Malam harinya saat jadwal makan malam tiba. Arhan keluar dari ruang kerjanya setelah meregangkan tubuh. Ia tertidur di sofa yang ada di sana. Perdebatan dengan Namira beberapa jam yang lalu ternyata membuatnya kelelahan hingga ia terlelap cukup lama.Arhan tak bisa melihat apapun setelah membuka pintu. Semua lampu di rumahnya belum dinyalakan. Keningnya mengernyit seraya meraih ponsel yang ada di saku celana untuk melihat pukul berapa sekarang sampai rumah dua lantainya dibiarkan gelap gulita, tak lupa ia juga segera menyalakan senter untuk menuntun langkahnya.Jam di ponsel menunjukkan pukul 7.24 malam. Arhan mendesah pelan seraya berjalan ke beberapa titik saklar untuk menyalakan lampu di lantai dua kemudian berlanjut ke lantai satu. Namun yang membuatnya aneh adalah tidak ada sajian makan malam di meja. Pantas saja ketika ia keluar dari ruang kerja tak mencium aroma masakan apapun. Padahal biasanya di jam segini berbagai bebauan yang menggugah selera menguar ke setiap penjuru rumah
“Mbak Nami betulan mau tinggal di sini?”Namira yang mendapat pertanyaan itu hanya mengangguk. Rencana menghukum Arhan kali ini adalah dirinya yang harus hilang dari pandangan laki-laki itu beberapa hari supaya suaminya sadar jika masalah mereka saat ini benar-benar telah membuatnya mengambil tindakan yang tak main-main.Awalnya ia sedikit ragu sebab beberapa kali ada pemikiran yang tiba-tiba terlintas di kepala mengenai Arhan yang pada akhirnya tak mencarinya, melainkan lebih memilih Raya. Jika itu benar terjadi, lalu bagaimana dengan dirinya? Apa yang akan ia lakukan? Apakah pernikahannya akan hancur? Apakah rumah tangganya akan selesai?Namira tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dirinya hanya bisa yakin bahwa Arhan tak akan melakukan hal itu. Semoga suaminya sesuai dengan apa yang ia harapkan. Maka dari itu ia mengambil keputusan untuk meninggalkan laki-laki itu sementara waktu untuk menghukumnya.“Aku bingung harus pergi ke mana, Bi. Ke rumah Ibu pasti cepet ketahuan sama
Keesokan paginya. Teriakan demi teriakan terdengar dari dalam rumah dua lantai. Bi Ida yang baru sampai segera mempercepat langkahnya mendekat ke arah Pak Marwan yang hanya berdiri di depan mobil seraya memandangi bangunan itu.“Ada apa, Pak? Saya kayak dengar teriakan,” ucap Bi Ida sembari menajamkan pendengaran jika suara samar yang sebelumnya melintas ke telinga, sumbernya dari rumah tempat ia bekerja.Pak Marwan menatap Bi Ida sekilas kemudian kembali beralih pada bangunan rumah di depannya. “Dari tadi Mas Arhan sama ibunya bertengkar, Bi.”Bi Ida mengernyitkan kening, fokus wanita itu kini sepenuhnya hanya kepada Pak Marwan. “Kok bisa? Gara-gara apa?”Terdengar helaan napas lelah. “Yang saya dengar, Mbak Nami kabur sama Elio.” Raut wajah Pak Marwan begitu lesu dengan kepala menunduk. Tak menyangka jika pilihan terakhir Namira adalah pergi dari rumah tanpa memberitahu siapapun.“Hah?”“Nggak nyangka, ya, Bi. Mbak Nami pasti sudah nggak bisa lagi menahan semuanya sampai memilih per
