Arhan parkir di tempat biasa setelah menempuh waktu beberapa menit dari kantornya hingga rumah Bi Ida. Sepertinya untuk beberapa hari ke depan ia akan terus melakukan itu, mampir ke rumah pembantunya untuk melepas rindu pada sang istri dan anaknya.Untuk saat ini bukan rumahnya yang besar itu yang menjadi tujuannya ketika pulang bekerja. Bangunan dua lantai itu tak lagi menarik perhatian pemiliknya sebab hanya kesunyian yang dirasakan. Kerap kali menyebarkan aura kesedihan serta kegelisahan bahkan ketakutan tentang kesudian sang istri dan anaknya untuk pulang. Sehingga membuatnya ikut enggan untuk berada di sana.Beruntung kemarin Elio memberi jalan untuknya dengan cara memanggilnya berulang kali hingga menangis dengan maksud yang ia tangkap supaya dirinya bisa memperbaiki hubungannya dengan Namira. Suatu saat akan ia balas kebaikan anaknya itu dengan sesuatu yang setimpal.Arhan berjalan masuk dengan wajah yang berseri hanya karena membayangkan wajah cantik istrinya. Meskipun beberap
“Udah fix, sih, menurut aku mereka sekongkol.”Namira bersungut-sungut setelah Arhan menceritakan kejadian di parkiran yang tak sengaja ia dengar itu. Setelah makan malam dan menidurkan Elio, mereka kembali ke ruang tengah di rumah Bi Ida. Wanita pemilik rumah juga ikut duduk di sana, mendengarkan dan sesekali terbawa kesal seperti majikannya.Mereka bertiga masih membicarakan perihal Andri yang bertelepon di parkiran itu, beberapa kali Arhan menanggapi dengan terkekeh karena melihat dua wanita di dekatnya yang saling menunjukkan amarah masing-masing.Jika Namira masih bertahan selagi menuntaskan kekesalannya yang sudah menumpuk pada satu cerita saja. Bi Ida justru memilih pergi beristirahat, wanita paruh baya itu menyerah, ia tak bisa bergelut dengan jam tidurnya yang selalu lebih awal.“Mas Arhan menginap saja di sini malam ini, tapi maaf rumahnya kecil. Kemungkinan tidur di sofa juga semisal Mbak Nami tidak mengizinkan untuk tidur bersama.”Mata Bi Ida melirik Namira sebentar melal
“Mereka keliatan mesra banget, ya,” komentar Namira pada kedekatan Raya dan Iyan dalam sebuah foto yang diambil ramai-ramai. Ia bisa melihat kalau keduanya sangat bahagia. Lengkungan senyumnya begitu lebar, siapapun akan menduga jika hubungan mereka sangat baik saat itu.“Kenapa? Kamu nyesel putus sama Iyan?” goda Arhan pada istrinya.Sementara Namira hanya mengerlingkan mata sebentar sebelum kembali fokus pada foto di tangannya. “Nggak usah mancing-mancing, ya,” jawab wanita itu dengan nada ketus.Arhan yang masih sibuk dengan mengumpulkan sampah yang berserakan untuk kemudian di taruh pada satu kresek berukuran sedang hanya terkekeh. Nyatanya menggoda Namira masih sangat ia gemari sebab respon wanita itu yang membuatnya merasa bahagia.Namira beralih pada suaminya setelah sibuk memandangi potret keduanya dengan lekat. Satu pemikiran tiba-tiba terlintas di kepala. “Kayaknya ini emang niat mereka dari awal nggak, sih, Mas?”“Niat apa?”“Sekongkol buat misahin kita.”Arhan terlihat tak
