Share

Bab 2

Author: Hanna Aisha
last update Last Updated: 2022-06-16 22:18:16

"What the hell are you doing?!" pekikku seraya mendorong tubuhnya.

Dia terhuyung, tetapi dengan cepat menguasai diri. Bibirnya yang basah mengkilap tertimpa cahaya lampu kamar. Aku mengusap bibirku dengan punggung tangan, membuat lipstik merah yang kugunakan seketika berpindah, menempel di punggung tanganku.

"Aku hanya mengambil apa yang seharusnya kudapatkan. Lima puluh juta hanya untuk mencicipi bibirmu saja, menurutmu itu sepadan?"

"Tapi kau ...," hardikku tertahan. Pipiku terasa panas saat aku melanjutkan kalimat, "Mengambil ciuman pertamaku."

"Ohohoho, kau tidak pernah berciuman sebelumnya? Yang benar saja!"

Aku hanya menunduk dalam-dalam. Sial! Dia malah menertawakanku.

'Memangnya aku mau ciuman dengan siapa jika pacaran saja tidak pernah?' rutukku dalam hati.

Kutarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-paruku dengan oksigen. Jantungku berpacu begitu cepat, membuat napas terdengar menderu.

Suara langkah kakinya yang menjauh membuatku mengangkat wajah. Dia sudah berdiri di depan kabinet lagi. Meraih botol whiskey tadi, lalu menuangkan isinya untuk mengisi kembali gelas yang sempat kosong.

"Kau mau?" tawarnya.

Aku menggeleng. "Aku tidak pernah minum alkohol."

Dia mendengkus. "Memangnya berapa umurmu?"

"Twenty one."

"Astaga! Apa saja yang kau lakukan selama dua puluh satu tahun hidup di dunia, sampai tidak pernah minum alkohol ataupun berciuman?" Dia menggeleng dramatis.

Langkahnya kembali mendekat, kemudian berdiri di hadapanku lagi. "Minumlah."

"Aku tidak suka."

"Cicipi dulu."

"Aku tidak mau, Tuan Smith. Jangan paksa aku," tegasku.

Dia memicing, tatapannya menusuk ke dalam kedua manikku. Membuatku ciut.

Detik berikutnya, sudut bibirnya tertarik sebelah. "Kau sudah tidak bisa dikendalikan ternyata."

Kemudian, ditandaskannya minuman di gelas itu dalam sekali tenggak. Matanya terpejam sesaat, menikmati entah apa rasa yang mengalir di tenggorokannya.

Dia berjalan dan naik ke atas ranjang setelah meletakkan gelas kosongnya di nakas.

Aku mematung di tempat, bingung. Dia sudah merebahkan diri dengan nyaman di atas ranjang, lalu aku harus ke mana?

"Apa aku sudah boleh keluar?"

Dia mengernyit. "Untuk apa kau keluar? Ke mari." Dia menepuk tempat kosong di sampingnya.

"A ... pa—"

"Ke mari, Rose." Dia mengulang dengan nada lebih menuntut.

Apa-apaan ini? Aku bergeming. Tak bergerak seinci pun dari tempatku berdiri.

"Ke mari, atau aku yang akan menyeretmu dengan tanganku sendiri," ancamnya dengan sorot mata menakutkan.

Kalau dia sudah menunjukkan tatapan seperti itu, berarti tandanya dia tidak main-main. Bertahun menjadi bahan bully-annya di sekolah, aku sampai hafal bagaimana kebiasannya.

Akhirnya, dengan setengah enggan kuseret langkah menghampirinya. Merangkak naik ke atas ranjang dan merebahkan diri di sampingnya dengan debaran jantung yang hampir mendobrak dada.

"Tidurlah," katanya. Aku menoleh seketika.

"Tidur, Rose. Besok kuantar pulang."

Aku semakin mengernyit. Masih tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku bahkan tidak yakin jika laki-laki yang terbaring di sampingku kini adalah orang yang sama dengan yang membullyku bertahun lalu. Apa dia benar-benar Darren?

"Kau tidak ingin tidur? Kau ingin kita melakukan hal lain?"

Aku mengerjap. Suaranya membuatku terkesiap. Lalu, buru-buru kupejamkan mata erat-erat supaya tak perlu melihat senyum menyebalkan di wajahnya itu.

'Ayo tidur, Naomi. Tidurlah,' batinku.

