Keesokan paginya. Teriakan demi teriakan terdengar dari dalam rumah dua lantai. Bi Ida yang baru sampai segera mempercepat langkahnya mendekat ke arah Pak Marwan yang hanya berdiri di depan mobil seraya memandangi bangunan itu.“Ada apa, Pak? Saya kayak dengar teriakan,” ucap Bi Ida sembari menajamkan pendengaran jika suara samar yang sebelumnya melintas ke telinga, sumbernya dari rumah tempat ia bekerja.Pak Marwan menatap Bi Ida sekilas kemudian kembali beralih pada bangunan rumah di depannya. “Dari tadi Mas Arhan sama ibunya bertengkar, Bi.”Bi Ida mengernyitkan kening, fokus wanita itu kini sepenuhnya hanya kepada Pak Marwan. “Kok bisa? Gara-gara apa?”Terdengar helaan napas lelah. “Yang saya dengar, Mbak Nami kabur sama Elio.” Raut wajah Pak Marwan begitu lesu dengan kepala menunduk. Tak menyangka jika pilihan terakhir Namira adalah pergi dari rumah tanpa memberitahu siapapun.“Hah?”“Nggak nyangka, ya, Bi. Mbak Nami pasti sudah nggak bisa lagi menahan semuanya sampai memilih per
Sejak bekerja pada Arhan. Bi Ida dan Pak Marwan tidak pernah sekalipun penasaran dengan apa yang terjadi dengan kehidupan majikannya itu. Selama ini keduanya hanya fokus pada tugas masing-masing.Penuturan yang di serukan oleh wanita yang telah melahirkan Arhan itu tentu menjadi kabar mengejutkan bagi keduanya. Dari nada yang tak ramah mereka menyimpulkan jika Ibu mertua Namira itu tidak setuju. Namun wanita itu juga seolah tak bisa mengabaikan hal itu.Dulu kabar mengejutkan tentang pernikahan yang mereka kira terlalu mendadak ternyata bukan perjodohan yang sebelumnya sudah disepakati oleh dua keluarga, tapi hanya berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh mendiang ayahnya Arhan.Apakah itu alasan Namira jarang mengunjungi rumah mertuanya?Namira pasti sudah bisa merasakan kejanggalan itu setelah menikah dengan Arhan, karena tidak mungkin jika di masa perkenalan Ibu mertuanya menunjukkan sikap yang tidak suka pada wanita itu. Apalagi memperlihatkannya di depan keluarga besar.Pa
Namira mengecek satu persatu pesan yang masuk ke ponsel yang sebelumnya sudah ia matikan mode pesawatnya ketika hendak mulai memasak. Saat ini wanita itu memilih mengabaikan sang anak serta ayam kukus buatannya beberapa saat yang lalu. Tak hanya itu, bunyi keroncongan perutnya pun seolah bukan sesuatu yang penting. Ia kini hanya fokus pada satu foto dan deretan pesan dari satu nomor yang ia beri nama ‘Mama’.Gambar yang dikirim oleh Ibu mertuanya itu menampilkan keadaan rumah yang kacau. Semua benda berserakan di mana-mana, bahkan ia bisa melihat ada pecahan gelas kaca dan vas bunga di sana. Di sudut lain pada foto yang ia terima, ada seseorang yang tertangkap kamera ponsel Ibu mertuanya, tengah berselonjor kaki dengan punggung bersandar lesu pada tangan sofa di ruang tamu. Wajahnya basah dengan air mata serta raut yang sedih.“Pulang sekarang, Mir.” Pesan pertama itu Namira baca dengan tersenyum miring. Dalam kalimat yang dikirim pun seolah ia bisa mendengar nada yang digunakan oleh
Ternyata laporan tentang keadaan rumah yang berantakan bukan akal-akalan Ibu mertuanya saja. Namira baru bisa percaya setelah Bi Ida membalas dengan mengirimkan foto sebelum dan sesudahnya rumah itu dibersihkan.Namira menghela napas berat mengetahui apa yang sudah suaminya lakukan. Bisa-bisanya Arhan melakukan hal itu, padahal kepergiannya belum sampai dua puluh empat jam. “Papa kamu kenapa kayak anak kecil, ya, El?” tanya wanita itu pada sang anak yang tengah asik bermain dengan jari-jarinya sembari menyusu.Emosinya yang sebelumnya memenuhi dada seketika menguar begitu saja kala melihat bagian dalam rumah yang ditinggalkannya sudah kembali rapi seperti semula saat ia masih di sana.Bi Ida juga menyampaikan jika hari ini Arhan memilih istirahat di kamar, sementara Ibu mertuanya pulang kala wanita paruh baya itu diizinkan masuk untuk membereskan semua barang yang berserakan ulah majikannya.Beruntungnya ada Pak Marwan yang bebas dari tugas hari ini, jadi laki-laki paruh baya itu bisa