Namira mengira ia yang bangun lebih dulu dari dua orang lainnya yang berada di kamar yang sama. Ia pandangi sebentar plafon rumah Bi Ida sembari mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Sejenak ia juga meregangkan ototnya yang terasa kaku sebab dipaksa tak boleh banyak bergerak ketika tidur atau ia akan jatuh.Pandangan matanya beralih pada sisi terdekatnya, di mana semalam Arhan merebahkan diri seraya memberikan pelukan hangat sepanjang malam untuknya, tapi kini sudah tergantikan dengan balutan selimut yang membungkus tubuhnya. Laki-laki itu tidak ada di sana.Namira merotasikan kepala ke sisi lain untuk melihat sang anak yang biasanya masih terlelap saat ia membuka mata. Keningnya mengerut ketika tubuh mungil itu tidak ada di sana. Ternyata ia yang bangun paling akhir hari ini. Apa mungkin Arhan bangun karena Elio?Satu tangannya meraba sekitaran bantal yang ia gunakan, mencari ponsel yang biasa ia taruh di sana sebelum tidur selama menginap di rumah Bi Ida. Ia cukup mala
Seusai sarapan, Arhan pergi seorang diri ke teras depan. Laki-laki itu menerima satu panggilan yang kembali masuk ke ponselnya sejak dalam pertengahan ia menyuap hidangan Bi Ida pagi ini.Satu tangannya bertengger di pinggang. “Jadi tepatnya tanggal berapa itu kamu tidak tahu?” tanya Arhan seraya menilik penampilan di jendela depan. Ia mengamati setelan yang masih ia gunakan sejak kemarin. Tak sempat pulang hanya untuk mengambil baju ganti untuk tidur. Semalam ia terpaksa masih mengenakan pakaian yang sama karena rasa kantuk sudah tak bisa lagi diajak kompromi.“Oh jadi kejadiannya di bulan yang sama seperti reuni itu?” tanya Arhan yang diikuti anggukan setelahnya. “Oke. Informasinya udah sangat cukup, Bi. Terima kasih, ya.”Sebelum sambungan telepon itu diakhiri. Arhan kembali bersuara, “Hari ini jadwal saya apa saja, Bi?”“Tidak banyak, Pak. Hanya ada beberapa berkas yang harus di tanda tangani saja.”“Bukan sesuatu yang mendesak, kan?”“Bukan, Pak.”Arhan kembali mengangguk tanpa B
"Rencana kamu bagus, Sayang. Aku setuju. Tapi menurutku ada baiknya sekarang kita pulang dulu ke rumah. Bukan hanya aku, tapi kamu sama Elio juga." Ini merupakan kesempatan buat Arhan untuk membujuk istrinya pulang. Sepertinya jika tak sekalian diminta dan dibicarakan, mungkin saja istrinya akan tetap di rumah Bi Ida sampai batas waktu yang tidak diketahui. Sorot mata Namira, ia tatapi dengan lekat. Ada keraguan serta keinginan untuk kembali bersama. Wanita itu seolah tengah menimang segala kemungkinan yang akan terjadi di depan. Isi kepalanya saling beradu argumen tentang yang mana yang baiknya dilakukan. Arhan meraih tangan istrinya, ia mengenggamnya dengan lembut seraya jari jemarinya ia tatapi dengan perasaan yang putus asa. "Aku tahu kamu ragu, tapi aku sungguh-sungguh minta kamu buat pulang. Rumah sepi tanpa kalian, Sayang. Maaf karena aku sempat goyah. Kali ini aku janji semuanya hanya akan berpusat ke kamu sama Elio. Jadi ayo pulang." Satu tetes air mata jatuh mengenai pun
Lengkungan senyum di bibir Arhan menunjukkan kalau hatinya tengah berbahagia. Semula ia tak yakin dengan ajakannya untuk pulang, tapi setelah dilalui dengan tangisan, keraguan, bahkan hukuman dari Elio untuknya, Namira setuju ikut bersamanya pulang hari ini. Tidak sia-sia ternyata ia mengambil libur. Semua barang sudah dikemas dengan rapi dibantu oleh Bi Ida yang bersemangat setelah mendengar keputusan majikannya. Di beberapa situasi terkadang merasa tidak nyaman sebab bingung bagaimana ia harus mengambil sikap terhadap Namira meskipun di rumahnya sendiri. Namun di sisi lain, tak bisa dipungkiri jika melihat keduanya kembali bersama, menjalani kehidupan normal seperti biasa juga membuatnya senang. Sejenak Namira menatapi kamar yang diizinkan Bi Ida untuk ia tempati. Meskipun tidak sesuai dengan yang ada di rumahnya, tapi ruangan tidak terlalu besar itu begitu nyaman untuk ditinggali olehnya dan Elio. "Sekali lagi makasih, ya, Bi." Bi Ida mendaratkan tangannya di punggung Namira. Ia