***

Pertengahan Agustus menjadi akhir dari liburan musim panas di Carter Park Elementary School, sekolah yang menjadi tempatku menimba ilmu selama lima tahun terakhir.

Selama musim panas ini, kuhabiskan waktu bersama Mommy untuk berlibur ke rumah nenekku —ibu dari Mommy— yang berada jauh di belahan benua lain, di daratan Asia. Sedangkan Daddy tidak ikut, karena harus mengurus bisnisnya yang katanya tak bisa ditinggal.

Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap dengan seragam sekolah yang terlihat kekecilan membalut tubuh gempalku, juga tas biru muda yang sedari tadi kugendong di punggung. Aku rindu bersekolah, rindu bertemu teman-teman dan guru, mengerjakan tugas, hingga mendapat nilai tertinggi. Satu yang tak kurindukan dari sekolah, perundungan.

Seusai sarapan dengan selembar roti lapis dan segelas susu coklat, aku berdiri di depan rumah, menunggu Daddy mengeluarkan mobil dari garasi. Aku beranjak dari tempatku berdiri saat mendengar mesin mobil Daddy menderu, disusul bumpernya yang perlahan terlihat keluar dari rolling door garasi.

"Mommy, Naomi berangkat," pamitku setengah berteriak.

Sempat kudengar Mommy menyahut, sebelum suaranya tertelan suara mobil Daddy yang perlahan bergerak meninggalkan halaman.

Gerbang sekolahku terlihat setelah lima belas menit perjalanan dari Forrest Park Boulevard menuju E Broadus Avenue. Aku turun dari mobil setelah mencium pipi Daddy kiri dan kanan.

"Nanti pulang dijemput Mommy, ya? Daddy ada rapat sampai sore." Daddy berteriak setelah aku memasuki gerbang. Kuanggukkan kepala sebagai jawaban.

Baru setengah menit berjalan, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku terlonjak, menengok ke arahnya dengan jantung berdegup kencang.

"Astaga, Ainsley! Kau membuatku terkejut!" seruku kesal. Dia tertawa. Hah! Senang sekali anak ini membuatku kaget.

Dia tidak menjawab, membuatku memilih melanjutkan langkah. Kami berjalan ke kelas bersama.

"Bagaimana liburanmu?" tanyanya seraya berjalan pelan di sampingku.

"Aku ke rumah nenekku. Kau?"

"Aku ke Florida, berlibur di pantai bersama keluargaku."

Manikku membulat mendengar kata Florida. Itu kampung halaman Daddy. Aku juga sering ke sana dan sangat menyukai tempat itu.

"Pasti liburanmu sangat menyenangkan." Aku tersenyum.

"Kau tidak bertanya bagaimana liburanku, Bubble?"

Seketika langkahku terhenti tatkala suara itu terdengar. Suara yang begitu dekat di telingaku. Ragu-ragu, aku menoleh. Dan benar saja, wajah Darren berada tepat di samping pipiku.

Tubuhku menegang, kakiku serasa tak sanggup lagi berjalan. Sementara Ainsley sudah berlari menuju kelas, meninggalkanku sendirian.

"Liburanku sangat membosankan, karena tak bisa mengganggumu seperti ini," ucapnya seraya menarik ikat rambutku, membuat surai hitam panjangku tergerai berantakan.

Dia melempar ikat rambutku ke tempat sampah, lalu menunduk untuk melepas tali sepatu yang kugunakan.

"Gunakan ini untuk mengikat rambutmu," perintahnya. Aku bergeming, mata sudah memerah dan mengembun.

"Cepat," tegasnya, masih sambil mengacungkan tali sepatu di depan wajahku.

Aku masih tak bergerak. Hanya deru napas yang terdengar semakin cepat.

"Lakukan apa yang diperintahkan, atau aku sendiri yang akan mengikatkannya di rambutmu itu!" Dia mendesis, sorot matanya tajam menusuk ke dalam kedua manikku yang perlahan menggenang.

Melihatku yang hanya diam, dia mendesah. "Kau membuat kesabaranku habis."

Lalu, dengan cepat dia menarik rambutku dan mengikatnya asal menggunakan tali sepatu. Kini rambutku terlihat semakin acak-acakan.

Dia tersenyum melihat hasil karyanya. "Bagus. Sekarang kau boleh ke kelas."