Sejak bekerja pada Arhan. Bi Ida dan Pak Marwan tidak pernah sekalipun penasaran dengan apa yang terjadi dengan kehidupan majikannya itu. Selama ini keduanya hanya fokus pada tugas masing-masing.Penuturan yang di serukan oleh wanita yang telah melahirkan Arhan itu tentu menjadi kabar mengejutkan bagi keduanya. Dari nada yang tak ramah mereka menyimpulkan jika Ibu mertua Namira itu tidak setuju. Namun wanita itu juga seolah tak bisa mengabaikan hal itu.Dulu kabar mengejutkan tentang pernikahan yang mereka kira terlalu mendadak ternyata bukan perjodohan yang sebelumnya sudah disepakati oleh dua keluarga, tapi hanya berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh mendiang ayahnya Arhan.Apakah itu alasan Namira jarang mengunjungi rumah mertuanya?Namira pasti sudah bisa merasakan kejanggalan itu setelah menikah dengan Arhan, karena tidak mungkin jika di masa perkenalan Ibu mertuanya menunjukkan sikap yang tidak suka pada wanita itu. Apalagi memperlihatkannya di depan keluarga besar.Pa
Namira mengecek satu persatu pesan yang masuk ke ponsel yang sebelumnya sudah ia matikan mode pesawatnya ketika hendak mulai memasak. Saat ini wanita itu memilih mengabaikan sang anak serta ayam kukus buatannya beberapa saat yang lalu. Tak hanya itu, bunyi keroncongan perutnya pun seolah bukan sesuatu yang penting. Ia kini hanya fokus pada satu foto dan deretan pesan dari satu nomor yang ia beri nama ‘Mama’.Gambar yang dikirim oleh Ibu mertuanya itu menampilkan keadaan rumah yang kacau. Semua benda berserakan di mana-mana, bahkan ia bisa melihat ada pecahan gelas kaca dan vas bunga di sana. Di sudut lain pada foto yang ia terima, ada seseorang yang tertangkap kamera ponsel Ibu mertuanya, tengah berselonjor kaki dengan punggung bersandar lesu pada tangan sofa di ruang tamu. Wajahnya basah dengan air mata serta raut yang sedih.“Pulang sekarang, Mir.” Pesan pertama itu Namira baca dengan tersenyum miring. Dalam kalimat yang dikirim pun seolah ia bisa mendengar nada yang digunakan oleh
Ternyata laporan tentang keadaan rumah yang berantakan bukan akal-akalan Ibu mertuanya saja. Namira baru bisa percaya setelah Bi Ida membalas dengan mengirimkan foto sebelum dan sesudahnya rumah itu dibersihkan.Namira menghela napas berat mengetahui apa yang sudah suaminya lakukan. Bisa-bisanya Arhan melakukan hal itu, padahal kepergiannya belum sampai dua puluh empat jam. “Papa kamu kenapa kayak anak kecil, ya, El?” tanya wanita itu pada sang anak yang tengah asik bermain dengan jari-jarinya sembari menyusu.Emosinya yang sebelumnya memenuhi dada seketika menguar begitu saja kala melihat bagian dalam rumah yang ditinggalkannya sudah kembali rapi seperti semula saat ia masih di sana.Bi Ida juga menyampaikan jika hari ini Arhan memilih istirahat di kamar, sementara Ibu mertuanya pulang kala wanita paruh baya itu diizinkan masuk untuk membereskan semua barang yang berserakan ulah majikannya.Beruntungnya ada Pak Marwan yang bebas dari tugas hari ini, jadi laki-laki paruh baya itu bisa
Langkah Arhan begitu gontai menuruni tangga. Laki-laki itu baru keluar kamar pada sore hari setelah perutnya sudah tak bisa lagi diajak kompromi. Dirinya pun merasa lemas karena tak mendapatkan balasan apapun dari sang istri setelah dengan tanpa malu mengirimkan foto yang sudah ia ambil secara mengenaskan. Berharap istrinya mau pulang karena melihat keadaan dirinya.“Namira masih belum pulang, Bi?” tanya Arhan seraya menarik kursi meja makan. Meskipun tahu bahwa jawabannya belum, ia tetap menanyakan hal itu kepada wanita paruh baya yang saat ini segera menghangatkan bubur sesuai permintaan Namira sebelumnya.Arhan menuangkan air pada gelas, kemudian meneguknya dengan rakus hingga habis dan diulangi hampir tiga kali. Cairan di tubuh laki-laki itu sepertinya terkuras oleh air mata serta lelah menunggu kepulangan sang istri yang belum pasti kapan dan tengah berada di mana.Kepala laki-laki itu lantas jatuh di atas meja dengan mengenaskan dalam posisi menyamping, menatap kosong pintu yang