Arhan termangu seraya berjalan mendekat ke arah istrinya yang hanya berdiri tak jauh dari mobil, tepat di depan rumah yang beberapa hari wanita itu tinggalkan. “Kenapa, Sayang?” tanya laki-laki itu ikut berhenti, memandangi bangunan dua lantai yang semalam tidak berpenghuni.Sejenak wanita itu terdiam, memandangi sekitar, lantas wajahnya berpaling pada sang suami. Keduanya saling beradu tatap. Jika Arhan memandang dengan sorot mata polos dengan wajah bingung, Namira justru menarik masing-masing sudut bibirnya membentuk senyuman seraya menggelengkan kepala. “Nggak ada apa-apa.”Sejak ia memilih kabur hari itu, belum lama setelah sampai di rumah Bi Ida. Perasaan ingin menemui Arhan sangat besar ketimbang keputusannya yang sudah dipikirkan matang-matang. Ada perasaan takut juga yang tiba-tiba memenuhi hatinya saat itu. Memikirkan kemungkinan buruk kalau tindakannya untuk membuat suaminya jera justru berakhir dengan perpisahan yang tidak ia harapkan. Bayangan tentang laki-laki itu yang te
Entah pada kata yang mana, hati Iyan melembut sejenak mendengar permintaan maaf dari Raya. Namun tak lama ia kembali mengamuk. Dalam kesadarannya mendadak tak terima jika ia mengampuni wanita itu dengan mudah. Padahal ini sudah berlangsung bertahun-tahun.Iyan berteriak. Menepis tangan Arhan yang mencoba menahan untuk tak kembali menerjang Raya. Laki-laki itu berlalu pergi keluar sampai membuat Namira melongo dan meminta suaminya untuk mengejar sebab masalah mereka belum selesai. Rencana ini harus tetap berjalan bagaimana pun caranya.Saat Namira tengah meminta suaminya untuk melakukan sesuatu, Iyan kembali masuk dengan cara berjalan mundur. Di depannya ada dua orang bertubuh kekar yang menghadang langkah laki-laki itu yang akan meninggalkan villa.“Apa maksudnya ini?” tanya Iyan pada Arhan yang menyunggingkan senyum. Kini tubuhnya sudah sepenuhnya berbalik dan dua orang tak dikenal itu berdiri di belakangnya.Arhan memasukkan dua tangannya pada saku celana. “Siapa yang izinin kamu pe
Iyan refleks berdiri. Ia menghadang Arhan yang berjalan mendekat ke arah mereka seorang diri. Laki-laki itu tahu alasan Namira kabur karena sang suami yang berselingkuh sehingga membuat wanita itu memilih pergi. Ia mencoba melindungi mantan kekasihnya dari suaminya, takut-takut akan menarik pulang dengan paksa apalagi melihat tengah bersama dengan dirinya.Mata kedua laki-laki itu bertemu, saling memandang dengan tatapan sengit penuh pertarungan lewat sorot yang tajam. Langkah Arhan begitu tegas, tapi tak membuat Iyan ciut hanya karena hal itu. Laki-laki itu justru semakin mengepalkan tangan yang terentang, menyembunyikan Namira beserta anaknya di balik punggung. “Kamu diem di situ aja. Biar aku yang hadapi dia.”Andai Namira tengah berada dalam huru-hara rumah tangga yang sebenarnya atau kejadian saat ini sesuai dengan yang Iyan pikirkan, sudah pasti ia terbuai dengan apa yang mantan kekasihnya itu lakukan.Sikap Iyan benar-benar mencerminkan seorang laki-laki pelindung, yang kebanya
