Darren sama sekali tidak bisa basa-basi. Setelah tempo hari bilang dengan sangat berterus terang kepada tanteku bahwa dia akan menikahiku, lalu esoknya dia bilang pernikahan kami akan diselenggarakan minggu depan. Astaga! Aku benar-benar tidak diizinkan untuk bernapas barang sebentar.
Pukul dua siang kelasku selesai. Segera kukemasi buku-buku di meja dan kumasukkan secara asal ke dalam tas. Ponselku berdering tepat saat aku baru saja bangkit dari duduk. Kuraih benda pipih itu dan dengan cepat menempelkan layar ke telinga setelah mengusap ikon telepon berwarna hijau ke atas.
"Ada apa?" ucapku tanpa basa-basi. Buat apa juga basa-basi kepada orang yang tidak bisa basa-basi?
"Keluar. Aku di depan."
Aku mengembuskan napas kesal. Padahal aku baru saja berniat pulang dan tidur. Dasar laki-laki tukang atur menyebalkan!
"Untuk apa ke mari? Aku bisa pulang sendiri."
"Keluar sekarang atau aku yang akan masuk dan menyeretmu?"
Ish! Mengapa manusia ini sangat suka mengancam orang? Sifatnya sama sekali tidak berubah sedikit pun, padahal dia sudah dewasa.
Kumatikan sambungan telepon tanpa menjawab, lalu melemparkan benda laknat itu kembali ke dalam tas.
"Siapa?" Amber yang sejak tadi berdiri di sampingku bertanya.
Dia salah satu teman baikku di kelas—selain Ainsley, sahabatku sejak Kindergarten.
"Bukan siapa-siapa." Aku menjawab asal, lalu mulai melangkah meninggalkan kelas.
Kami berjalan perlahan melewati koridor sampai ke depan gedung, setelah itu kami berpisah arah. Amber menuju tempat parkir di sebelah kanan gedung, sedangkan aku berjalan lurus menuju gerbang.
Dari jarak sekitar lima puluh meter, aku bisa melihat mobil Darren terparkir di luar gerbang, sementara pemiliknya berjalan santai ke arahku. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana bahan yang dia kenakan. Jas hitam yang dia pakai kancingnya terbuka, sehingga melambai-lambai terkena sapuan angin.
Cih! Aku mencebik dalam hati. Sok ganteng sekali. Memangnya dia model yang sedang berjalan di red carpet?
"Naomi Rosalina Mahuze ...," teriaknya saat jarak kami tinggal sepuluh meter.
Eh? Mengapa dia tau aku mengganti nama belakangku menjadi nama keluarga Mommy?
"Kau membuatku menunggu lima menit," sambungnya setelah berdiri di hadapanku.
"Dari mana kau tau kalau aku mengubah nama belakangku?" tanyaku seraya meneruskan berjalan ke arah gerbang, bersamanya yang mengikuti di sampingku.
Dia mengedikkan bahu. "Bukan perkara yang sulit bagiku untuk mengetahui apa pun tentangmu."
Aku membuang muka mendengarnya. Manusia narsis itu memang tidak bisa diajak bicara serius.
"Lalu, mau apa kau ke sini?"
"Menjemputmu. Kita ke Boutique, fitting baju pengantin."
Terang saja aku terbelalak. "Apa? Sekarang? Memangnya tidak bisa besok lagi?"
"Kita menikah dalam empat hari."
Aku hanya bisa menggeleng frustasi. "Ya Tuhan, Darren. Apa kau benar-benar begitu ingin menikah denganku?"
Bukannya menjawab, lelaki itu justru membuka pintu mobil sebelah kanan dan berkata dengan ekspresi datarnya, "Masuk."
Dia benar-benar tidak bisa mendengarkan ucapanku. Lagi pula, memangnya kapan Darren pernah mendengarkan ucapan orang lain?
***
Darren mengemudi selama dua puluh menit melintasi sepanjang Tom Landry Freeway, lalu berbelok memasuki E Mitchell street dan berhenti di depan La Vie En Rose Boutique, salah satu butik terkenal di Arlington city.
Aku menggeleng takjub. Mengapa dia rela jauh-jauh dari Fort Worth ke Arlington hanya untuk mencari baju pengantin? Memangnya di Fort Worth tidak ada butik?
"Turun," ucap Darren datar seraya membuka pintu mobil.
