Suara ketukan di pintu membuatku menoleh. Aku dan Darren saling pandang sejenak, sebelum suara seseorang di luar membuat kami mengalihkan pandangan kembali ke daun pintu yang masih tertutup.
"Excuse me, Sir, dinner is ready," kata seorang pelayan dari luar pintu kamar.
"We come," sahut Darren dengan nada datar.
Tepat pukul tujuh malam, aku dan Darren digelandang ke arah ruang makan yang berada di sebelah kamar tempatku beristirahat. Yah, meskipun bersebelahan tentu saja jaraknya tidak hanya satu dua langkah. Seorang pelayan memandu kami kemudian mengarahkan kami untuk duduk di kursi yang disediakan.
Ruang makan yang luas itu masih sepi. Meja makan panjang dengan empat pasang kursi yang berhadapan serta satu kursi di masing-masing ujungnya itu hanya diisi oleh Kakek Darren, aku, dan Darren. Sedangkan kursi kosong yang tersisa masih banyak. Aku duduk di sebelah Darren, di bagian tengah meja. Sementara kakek berada di kursi paling ujung, laksana raja yang duduk di singgasana.
Berbagai hidangan tersaji di meja. Para pelayan lalu-lalang silih berganti sedari tadi. Tangan mereka penuh dengan piring-piring cantik berisi berbagai macam makanan. Salah satu di antara pelayan itu hendak menuangkan wine di gelasku, tetapi segera kucegah.
"Bolehkah saya meminta orange jus?" tanyaku lirih.
"Sure." Pelayan tadi mengangguk dan segera menuangkan orange jus di gelasku. Sementara pelayan lain menuangkan white wine di gelas Darren.
Sembari menunggu orang-orang lain hadir, kakek dan Darren sibuk berbincang tentang bisnis. Sedangkan aku hanya bisa diam sembari menunduk mendengarkan.
Sekitar lima belas menit menunggu, serombongan orang datang dari arah ruang tamu berbondong-bondong menuju ruang makan. Dua wanita dan tiga pria masuk ke ruang makan dipandu oleh seorang pelayan wanita dan dua bodyguard laki-laki berpakaian serba hitam berjalan di belakang.
Kakek lantas berdiri menyongsong kelima orang itu. Tangannya terentang menyambut tamu-tamunya dalam pelukan. Seorang lelaki paruh baya duduk di kursi samping kakek. Mereka terlihat begitu bahagia dengan pertemuan ini. Itu jelas terlihat dari senyuman lebar yang menghiasi wajah mereka sedari tadi.
"Selamat datang, silakan duduk." Kakek menyilakan setelah melepas pelukan dari tamu terakhir, seorang lelaki yang kutaksir seusia dengan Darren.
Lelaki itu mengambil tempat duduk di seberangku. Sepersekian detik pandangan kami bertemu. Matanya memicing, menatap penuh selidik ke arahku. Aku hanya mengangguk samar dengan raut wajah datar.
"Oh, iya, perkenalkan, dia Naomi Anderson." Kakek menunjukku yang tengah menunduk, sibuk dengan pikiranku sendiri.
Dengan tergagap aku mengangkat wajah. Kemudian menganggukkan kepala untuk menyapa mereka.
"Dia Tuan dan Nyonya Sanchez," ucap kakek sambil menunjuk pasangan paruh baya yang duduk di hadapan Darren. "Wanita itu, Elena Sanchez," lanjutnya seraya mengalihkan tangan ke arah gadis cantik bergaun hitam yang duduk di sebelah ibunya.
"Itu Zach, Zaccaria Alessandro Smith. Sepupu Darren." Kakek menunjuk lelaki yang duduk di seberangku. "Sedangkan yang di sampingnya adalah kedua orang tuanya."
Usai memperkenalkan semua orang yang hadir, kakek menyuruh kami untuk duduk. Setelah semua duduk di tempat masing-masing, kakek mempersilakan kami untuk memulai makan malam.
Aku mengernyit. Bukankah seharusnya ada perbincangan terlebih dahulu? Namun, pertanyaan itu hanya berakhir dalam kepalaku, sedangkan tanganku mulai bergerak mengikuti orang-orang yang mulai meraih pisau dan garpu, lalu menyantap makanan di piring mereka masing-masing.