Aku mengusap pipi dengan punggung tangan, lalu mulai melangkah terseok-seok karena tali sepatuku yang sebelah kanan hilang, lebih tepatnya berpindah ke kepala. Anak-anak lain yang melihatku menutup mulut menahan tawa, sedangkan Darren terbahak di belakang sana.

Darren! Awas kau, suatu saat aku akan membalasmu! Aku mengumpat, tentu saja hanya dalam hati.

***

Aku mengerjap saat seberkas cahaya dari lampu kamar menerobos retina. Setengah sadar, aku menoleh ke samping, dan ... astaga! Seketika aku terbangun dan segera menarik selimut menutupi sekujur tubuh.

Darren, apa yang dia lakukan dengan tidur di sampingku tanpa pakaian begitu?

Buru-buru kutengok keadaanku. Fyuh! Syukurlah, ternyata semua masih utuh. Setidaknya semua masih sama seperti yang terakhir kali kuingat. Dress merahku masih melekat sempurna di tubuh tanpa ada yang tersingkap ataupun koyak. Lalu mengapa dia ...?

"Mengapa selimutnya kau tarik? Aku kedinginan." Dia bergumam, masih setengah terpejam. Tangannya menarik ujung selimut yang barusan kugunakan untuk menutup tubuh.

Aku mengumpat dalam hati, siapa suruh tidak pakai baju!

"Su—sudah pagi, Tuan Smith. Ayo bangun. Aku harus pulang." Kugoyang-goyangkan bahunya pelan.

Dia hanya melenguh, lalu terlelap lagi.

"Darren, bangun! Aku harus pulang dan bersiap-siap ke kampus. Aku ada kelas pagi."

"Ck, berisik!" keluhnya, tetapi tak urung dia terbangun juga.

Dia meraih kemeja yang menggantung di headboard dan segera memakainya.

"Kau ... semalam langsung tertidur, kan? Kita tidak melakukan apa pun selain tidur, kan?" tanyaku hati-hati.

Dia melirikku dengan ekor mata, lalu tersenyum miring. "Memangnya kau berharap kita melakukan apa?"

"Aku tidak mengharapkan apa-apa. Maksudku, kau ... kenapa tidur tanpa baju? Kau tidak berusaha untuk—"

"Aku berusaha mengendalikan diri semalaman untuk tidak menyentuhmu, jadi tolong hargai itu," potongnya cepat, membuatku seketika mengatupkan bibir. Dia turun dari ranjang setelah mengancingkan jasnya, lalu menatapku lekat. "Kau mau tetap di situ?"

Aku terkesiap. Buru-buru bangun dan beranjak dari ranjang mengikutinya.

Dia hendak melangkah, tetapi kutahan. "Sebentar. Aku cuci muka dulu."

Setelah membersihkan wajah dan memastikan seluruh make up yang tadi malam menempel di wajah sudah hilang, aku keluar dari kamar mandi.

"Cepat. Kuantar kau pulang. Nanti sore kau ikut aku," ucapnya seraya berjalan ke depan pintu.

Aku mengekor di belakangnya. "Ke mana?"

"Kita akan menemui kakekku. Kuharap kau bisa bersikap baik nanti." Sebelum menyentuh handle pintu, tiba-tiba dia berbalik. "Oh, ya, mana ponselmu?"

"Untuk apa?" Dengan ragu kuulurkan ponsel unguku padanya.

"Kalau kelasmu sudah selesai, hubungi aku. Nanti kujemput."

Aku mengangguk, lalu menerima ponselku kembali. Kami keluar dari kamar dan berjalan menuju lift. Beberapa meter sebelum mencapai lift aku berhenti. Dress yang kugunakan terlalu terbuka, dan di depan sana ada banyak orang. Aku merasa tidak nyaman.

Seketika aku mendongak saat tiba-tiba Darren melepas jasnya dan dia gunakan untuk menutup pundakku yang terbuka.

"Pakailah dulu. Nanti kembalikan dalam keadaan bersih." Dia berkata seraya melanjutkan langkah.

Aku mendecih. Dasar licik. Namun, setidaknya dia sudah membantuku terhindar dari lirikan tak menyenangkan orang-orang yang sedang menunggu pintu lift terbuka di depan sana.

Kami bergabung dengan orang-orang itu. Berdiri di barisan paling belakang. Setelah pintu lift terbuka, orang-orang berebut masuk lebih dulu. Sedangkan Darren masih diam, berdiri dengan tenang sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana.

