“Ini alasan kenapa aku minta kita bicarain setelah Elio tidur.”Namira hanya memandang suaminya dengan tatapan acuh tak acuh. Ia sadar diri jika suaranya terlalu menggelegar sampai membuat Elio menangis dan sulit dihentikan. Bayi itu terkejut karena teriakan mendadak yang memecah keheningan dunianya.Elio diambil dengan segera oleh Arhan setelah Namira berseru marah mendengar ucapannya. Ia menenangkan sang anak yang semakin lama semakin menangis kencang. Sementara istrinya masih bertahan dengan tatapan tak percaya, mengesampingkan hal lain yang tengah terjadi.Namun setelah cukup lama, kala tangisnya semakin memekakkan telinga, Elio diambil alih oleh Namira sebab suaminya tak mampu meredam raungan sang anak. Ditambah bayi itu terus-terusan merentangkan kedua tangan ke depan, ingin berpindah tempat ke gendongan ibunya.“Kamu itu nggak bisa ngontrol nada bicara kamu. Nggak inget kalau ada Elio juga di sekitar kamu.” Arhan terus memojokkan Namira. Tak peduli jika pada akhirnya ia akan di
Sore harinya, saat jam kerja Bi Ida habis, wanita paruh baya itu pulang dengan tas yang tersampir di bahu kiri, ia mengerutkan kening mendapati mobil hitam yang tampak tak asing terparkir di depan rumahnya.“Kayak kenal,” ucap Bi Ida seraya menatap kendaraan itu lamat-lamat.Meskipun penasaran sebab tak ada siapapun yang terlintas tentang mobil itu milik siapa, Bi Ida tetap melanjutkan langkahnya masuk ke rumah. Ia akan bertanya kepada Namira, barang kali majikannya itu tahu.Mata Bi Ida membulat dengan langkah yang cepat. “Apa mungkin sedang ada tamu di dalam?”Setelah sampai di depan pintu. Bi Ida berdiri sebentar di sana. Telinganya ia tempelkan pada pintu yang tertutup rapat. Wanita itu ingin menguping pembicaraan seraya mencoba mengenali seseorang dari suaranya. Mungkin saja pendengarannya masih sangat tajam untuk tahu siapa yang tengah berbicara dengan majikannya di dalam.Wanita paruh baya itu sedikit mendengus kala tak ada sedikitpun suara yang terdengar. Lantas tangannya mene
Berjalan berdua saja di sore hari yang cerah bukan kebiasaan mereka selama berumah tangga. Keduanya lebih sering menikmati senja di teras depan atau belakang rumah dengan ditemani teh hangat. Bahkan tahun pertama pernikahan dilalui dengan kegiatan masing-masing.Arhan menutup pintu setelah membiarkan istrinya keluar lebih dulu. Wajah laki-laki itu terlihat sangat berseri hanya karena mengingat mereka akan menghabiskan waktu berdua saja.“Ayo, Sayang.” Arhan meraih tangan sang istri yang menganggur. Hatinya membuncah senang mengetahui Namira tak menolak dan tak menarik hingga genggaman itu terlepas. Mereka berjalan melewati halaman kecil depan rumah kemudian melewati pagar.Keduanya celingukan ke sisi kanan dan kiri. Tak tahu harus menjamah area mana untuk dilalui sebab ini pertama kali mereka ke daerah tempat Bi Ida tinggal. Meskipun Namira beberapa kali keluar rumah sekedar membeli sayuran ke warung atau ke penjual yang menggunakan gerobak dorong. Jangkauannya hanya sebatas itu. Tera
Dalam perjalanan pulang, pasangan suami istri itu setuju untuk mampir dulu ke salah satu tempat makan yang mereka lalui. Warung sederhana dengan berbagai lauk rumahan yang bisa membawa pada kenangan bersama orang tua. Tak berbeda dengan Namira yang tiba-tiba merasakan euforia itu kala kaki melangkah masuk dan aroma dari berbagai rempah yang dicampur menusuk hidung.Ingatan Namira jelas tertuju pada satu meja tak terlalu besar di rumah orang tuanya di Bandung dengan empat kursi yang mengelilinginya. Keluarganya tak pernah melewatkan makan bersama pada pagi, siang, bahkan malam hari. Semuanya terputar jelas di kepala.Namira diam sejenak untuk menuntaskan perasaan-perasaan yang mendadak datang dari ingatan-ingatan yang membuat dirinya seketika merasakan kerinduan pada kedua orang tuanya yang telah tiada, terlebih pada Bima yang masih hidup tapi jauh darinya.“Sayang,” tegur Arhan yang melihat istrinya tak berkutik sedikitpun dari dekat pintu masuk. “Ayo masuk.” Tangan Namira ditarik ke
