memutar kemudi memasuki gerbang sebuah mansion mewah, tanpa mengalihkan pandangan ke arahku.

Aku meremas jari di atas paha. "Sedikit."

"Santai saja. Kalau kau tidak bisa menjawab pertanyaan kakekku, cukup diam. Biar aku yang menangani."

Aku mengangguk dalam diam. Rasanya seluruh tubuhku terasa menggigil. AC dalam mobil yang kunaiki juga memperparah keadaan.

Dia menghentikan mobil di tempat parkir dan bergegas turun setelah seseorang membukakan pintu miliknya. Orang yang sama memutari mobil dan membukakan pintu untukku juga. Setelah itu, Darren meraih tanganku dan menggandengnya. Praktis tubuhku tersentak.

"Relax, Bubble," bisiknya.

Aku berusaha memperbaiki mimik muka. Semoga saja raut tegang wajahku tak terdeteksi oleh mereka.

Kami melangkah menaiki anak-anak tangga kecil di teras mansion. Dua pilar besar menyangga langit-langit teras. Mansion bernuansa hitam putih itu begitu megah, apalagi saat kakiku melangkah memasuki pintu utama yang berdiri menjulang, setinggi tiga meter.

Darren masih saja menggenggam tanganku saat kami masuk ke ruang tamu. Interiornya bergaya Eropa klasik. Satu set sofa mewah yang berada di tengah ruangan menjadi tujuan kami untuk duduk. Ruang tamu itu begitu luas, bahkan mungkin lebih luas dari gabungan ruang tamu dan ruang keluarga di rumahku.

Berbagai barang-barang antik yang kutaksir harganya jutaan dolar, terpajang dalam lemari kaca berpelitur emas di keempat sudutnya, beberapa yang lain dipajang di atas bufet mewah berwarna senada dengan lemari kaca di sudut ruangan.

Bingkai-bingkai besar menggantung di dinding, menampilkan foto orang-orang yang kuprediksi adalah keluarga pemilik rumah. Salah satunya Darren kecil. Astaga, otakku seketika memutar memori lama begitu melihat wajah itu.

Seorang gadis cantik berambut pirang yang mengenakan pakaian khas pelayan rumah keluar membawa nampan berisi teh hangat. Dia meletakkan cangkir teh di meja depan kami, lalu pamit undur diri.

"Oh, lihatlah siapa yang datang ...." Suara serak seseorang dari lantai dua membuatku memalingkan muka.

Sesosok tubuh tegap pria tua menuruni tangga secara perlahan. Keriput di wajah itu sama sekali tak sanggup menghapus sisa-sisa ketampanan di sana. Rambutnya telah memutih sempurna, tetapi cara berjalannya masih begitu tegap. Orang itu —yang kutebak adalah kakek Darren— seperti hanya wajahnya saja yang menua, sementara tubuhnya masih sebugar saat muda.

Pria tua itu berdiri di depan kami, atau lebih tepatnya di depan Darren. Menarik lengan Darren dan meraup tubuh cucunya itu dalam pelukan singkat. Senyuman lebar tak lepas dari bibirnya sejak pertama kali melihat Darren datang. Mungkin lelaki yang berdiri di sampingku kini adalah seorang cucu kesayangan. Senyum itu seketika musnah begitu kakek Darren melirik ke arahku. Detak jantungku semakin berpacu melihat raut wajah penuh selidik itu.

"Bagaimana kabarmu, Cucuku?" tanya kakek Darren seraya mendudukkan diri di sofa tunggal dekat Darren.

"Seperti yang kau lihat, Kek. Aku baik."

"Kau datang terlalu cepat. Acara makan malamnya masih beberapa jam lagi." Kakek Darren lalu mengalihkan pandangan ke arahku, matanya memicing. "Lalu ... siapa gadis ini?"

Lidahku mendadak kelu, sedang jemari sibuk memainkan ujung gaun. Aura mengintimidasi dari tatapan kakek Darren mengingatkanku pada kelakuan cucunya saat kecil dulu.

"Aku ke sini bukan untuk menghadiri acara makan malam itu, melainkan untuk menepati ucapanku tempo hari."