"Kita tidak naik?" tanyaku saat semua orang di depan kami telah masuk ke lift, dan di sana masih ada sedikit ruang.

Dia menggeleng. "Nanti saja. Lift berikutnya."

Pintu tertutup, dan lift bergerak turun. Aku dan Darren masih berdiri di depan pintu lift dengan keheningan yang membuatku merasa tidak nyaman. Rasanya begitu canggung, berdiri bersama orang lain, tetapi saling mendiamkan. Namun, memangnya aku mau mengobrol apa dengannya?

Ting!

Pintu lift terbuka, dan kami segera masuk. Darren menekan tombol G2, menuju tempat parkir. Selama lift bergerak turun, hanya hening yang menguasai waktu. Baik Darren maupun aku tak ada yang bersuara. Kami sama-sama diam, berdiri menghadap lurus ke depan, menatap bayangan tubuh kami di dinding lift.

Keluar dari lift, Darren menggiringku memasuki BMW M5 berwarna dark grey miliknya.

"Di mana rumahmu?" tanyanya saat aku sedang memasang seatbelt.

Aku menoleh, dahi berkerut dalam sebelum akhirnya menggumamkan alamat rumah peninggalan Mommy.

Darren hanya mengangguk sekilas, kemudian tak menunggu lama mobil yang kami tumpangi perlahan bergerak meninggalkan tempat parkir hotel.

***

Related chapters

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 3

    Matahari musim panas bersinar terang di langit Texas. Gumpalan awan seputih kapas mengarak pelan menghiasi langit biru yang terbentang luas. Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan kering dari pohon-pohon yang mulai meranggas. Suhu udara siang ini mencapai tiga puluh satu derajat celsius. Meskipun musim panas sebentar lagi berakhir, suhu udara di sini masih setinggi itu. Begitu turun dari mobil Darren, aku segera masuk ke rumah untuk berlindung dari sengatan terik dan berlari menuju kamar. Kurebahkan tubuh yang lelah —sepulang kuliah— di atas ranjang sembari menatap nanar langit-langit kamar. Pendingin ruangan menderu pelan, mengembuskan hawa dingin yang menerpa seluruh badan. Pandanganku beralih ke arah meja rias. Di sana berjejer foto-foto keluarga yang terbingkai dalam figura kecil-kecil. Ada aku, Mommy, nenek, juga saudara sepupuku. Itu adalah foto-foto yang kami ambil setiap kali kami berkunjung ke tempat nenek. Di dinding juga masih terpasang foto saat aku masih kecil da

    Last Updated : 2022-06-16
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 4

    Suara ketukan di pintu membuatku menoleh. Aku dan Darren saling pandang sejenak, sebelum suara seseorang di luar membuat kami mengalihkan pandangan kembali ke daun pintu yang masih tertutup."Excuse me, Sir, dinner is ready," kata seorang pelayan dari luar pintu kamar."We come," sahut Darren dengan nada datar.Tepat pukul tujuh malam, aku dan Darren digelandang ke arah ruang makan yang berada di sebelah kamar tempatku beristirahat. Yah, meskipun bersebelahan tentu saja jaraknya tidak hanya satu dua langkah. Seorang pelayan memandu kami kemudian mengarahkan kami untuk duduk di kursi yang disediakan.Ruang makan yang luas itu masih sepi. Meja makan panjang dengan empat pasang kursi yang berhadapan serta satu kursi di masing-masing ujungnya itu hanya diisi oleh Kakek Darren, aku, dan Darren. Sedangkan kursi kosong yang tersisa masih banyak. Aku duduk di sebelah Darren, di bagian tengah meja. Sementara kakek berada di kursi paling ujung, laksana raja yang duduk di singgasana.Berbagai hi