Suasana terasa canggung bagiku. Tak ada siapa pun yang berbicara. Hanya ada suara berdenting dari pisau dan garpu yang beradu dengan piring, serta derap langkah para pelayan yang masih saja sibuk mondar-mandir menghidangkan makanan.
Beberapa saat berlalu, akhirnya acara makan malam selesai. Semua orang telah meletakkan alat makannya kembali, tak terkecuali aku.
Aku meraih sapu tangan, lalu menyeka mulut dengan pelan sebelum perhatianku teralihkan pada kakek yang mulai membuka suara.
"Tujuanku mengumpulkan kalian di sini awalnya untuk mendiskusikan acara pernikahan cucu kesayanganku Darren, dengan putrimu, Diego," ucap kakek. "Namun, aku ingin meminta maaf sebelumnya, sepertinya pernikahan Darren dan Elena tidak bisa dilaksanakan."
"Apa maksudmu, Tuan Smith?" tanya laki-laki paruh baya yang duduk di samping kakek dengan nada meninggi.
Hening sesaat. Terdengar helaan napas kakek, lalu kulihat dia membuka mulut. Namun, belum sempat berbicara, kakek kembali mengatupkan bibir saat mendengar suara Darren. "Aku akan menikah dengan wanita pilihanku," ucapnya dengan nada datar.
Deg!
Tiba-tiba suasana menjadi tegang. Aku bisa merasakan atmosfer di ruangan itu perlahan memanas. Kulirik Darren yang duduk di sampingku takut-takut. Aku ingin melihat bagaimana ekspresi lelaki itu. Sayangnya, raut wajahnya tetap datar-datar saja, seperti tak ada masalah apa pun yang terjadi.
"Bukankah perjodohan kalian sudah kami sepakati sejak dahulu? Apa maksudmu dengan mengatakan kau akan menikahi wanita pilihanmu?!"
"Tenanglah, Diego." Wanita yang duduk di sebelah Tuan Sanchez mengusap lengannya perlahan.
Tuan Sanchez dengan cepat menyentak tangannya dan bangkit berdiri. Tatapannya nyalang. "Apa-apaan ini? Kalian ingin mempermainkanku?!"
"Diego, tenang dulu. Cucuku bukan hanya satu." Kakek berusaha melobi. Tatapannya mengarah ke lelaki yang duduk di hadapanku.
"Maksudmu, kau akan menggantikan posisi Darren dengan Zach?"
Kakek mengangguk. "Ya. Mereka sama-sama pengusaha sukses. Mereka juga sama-sama sudah mengerti cara kerja bisnis kita. Aku yakin, Zach bisa menjadi menantumu dengan baik."
Tuan Sanchez kembali terduduk. Wajahnya tak lagi diliputi amarah. Setelah menarik napas sejenak, Tuan Sanchez menghadap ke arah putrinya. "Bagaimana, Elena? Kau mau menikah dengan Zach?"
Semua mata kini tertuju pada gadis itu. Aku pun ikut menatapnya sambil berdoa dalam hati, semoga dia mau menikah dengan sepupu Darren.
Hening menyelimuti ruangan beberapa saat. Tak ada yang membuka suara, sedangkan wanita itu tak kunjung menjawab pertanyaan ayahnya.
"Sebelumnya, bolehkah aku bertanya sesuatu?" ujar Elena seraya melirikku. Ah, aku merasakan firasat buruk.
"Tentu saja. Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Kakek Darren.
"Apakah wanita yang duduk di samping Darren sekarang adalah wanita yang ingin dinikahinya?"
"Ya," jawab Darren cepat. Aku bahkan sampai terbelalak. Laki-laki itu benar-benar tidak bisa basa-basi.
Tanpa sadar aku menelan ludah karena tiba-tiba saja tenggorokanku terasa kering. Tatapan wanita itu padaku cukup membuat detak jantungku berpacu. Jujur saja, aku mulai takut sekarang.
Elena menyunggingkan senyum setelah memutus tatapan mata kami. Lalu, dengan mantap dia menjawab, "Kalau begitu, aku tidak akan menikah dengan Zach."
"Elena ...," panggil Tuan Sanchez.
"Aku tidak mau diberi cadangan, Ayah."