Darren menoleh ke arahku, membuatku secara otomatis membalas tatapannya. "Dia wanita yang ingin kunikahi."

"Apa?!" Kakek Darren terbelalak.

"Waktu itu kau sendiri yang bilang, Kakek, jika aku bisa membawa wanita lain yang akan kunikahi, maka aku akan terbebas dari belenggu perjodohan itu. Inilah wanitanya. Aku membawanya hari ini untuk mengenalkannya padamu," jelas Darren.

Kakeknya terlihat mengerutkan kening. Jemarinya memilin rambut halus yang tumbuh di dagu.

"Siapa kau? Dari keluarga mana?" tanya kakek setelah mengamatiku beberapa saat.

"Saya Naomi, Kek." Aku berucap dengan susah payah.

"Dari keluarga mana kau berasal?"

Aku terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa, tetapi Darren dengan cepat menimpali. "Apa itu penting?"

"Tentu saja. Aku harus memastikan dia tidak berasal dari keluarga musuh yang diam-diam menggodamu untuk menghancurkan keluarga ini," tegas kakek Darren yang membuatku menahan napas karena kaget. Lelaki tua itu menghela napas sesaat sebelum melanjutkan, "Aku juga harus memastikan bahwa dia bukan pelacur yang kau bayar untuk mengelabuhiku."

Deg!

Jantungku seolah berhenti berdetak. Aku yakin, wajahku juga sudah pucat pasi sekarang. Tebakan kakek Darren begitu telak menghantamku. Bukankah saat memutuskan menerima tawaran Darren, aku memang berstatus sebagai wanita malam?

Namun, entah bagaimana Darren menggeleng.

"Dia temanku saat di sekolah dulu. Kami tidak bertemu bertahun-tahun, dan saat bertemu lagi beberapa bulan lalu aku jatuh hati padanya," terangnya.

Yah, itu juga tidak sepenuhnya salah—kecuali penjelasan terakhir tentang jatuh hati, mungkin. It's a totally wrong!

Kakek Darren terlihat mengangguk-angguk mengerti. Namun, beberapa saat kemudian, dia kembali mengajukan pertanyaan. "Dia dari keluarga mana?" Ternyata Kakek Darren masih mempermasalahkan asal usulku.

"Keluarga Anderson. Kau tau? Perusahaan ayahnya bergerak di bidang yang berbeda dengan kita."

"Anderson? Antonio Anderson?" Dahi pria tua itu berkerut.

Aku terbelalak seketika. Lidahku yang sedari tadi kelu tiba-tiba menjadi begitu ringan untuk bersuara. "Kakek kenal Daddyku?"

Derai tawa kakek seketika mengisi keheningan ruangan. Dia menggelengkan kepala, seolah fakta yang baru saja dia ketahui tak masuk di akalnya.

"Tentu saja aku mengenalnya. Yang aku tidak tau adalah ternyata bocah ingusan itu memiliki anak gadis secantik dirimu." Setelah tawanya reda, Kakek menghadapku dan menatap intens ke kedua manikku.

"Siapa tadi namamu?" tanyanya seraya mencondongkan tubuh ke depan.

"Naomi, Kek."

"Naomi ...." Dia menggumamkan namaku sambil memindaiku dari atas ke bawah. "Kau benar-benar punya hubungan dengan cucuku?"

Aku menelan ludah, lalu kupaksakan kepalaku untuk mengangguk.

Kakek terlihat mengembuskan napas kasar. Lalu pandangannya beralih ke Darren lagi. "Baiklah jika itu keputusanmu. Aku akan mengizinkan. Tapi, kau tau kan apa konsekuensinya?"

Darren mengangguk. "Tentu. Aku tau dan aku sudah siap menerima segala konsekuensinya."

Aku melirik was-was ke arah Darren. Konsekuensi apa?

"Kalau begitu ... apa kami sudah boleh pergi?"

"Pergi ke mana?" Kakek Darren balik bertanya. "Kalian akan tetap di sini untuk menghadiri makan malam nanti. Kau harus menjelaskan sendiri maksudmu menolak perjodohan ini."

Kulihat Darren terpaku di tempat. Wajahnya berubah tegang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status