Meskipun tidak tahu di mana tepatnya Namira berada, Arhan sangat lega mengetahui jika Bi Ida ada di pihak wanita itu. Setidaknya sang istri tak benar-benar kabur berdua saja bersama Elio, apalagi ke tempat yang tidak ada siapapun yang mereka kenal. Disaat Arhan sudah mulai bisa kembali tenang atas kabar sang istri yang baik-baik saja. Di sisi lain, Namira justru gusar karena informasi yang wanita itu dapatkan dari Iyan. Pasalnya tak ada siapapun yang bisa ia tanyai tentang apa yang dibicarakan oleh Arhan dan Raya. Mantan kekasihnya itu hanya mengirimkan foto saja, tidak beserta video yang memuat percakapan keduanya. Namira menggigiti bibirnya berulang kali. Pilihannya antara bertanya langsung pada Iyan, barang kali laki-laki itu mengetahui sesuatu, atau memilih opsi lain yaitu dengan cara mengabaikan pesan itu sampai Arhan yang mengatakannya sendiri. Namun mengingat keadaan rumah tangganya saat ini bersama Arhan, Namira jadi tak yakin akan mendapatkan jawaban itu dalam waktu d
Entah pada kata yang mana, hati Iyan melembut sejenak mendengar permintaan maaf dari Raya. Namun tak lama ia kembali mengamuk. Dalam kesadarannya mendadak tak terima jika ia mengampuni wanita itu dengan mudah. Padahal ini sudah berlangsung bertahun-tahun.Iyan berteriak. Menepis tangan Arhan yang mencoba menahan untuk tak kembali menerjang Raya. Laki-laki itu berlalu pergi keluar sampai membuat Namira melongo dan meminta suaminya untuk mengejar sebab masalah mereka belum selesai. Rencana ini harus tetap berjalan bagaimana pun caranya.Saat Namira tengah meminta suaminya untuk melakukan sesuatu, Iyan kembali masuk dengan cara berjalan mundur. Di depannya ada dua orang bertubuh kekar yang menghadang langkah laki-laki itu yang akan meninggalkan villa.“Apa maksudnya ini?” tanya Iyan pada Arhan yang menyunggingkan senyum. Kini tubuhnya sudah sepenuhnya berbalik dan dua orang tak dikenal itu berdiri di belakangnya.Arhan memasukkan dua tangannya pada saku celana. “Siapa yang izinin kamu pe
Iyan refleks berdiri. Ia menghadang Arhan yang berjalan mendekat ke arah mereka seorang diri. Laki-laki itu tahu alasan Namira kabur karena sang suami yang berselingkuh sehingga membuat wanita itu memilih pergi. Ia mencoba melindungi mantan kekasihnya dari suaminya, takut-takut akan menarik pulang dengan paksa apalagi melihat tengah bersama dengan dirinya.Mata kedua laki-laki itu bertemu, saling memandang dengan tatapan sengit penuh pertarungan lewat sorot yang tajam. Langkah Arhan begitu tegas, tapi tak membuat Iyan ciut hanya karena hal itu. Laki-laki itu justru semakin mengepalkan tangan yang terentang, menyembunyikan Namira beserta anaknya di balik punggung. “Kamu diem di situ aja. Biar aku yang hadapi dia.”Andai Namira tengah berada dalam huru-hara rumah tangga yang sebenarnya atau kejadian saat ini sesuai dengan yang Iyan pikirkan, sudah pasti ia terbuai dengan apa yang mantan kekasihnya itu lakukan.Sikap Iyan benar-benar mencerminkan seorang laki-laki pelindung, yang kebanya