"Tapi—"
Ucapan Kakek terpotong oleh Elena yang lebih dulu berkata, "Aku sudah memberikan jawabanku. Jadi, apa kita bisa pulang sekarang?" Dan segera saja wanita itu berdiri.
"Jadi, kukira beginilah akhir dari perjanjian kita?"
Kakek tak sempat menjawab ucapan Tuan Sanchez, karena mereka telah terlebih dahulu melangkah meninggalkan ruang makan bersama para bodyguardnya.
Sekilas, aku melihat rahang Darren mengeras. Kenapa dia?
Ah, kuharap tak akan ada hal buruk yang terjadi setelah ini.
***
Acara makan malam berakhir dengan tidak baik-baik saja tiga puluh menit yang lalu. Sekarang, aku tengah berada di dalam mobil bersama Darren. Dia akan mengantarku pulang.
Semenjak keluar dari rumah kakek, dia sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun. Ah, bukannya aku ingin berbicara dengan Darren. Hanya saja, rasanya sangat canggung berada dalam mobil bersama orang lain, tetapi sama sekali tidak berbicara.
Darren juga selalu memasang wajah datar sedari tadi. Tatapannya menghadap ke depan, ke jalanan yang kami lewati sekarang. Tangannya juga hanya sibuk mencengkeram setir.
Aku sama sekali tidak bisa membaca perasaannya sekarang. Tak ada ekspresi apa pun selain wajah datar yang bisa kulihat. Aku tidak tau bagaimana perasaannya saat ini. Apakah dia merasa senang, sedih, marah, atau mungkin gelisah? Apakah dia menyesal dengan keputusannya atau tidak? Aku tak tau.
Baru saja kubuka mulut untuk memanggilnya ketika ponselku tiba-tiba berdering.
"Ya, Tante," ucapku setelah menggeser tombol hijau ke atas lalu menempelkan layar ke telinga.
"Kau di mana? Kenapa tidak datang ke klub?"
Aish! Dalam hati aku merutuk. Bagaimana aku bisa lupa kalau aku harus bekerja?
"Aku baru pulang, Tante. Setelah ini aku akan langsung ke sana," jawabku, lalu segera mematikan ponsel setelah tanteku menjawab oke.
"Siapa?" tanya Darren tiba-tiba. Aku menoleh.
"Aunty menyuruhku untuk datang ke klub."
"Kau tidak bilang akan berhenti?"
Aku hanya menggeleng mendengar pertanyaannya. Bagaimana aku bisa bilang jika seharian ini saja aku disandera olehnya!
"Ya sudah, kita ke sana sekarang. Biar aku yang bilang."
"Baiklah," jawabku lemah.
Pukul sepuluh malam, Darren memarkirkan mobilnya di tempat parkir bawah tanah. Kami segera turun, lalu menaiki lift menuju lantai dua gedung itu.
Lorong panjang berpenerang lampu temaram menyambut kami seketika keluar dari lift. Dentuman musik masih bisa kudengar, begitu pula lampu kelap-kelip terlihat berpendar dari arah lantai satu. Di ujung lorong itu terdapat pintu kaca besar. Di sanalah tempatku bersiap-siap sebelum nantinya turun ke lantai satu untuk menyambut para tamu.
Siluet wanita berambut panjang bergelombang tampak berdiri di depan pintu saat aku akan membukanya. Sepertinya itu Tante Vera.
Benar saja. Sesaat setelah aku masuk, Tante langsung menarik lenganku tanpa permisi. Aku berusaha meronta, sembari sesekali melirik Darren yang mengikuti langkahku di belakang, masih dengan wajah datarnya.
"Tan, sebentar —"
"Sudah tidak ada waktu," sambarnya, sebelum aku selesai bicara. "Ada seorang pengusaha kaya yang akan datang malam ini. Dia minta gadis muda untuk menemaninya. Kau tau, dia akan membayarmu mahal seperti orang yang membookingmu tadi malam."
Sebelum langkahku memasuki ruangan tempatku berganti baju, suara Darren akhirnya berhasil menghentikan langkah Tante Vera.
"Ma'am ...." Teriakannya membuat Tante seketika menoleh.
Aih! Kenapa tidak dari tadi? rutukku.
Tante Vera segera melepaskan genggamannya di tanganku, lalu berdeham beberapa kali sebelum menjawab, "Yes, Sir."
