Lain halnya dengan Namira yang keliahatan santai, Raya justru merasa terintimidasi oleh tatapan wanita di hadapannya. Sepasang mata itu sama persis dengan Arhan ketika laki-laki itu ada dalam mode yang serius.Sebisa mungkin ia memasang wajah yang ramah dan ceria, sampai senyumnya pun sejak tadi tak luntur dari bibirnya. Raya tahu obrolan terakhirnya bersama Arhan sudah sangat membuat Namira marah. Itu memang tujuannya, tapi ia tidak menyangka jika aura ibu satu anak itu sungguh luar biasa. Pantas saja mantan kekasihnya itu tak bisa merelakannya kepada Iyan.Untuk memecah keheningan dan suasana canggung yang tercipta diantara mereka. Raya meminta maaf sebab belum sempat memperkenalkan diri dengan benar. Padahal ini merupakan pertemuan mereka yang kesekian, meskipun sebelumnya wanita itu memilih untuk menyingkir dan membiarkannya berbicara berdua saja dengan Arhan.Belum sempat tangannya terulur untuk bersalaman sebagai bentuk formalitas, tangan lain sudah lebih dulu terbentang di hada
Seusai pertemuannya dengan Raya di mall tadi dan berbincang sebentar di sana, saat ini Namira sibuk dengan ponsel yang ditempelkan pada telinga sebelah kanan. Wanita itu sudah mulai menjalankan aksinya. Diawali dengan menelepon Pak Ato.Tujuannya bukan hanya menanyakan foto dan video yang sebelumnya ia terima, tapi juga ingin membicarakan tentang kost-annya yang terlihat berbeda dari yang terakhir ia ingat. Semuanya berubah dan tampak kosong.Bunyi dengungan yang memenuhi pendengarannya itu tak kunjung berhenti sampai membuat telinganya terasa panas. Tentu saja Namira kesal dengan tindakan Pak Ato yang seolah tengah mempermainkan dirinya. Bukan saja tentang tanggung jawabnya mengenai kost-an yang sudah ia percayakan pada laki-laki paruh baya itu, tapi juga informasi yang mendadak ia dapatkan.Jika Pak Ato hendak memberitahu dirinya tentang Arhan pada malam itu melalui foto dan video yang dikirim, ia hanya butuh penjelasan yang sangat mendetail andai beliau menyaksikan secara langsung
Sesampainya di rumah, Namira segera keluar dari mobil dan menuju lantai atas dengan Elio yang tertidur di gendongannya. Kepergian wanita itu mengundang kernyitan di dahi kedua orang tua yang tengah menurunkan barang belanjaan mereka di bagasi.“Mbak Nami kira-kira kenapa lagi, ya, Pak?” tanya Bi Ida seraya menatap punggung wanita itu yang berlalu tanpa berbicara sepatah kata pun, tidak seperti biasanya.Pak Marwan yang juga melakukan hal yang sama menjawab dengan penuh pertimbangan, “Mungkin nggak, sih, Bi karena apa yang Nima omongin?”Keduanya saling menatap, Bi Ida seolah lupa dan tak sadar jika pembicaraan itu sangat sensitif. Pantas saja Namira tidak memberikan jawaban apapun. Kepalanya ia pukul berulang kali sebab melontarkan hal yang tidak seharusnya disampaikan. Semula ia hanya ingin meringankan beban wanita itu dalam aksi mencari tahu apa yang Arhan lakukan pada malam itu. Namun ternyata justru informasi itu membuat sang majikan merasa terpukul dengan kenyataan yang baru dike
“Istri saya mana, Bi?”Sebuah suara mengejutkan Bi Ida yang tengah melamun di depan kompor sembari memanaskan makan siang yang tak tersentuh sama sekali. Pandangannya beralih dari wajan ke sosok Arhan yang berdiri tak jauh dari dapur. Penampilan laki-laki itu masih rapi dengan wajah yang nampak cerah, berbeda dengan istrinya yang berantakan dan memilih mengurung diri sepulang dari berbelanja. “Ada di kamar Mas, tidur. Mbak Nami juga belum makan siang, saya nggak tega mau banguninnya.”Arhan mengernyitkan dahinya. “Suhu badannya normal, kan?”“Pas tadi saya cek sih normal, Mas.” Hanya itu yang mampu Bi Ida sampaikan. Ia tak kuasa memberitahu laki-laki itu mengenai kejadian hari ini yang membuat wanita di balik pintu bercat putih di lantai atas itu sampai enggan untuk keluar dari kamar. Padahal biasanya mereka akan menghabiskan waktu di ruang tamu sembari menunggu Arhan pulang.Bi Ida melangkah sedikit menjauh dari dapur untuk kembali menatapi pintu kamar majikannya yang masih tertutup.