Aku menurut. Dengan canggung melangkah mengekori Darren untuk masuk ke dalam butik itu. Astaga! Apakah orang itu tidak bisa bicara dulu jika ingin mengajakku pergi? Haruskah aku memasuki butik tempat para orang kaya berbelanja ini dengan baju kasual begini?
Aku hanya memakai kaos dan celana jeans. Sementara Darren mengenakan setelan formalnya yang mewah itu.
Darren menengok ke belakang kala melihatku mematung di depan pintu. Tatapannya tajam menghujam.
"Cepat," desisnya.
Mau tidak mau aku meneruskan langkah. Pintu kaca besar terbuka otomatis saat kami melangkah masuk. Lalu, tepat di samping pintu, seorang resepsionis menyambut kami—atau mungkin hanya Darren.
"May I help you, Sir?" Wanita cantik berkemeja putih dengan blazer hitam yang rambutnya disanggul rapi itu bertanya sopan.
"Kami ingin fitting baju pengantin."
"Atas nama siapa?"
"Alexander Darren Smith."
Resepsionis itu mengetikkan sesuatu di keyboard, lalu setelah menemukan apa yang dia cari di layar komputernya, dia menyuruh kami meneruskan langkah memasuki butik itu lebih dalam.
Lemari-lemari kaca berisi berbagai jenis gaun pengantin menghiasi ruangan itu. Berbagai manekin yang mengenakan gaun-gaun pengantin nan cantik juga terpajang di hampir seluruh sudut ruangan. Sofa dan vas bunga berisi tamanan hias melengkapi isi ruang tengah butik ini.
Kami dipersilakan untuk duduk di sofa itu. Sembari menunggu, seorang pelayan berpakaian putih menuangkan teh hangat ke dalam cangkir dan meletakkannya di meja depan kami.
"Silakan, Tuan," ucapnya sopan sebelum bayangan tubuhnya menghilang di balik pintu.
Tak lama, seorang wanita paruh baya dengan busana yang sangat eksentrik keluar.
"Selamat datang, Tuan." Wanita itu menyalami Darren. "Perkenalkan, saya Melanie Brown. Ini calon pengantin wanitanya?" lanjutnya sembari mengarahkan mata padaku.
Aku mengangguk ragu. Matanya memindaiku dari atas ke bawah. Tatapannya memicing, mengisyaratkan penilaiannya yang seakan melihat makhluk aneh berada di tempat mewahnya.
Namun, beberapa saat kemudian Nyonya Brown menarik senyum. "Mari, Nona, silakan coba gaunnya."
Aku mengikuti langkah wanita itu memasuki sebuah kamar. Di dalam kamar itu ternyata terdapat lebih banyak manekin dengan gaun-gaun cantik terpajang.
Sebuah manekin mengenakan gaun putih cantik berdiri di tengah ruangan, memisahkan diri. Aku menatapnya takjub. Gaun itu cantik sekali. Gaun mewah dengan bagian bahu terbuka itu berhias Lace di bagian dada berkerah V neck, sementara untuk bagian pinggang ke bawah berupa Tulle bertabur glitter cantik.
Orang yang mengenakan gaun itu pasti akan terlihat seperti sedang mengenakan pakaian yang terbuat dari berlian. Begitu berkilau, cantik dan elegan.
"Ini gaun yang dipesan Tuan Smith, Nona. Silakan dicoba." Nyonya Brown menunjuk gaun yang kubicarakan tadi.
Astaga, benarkah aku akan mengenakan gaun itu?
Dengan tangan gemetar aku mengusap bagian depan gaun itu, sedangkan wanita tadi —kupikir dia desainernya— berusaha melepas gaun itu dari manekinnya dan membantuku mengenakannya.
Gaun indah itu telah terpasang sempurna di tubuhku. Benar-benar cantik. Nyonya Brown menuntunku keluar kamar. Aku melangkah pelan sembari kedua tangan mengangkat ujung gaun supaya memudahkanku berjalan.
Sesampainya di depan pintu, kulihat Darren mengangkat wajahnya dari ponsel di tangan. Matanya terpaku sesaat menatapku.
"Bagaimana, Tuan?" tanya Nyonya Brown. Aku menunduk demi menunggu jawaban Darren. Ritme detak jantungnya seketika meningkat.
"Bagus." Darren hanya menjawab singkat, lalu kembali menunduk, berkutat dengan ponselnya.
Dasar laki-laki kulkas menyebalkan!