Karena tiba-tiba ada rencana yang harus dirubah sebab keberadaan Iyan yang tak di sangka-sangka ternyata ada di hotel yang sama dengan Namira. Wanita itu dengan spontan menjalankan rencana di luar yang sudah disepakati.Namira pikir, mengoptimalkan rencana untuk menggaet Iyan tanpa meninggalkan curiga adalah usaha untuk membuat laki-laki itu tetap ada dalam jangkauannya. Itu sebabnya ia meminta tolong pada sang mantan kekasih untuk mengantar dirinya ke villa.Semula Namira merasa bangga akan hal itu, tapi ternyata malah menjadi boomerang untuknya sampai semalaman terpikirkan beberapa kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya dan sang anak.Beruntung semalam Pak Marwan sudah mendapatkan kunci dari sang pemilik villa, jadi pagi ini Namira tinggal menempatinya saja tanpa dicurigai oleh Iyan.Sesampainya mereka di villa. Iyan dengan sigap membantu menurunkan barang-barang milik Namira. Dua tas jinjing di kedua tangannya bukanlah sesuatu yang merepotkan, beratnya saja tak terasa menurut
Akhirnya mereka sampai pada hari di mana akan membungkam dan membuat Iyan dan Raya tak bisa berkutik lagi. Namira berharap semuanya berjalan lancar hari ini supaya bisa fokus pada hal lain yang tak kalah penting.Karena nyatanya masalah yang menimpa rumah tangganya bisa berpengaruh besar ke segala hal dalam hidup mereka, tak terkecuali dampak utamanya adalah hubungannya dengan Arhan.Berbicara tentang hari ini, semalam Namira sudah memberitahu Arhan semuanya mengenai pertemuan tak sengajanya dengan Iyan. Memang ia tak tahu apa yang sebenarnya mantan kekasihnya itu lakukan di Bandung.Namun mengingat laki-laki itu memang asli orang Bandung dan orang tuanya yang baru ia ketahui ternyata Pak Ato juga ada di kota yang sama dengannya saat ini. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau salah satunya urusan Iyan adalah mengunjungi ayahnya.Jika diperkenankan untuk berpikir lebih luas lagi. Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran Namira tentang keberadaan Iyan yang katanya baru sampai kemarin. Apa
Sesampainya di lobi hotel, Namira menghampiri resepsionis terlebih dahulu untuk mengkonfirmasi pesanannya yang dilakukan melalui sebuah aplikasi yang bekerja sama dengan hotel tersebut.Namira tidak langsung pergi untuk beristirahat dengan nyaman, ia memilih untuk duduk sebentar di lobi hotel sembari menunggu Pak Marwan selesai mengangkut semua barang bawaan mereka.Dalam beberapa detik mata Namira menangkap sosok laki-laki yang sebelumnya tidak ia ketahui keberadaannya. Bahkan ia sempat kebingungan untuk membuat sang mantan kekasih untuk mau menemuinya, tapi Tuhan sepertinya tengah berpihak padanya saat ini.Senyum Namira tersungging senang, lalu ia merapikan penampilannya. Satu tas yang tergeletak tak jauh darinya dengan ukuran sedang dan tidak terlalu berat semakin membuat otaknya bekerja lebih cepat. Semua pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan Iyan sudah memiliki jawaban di kepalanya.Mata mereka bertemu kala Namira mengangkat kepala. Ia bisa melihat bahwa Iyan terkejut dengan
“Pak kita ke villa dulu, ya,” ucap Namira yang seketika teringat jika tugas kedua setelah mengecek kondisi rumah orang tuanya adalah mengunjungi penginapan yang sebelumnya mereka sewa untuk melancarkan aksinya besok.Tak ada anggukan atau sesuatu yang menunjukkan kesediaan Pak Marwan dalam menunaikan perintah majikannya itu. Namira sempat mengernyitkan dahi, tapi tak mau ambil pusing. Sudah pasti laki-laki paruh baya itu akan menuruti segala perintahnya saat ini sebab tidak mungkin menunggu persetujuan suaminya dulu.Namun tiba-tiba mobil yang mereka kendarai, Pak Marwan bawa untuk menepi. “Ada apa, Pak?” tanya Namira yang semakin mengernyitkan dahinya. Ia menatap sekeliling, jelas sekali saat ini mereka belum sampai di villa apalagi hotel.Sang sopir itu mengeluarkan ponselnya tanpa berniat mengucapkan apapun kepada Namira yang seketika menjadi marah sebab beranggapan kalau Pak Marwan akan menghubungi suaminya untuk meminta izin membawanya ke villa bukan ke hotel, sesuai yang Arhan u
