Arhan berangkat kerja dengan perasaan yang campur aduk. Di kursi belakang ia menatapi kotak bekal dari Namira yang di berikan oleh Bi Ida sembari berlari tergopoh-gopoh supaya sempat memberikan kepadanya. Pikirannya melayang pada makanan yang sudah mendarat di perutnya yang pagi tadi keroncongan.Saat itu perasaannya begitu senang sekedar membaca pesan singkat yang ditulis di kertas kecil yang ditempel di bagian luar plastik. Namun sekarang ia jadi tak yakin jika makanan itu aman untuk dirinya. Tiba-tiba pikirannya berkelana ke segala kemungkinan buruk yang akan terjadi padanya.Bagaimana kalau makanan tadi sudah di beri racun?Sekilas pertanyaan itu menghampiri perasaannya yang tengah gundah, tapi jika memang begitu kenapa ia tidak merasakan dampak apa-apa. Apa racunnya belum bereaksi?Arhan larut dalam pikirannya sendiri sejak dari berangkat hingga saat ini duduk di ruangan kerjanya. Bahkan ketukan pintu yang dilakukan hampir lima kali itu ia abaikan. Laki-laki itu tersadar kala pon
Berbekal informasi dari Bianca tentang Andri yang mengumbar kondisi rumah tangganya pada orang lain yang tidak diketahui identitasnya, Arhan mulai beraksi mencari tahu kebenaran dari ucapan sang sekretaris serta mencoba mencari petunjuk, barang kali ia menemukan sesuatu mengenai seseorang yang menjadi lawan bicara Andri di telepon.Ponsel yang semula menjadi fokus utamanya ia simpan, lantas beralih pada komputer di depan. Gerakan tangan dan ketukan jari pada mouse begitu lincah, memamerkan kelihaian tangannya entah pada siapa.Arhan membuka kembali rekaman CCTV saat Iyan datang ke kantornya untuk mencari Namira, berharap dari sana ia bisa menemukan sesuatu. Perasaannya mengatakan jika Andri bertukar informasi dengan mantan kekasih istrinya setelah mendengar apa yang Bianca ucapkan.Mata tajam Arhan memperhatikan setiap gerak-gerik Iyan yang tampak biasa saja. Tidak ada yang mencurigakan sama sekali dalam rekaman di layar komputernya. Namun untuk meyakinkan dirinya sekali lagi, laki-la
Namira membuang napas lelah setelah selesai berbicara dengan Pak Ato yang akhirnya mau mengutarakan alasan menghilangnya saat itu melalui sambungan telepon, jadi ia tidak perlu bersusah payah kembali ke Bandung lagi dalam keadaan rumah tangganya saja sedang tidak baik-baik saja.Alasan yang diberikan Pak Ato benar-benar membuatnya tercengang tentang keadaan kost miliknya. Laki-laki paruh baya itu menyampaikan kalau itu ulah anaknya yang mengamuk, jadi semua tanaman dalam pot hancur. Bunga-bunga cantik yang ditanam mendiang ibunya pun habis dicabut brutal oleh sang anak.Lantas alasan lainnya adalah Pak Ato tidak mampu untuk mengganti itu semua. Gaji yang laki-laki itu dapatkan dari bekerja sebagai pengganti dirinya untuk merawat kost hanya sampai pada alokasi kebutuhan sehari-hari.Namira paham dengan keadaan Pak Ato, tapi kenapa harus sampai bersembunyi? Seingat dirinya selama ini ia tak pernah memberatkan posisi laki-laki paruh baya itu. Jika disampaikan dengan benar, ia pun tidak a
Di sore hari, Bi Ida pulang seperti biasanya sembari menenteng satu kresek mangga yang dibelinya ketika dalam perjalanan. Banyak waktu yang dihabiskan hanya untuk memilih beberapa mangga yang paling bagus dan manis. Pantat mangga itu dicium untuk mengidentifikasi kematangan meskipun tak selalu mendapatkan yang diinginkan. Rasa masamnya terkadang masih tersisa, padahal aroma harumnya sudah menguar menusuk hidung. Ini hanya soal keberuntungan saja.Tanpa perlu mengetuk, Bi Ida masuk dengan menekan gagang pintu supaya benda besar yang melebihi tingginya itu terbuka. Pandangannya menyapu ke seisi rumah demi mencari sosok wanita yang kini tinggal di rumahnya untuk sementara waktu sampai aksi kabur dari suaminya berakhir.Langkah wanita paruh baya itu menuju dapur terlebih dahulu untuk menyimpan kresek berisi mangga yang sebelumnya ia beli. Lantas beralih ke kamar untuk menyimpan tas yang selalu ia bawa ketika pergi bekerja.Bi Ida cukup heran karena belum menemukan Namira di rumahnya yang