    Last Updated : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 5

    Darren sama sekali tidak bisa basa-basi. Setelah tempo hari bilang dengan sangat berterus terang kepada tanteku bahwa dia akan menikahiku, lalu esoknya dia bilang pernikahan kami akan diselenggarakan minggu depan. Astaga! Aku benar-benar tidak diizinkan untuk bernapas barang sebentar.Pukul dua siang kelasku selesai. Segera kukemasi buku-buku di meja dan kumasukkan secara asal ke dalam tas. Ponselku berdering tepat saat aku baru saja bangkit dari duduk. Kuraih benda pipih itu dan dengan cepat menempelkan layar ke telinga setelah mengusap ikon telepon berwarna hijau ke atas."Ada apa?" ucapku tanpa basa-basi. Buat apa juga basa-basi kepada orang yang tidak bisa basa-basi?"Keluar. Aku di depan."Aku mengembuskan napas kesal. Padahal aku baru saja berniat pulang dan tidur. Dasar laki-laki tukang atur menyebalkan!"Untuk apa ke mari? Aku bisa pulang sendiri.""Keluar sekarang atau aku yang akan masuk dan menyeretmu?"Ish! Mengapa manusia ini sangat suka mengancam orang? Sifatnya sama sek

    Last Updated : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 6

    Hari yang ditunggu-tunggu —entah oleh siapa— akhirnya tiba. Pukul tujuh pagi Darren menjemputku untuk kemudian berangkat bersama ke Dallas, tepatnya ke The Adolphus hotel, salah satu hotel termewah di Texas, tempat pesta pernikahan kami akan digelar.Pemberkatan dijadwalkan pukul sembilan pagi. Lalu, dilanjutkan dengan resepsi sampai dini hari. Begitulah yang dikatakan Darren padaku selama perjalanan. Setelah hampir tiga puluh menit berkendara, BMW Darren memasuki Commerce street, dan berbelok ke arah kiri memasuki tempat parkir gedung. Darren mengambil tempat parkir bawah tanah dan menghentikan mobilnya di sudut area.Udara dingin seketika menusuk tulang. Kueratkan coat yang kukenakan untuk menghalau hawa dingin yang berusaha menelusup masuk. Di depan lift, kami sudah di sambut oleh sepasang laki-laki dan sepasang perempuan berpakaian formal. Mereka kemudian menggiring kami ke sebuah kamar untuk berganti pakaian dan melakukan persiapan.Darren bersama laki-laki yang tadi menjemput ka

    Last Updated : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 7

    Bel kamar berbunyi tepat saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Masih dengan bathrobe yang membalut tubuh serta handuk kecil yang kugunakan untuk mengeringkan rambut, aku membuka pintu.Darren menerobos masuk begitu saja dan segera melemparkan tubuh ke atas ranjang. Wajahnya tampak lesu, setelan yang dia kenakan juga sudah kusut acak-acakan. Kantung mata hitam yang menggantung di bawah kelopak matanya menandakan dia tidak tidur semalaman."Kau dari mana?" Aku bertanya. Hanya untuk basa-basi lebih tepatnya."Bukan urusanmu," jawabnya datar. Aku mengembuskan napas kesal.Merasa tidak sepantasnya aku bertanya lebih jauh, kuteruskan saja kegiatan yang tadi sempat tertunda. Hair dryer di meja rias kugunakan untuk mengeringkan rambut, kemudian menyisirnya. Setelah itu, aku mengambil baju ganti yang tadinya akan kupakai di kamar, kubawa ke kamar mandi.Mana mungkin aku memakai baju di depan Darren, kan? Meskipun dia tengah tidur terlentang sambil menutup mata sekarang, aku yakin dia bel

    Last Updated : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 8

    Aku sedang mengerjakan jurnal untuk diberikan kepada Mrs. Moore besok, saat telingaku mendengar suara deru mesin mobil memasuki halaman. Kulirik jam di sudut bawah laptopku. Pukul setengah satu malam. Aku mengernyitkan dahi. Siapa gerangan yang bertamu selarut ini? Apakah itu Darren?Penasaran, segera aku berlari ke arah jendela di samping kanan ranjangku dan mengintip dari celah tirai yang sedikit terbuka.Benar. Itu mobil yang dibawa Darren sore tadi.Kembali kududukkan diri di atas ranjang berseprai biru langit. Berusaha menekuri pekerjaanku lagi, meski kini konsentrasiku telah terganggu. Kira-kira ke mana perginya Darren tadi? Apa ke klub? Apa dia baru saja tidur dengan seorang gadis? Aku menggelengkan kepala buru-buru. Untuk apa memikirkan hal-hal seperti itu?Tak lama, terdengar suara seseorang menaiki tangga, disusul suara Darren yang memanggilku dari luar, membuatku berjengkit kaget."Bubble ...." Langkah kaki lelaki itu berhenti di depan pintu kamarku.Shit! Manusia itu mema

    Last Updated : 2022-06-30
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 9