***
Tanggal pernikahan sudah ditentukan, undangan sudah dibagikan, seluruh persiapan sudah dilakukan, tetapi aku bahkan tidak tau apa-apa mengenai segala persiapan itu.
Setelah mengajakku fitting baju pengantin tempo hari, Darren tidak lagi menemuiku. Dia juga tidak menghubungiku. Lalu, saat aku tanya apa yang bisa kubantu untuk persiapan pernikahan, dia dengan mudahnya berkata, "Kau hanya perlu hadir saja." Huh, dasar manusia es!
Besok hari pernikahanku akan digelar. Namun, aku merasa kosong. Tidak senang, tidak juga sedih. Aku tidak senang karena di hari pernikahanku, tidak ada satu pun dari keluargaku yang akan hadir.
Mommy sudah tidak ada, sedangkan Daddy —sebenarnya aku enggan memanggilnya dengan sebutan itu, aku tidak sudi mengundangnya. Aku juga tidak mengundang Tante Vera karena takut dia justru akan mengacau.
Namun, aku juga tidak merasa sedih karena pernikahan ini bukanlah pernikahan sesungguhnya, hanya pura-pura saja. Jadi, tak perlu seserius itu. Darren juga sepertinya hanya menganggap pernikahan kami sebagai acara kecil yang bisa dia tangani seorang diri. Buktinya, dia sama sekali tidak melibatkanku dalam hal apa pun.
Satu-satunya hal yang aku khawatirkan sekarang adalah siapa yang akan mengantarku ke altar besok. Apakah aku harus berjalan sendiri? Atau Darren sudah membayar orang untuk melakukannya?
Bunyi berdenting dari ponsel tanda notifikasi masuk membuatku terpaksa bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke meja rias, tempat ponselku tergeletak.
[Keluar. Aku di depan.] Pesan dari Darren.
Aku mendesah membaca isi pesan itu. Laki-laki itu selalu saja menyuruh sesuka hati.
Kuseret langkah dengan terpaksa ke depan, membuka pintu, dan menghampirinya yang masih berada dalam Lamborghini Aventador kuningnya, duduk di balik kemudi.
"Mengapa mengirimiku pesan? Mengapa tidak langsung masuk saja?" sungutku.
"Ganti bajumu. Kita akan ke suatu tempat."
Aku memutar bola mata. "Kau suka sekali menyuruh-nyuruh orang? Mengapa kau selalu saja menyuruhku ini-itu sesuka hati?"
Darren tersenyum miring. "Mengapa bertanya? Bukankah dari dulu memang begitu?"
Aku melengos. Malas menanggapi ucapannya yang hanya akan melempar memoriku ke masa lalu. Aku memilih memutar langkah kembali ke dalam rumah. Mengganti pakaian dengan blouse biru muda dan celana jeans, mengikat rambut secara asal, lalu menyambar tas sebelum keluar.
"Kita akan ke mana?" tanyaku begitu tiba di depan mobilnya.
"Austin. Menemui ayahmu."
"Daddyku?!" Aku terbelalak. Darren hanya menggumam sebagai jawaban.
Terang saja, aku menggeleng keras-keras mendengar ajakannya. "Tidak, aku tidak mau. Aku tidak akan pernah mau menemuinya."
"Lalu siapa yang akan mengantarmu ke altar besok?"
"Aku bisa jalan sendiri." Setelah berkata begitu, aku berbalik dan kembali masuk ke rumah.
Tak kuhiraukan suara Darren yang terus-menerus memanggil namaku, menyuruh kembali. Persetan.
Kulempar tasku ke meja, lalu kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Air mata tiba-tiba menetes tanpa bisa dicegah. Dadaku terasa sesak setiap mengingat kenangan masa lalu. Karena laki-laki itu Mommy meninggal. Karena dia Mommyku pergi untuk selamanya. Sampai kapan pun, aku tidak akan sudi menemuinya lagi. Tidak akan.