Pada malam hari Arhan pamit untuk pulang. Berulang kali ia meminta Namira untuk ikut bersamanya, tapi wanita itu terus menolak, bilang belum waktunya. Tak ada pilihan lain selain menghargai keputusan istrinya itu. Ia tak mau memaksa, takut akan berakhir tak baik. Selama istri dan anaknya ada di tempat aman dan ia mengetahui keberadaannya, maka itu tidak masalah. “Nanti aku bakal sering ke sini.”Namira mengangguk dengan tersenyum lembut, memberikan suaminya izin jika akan kembali berkunjung. Ia sudah memikirkannya dengan matang tentang kapan dirinya akan pulang. Tentu bukan ketika masalah yang tengah terjadi masih belum selesai sampai tuntas. Wanita itu ingin pulang saat semuanya sudah kembali seperti semula. Saat keadaan rumah tangganya sudah tenang tanpa ada gangguan apapun dan dari sisi manapun.“Hati-hati, ya, Mas,” ucap Namira yang mengantar kepergian Arhan di depan pagar. Wanita itu melambaikan tangan dengan perasaan tak rela sebab harus kembali berpisah dengan suaminya. Padahal
Sesuai usulan Bi Ida yang terdengar kurang ajar untuk ukuran pembantu, Arhan sangat menyetujui hal itu dengan alasan yang serupa. Tidak masalah jika pada akhirnya ia yang akan repot karena harus datang ke rumah wanita paruh baya itu untuk sarapan. Asal bisa bertemu dengan istri dan anaknya di pagi hari sebelum berangkat bekerja.Meskipun begitu, Bi Ida tetap datang bekerja seperti biasa setelah urusan di rumahnya selesai. Kali ini ia cukup melakukan beres-beres rumah saja di tempat sang majikan, tidak dengan memasak untuk menyiapkan sarapan sebab kegiatan mengotori dapur hanya pindah tempat saja.Perlakuannya pun tidak sama dengan saat ia di rumah besar sang majikan. Bi Ida berperan sebagai pemilik rumah pada umumnya, yang menyediakan hidangan untuk tamu yang datang dan ikut menyantap sarapan bersama-sama di meja makan yang memuat empat kursi.Pasangan suami istri itu merasakan suasananya begitu hangat. Apalagi bagi Namira, wanita itu merasa seperti ada sosok ibunya di diri Bi Ida, ya
Arhan menahan diri untuk tidak menghubungi Namira setelah Bianca menyerahkan satu buah foto yang menjadi petunjuk penting tentang siapa ayahnya Iyan. Mati-matian ia bertahan hingga semuanya usai dibahas bersama sang sekretaris.Tujuan Arhan tidak memberitahu Namira sebab ia ingin melihat langsung ekspresi sang istri yang pasti akan terkejut dengan apa yang Bianca dapatkan. Foto yang sekretarisnya bawa itu benar-benar potret Pak Ato. Itu artinya mereka adalah Ayah dan anak.“Jadi Raya sama Iyan itu pernah bekerja di satu tempat yang sama?” Arhan bertanya untuk mengalihkan fokusnya yang sejak tadi ingin menghubungi Namira. Ia memastikan kepada Bianca yang hanya mengangguk sebagai jawaban.Bianca menyerahkan foto lain kepada atasannya. “Ini, Pak.”Selembar foto itu tidak hanya menunjukkan Iyan dan Raya saja, melainkan banyak orang. Sepertinya foto itu juga diambil ketika seluruh pegawai tengah berkumpul dalam satu acara. Arhan bisa melihat keduanya berdiri saling bersisian, bahkan tangan
Rapat yang dilakukan siang tadi hanya pertemuan rutin setiap bulan untuk memantau segala hal tentang kinerja di kantor cabang. Membahas apa saja yang menjadi penyebab turunnya persentase pendapatan, komplain yang masuk, serta solusi apa yang harus dilakukan dalam mengatasi masalah itu.Biasanya Namira juga ikut serta sebagai pendengar dalam rapat tersebut, jika ada usulan tentang sesuatu hal yang bisa membuat penjualan meningkat, sang istri selalu berbicara kepadanya terlebih dahulu. Tak berani menyampaikan langsung di depan banyak orang. Maka setelahnya ia yang akan memberitahukan pada pertemuan selanjutnya setelah berdiskusi panjang dengan istrinya.Akan tetapi karena keadaan rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja, Arhan pun tak bisa fokus dalam mendengarkan keseluruhan materi yang disampaikan masing-masing pihak cabang sebab tak ada sang istri di sampingnya. Laki-laki itu terkesan banyak diam dan terlihat lesu bahkan saat ia sudah tidur siang dengan cukup sebelum rapat dimulai