    Jarum jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam saat aku akhirnya memasuki halaman rumah milik Darren, setelah sebelumnya turun dari taksi yang kutumpangi. Seorang security menyambutku dengan membukakan gerbang sambil menganggukkan kepala sopan, yang kubalas dengan senyuman tipis. Dalam keadaan tubuh lelah aku melangkah masuk ke rumah.Suasana rumah sudah sepi. Para pelayan yang biasa berkeliaran di rumah besar ini tak terlihat lagi kehadirannya. Mungkin semua penghuni rumah sudah terlelap, tak terkecuali Darren. Atau mungkin lelaki itu justru masih di luar? Entahlah. Aku malas memikirkannya.Dengan gontai kutatih langkah untuk menaiki satu per satu anak tangga. Namun, saat kakiku baru sampai anak tangga tengah, kudengar pintu kamar sebelah kanan terbuka, memunculkan tubuh tegap dengan dada bidang milik seorang Darren Smith, setelah itu dia menutup daun pintu dengan keras. Aku terlonjak."Ke mana saja kau hingga baru pulang tengah malam begini?" Suaranya te

    Last Updated : 2022-07-02
  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 10

    Aku berdiri dengan gugup di tengah ruangan, dikelilingi oleh orang-orang yang menatapku dengan tatapan berbeda-beda. Ada yang prihatin, ada yang bersimpati, ada pula yang menatapku dengan senyum miring meremehkan.Kami sedang berkumpul di ruang pertemuan, sesuai instruksi dari Mr. Johannes. Semua pegawai berdiri berkeliling membentuk lingkaran, dengan aku, Mr. Johannes, dan bos kami yang menjadi porosnya.Berdiri di tengah-tengah mereka, bersama dua orang paling penting di kafe ini membuatku merasa seperti terdakwa yang sedang menunggu sidang vonis mati. Kutundukkan kepala dalam-dalam, jemari saling meremas di depan perut. Kaki yang terasa lemah kupaksa berdiri menopang tubuh dengan tegak.Suara dehaman maskulin terdengar. Lelaki di hadapanku maju satu langkah ke arahku. Aku meremas jari semakin keras, rasa gugup juga panik dan takut bercampur jadi satu dalam dadaku. Membuat ritme detak jantungku berantakan."Apa yang kau lakukan, Frederick? Apa ramainya pelanggan yang datang ke mari

    Last Updated : 2022-07-02

Latest chapter

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 19

    Dua Minggu pasca insiden penembakan, keluarga Sanchez semakin gencar melakukan penyerangan. Wilayah-wilayah bagian timur telah habis dikuasai Kartel Sanchez. Sepertinya usaha Bill untuk melakukan negosiasi berakhir gagal dan Darren harus mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Lelaki itu menggoyangkan gelas kristal berisi whiskey dan es batu yang sudah mulai mencair dengan tatapan kosong ke depan. Berdiri di depan meja bar dengan sebelah tangannya menopang dagu. Dahinya berkerut sesekali, lalu mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya menenggak minumannya hingga tandas. Dia mengunyah es batunya dengan tatapan kosong yang tajam. Jelas sekali terlihat kepanikan dan ketegangan dari raut wajahnya. Banyak hal yang dia pikirkan di situasi seperti ini. Sedikit banyak dia menyesali beberapa hal yang dia lakukan dalam kurun waktu beberapa bulan ini. Salah satunya adalah keputusannya untuk menikahi Naomi. Entah apa yang ada di benak lelaki itu saat dengan mudahnya menyuruh Naom

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 18

    Sudah empat hari aku dirawat di rumah sakit. Selama empat hari itu pula Darren setia menjaga dan merawatku di sini. Meskipun tak jarang di malam hari saat aku hendak tertidur, dia menyelinap keluar untuk pergi entah ke mana. Lalu pagi harinya dia sudah kembali berada di sofa, menyapaku yang baru bangun tidur. Beberapa kali Ainsley juga datang lagi hanya untuk menjagaku. Katanya, Darren yang meminta. Hubunganku dengan Darren pun kurasa tak lagi setegang dulu. Meskipun cara bicaranya masih dingin dan terkadang ketus, aku bisa merasakan sisi lembut dari perhatiannya padaku selama sakit ini. Kadang kala Darren melontarkan candaan, atau kadang mengajakku berbincang hanya demi mengenyahkan rasa sepi yang tak mengenakkan. Kurasa aku sudah tak lagi terlalu takut jika harus berduaan dengan lelaki itu.Karena kondisi kesehatanku yang cukup stabil, aku diperbolehkan pulang hari ini. Namun, karena lukaku masih basah maka aku diharuskan beristirahat dari kegiatan berat selama beberapa hari ke dep