***
Hari yang ditunggu-tunggu —entah oleh siapa— akhirnya tiba. Pukul tujuh pagi Darren menjemputku untuk kemudian berangkat bersama ke Dallas, tepatnya ke The Adolphus hotel, salah satu hotel termewah di Texas, tempat pesta pernikahan kami akan digelar.Pemberkatan dijadwalkan pukul sembilan pagi. Lalu, dilanjutkan dengan resepsi sampai dini hari. Begitulah yang dikatakan Darren padaku selama perjalanan. Setelah hampir tiga puluh menit berkendara, BMW Darren memasuki Commerce street, dan berbelok ke arah kiri memasuki tempat parkir gedung. Darren mengambil tempat parkir bawah tanah dan menghentikan mobilnya di sudut area.Udara dingin seketika menusuk tulang. Kueratkan coat yang kukenakan untuk menghalau hawa dingin yang berusaha menelusup masuk. Di depan lift, kami sudah di sambut oleh sepasang laki-laki dan sepasang perempuan berpakaian formal. Mereka kemudian menggiring kami ke sebuah kamar untuk berganti pakaian dan melakukan persiapan.Darren bersama laki-laki yang tadi menjemput ka
Bel kamar berbunyi tepat saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Masih dengan bathrobe yang membalut tubuh serta handuk kecil yang kugunakan untuk mengeringkan rambut, aku membuka pintu.Darren menerobos masuk begitu saja dan segera melemparkan tubuh ke atas ranjang. Wajahnya tampak lesu, setelan yang dia kenakan juga sudah kusut acak-acakan. Kantung mata hitam yang menggantung di bawah kelopak matanya menandakan dia tidak tidur semalaman."Kau dari mana?" Aku bertanya. Hanya untuk basa-basi lebih tepatnya."Bukan urusanmu," jawabnya datar. Aku mengembuskan napas kesal.Merasa tidak sepantasnya aku bertanya lebih jauh, kuteruskan saja kegiatan yang tadi sempat tertunda. Hair dryer di meja rias kugunakan untuk mengeringkan rambut, kemudian menyisirnya. Setelah itu, aku mengambil baju ganti yang tadinya akan kupakai di kamar, kubawa ke kamar mandi.Mana mungkin aku memakai baju di depan Darren, kan? Meskipun dia tengah tidur terlentang sambil menutup mata sekarang, aku yakin dia bel
Aku sedang mengerjakan jurnal untuk diberikan kepada Mrs. Moore besok, saat telingaku mendengar suara deru mesin mobil memasuki halaman. Kulirik jam di sudut bawah laptopku. Pukul setengah satu malam. Aku mengernyitkan dahi. Siapa gerangan yang bertamu selarut ini? Apakah itu Darren?Penasaran, segera aku berlari ke arah jendela di samping kanan ranjangku dan mengintip dari celah tirai yang sedikit terbuka.Benar. Itu mobil yang dibawa Darren sore tadi.Kembali kududukkan diri di atas ranjang berseprai biru langit. Berusaha menekuri pekerjaanku lagi, meski kini konsentrasiku telah terganggu. Kira-kira ke mana perginya Darren tadi? Apa ke klub? Apa dia baru saja tidur dengan seorang gadis? Aku menggelengkan kepala buru-buru. Untuk apa memikirkan hal-hal seperti itu?Tak lama, terdengar suara seseorang menaiki tangga, disusul suara Darren yang memanggilku dari luar, membuatku berjengkit kaget."Bubble ...." Langkah kaki lelaki itu berhenti di depan pintu kamarku.Shit! Manusia itu mema
Jarum jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam saat aku akhirnya memasuki halaman rumah milik Darren, setelah sebelumnya turun dari taksi yang kutumpangi. Seorang security menyambutku dengan membukakan gerbang sambil menganggukkan kepala sopan, yang kubalas dengan senyuman tipis. Dalam keadaan tubuh lelah aku melangkah masuk ke rumah.Suasana rumah sudah sepi. Para pelayan yang biasa berkeliaran di rumah besar ini tak terlihat lagi kehadirannya. Mungkin semua penghuni rumah sudah terlelap, tak terkecuali Darren. Atau mungkin lelaki itu justru masih di luar? Entahlah. Aku malas memikirkannya.Dengan gontai kutatih langkah untuk menaiki satu per satu anak tangga. Namun, saat kakiku baru sampai anak tangga tengah, kudengar pintu kamar sebelah kanan terbuka, memunculkan tubuh tegap dengan dada bidang milik seorang Darren Smith, setelah itu dia menutup daun pintu dengan keras. Aku terlonjak."Ke mana saja kau hingga baru pulang tengah malam begini?" Suaranya te