Langkah Arhan begitu gontai menuruni tangga. Laki-laki itu baru keluar kamar pada sore hari setelah perutnya sudah tak bisa lagi diajak kompromi. Dirinya pun merasa lemas karena tak mendapatkan balasan apapun dari sang istri setelah dengan tanpa malu mengirimkan foto yang sudah ia ambil secara mengenaskan. Berharap istrinya mau pulang karena melihat keadaan dirinya.“Namira masih belum pulang, Bi?” tanya Arhan seraya menarik kursi meja makan. Meskipun tahu bahwa jawabannya belum, ia tetap menanyakan hal itu kepada wanita paruh baya yang saat ini segera menghangatkan bubur sesuai permintaan Namira sebelumnya.Arhan menuangkan air pada gelas, kemudian meneguknya dengan rakus hingga habis dan diulangi hampir tiga kali. Cairan di tubuh laki-laki itu sepertinya terkuras oleh air mata serta lelah menunggu kepulangan sang istri yang belum pasti kapan dan tengah berada di mana.Kepala laki-laki itu lantas jatuh di atas meja dengan mengenaskan dalam posisi menyamping, menatap kosong pintu yang
Meskipun tidak tahu di mana tepatnya Namira berada, Arhan sangat lega mengetahui jika Bi Ida ada di pihak wanita itu. Setidaknya sang istri tak benar-benar kabur berdua saja bersama Elio, apalagi ke tempat yang tidak ada siapapun yang mereka kenal. Disaat Arhan sudah mulai bisa kembali tenang atas kabar sang istri yang baik-baik saja. Di sisi lain, Namira justru gusar karena informasi yang wanita itu dapatkan dari Iyan. Pasalnya tak ada siapapun yang bisa ia tanyai tentang apa yang dibicarakan oleh Arhan dan Raya. Mantan kekasihnya itu hanya mengirimkan foto saja, tidak beserta video yang memuat percakapan keduanya. Namira menggigiti bibirnya berulang kali. Pilihannya antara bertanya langsung pada Iyan, barang kali laki-laki itu mengetahui sesuatu, atau memilih opsi lain yaitu dengan cara mengabaikan pesan itu sampai Arhan yang mengatakannya sendiri. Namun mengingat keadaan rumah tangganya saat ini bersama Arhan, Namira jadi tak yakin akan mendapatkan jawaban itu dalam waktu d
Keesokan harinya pada pagi hari, Arhan bersiap-siap untuk bekerja seperti biasa. Laki-laki itu ingin menunjukkan kepada Namira jika ia akan berusaha untuk mandiri. Semoga ini bukan disalahartikan dengan persiapan hidup sendiri tanpa wanita itu. Namun sebagai bentuk bahwa ke depannya ia tidak akan menyusahkan sang istri dengan hal-hal yang bisa ia lakukan sendiri.Seperti dasi yang melingkar di lehernya saat ini yang dibiarkan menjuntai begitu saja tanpa tersimpul rapi sesuai dengan yang biasa Namira lakukan. Kelihaian tangannya dalam membentuk kain panjang itu sudah tak sebagus dulu. Setelah memiliki istri, ia jadi tidak pernah melakukannya sebab wanita itu yang akan dengan senang hati memenuhi segala kebutuhannya meskipun sembari bersungut-sungut karena waktu memasak atau kegiatan lain yang tengah istrinya lakukan jadi terhambat.Mengingat semua rutinitas paginya bersama Namira, membuat hati laki-laki itu kembali merasa bersalah. Mungkin saat ini ia terlihat acuh tak acuh. Namun jauh
Kabar tentang kabur Namira nyatanya sampai ke telinga Raya. Wanita itu mendapatkan informasinya tentu saja dari Iyan yang masih bersikeras mencari tahu apapun mengenai rumah tangga sang mantan kekasih.Berawal dari bolos kerjanya Arhan kemarin, seseorang yang Iyan jadikan mata-mata di tempat kerja suami Namira itu memberitahu dirinya. Lantas dengan mengantongi kabar tersebut, laki-laki itu mengulik alasan di balik tindakan sang mantan kekasih terhadap suaminya.Sejak Iyan mengusulkan untuk bekerja sama memisahkan Arhan dan Namira, Raya tidak begitu setuju dengan ide itu. Dampak dari kejadian yang wanita itu lakukan terhadap ayahnya Nima saja sudah cukup membuatnya terpuruk sebab semua yang ia miliki saat itu hilang seketika, dengan kata lain ia dibuang dari segala sisi.Namun setelah melihat kemesraan Arhan dan istrinya saat di Bandung, membuat Raya menginginkan hal yang sama serta dari orang yang sama pula. Sejak saat itu ia jadi memikirkan hal yang serupa dengan Iyan. Wanita itu jug