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 17

    Deru mesin mobil yang bersahut-sahutan memecahkan keheningan malam. Lampu mobil menyorot tajam menembus kegelapan. Tiga buah mobil; abu-abu, hitam, dan merah—yang saling berkejaran melaju dengan kecepatan tinggi membelah rute jalanan Abercado menuju Hillston. Memasuki salah satu boulevard, mobil terdepan berbelok masuk ke arah sebuah pelataran rumah megah.Darren turun dari BMW abu-abunya setelah menghentikan kendaraan itu di halaman parkir dekat teras bawah. Disusul di belakangnya Zach, dan mobil merah milik Orlando terparkir terakhir.Kakeknya sedari tadi menghubungi bahwa perusahaannya dan perusahaan milik Sanchez sedang berada dalam perebutan sengit mengenai pembagian wilayah penjualan. Sebelumnya, hal-hal seperti ini tak pernah terjadi, karena kedua perusahaan itu akan selalu bekerja sama dalam berbagai hal, entah untuk penyelundupan, maupun penjualan barang.Namun, sepertinya masalah mulai muncul saat keduanya mulai mencampuradukkan antara masalah pekerjaan dan masalah personal.

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 16

    Di sore hari setelah kepergian Ainsley dan Amber, Darren baru memunculkan batang hidungnya di hadapanku. Wajahnya terlihat lelah, atau seperti sedang memendam sesuatu. Dia masuk lalu duduk di kursi di samping ranjangku. Matanya memindai piring kosong di atas nakas."Sudah minum obatmu?" tanyanya memastikan, meski aku yakin dia tau jawabannya.Aku hanya mengangguk. Rasanya canggung sekali berada dalam satu kamar dengan Darren. Ini mengingatkanku pada kejadian di malam pertama kami kembali bertemu.Darren hanya mengedikkan bahu dan tak mengatakan apa pun lagi. Dia beranjak duduk di sofa panjang yang tepat berada di seberang ranjangku. Tangannya merogoh ponsel, kemudian terlihat berkutat dengan benda itu. Huft. Lagi-lagi dia sibuk dengan dunianya. Aku tau dia adalah seorang CEO dari perusahaan ternama, wajar jika dia sesibuk itu. Namun, apakah sopan bila menjenguk seseorang yang sedang sakit tetapi malah sibuk sendiri dengan ponselnya? Dasar lelaki tidak tau tata krama!Sepertinya dia s

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 15

    Hal pertama yang aku lihat saat aku membuka mata adalah langit-langit kamar berwarna putih, selang infus di tangan, juga aroma antiseptik yang memenuhi seluruh ruangan segera menusuk penciuman. Lalu, saat menoleh ke kiri, di sana ada Darren. Duduk di sisi brankarku sambil menelungkupkan wajah ke kasur brankar dengan lengan yang menjadi penopangnya. Matanya memejam. Nafasnya teratur dan tenang. Punggungnya terlihat naik turun dengan irama konstan setiap kali dia menarik napas.Aku memutar otak, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. Yang kutahu aku sedang berada di rumah sakit. Tapi kenapa?Ah, benar. Makan malam di rumah Ainsley, lalu terdengar suara tembakan dari balik pohon di halaman belakang rumah. Begitu otakku berhasil mengingat kejadian itu, aku baru menyadari rasa nyeri yang menyengat di bahu sebelah kiri. Kulirik bahuku. Di sana memang ada perban. Telapak tangan kananku juga diperban, sementara selang infus ada di punggung tangan kiri.Sekarang aku mengerti apa y

