Cukup lama mereka terdiam setelah Arhan dengan yakin mengucapkan kalau dirinya tak pernah datang ke reuni lima tahun lalu. Hari itu undangan reuni memang sampai kepada laki-laki itu, tapi ia ingat dengan jelas kalau saat itu keadaan sedang kacau karena ayahnya yang meninggal sehari sebelum acara itu dilangsungkan.Menurutnya menenangkan sang ibu jauh lebih penting ketimbang berkumpul dengan teman yang dulu pernah belajar bersama di satu ruangan. Arhan cukup sadar diri sebagai anak satu-satunya untuk tidak melakukan hal aneh di masa-masa berduka karena berpulangnya sang ayah kepada Yang Maha Kuasa, apalagi sampai tidur dengan gadis yang bukan lagi siapa-siapa dirinya waktu itu.Kabar yang Raya bawa sudah pasti sebuah kebohongan sebab ingatannya tak akan pernah salah tentang saat-saat menyakitkan itu. “Mau kamu apa, Ya? Pekerjaan udah aku bantu cari. Bahkan kontrak kerjanya aku sendiri yang minta sebelum kamu ketemu sama orangnya langsung. Aku emang kasian sama Nima yang tumbuh tanpa se
“Jadi apa isi kertas itu?” tanya Bi Ida yang duduk di samping Namira.Mereka berdua tengah menikmati teh hangat di teras depan, duduk di masing-masing kursi rotan yang menghadap halaman tak terlalu besar.Malam ini sangat cerah dengan ditemani banyak bintang yang bergelayut di atas kepala, membuat cantik seluruh langit yang gelap. Bulan sabit pun tak mau kalah memperlihatkan keelokannya. Mereka saling bersisian, menemani setiap orang yang mungkin dalam perjalanan pulang atau tengah menikmati waktu berdua dengan pasangan, mungkin juga sekedar berbincang ringan seperti yang dilakukan Namira dan Bi Ida di teras depan.Suasana rumah Bi Ida begitu tentram untuk ukuran bangunan yang berada di pinggir jalan, yang hanya bisa memuat satu mobil truk kuning melintas. Padahal saat ini masih pukul delapan, tapi orang-orang rasanya sudah memilih untuk berbenah, menikmati tontonan malam di televisi ruang tengah rumah mereka.Namira membuang napas lelah. Tiba-tiba mengingat pertemuan yang menurutnya
Arhan berjalan dengan langkah tegas dan terkesan tergesa. Sapaan para pegawai pun ia abaikan demi bisa mencapai ruang kerjanya dengan cepat. Seusai sarapan yang disiapkan Bi Ida. Laki-laki itu segera pergi tanpa membicarakan lagi kerinduan dirinya pada Namira.Sejak semalam setelah melihat sang istri yang mengukir senyum manis kala berbincang dengan Bi Ida, ada perasaan rindu yang semakin menumpuk. Ingin segera membawa wanita itu kembali ke sisinya. Menyingkirkan posisi Bi Ida yang sepertinya mulai nyaman berbincang dengan Namira. Padahal sebelumnya itu adalah tempatnya.Pagi ini ia ingin memulai untuk menuntaskan satu demi satu masalah yang membuat rumah tangganya bersama Namira berantakan. Dari mulai mencari tahu sosok yang Andri hubungi sampai tentang DNA yang Raya perlihatkan kemarin.“Bawa masuk berkasnya,” ucap Arhan seraya menatap serius Bianca yang seketika langsung berdiri melihat kedatangannya.Tanpa menunggu pintu kembali tertutup setelah Arhan masuk. Bianca sudah berjalan
Selama dalam perjalanan bahkan sebelum Arhan menaiki mobilnya untuk menuju suatu tempat atas permintaan Namira, lengkungan senyum itu tak pernah luntur. Hatinya membuncah bahagia hanya karena sebuah pesan singkat yang dikirimkan istrinya saat ia belum sampai satu jam berada di ruangannya.Lantunan musik dalam mobil pun menjadi pengiring perasaan itu hingga sampai di tempat yang kemarin sore ia kunjungi. Namira memintanya untuk datang ke rumah Bi Ida. Wanita itu memberikan alasan kalau Elio menangis sembari memanggil-manggil ‘Papa’.Tentu saja Arhan tak mengartikan pesan itu sesederhana ketikan sang istri. Laki-laki itu menangkap kalau Namira yang merindukan dirinya. Itulah sebabnya hatinya amat sangat bahagia memercayai asumsinya sendiri.Penampilannya ia benahi melalui spion yang ada di dalam mobil. Tatanan rambutnya pun sampai berulang kali di perhatikan supaya tetap rapi. Tak lupa aroma tubuhnya ia cium, takut meninggalkan bau yang tak sedap atau parfum Bianca yang menempel sebab w
