“Kenapa cuman berdiri di sana? Duduk sini, Ay,” ujar Arhan seraya menepuk sisinya yang kosong. Laki-laki itu berprilaku seolah ini adalah rumahnya. Padahal baru beberapa menit yang lalu suaminya datang dan ini merupakan kunjungan pertamanya ke rumah Bi Ida.Segaris senyum dari bibir tipis Namira terukir mendapati suaminya yang tampak nyaman dengan situasi saat ini. Mungkin kecanggungan dari diri Arhan tersamar oleh rasa rindu yang pada akhirnya terealisasikan.Namira menuruti perintah suaminya untuk duduk. Lantas ia mengecek isi kantung belanjaan yang dibawa laki-laki itu. “Ini buat Bi Ida?” tanyanya seraya menoleh ke arah Arhan yang juga saat ini tengah menatapnya.Sejak istrinya memutuskan duduk di sisinya, mata Arhan tak lepas dari setiap gerak-gerik wanita itu sampai mengabaikan Elio. Berbeda dengan Namira yang seketika merasakan kecanggungan sebab ditatap intens oleh sang suami. Mendapati istrinya yang salah tingkah, laki-laki itu justru semakin melebarkan senyum. “Iya buat di si
“Oh jadi mereka pernah satu kampus,” monolog Namira sembari membolak-balik beberapa kertas di tangan yang memuat informasi mengenai Andri dan Iyan. Wanita itu membaca setiap kata dengan teliti hingga tak ada satu huruf pun yang tertinggal.“Tapi belum pasti kalau yang Andri hubungin itu Iyan, Sayang. Lagi diselidiki dulu sama Bianca. Aku harap dia bisa dapet nomor yang dihubungi Andri itu secepatnya,” timpal Arhan yang tidak mau menyimpulkan dengan mudah semua yang tercantum pada kertas yang didapatkan oleh Bianca.Pasangan suami istri itu kini terlihat kompak dalam menyelesaikan masalah yang ada sangkut paut dengan rumah tangganya. Mereka bekerja sama disela mengasuh sang anak yang asik dengan mainannya sendiri.Kopi yang sebelumnya terisi penuh pun kini habis tak bersisa, hanya menyisakan ampas hitamnya saja dengan genangan air tak kalah gelap, mungkin hanya tinggal beberapa tetes. Laki-laki yang tanpa sadar meraih gelas kopi itu segera Namira hentikan. “Aku buatin lagi.”Namira mem
Pengecekan berkas yang dibawa oleh Arhan selesai di tengah hari. Mereka banyak membicarakan segala kemungkinan, apalagi mengenai nama Ayah Iyan dan penjaga kost-an Namira di Bandung. Keduanya sama-sama asli kota kembang, sehingga membuat pasangan suami istri itu berasumsi jika mereka adalah orang yang sama.Namira merebahkan dirinya di sofa, sementara Arhan duduk berselonjor kaki di lantai seraya menemani dan mengawasi Elio di sana. Keduanya diam, larut dalam pikiran masing-masing. Mereka memilih untuk tidak mengeluarkan suara meski kepala penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin dilontarkan kepada pasangan.“Kamu ada yang disembunyiin dari aku nggak, Ay?” tanya Arhan pada akhirnya. Meski yakin kalau istrinya tak akan melakukan hal yang aneh ketika statusnya sebagai seorang istri, tapi ia cukup penasaran dengan apa yang dibicarakan Namira dengan Iyan pada pertemuan yang ia ketahui tidak sengaja itu.Namira membuka mata ketika sebelumnya terpejam. Ia tak benar-benar tidur, hanya t
Sesuai kesepakatan bersama bahwa mereka akan membicarakan perihal DNA yang membuat Namira penasaran ketika Elio tengah tidur siang. Awalnya wanita itu menolak karena menidurkan sang anak bukan perkara mudah di siang hari seperti ini, apalagi ditemani bermain oleh ayahnya. Sudah pasti rasa kantuk tidak akan menghampiri bayi itu sampai sering kali membuatnya frustrasi.“Sekarang aja kenapa, sih.” Namira mulai merengek. Ia sudah tak bisa membendung rasa ingin tahu mengenai sesuatu yang terdengar asing. “Elio nggak akan tidur kalau mainnya sama kamu, Mas,” lanjut wanita itu yang kini tengah bergelayut manja di lengan Arhan.Pemandangan seperti itu tentu tak ingin laki-laki itu lewatkan. Apalagi ketika hubungannya bersama sang istri tak baik-baik saja beberapa hari belakangan. Hal seperti ini akan menjadi sesuatu yang langka terjadi. Maka dari itu Arhan tak mengindahkan ucapan Namira untuk segera membahas tentang apa yang sebelumnya ia bicarakan bersama Bianca.Laki-laki itu menarik senyum