“Sayang,” panggil Arhan lirih. Ia melihat ada butiran air mata yang jatuh membasahi pipi Namira yang masih asik menyusui Elio. Pandangan wanita itu jatuh pada lantai dingin di kakinya setelah memperlihatkan foto beserta video yang menampilkan dirinya.“Mas itu kenapa, sih? Harus banget buat aku selalu overthinking?” tanya Namira dengan suara bergetar, masih dengan posisi yang sama. Tak kuasa melihat langsung wajah suaminya yang tengah menatapnya sejak tadi.Tangan kiri Namira yang menganggur Arhan raih untuk ia genggam dan mengusapnya dengan lembut. “Maaf Sayang karena nggak bilang sama kamu. Tolong dengerin dulu penjelasan aku, ya?”Setelah mengucapkan permintaan maaf dan meminta kesediaan sang istri untuk mendengarkan penjelasannya, Arhan bergeming sejenak. Ia masih menunggu respon Namira yang masih terdiam. Membiarkan permintaan itu mengambang tanpa ada kejelasan.Arhan akhirnya angkat bicara, berinisiatif menjelaskannya sendiri meskipun ada kemungkinan jika wanita yang masih sibuk
Namira menunggu di sofa panjang yang tersedia di kamar. Pikirannya melayang pada rencana yang semula akan ia lakukan secara diam-diam untuk menyelidiki kedekatan sang suami dan mantan kekasihnya. Ia bahkan sudah meminta Bi Ida dan Pak Marwan untuk bekerja sama dalam misinya.Namun ungkapan Nima yang Bi Ida sampaikan beberapa jam yang lalu membuatnya melupakan segala aksi yang sudah terencana di dalam kepala. Segala persiapan tiba-tiba buyar, tergantikan dengan upaya untuk kabur bersama Elio dari sang suami.Banyak tempat yang ia pikirkan untuk bersembunyi, tapi sayang tak ada yang membuatnya merasa aman dan nyaman sehingga lagi-lagi pilihan terakhirnya hanya menjurus pada laki-laki yang dua tahun lalu ia nikahi. Ketika memikirkan itu, semuanya tampak tak adil untuk dirinya yang sebatang kara.“Lagi ngelamunin apa?” tanya Arhan menyentak kesadaran wanita yang memandang lurus tanpa ekspresi. Kedatangannya bahkan tak dipedulikan oleh istrinya.Arhan duduk di samping Namira setelah menegu
Namira seolah tak peduli jika kaca mobil yang biasa ia gunakan sudah berubah sesuai yang ia inginkan sebelumnya. Mungkin jika sedang tidak ada dalam situasi seperti sekarang ini, ia akan senang bukan main karena laki-laki itu mengusahakan dengan harapan menyenangkan hatinya. Namun keadaan membuatnya tak boleh fokus pada hal itu, hatinya seolah ingin segara mendengar alasan Arhan dan Raya bertemu pada malam hari tanpa sepengetahuan dirinya.Kilatan amarah yang dibungkus rapi oleh ekspresi dingin itu tak membuatnya tidak terlihat. Arhan bisa melihat jika masalah yang berhubungan dengan Raya tak bisa lagi ditunda. Wanita itu sudah tak sabar menunggu penjelasan yang akan ia sampaikan.“Tentang itu ….” Arhan memberi jeda pada kalimatnya. Ia tengah menimang apakah yang akan ia ucapkan ini bisa dipahami atau tidak oleh Namira. Sejenak ia terpikir tentang sesuatu yang mungkin akan menyelamatkannya saat ini, namun bisa saja akan berdampak buruk suatu saat nanti.Namira membuang napas kasar ser
“Sembarangan kamu!” seru Arhan tak terima.Kalimat terakhir Namira sangat keterlaluan karena sampai menyimpulkan seperti itu. Sejak mendapatkan permintaan untuk menikahi istrinya, dari dulu hingga saat ini, Arhan tak pernah sampai terbersit akan menceraikan sang istri. Pernikahan itu bagi dirinya bukan sekedar main-main atau ajang coba-coba, apalagi mereka sudah dikaruniai seorang anak. Pikirannya tidak dangkal seperti itu.Namira menyunggingkan senyumnya. “Terus niat kamu sebenarnya apa? Karena kasihan aja sama mereka berdua?” tanya Namira dengan tatapan yang tajam.Suaminya itu bergeming di tempat dengan kepala menunduk, membenarkan ucapan wanita di depannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.“Yang dimintai tolong itu Andri bukan kamu!” seru Namira cukup lantang seraya mendorong dada Arhan dengan jari telunjuknya. Menyadarkan suaminya jika andai saja malam itu laki-laki di depannya tak ikut campur. Keadaannya tidak akan sampai sekacau ini.Arhan meraih tangan istrinya, ia ingin mem