Kegugupan tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Entahlah apa yang membuat tanteku segugup itu. Padahal, bukankah tadi malam mereka sudah bertemu?
"Aku tidak mengizinkan dia menemani lelaki lain." Darren berucap tanpa basa-basi. Yah, sepertinya lelaki itu tidak tau caranya berbasa-basi.
"Kenapa, Tuan Smith? Kau ingin membookingnya lagi? Tapi maaf, malam ini Rose sudah dibooking orang lain."
Darren menggeleng. "Aku tidak membookingnya, aku ingin menikahinya."
"Ap—apa?!"
Aku hanya bisa menundukkan kepala. Tak mampu rasanya bertatapan baik dengan Tante maupun Darren.
"Tidak bisa, Tuan. Maaf, Rose bukan wanita yang bisa dinikahi. Dia harus bekerja untukku."
Karena Darren tidak kembali menjawab, aku mendongakkan kepala untuk menatapnya. Kulihat dia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya. Selembar kertas.
"Cek, 500 juta dolar," ucapnya datar sembari mengangsurkan cek ke arah Tante.
Tante terperangah. Matanya melotot menatap angka yang tertera di kertas itu. "Li ... lima ratus ju-ta do-dolar?"
"Aku akan membawanya pergi sekarang."
"Tapi—Tuan, sebentar ...."
Suara langkah kaki yang mendekat membuat aku dan Darren yang hendak meninggalkan tempat itu seketika menoleh.
"Waaah ... lihatlah siapa yang kutemui di sini?"
Lelaki berperawakan tinggi kekar dengan setelan jas hitam melangkah semakin dekat. Wajahnya tak terlalu jelas karena dia melangkah keluar dari kegelapan. Namun, dari suaranya sepertinya tidak asing.
"Zach." Aku menoleh demi mendengar Darren menggumamkan nama lelaki itu.
Benar saja. Saat akhirnya dia telah berdiri di depanku, barulah bisa kulihat dengan jelas wajah lelaki itu. Lelaki yang baru saja kutemui di rumah kakek Darren.
"Apa ini, Sepupu? Kau mengenalkan wanita ini sebagai kekasihmu kepada kakek, tapi apa yang kulihat sekarang ini?"
"Bukan urusanmu. Pergilah." Darren berucap datar sambil menarik lenganku perlahan.
Belum sempat aku melangkah, tangan kiriku dengan cepat ditangkap Zach. "Tapi aku sudah membookingnya, Sepupu. Dia milikku malam ini."
"Uangmu akan kukembalikan nanti."
Zach terkekeh. Kekeh yang terdengar mengejek. "Ini bukan tentang uang."
Lelaki itu melangkah mendekati Darren dan berhenti satu langkah di depan wajah lelaki yang dua inci lebih tinggi darinya. "Aku penasaran, permainan apa yang sedang coba kau mainkan?"
"Kubilang bukan urusanmu," desis Darren. "Sekarang menyingkirlah. Kau menghalangi jalanku."
Darren mendorong bahu Zach lalu menyeretku pergi. Di belakang sana, samar-samar kudengar suara Zach masih terkekeh. Entah apa yang dia tertawakan, tapi yang jelas cengkeraman Darren di tanganku semakin kencang hingga jemariku berdenyut sakit.
Aku jadi bertanya-tanya, mereka ada masalah apa? Dari percakapan yang baru saja kudengar, sepertinya hubungan mereka tidak baik.