Berbeda dengan Arhan yang sudah melacarkan aksinya sebelum ia benar-benar pergi ke Bandung. Namira justru sama sekali belum melakukan apapun untuk membuat Iyan mau menemuinya besok. Ia baru sampai di rumah orang tuanya. Dugaannya ternyata benar bahwa rumah yang ditinggali oleh orang tuanya sebelum meninggal itu sudah seperti rumah hantu, bangunan terbengkalai dan tak layak huni. Apa yang dikatakan suaminya pun sepenuhnya benar kalau Pak Ato tidak melakukan pekerjaannya dengan baik, sama seperti masalah kosan yang keadaannya tidak seasri dulu. Namira membuang napas berat, sebelum ia turun untuk mengambil gambar supaya bisa ditunjukkan pada suaminya. Terlebih dahulu ia menghubungi saudara satu-satunya yang ia miliki sebab Bima lah yang menjadikan Pak Ato sebagai penanggung jawab atas bagian luar rumah itu, tapi tak dilakukan dengan benar. Sambungan telepon itu tak kunjung mendapatkan jawaban sampai wanita itu berdecak sebal. "Mana, sih, Kak Bima? Kenapa nggak angkat teleponnya?"
Sepeninggal istri dan anak juga Pak Marwan. Laki-laki yang kedapatan pergi besok untuk menyusul Namira kini tengah duduk di meja makan.Lebih tepatnya Arhan mengikuti langkah Bi Ida hingga dapur. Ia duduk di sana sementara wanita paruh baya itu menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda karena kepergian majikannya.Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tak ada yang berniat membuka suara. Apalagi Bi Ida meskipun sudah lama bekerja dengan Arhan, jika di hadapkan dengan laki-laki itu tetap saja bingung mau memulai pembicaraan apa untuk memecah keheningan.Suasana diantara mereka terkesan canggung meskipun Bi Ida saat ini tengah membelakangi majikannya. Arhan pula tak memedulikan apa yang dilakukan pembantunya di sana. Laki-laki itu hanya merasa kesepian setelah kepergian istri beserta anaknya, jadi di sanalah ia sekarang. Mengalihkan kekosongan dengan kehadiran wanita yang sibuk dengan aktivitasnya.Arhan memainkan ponsel sejak tadi. Ia mulai melancarkan aksi untuk membuat Raya
“Doain lancar dan selamat sampai tujuan, ya, Mas.”Namira mengutarakan permohonan dari ketakutan sebab akan menempuh perjalanan berjam-jam tanpa didampingi suaminya. Ia hanya akan ditemani oleh Pak Marwan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Tentu ini juga menjadi pengalaman pertama selama menikah. Biasanya kemanapun dan mau sejauh apapun pasti Arhan akan selalu berada di sampingnya untuk menemani dan berbagi tugas atas Elio. Namun kali ini sepertinya ia akan mengendalikan dirinya sendiri sebelum laki-laki itu menyusul ke Bandung.Pelukan Namira semakin lama semakin erat. Tak mau berpisah dengan suaminya yang justru tengah merasakan kegembiraan sebab tingkah laku wanita itu yang manja. Berbeda dengan bayangannya saat laki-laki itu mengajaknya pulang. Ia kira yang akan didapatkan itu gerutuan, tatapan sinis, bahkan menghindari dirinya, tapi ternyata semua itu terjadi sebaliknya. Contohnya seperti sekarang ini.“Selalu aku doakan, Sayang. Nanti di sana minta tolong sa