Karena tiba-tiba ada rencana yang harus dirubah sebab keberadaan Iyan yang tak di sangka-sangka ternyata ada di hotel yang sama dengan Namira. Wanita itu dengan spontan menjalankan rencana di luar yang sudah disepakati.Namira pikir, mengoptimalkan rencana untuk menggaet Iyan tanpa meninggalkan curiga adalah usaha untuk membuat laki-laki itu tetap ada dalam jangkauannya. Itu sebabnya ia meminta tolong pada sang mantan kekasih untuk mengantar dirinya ke villa.Semula Namira merasa bangga akan hal itu, tapi ternyata malah menjadi boomerang untuknya sampai semalaman terpikirkan beberapa kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya dan sang anak.Beruntung semalam Pak Marwan sudah mendapatkan kunci dari sang pemilik villa, jadi pagi ini Namira tinggal menempatinya saja tanpa dicurigai oleh Iyan.Sesampainya mereka di villa. Iyan dengan sigap membantu menurunkan barang-barang milik Namira. Dua tas jinjing di kedua tangannya bukanlah sesuatu yang merepotkan, beratnya saja tak terasa menurut
Akhirnya mereka sampai pada hari di mana akan membungkam dan membuat Iyan dan Raya tak bisa berkutik lagi. Namira berharap semuanya berjalan lancar hari ini supaya bisa fokus pada hal lain yang tak kalah penting.Karena nyatanya masalah yang menimpa rumah tangganya bisa berpengaruh besar ke segala hal dalam hidup mereka, tak terkecuali dampak utamanya adalah hubungannya dengan Arhan.Berbicara tentang hari ini, semalam Namira sudah memberitahu Arhan semuanya mengenai pertemuan tak sengajanya dengan Iyan. Memang ia tak tahu apa yang sebenarnya mantan kekasihnya itu lakukan di Bandung.Namun mengingat laki-laki itu memang asli orang Bandung dan orang tuanya yang baru ia ketahui ternyata Pak Ato juga ada di kota yang sama dengannya saat ini. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau salah satunya urusan Iyan adalah mengunjungi ayahnya.Jika diperkenankan untuk berpikir lebih luas lagi. Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran Namira tentang keberadaan Iyan yang katanya baru sampai kemarin. Apa
Sesampainya di lobi hotel, Namira menghampiri resepsionis terlebih dahulu untuk mengkonfirmasi pesanannya yang dilakukan melalui sebuah aplikasi yang bekerja sama dengan hotel tersebut.Namira tidak langsung pergi untuk beristirahat dengan nyaman, ia memilih untuk duduk sebentar di lobi hotel sembari menunggu Pak Marwan selesai mengangkut semua barang bawaan mereka.Dalam beberapa detik mata Namira menangkap sosok laki-laki yang sebelumnya tidak ia ketahui keberadaannya. Bahkan ia sempat kebingungan untuk membuat sang mantan kekasih untuk mau menemuinya, tapi Tuhan sepertinya tengah berpihak padanya saat ini.Senyum Namira tersungging senang, lalu ia merapikan penampilannya. Satu tas yang tergeletak tak jauh darinya dengan ukuran sedang dan tidak terlalu berat semakin membuat otaknya bekerja lebih cepat. Semua pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan Iyan sudah memiliki jawaban di kepalanya.Mata mereka bertemu kala Namira mengangkat kepala. Ia bisa melihat bahwa Iyan terkejut dengan
“Pak kita ke villa dulu, ya,” ucap Namira yang seketika teringat jika tugas kedua setelah mengecek kondisi rumah orang tuanya adalah mengunjungi penginapan yang sebelumnya mereka sewa untuk melancarkan aksinya besok.Tak ada anggukan atau sesuatu yang menunjukkan kesediaan Pak Marwan dalam menunaikan perintah majikannya itu. Namira sempat mengernyitkan dahi, tapi tak mau ambil pusing. Sudah pasti laki-laki paruh baya itu akan menuruti segala perintahnya saat ini sebab tidak mungkin menunggu persetujuan suaminya dulu.Namun tiba-tiba mobil yang mereka kendarai, Pak Marwan bawa untuk menepi. “Ada apa, Pak?” tanya Namira yang semakin mengernyitkan dahinya. Ia menatap sekeliling, jelas sekali saat ini mereka belum sampai di villa apalagi hotel.Sang sopir itu mengeluarkan ponselnya tanpa berniat mengucapkan apapun kepada Namira yang seketika menjadi marah sebab beranggapan kalau Pak Marwan akan menghubungi suaminya untuk meminta izin membawanya ke villa bukan ke hotel, sesuai yang Arhan u