***
Darren sama sekali tidak bisa basa-basi. Setelah tempo hari bilang dengan sangat berterus terang kepada tanteku bahwa dia akan menikahiku, lalu esoknya dia bilang pernikahan kami akan diselenggarakan minggu depan. Astaga! Aku benar-benar tidak diizinkan untuk bernapas barang sebentar.Pukul dua siang kelasku selesai. Segera kukemasi buku-buku di meja dan kumasukkan secara asal ke dalam tas. Ponselku berdering tepat saat aku baru saja bangkit dari duduk. Kuraih benda pipih itu dan dengan cepat menempelkan layar ke telinga setelah mengusap ikon telepon berwarna hijau ke atas."Ada apa?" ucapku tanpa basa-basi. Buat apa juga basa-basi kepada orang yang tidak bisa basa-basi?"Keluar. Aku di depan."Aku mengembuskan napas kesal. Padahal aku baru saja berniat pulang dan tidur. Dasar laki-laki tukang atur menyebalkan!"Untuk apa ke mari? Aku bisa pulang sendiri.""Keluar sekarang atau aku yang akan masuk dan menyeretmu?"Ish! Mengapa manusia ini sangat suka mengancam orang? Sifatnya sama sek
Hari yang ditunggu-tunggu —entah oleh siapa— akhirnya tiba. Pukul tujuh pagi Darren menjemputku untuk kemudian berangkat bersama ke Dallas, tepatnya ke The Adolphus hotel, salah satu hotel termewah di Texas, tempat pesta pernikahan kami akan digelar.Pemberkatan dijadwalkan pukul sembilan pagi. Lalu, dilanjutkan dengan resepsi sampai dini hari. Begitulah yang dikatakan Darren padaku selama perjalanan. Setelah hampir tiga puluh menit berkendara, BMW Darren memasuki Commerce street, dan berbelok ke arah kiri memasuki tempat parkir gedung. Darren mengambil tempat parkir bawah tanah dan menghentikan mobilnya di sudut area.Udara dingin seketika menusuk tulang. Kueratkan coat yang kukenakan untuk menghalau hawa dingin yang berusaha menelusup masuk. Di depan lift, kami sudah di sambut oleh sepasang laki-laki dan sepasang perempuan berpakaian formal. Mereka kemudian menggiring kami ke sebuah kamar untuk berganti pakaian dan melakukan persiapan.Darren bersama laki-laki yang tadi menjemput ka
Bel kamar berbunyi tepat saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Masih dengan bathrobe yang membalut tubuh serta handuk kecil yang kugunakan untuk mengeringkan rambut, aku membuka pintu.Darren menerobos masuk begitu saja dan segera melemparkan tubuh ke atas ranjang. Wajahnya tampak lesu, setelan yang dia kenakan juga sudah kusut acak-acakan. Kantung mata hitam yang menggantung di bawah kelopak matanya menandakan dia tidak tidur semalaman."Kau dari mana?" Aku bertanya. Hanya untuk basa-basi lebih tepatnya."Bukan urusanmu," jawabnya datar. Aku mengembuskan napas kesal.Merasa tidak sepantasnya aku bertanya lebih jauh, kuteruskan saja kegiatan yang tadi sempat tertunda. Hair dryer di meja rias kugunakan untuk mengeringkan rambut, kemudian menyisirnya. Setelah itu, aku mengambil baju ganti yang tadinya akan kupakai di kamar, kubawa ke kamar mandi.Mana mungkin aku memakai baju di depan Darren, kan? Meskipun dia tengah tidur terlentang sambil menutup mata sekarang, aku yakin dia bel
Aku sedang mengerjakan jurnal untuk diberikan kepada Mrs. Moore besok, saat telingaku mendengar suara deru mesin mobil memasuki halaman. Kulirik jam di sudut bawah laptopku. Pukul setengah satu malam. Aku mengernyitkan dahi. Siapa gerangan yang bertamu selarut ini? Apakah itu Darren?Penasaran, segera aku berlari ke arah jendela di samping kanan ranjangku dan mengintip dari celah tirai yang sedikit terbuka.Benar. Itu mobil yang dibawa Darren sore tadi.Kembali kududukkan diri di atas ranjang berseprai biru langit. Berusaha menekuri pekerjaanku lagi, meski kini konsentrasiku telah terganggu. Kira-kira ke mana perginya Darren tadi? Apa ke klub? Apa dia baru saja tidur dengan seorang gadis? Aku menggelengkan kepala buru-buru. Untuk apa memikirkan hal-hal seperti itu?Tak lama, terdengar suara seseorang menaiki tangga, disusul suara Darren yang memanggilku dari luar, membuatku berjengkit kaget."Bubble ...." Langkah kaki lelaki itu berhenti di depan pintu kamarku.Shit! Manusia itu mema