“Kenapa cuman berdiri di sana? Duduk sini, Ay,” ujar Arhan seraya menepuk sisinya yang kosong. Laki-laki itu berprilaku seolah ini adalah rumahnya. Padahal baru beberapa menit yang lalu suaminya datang dan ini merupakan kunjungan pertamanya ke rumah Bi Ida.Segaris senyum dari bibir tipis Namira terukir mendapati suaminya yang tampak nyaman dengan situasi saat ini. Mungkin kecanggungan dari diri Arhan tersamar oleh rasa rindu yang pada akhirnya terealisasikan.Namira menuruti perintah suaminya untuk duduk. Lantas ia mengecek isi kantung belanjaan yang dibawa laki-laki itu. “Ini buat Bi Ida?” tanyanya seraya menoleh ke arah Arhan yang juga saat ini tengah menatapnya.Sejak istrinya memutuskan duduk di sisinya, mata Arhan tak lepas dari setiap gerak-gerik wanita itu sampai mengabaikan Elio. Berbeda dengan Namira yang seketika merasakan kecanggungan sebab ditatap intens oleh sang suami. Mendapati istrinya yang salah tingkah, laki-laki itu justru semakin melebarkan senyum. “Iya buat di si
“Oh jadi mereka pernah satu kampus,” monolog Namira sembari membolak-balik beberapa kertas di tangan yang memuat informasi mengenai Andri dan Iyan. Wanita itu membaca setiap kata dengan teliti hingga tak ada satu huruf pun yang tertinggal.“Tapi belum pasti kalau yang Andri hubungin itu Iyan, Sayang. Lagi diselidiki dulu sama Bianca. Aku harap dia bisa dapet nomor yang dihubungi Andri itu secepatnya,” timpal Arhan yang tidak mau menyimpulkan dengan mudah semua yang tercantum pada kertas yang didapatkan oleh Bianca.Pasangan suami istri itu kini terlihat kompak dalam menyelesaikan masalah yang ada sangkut paut dengan rumah tangganya. Mereka bekerja sama disela mengasuh sang anak yang asik dengan mainannya sendiri.Kopi yang sebelumnya terisi penuh pun kini habis tak bersisa, hanya menyisakan ampas hitamnya saja dengan genangan air tak kalah gelap, mungkin hanya tinggal beberapa tetes. Laki-laki yang tanpa sadar meraih gelas kopi itu segera Namira hentikan. “Aku buatin lagi.”Namira mem
Pengecekan berkas yang dibawa oleh Arhan selesai di tengah hari. Mereka banyak membicarakan segala kemungkinan, apalagi mengenai nama Ayah Iyan dan penjaga kost-an Namira di Bandung. Keduanya sama-sama asli kota kembang, sehingga membuat pasangan suami istri itu berasumsi jika mereka adalah orang yang sama.Namira merebahkan dirinya di sofa, sementara Arhan duduk berselonjor kaki di lantai seraya menemani dan mengawasi Elio di sana. Keduanya diam, larut dalam pikiran masing-masing. Mereka memilih untuk tidak mengeluarkan suara meski kepala penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin dilontarkan kepada pasangan.“Kamu ada yang disembunyiin dari aku nggak, Ay?” tanya Arhan pada akhirnya. Meski yakin kalau istrinya tak akan melakukan hal yang aneh ketika statusnya sebagai seorang istri, tapi ia cukup penasaran dengan apa yang dibicarakan Namira dengan Iyan pada pertemuan yang ia ketahui tidak sengaja itu.Namira membuka mata ketika sebelumnya terpejam. Ia tak benar-benar tidur, hanya t
Sesuai kesepakatan bersama bahwa mereka akan membicarakan perihal DNA yang membuat Namira penasaran ketika Elio tengah tidur siang. Awalnya wanita itu menolak karena menidurkan sang anak bukan perkara mudah di siang hari seperti ini, apalagi ditemani bermain oleh ayahnya. Sudah pasti rasa kantuk tidak akan menghampiri bayi itu sampai sering kali membuatnya frustrasi.“Sekarang aja kenapa, sih.” Namira mulai merengek. Ia sudah tak bisa membendung rasa ingin tahu mengenai sesuatu yang terdengar asing. “Elio nggak akan tidur kalau mainnya sama kamu, Mas,” lanjut wanita itu yang kini tengah bergelayut manja di lengan Arhan.Pemandangan seperti itu tentu tak ingin laki-laki itu lewatkan. Apalagi ketika hubungannya bersama sang istri tak baik-baik saja beberapa hari belakangan. Hal seperti ini akan menjadi sesuatu yang langka terjadi. Maka dari itu Arhan tak mengindahkan ucapan Namira untuk segera membahas tentang apa yang sebelumnya ia bicarakan bersama Bianca.Laki-laki itu menarik senyum