Aku berdiri dengan gugup di tengah ruangan, dikelilingi oleh orang-orang yang menatapku dengan tatapan berbeda-beda. Ada yang prihatin, ada yang bersimpati, ada pula yang menatapku dengan senyum miring meremehkan.Kami sedang berkumpul di ruang pertemuan, sesuai instruksi dari Mr. Johannes. Semua pegawai berdiri berkeliling membentuk lingkaran, dengan aku, Mr. Johannes, dan bos kami yang menjadi porosnya.Berdiri di tengah-tengah mereka, bersama dua orang paling penting di kafe ini membuatku merasa seperti terdakwa yang sedang menunggu sidang vonis mati. Kutundukkan kepala dalam-dalam, jemari saling meremas di depan perut. Kaki yang terasa lemah kupaksa berdiri menopang tubuh dengan tegak.Suara dehaman maskulin terdengar. Lelaki di hadapanku maju satu langkah ke arahku. Aku meremas jari semakin keras, rasa gugup juga panik dan takut bercampur jadi satu dalam dadaku. Membuat ritme detak jantungku berantakan."Apa yang kau lakukan, Frederick? Apa ramainya pelanggan yang datang ke mari
Rahang Darren seketika mengeras mendengar ucapan sarat kemarahan dari Naomi. Dirinya sama sekali tak menyangka, gadis pendiam itu memiliki keberanian untuk menumpahkan kata-kata makian untuknya seperti tadi. Tangannya mengepal, menahan diri sekuat tenaga agar tak meninju dinding di sampingnya.Sepeninggal Naomi, dia merogoh saku celananya dan meraih ponsel. Dicarinya salah satu nama orang kepercayaannya, kemudian membuat panggilan."Aku punya pekerjaan untukmu," ucapnya tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. Setelah menjelaskan beberapa hal, tanpa menunggu jawaban dari seberang, dia segera memutus panggilan.Kembali dimasukkannya ponsel itu ke dalam saku, lalu dia berjalan keluar rumah. Gegas dia masuki mobil abu-abu miliknya yang terparkir rapi di carport, kemudian menyalakan mesin sebelum melajukannya keluar dari halaman. Sebelum meninggalkan halaman, ujung mata Darren menangkap bayangan korden dibuka di kamar sebelah. Senyum miring tersungging di bibir. Meskipun marah, terny
Pagi ini kelas terasa hening. Hanya suara detak jarum jam serta penjelasan dari Mr. Robinson yang berdengung samar-samar di telingaku. Entah keadaan kelas yang memang hening karena anak-anak merasa bosan dengan materi yang dibawakan Mr. Robinson, atau aku yang sedari tadi sibuk melamun, memikirkan tingkah Darren yang terasa aneh akhir-akhir ini.Beberapa hari terakhir sikap Darren agak berubah. Semenjak malam itu, malam di mana aku diantar pulang oleh Zach yang berujung pada pertengkaran kami, sikap Darren menjadi berubah. Pagi harinya dia memaksa mengantarku ke kampus, lalu pulangnya dia memaksa mengantarku ke kafe tempatku bekerja—yang mana adalah kafe milik Zach, lalu setelah pekerjaanku selesai, dia juga memaksa menjemputku pulang. Dan hal itu berlangsung hingga beberapa hari belakangan. Sikap seperti itu sebenarnya tidak aneh jika dilakukan oleh orang lain. Akan tetapi, menjadi cukup aneh jika itu adalah Darren, mengingat bagaimana dingin dan kejamnya dia kepadaku dahulu. Aku se
Shiftku berakhir pukul tujuh. Selesai mengganti seragam kafe dengan kemeja yang sebelumnya kukenakan, aku bergegas keluar dari ruang loker. Beberapa karyawan yang berpapasan menyapa ramah. Aku tersenyum seraya melambaikan tangan untuk berpamitan. Juliette juga baru saja memasuki kafe karena jadwal shiftnya baru dimulai. Aku tersenyum saat dia menyapaku, sambil terus melanjutkan langkah keluar kafe.Langit sudah hampir gelap saat aku menginjakkan kaki di pelataran kafe. Begitu sampai di halaman, kulihat Zach baru saja masuk ke dalam mobilnya. Aku memperlambat langkah kaki untuk menunggunya pergi terlebih dahulu. Namun, sampai beberapa menit kemudian, mobilnya tak kunjung berlalu. Hingga akhirnya kulihat dia justru membuka kaca mobil dan memanggilku."Masuklah. Kuantar kau pulang," katanya setelah aku berhenti di samping mobilnya."Tak usah. Aku bisa pulang sendiri," ujarku. Merasa tidak enak karena walau bagaimanapun, dia adalah bosku.Zach tersenyum sekilas. "Tak perlu merasa sungkan