Jarum jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam saat aku akhirnya memasuki halaman rumah milik Darren, setelah sebelumnya turun dari taksi yang kutumpangi. Seorang security menyambutku dengan membukakan gerbang sambil menganggukkan kepala sopan, yang kubalas dengan senyuman tipis. Dalam keadaan tubuh lelah aku melangkah masuk ke rumah.Suasana rumah sudah sepi. Para pelayan yang biasa berkeliaran di rumah besar ini tak terlihat lagi kehadirannya. Mungkin semua penghuni rumah sudah terlelap, tak terkecuali Darren. Atau mungkin lelaki itu justru masih di luar? Entahlah. Aku malas memikirkannya.Dengan gontai kutatih langkah untuk menaiki satu per satu anak tangga. Namun, saat kakiku baru sampai anak tangga tengah, kudengar pintu kamar sebelah kanan terbuka, memunculkan tubuh tegap dengan dada bidang milik seorang Darren Smith, setelah itu dia menutup daun pintu dengan keras. Aku terlonjak."Ke mana saja kau hingga baru pulang tengah malam begini?" Suaranya te
Aku berdiri dengan gugup di tengah ruangan, dikelilingi oleh orang-orang yang menatapku dengan tatapan berbeda-beda. Ada yang prihatin, ada yang bersimpati, ada pula yang menatapku dengan senyum miring meremehkan.Kami sedang berkumpul di ruang pertemuan, sesuai instruksi dari Mr. Johannes. Semua pegawai berdiri berkeliling membentuk lingkaran, dengan aku, Mr. Johannes, dan bos kami yang menjadi porosnya.Berdiri di tengah-tengah mereka, bersama dua orang paling penting di kafe ini membuatku merasa seperti terdakwa yang sedang menunggu sidang vonis mati. Kutundukkan kepala dalam-dalam, jemari saling meremas di depan perut. Kaki yang terasa lemah kupaksa berdiri menopang tubuh dengan tegak.Suara dehaman maskulin terdengar. Lelaki di hadapanku maju satu langkah ke arahku. Aku meremas jari semakin keras, rasa gugup juga panik dan takut bercampur jadi satu dalam dadaku. Membuat ritme detak jantungku berantakan."Apa yang kau lakukan, Frederick? Apa ramainya pelanggan yang datang ke mari
Rahang Darren seketika mengeras mendengar ucapan sarat kemarahan dari Naomi. Dirinya sama sekali tak menyangka, gadis pendiam itu memiliki keberanian untuk menumpahkan kata-kata makian untuknya seperti tadi. Tangannya mengepal, menahan diri sekuat tenaga agar tak meninju dinding di sampingnya.Sepeninggal Naomi, dia merogoh saku celananya dan meraih ponsel. Dicarinya salah satu nama orang kepercayaannya, kemudian membuat panggilan."Aku punya pekerjaan untukmu," ucapnya tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. Setelah menjelaskan beberapa hal, tanpa menunggu jawaban dari seberang, dia segera memutus panggilan.Kembali dimasukkannya ponsel itu ke dalam saku, lalu dia berjalan keluar rumah. Gegas dia masuki mobil abu-abu miliknya yang terparkir rapi di carport, kemudian menyalakan mesin sebelum melajukannya keluar dari halaman. Sebelum meninggalkan halaman, ujung mata Darren menangkap bayangan korden dibuka di kamar sebelah. Senyum miring tersungging di bibir. Meskipun marah, terny
Pagi ini kelas terasa hening. Hanya suara detak jarum jam serta penjelasan dari Mr. Robinson yang berdengung samar-samar di telingaku. Entah keadaan kelas yang memang hening karena anak-anak merasa bosan dengan materi yang dibawakan Mr. Robinson, atau aku yang sedari tadi sibuk melamun, memikirkan tingkah Darren yang terasa aneh akhir-akhir ini.Beberapa hari terakhir sikap Darren agak berubah. Semenjak malam itu, malam di mana aku diantar pulang oleh Zach yang berujung pada pertengkaran kami, sikap Darren menjadi berubah. Pagi harinya dia memaksa mengantarku ke kampus, lalu pulangnya dia memaksa mengantarku ke kafe tempatku bekerja—yang mana adalah kafe milik Zach, lalu setelah pekerjaanku selesai, dia juga memaksa menjemputku pulang. Dan hal itu berlangsung hingga beberapa hari belakangan. Sikap seperti itu sebenarnya tidak aneh jika dilakukan oleh orang lain. Akan tetapi, menjadi cukup aneh jika itu adalah Darren, mengingat bagaimana dingin dan kejamnya dia kepadaku dahulu. Aku se