Wajah Arhan terpampang merah padam disertai tatapan tajam yang seolah akan melubangi apa saja yang tengah dilihat olehnya saat ini. Bahkan gigi-giginya terdengar bergemeletuk saling menekan menahan amarah. Tak lupa dadanya pun naik turun, ia kesulitan mengatur emosinya yang datang secara tiba-tiba.Genggaman pada ponsel yang semula biasa saja kini mengerat hingga ujung jari-jarinya memutih, melampiaskan amarah yang seketika menggumpal besar di dalam hati. Laki-laki itu siap meledak kapan saja.Larangan darinya untuk tidak membalas pesan dari Iyan terucap beberapa jam yang lalu, pada saat pagi menjelang tengah hari. Dan saat ini masih di hari yang sama. Bahkan malam pun belum datang, tapi bisa-bisanya wanita itu melupakan ucapannya. “Sebenarnya Namira paham tidak, sih, kalau aku larang buat bales, itu artinya bertemu juga tidak boleh?” tanya Arhan entah pada siapa sebab sekarang ini ia hanya seorang diri di ruangannya atau mungkin di gedung yang ia miliki. Jam pulang kerja sudah lewat
Arhan tidak tahu siapa yang menyebarkan informasi tentang dirinya yang masih berada di kantor hingga saat ini. Ketika para pegawainya sudah pulang, pasti tidak ada banyak orang yang tahu mengenai hal itu. Awalnya ia kira Bianca yang belum bisa menghilangkan kebiasaan lama yaitu menunggunya hingga pulang, tapi ternyata sosok yang kini terpampang keseluruhannya justru orang lain, yang tidak bekerja di perusahaannya. Akan tetapi ia sangat mengenalnya.Kening Arhan mengernyit seraya menatap penuh kebingungan saat orang itu berjalan mendekat. “Aya?” tanya Arhan memastikan jika saat ini ia tidak salah lihat.Tatapan matanya tak lepas hingga orang itu berdiri tepat di depannya dengan menenteng map coklat di sisi kiri, dipegang bersamaan dengan tas tangan seukuran ponsel. Meskipun mengundang pertanyaan di kepala dengan kedatangan Raya, sang mantan kekasih. Entah kenapa rasanya Arhan merasa senang melihat wanita itu dalam jarak dekat dan tanpa diduga.“Kok kamu tahu aku masih di sini?”Namira
Arhan berdiri seraya meremas kertas dalam genggaman. Bukan lagi terkejut, tapi ia terguncang membaca setiap tulisan, apalagi kata dengan warna tinta lebih tebal. Mengatakan kalau DNA dirinya dengan Nima cocok. Itu artinya mereka adalah Ayah dan anak.Jadi selama ini ia-lah Ayah Nima? Yang tidak bertanggung jawab? Yang membiarkan Raya menghidupi anak itu seorang diri? Jika benar seperti itu, kenapa baru sekarang mantan kekasihnya itu datang memberitahukan ini semua?Tubuh Arhan berbalik ketika sebelumnya berdiri membelakangi Raya yang duduk seraya menunduk. “Kapan kita melakukannya?” tanya laki-laki itu menuntut. Ia benar-benar tak ingat pernah tidur bersama mantan kekasihnya. Entah ketika mereka masih ada dalam suatu hubungan atau sudah selesai.“Kamu ngada-ngada, kan? Nggak mungkin Nima anak aku, Raya. Aku nggak ingat kapan kita melakukannya,” ucap Arhan dengan nada yang tajam. Ia masih belum bisa menerima kenyataan yang dibawa oleh Raya sampai setiap kata yang keluar rasanya tak mau
Cukup lama mereka terdiam setelah Arhan dengan yakin mengucapkan kalau dirinya tak pernah datang ke reuni lima tahun lalu. Hari itu undangan reuni memang sampai kepada laki-laki itu, tapi ia ingat dengan jelas kalau saat itu keadaan sedang kacau karena ayahnya yang meninggal sehari sebelum acara itu dilangsungkan.Menurutnya menenangkan sang ibu jauh lebih penting ketimbang berkumpul dengan teman yang dulu pernah belajar bersama di satu ruangan. Arhan cukup sadar diri sebagai anak satu-satunya untuk tidak melakukan hal aneh di masa-masa berduka karena berpulangnya sang ayah kepada Yang Maha Kuasa, apalagi sampai tidur dengan gadis yang bukan lagi siapa-siapa dirinya waktu itu.Kabar yang Raya bawa sudah pasti sebuah kebohongan sebab ingatannya tak akan pernah salah tentang saat-saat menyakitkan itu. “Mau kamu apa, Ya? Pekerjaan udah aku bantu cari. Bahkan kontrak kerjanya aku sendiri yang minta sebelum kamu ketemu sama orangnya langsung. Aku emang kasian sama Nima yang tumbuh tanpa se