“Ini alasan kenapa aku minta kita bicarain setelah Elio tidur.”Namira hanya memandang suaminya dengan tatapan acuh tak acuh. Ia sadar diri jika suaranya terlalu menggelegar sampai membuat Elio menangis dan sulit dihentikan. Bayi itu terkejut karena teriakan mendadak yang memecah keheningan dunianya.Elio diambil dengan segera oleh Arhan setelah Namira berseru marah mendengar ucapannya. Ia menenangkan sang anak yang semakin lama semakin menangis kencang. Sementara istrinya masih bertahan dengan tatapan tak percaya, mengesampingkan hal lain yang tengah terjadi.Namun setelah cukup lama, kala tangisnya semakin memekakkan telinga, Elio diambil alih oleh Namira sebab suaminya tak mampu meredam raungan sang anak. Ditambah bayi itu terus-terusan merentangkan kedua tangan ke depan, ingin berpindah tempat ke gendongan ibunya.“Kamu itu nggak bisa ngontrol nada bicara kamu. Nggak inget kalau ada Elio juga di sekitar kamu.” Arhan terus memojokkan Namira. Tak peduli jika pada akhirnya ia akan di
Sore harinya, saat jam kerja Bi Ida habis, wanita paruh baya itu pulang dengan tas yang tersampir di bahu kiri, ia mengerutkan kening mendapati mobil hitam yang tampak tak asing terparkir di depan rumahnya.“Kayak kenal,” ucap Bi Ida seraya menatap kendaraan itu lamat-lamat.Meskipun penasaran sebab tak ada siapapun yang terlintas tentang mobil itu milik siapa, Bi Ida tetap melanjutkan langkahnya masuk ke rumah. Ia akan bertanya kepada Namira, barang kali majikannya itu tahu.Mata Bi Ida membulat dengan langkah yang cepat. “Apa mungkin sedang ada tamu di dalam?”Setelah sampai di depan pintu. Bi Ida berdiri sebentar di sana. Telinganya ia tempelkan pada pintu yang tertutup rapat. Wanita itu ingin menguping pembicaraan seraya mencoba mengenali seseorang dari suaranya. Mungkin saja pendengarannya masih sangat tajam untuk tahu siapa yang tengah berbicara dengan majikannya di dalam.Wanita paruh baya itu sedikit mendengus kala tak ada sedikitpun suara yang terdengar. Lantas tangannya mene
Berjalan berdua saja di sore hari yang cerah bukan kebiasaan mereka selama berumah tangga. Keduanya lebih sering menikmati senja di teras depan atau belakang rumah dengan ditemani teh hangat. Bahkan tahun pertama pernikahan dilalui dengan kegiatan masing-masing.Arhan menutup pintu setelah membiarkan istrinya keluar lebih dulu. Wajah laki-laki itu terlihat sangat berseri hanya karena mengingat mereka akan menghabiskan waktu berdua saja.“Ayo, Sayang.” Arhan meraih tangan sang istri yang menganggur. Hatinya membuncah senang mengetahui Namira tak menolak dan tak menarik hingga genggaman itu terlepas. Mereka berjalan melewati halaman kecil depan rumah kemudian melewati pagar.Keduanya celingukan ke sisi kanan dan kiri. Tak tahu harus menjamah area mana untuk dilalui sebab ini pertama kali mereka ke daerah tempat Bi Ida tinggal. Meskipun Namira beberapa kali keluar rumah sekedar membeli sayuran ke warung atau ke penjual yang menggunakan gerobak dorong. Jangkauannya hanya sebatas itu. Tera
Dalam perjalanan pulang, pasangan suami istri itu setuju untuk mampir dulu ke salah satu tempat makan yang mereka lalui. Warung sederhana dengan berbagai lauk rumahan yang bisa membawa pada kenangan bersama orang tua. Tak berbeda dengan Namira yang tiba-tiba merasakan euforia itu kala kaki melangkah masuk dan aroma dari berbagai rempah yang dicampur menusuk hidung.Ingatan Namira jelas tertuju pada satu meja tak terlalu besar di rumah orang tuanya di Bandung dengan empat kursi yang mengelilinginya. Keluarganya tak pernah melewatkan makan bersama pada pagi, siang, bahkan malam hari. Semuanya terputar jelas di kepala.Namira diam sejenak untuk menuntaskan perasaan-perasaan yang mendadak datang dari ingatan-ingatan yang membuat dirinya seketika merasakan kerinduan pada kedua orang tuanya yang telah tiada, terlebih pada Bima yang masih hidup tapi jauh darinya.“Sayang,” tegur Arhan yang melihat istrinya tak berkutik sedikitpun dari dekat pintu masuk. “Ayo masuk.” Tangan Namira ditarik ke