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 14

    "Chill out, Dude. Bisakah kau memperlakukan perempuan dengan lebih gentle?" Zach berdiri di depanku, seakan ingin melindungiku dari serangan mematikan Darren. Tangannya masih menggenggam pergelangan tanganku dengan lembut, namun erat.Darren mengembuskan napas keras sembari menyugar rambutnya ke belakang. "Bisakah kau berhenti ikut campur urusan rumah tanggaku?"Tatapan kami bertemu untuk sepersekian detik. Maksudku, aku dan Darren. Lalu, buru-buru aku kembali menunduk, melepaskan tanganku dari Zach pelan-pelan, meraih tas, lalu berdiri."Eum ... maafkan aku, Zach. Sepertinya aku harus pulang sekarang. Terima kasih untuk makan malamnya." Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, aku segera berlalu. Melangkah dengan cepat menuruni tangga dan terus melangkah hingga keluar dari restoran tanpa sedikit pun berniat menoleh ke belakang. Aku tak peduli bahkan jika di dalam sana mereka sedang baku hantam. Aku tak ingin terlibat dengan apa pun itu dan membuat urusan menjadi panjang.Namun, seper

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 13

    Shiftku berakhir pukul tujuh. Selesai mengganti seragam kafe dengan kemeja yang sebelumnya kukenakan, aku bergegas keluar dari ruang loker. Beberapa karyawan yang berpapasan menyapa ramah. Aku tersenyum seraya melambaikan tangan untuk berpamitan. Juliette juga baru saja memasuki kafe karena jadwal shiftnya baru dimulai. Aku tersenyum saat dia menyapaku, sambil terus melanjutkan langkah keluar kafe.Langit sudah hampir gelap saat aku menginjakkan kaki di pelataran kafe. Begitu sampai di halaman, kulihat Zach baru saja masuk ke dalam mobilnya. Aku memperlambat langkah kaki untuk menunggunya pergi terlebih dahulu. Namun, sampai beberapa menit kemudian, mobilnya tak kunjung berlalu. Hingga akhirnya kulihat dia justru membuka kaca mobil dan memanggilku."Masuklah. Kuantar kau pulang," katanya setelah aku berhenti di samping mobilnya."Tak usah. Aku bisa pulang sendiri," ujarku. Merasa tidak enak karena walau bagaimanapun, dia adalah bosku.Zach tersenyum sekilas. "Tak perlu merasa sungkan

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 12

    Pagi ini kelas terasa hening. Hanya suara detak jarum jam serta penjelasan dari Mr. Robinson yang berdengung samar-samar di telingaku. Entah keadaan kelas yang memang hening karena anak-anak merasa bosan dengan materi yang dibawakan Mr. Robinson, atau aku yang sedari tadi sibuk melamun, memikirkan tingkah Darren yang terasa aneh akhir-akhir ini.Beberapa hari terakhir sikap Darren agak berubah. Semenjak malam itu, malam di mana aku diantar pulang oleh Zach yang berujung pada pertengkaran kami, sikap Darren menjadi berubah. Pagi harinya dia memaksa mengantarku ke kampus, lalu pulangnya dia memaksa mengantarku ke kafe tempatku bekerja—yang mana adalah kafe milik Zach, lalu setelah pekerjaanku selesai, dia juga memaksa menjemputku pulang. Dan hal itu berlangsung hingga beberapa hari belakangan. Sikap seperti itu sebenarnya tidak aneh jika dilakukan oleh orang lain. Akan tetapi, menjadi cukup aneh jika itu adalah Darren, mengingat bagaimana dingin dan kejamnya dia kepadaku dahulu. Aku se

  • Mawar Merah Sang CEO   Bab 11

    Rahang Darren seketika mengeras mendengar ucapan sarat kemarahan dari Naomi. Dirinya sama sekali tak menyangka, gadis pendiam itu memiliki keberanian untuk menumpahkan kata-kata makian untuknya seperti tadi. Tangannya mengepal, menahan diri sekuat tenaga agar tak meninju dinding di sampingnya.Sepeninggal Naomi, dia merogoh saku celananya dan meraih ponsel. Dicarinya salah satu nama orang kepercayaannya, kemudian membuat panggilan."Aku punya pekerjaan untukmu," ucapnya tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. Setelah menjelaskan beberapa hal, tanpa menunggu jawaban dari seberang, dia segera memutus panggilan.Kembali dimasukkannya ponsel itu ke dalam saku, lalu dia berjalan keluar rumah. Gegas dia masuki mobil abu-abu miliknya yang terparkir rapi di carport, kemudian menyalakan mesin sebelum melajukannya keluar dari halaman. Sebelum meninggalkan halaman, ujung mata Darren menangkap bayangan korden dibuka di kamar sebelah. Senyum miring tersungging di bibir. Meskipun marah, terny

DMCA.com Protection Status