Berbeda dengan Arhan yang sudah melacarkan aksinya sebelum ia benar-benar pergi ke Bandung. Namira justru sama sekali belum melakukan apapun untuk membuat Iyan mau menemuinya besok. Ia baru sampai di rumah orang tuanya. Dugaannya ternyata benar bahwa rumah yang ditinggali oleh orang tuanya sebelum meninggal itu sudah seperti rumah hantu, bangunan terbengkalai dan tak layak huni. Apa yang dikatakan suaminya pun sepenuhnya benar kalau Pak Ato tidak melakukan pekerjaannya dengan baik, sama seperti masalah kosan yang keadaannya tidak seasri dulu. Namira membuang napas berat, sebelum ia turun untuk mengambil gambar supaya bisa ditunjukkan pada suaminya. Terlebih dahulu ia menghubungi saudara satu-satunya yang ia miliki sebab Bima lah yang menjadikan Pak Ato sebagai penanggung jawab atas bagian luar rumah itu, tapi tak dilakukan dengan benar. Sambungan telepon itu tak kunjung mendapatkan jawaban sampai wanita itu berdecak sebal. "Mana, sih, Kak Bima? Kenapa nggak angkat teleponnya?"
Sepeninggal istri dan anak juga Pak Marwan. Laki-laki yang kedapatan pergi besok untuk menyusul Namira kini tengah duduk di meja makan.Lebih tepatnya Arhan mengikuti langkah Bi Ida hingga dapur. Ia duduk di sana sementara wanita paruh baya itu menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda karena kepergian majikannya.Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tak ada yang berniat membuka suara. Apalagi Bi Ida meskipun sudah lama bekerja dengan Arhan, jika di hadapkan dengan laki-laki itu tetap saja bingung mau memulai pembicaraan apa untuk memecah keheningan.Suasana diantara mereka terkesan canggung meskipun Bi Ida saat ini tengah membelakangi majikannya. Arhan pula tak memedulikan apa yang dilakukan pembantunya di sana. Laki-laki itu hanya merasa kesepian setelah kepergian istri beserta anaknya, jadi di sanalah ia sekarang. Mengalihkan kekosongan dengan kehadiran wanita yang sibuk dengan aktivitasnya.Arhan memainkan ponsel sejak tadi. Ia mulai melancarkan aksi untuk membuat Raya
“Doain lancar dan selamat sampai tujuan, ya, Mas.”Namira mengutarakan permohonan dari ketakutan sebab akan menempuh perjalanan berjam-jam tanpa didampingi suaminya. Ia hanya akan ditemani oleh Pak Marwan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Tentu ini juga menjadi pengalaman pertama selama menikah. Biasanya kemanapun dan mau sejauh apapun pasti Arhan akan selalu berada di sampingnya untuk menemani dan berbagi tugas atas Elio. Namun kali ini sepertinya ia akan mengendalikan dirinya sendiri sebelum laki-laki itu menyusul ke Bandung.Pelukan Namira semakin lama semakin erat. Tak mau berpisah dengan suaminya yang justru tengah merasakan kegembiraan sebab tingkah laku wanita itu yang manja. Berbeda dengan bayangannya saat laki-laki itu mengajaknya pulang. Ia kira yang akan didapatkan itu gerutuan, tatapan sinis, bahkan menghindari dirinya, tapi ternyata semua itu terjadi sebaliknya. Contohnya seperti sekarang ini.“Selalu aku doakan, Sayang. Nanti di sana minta tolong sa