"Berhenti natap aku kayak gitu." Namira terlonjak di tempat. Kedua bola matanya mengerling ke kanan dan ke kiri. Mencoba menghindari tatapan pria yang kini sudah membuka mata sepenuhnya. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi, Namira melakukan hal itu, memandangi sang suami yang tengah tertidur. Tampan dan menawan. Itu jawaban yang selalu ia sematkan setiap Arhan bertanya.Ah, rasanya ia tak ingin membiarkan sang suami untuk pergi keluar rumah. Ia ingin menikmati ketampanannya seorang diri. "Hei!" tegur Arhan disela lamunannya. Namira kembali terlonjak kaget. Namun tak lama ia mengulas senyum manis. "Ayo, bangun. Hari ini Mas ada rapat di kantor." "Tau banget, ya, jadwal suami sendiri." Arhan mencubit hidung Namira, sesekali menggoyangkannya perlahan karena gemas. Sedangkan Namira hanya mengangkat bahu tak acuh. Ia membenarkan posisi duduknya, hendak turun dari ranjang untuk menyiapkan pakaian dan sarapan untuk sang suami. Belum kakinya menginjak lantai marmer, Arhan berhasil me
Kalau saja Arhan tidak ingat bagaimana mereka bisa menikah sampai mempunyai Elio. Mungkin ia akan marah dan merasa tak dihargai. Terus-menerus dicurigai tentu membuatnya lelah juga pada akhirnya.Pertemuan mereka murni karena perjodohan, tidak saling mengenal satu sama lain sebelumnya. Mungkin itu yang jadi penyebab segala overthinking Namira menurut Arhan.Meski ini sudah masuk tahun ke-2 pernikahan mereka, tak bisa dipungkiri banyak hal yang masih mereka simpan rapat-rapat. Terlebih masalah hati yang tidak mereka tahu kepastiannya.Apakah mereka saling mencintai atau justru hanya berpura-pura?Namira menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan pikiran yang selalu berperang tentang banyak spekulasi tentang sang suami.Selama ini Arhan memang tak pernah melakukan hal yang fatal, ini hanya pikirannya saja yang tak bisa dikendalikan.Memiliki wajah tampan dengan tubuh yang atletis, wanita mana yang tak akan melirik. Pun dengan Arhan, apakah ia akan menyia-nyiakan wajah tampannya begit
Duduk berhadapan dengan lelaki yang menepuk bahunya tadi membuat Namira lupa tentang apa yang sebelumnya ia rasakan. Semua rasa tak nyaman itu seolah melebur setelah melihat wajah tampan dengan warna kulit sedikit kecoklatan.Meski rasanya tak nyaman karena kembali bersinggungan dengan lelaki di masa lalu, Namira tetap setuju atas ajakan untuk menikmati secangkir kopi dingin di sebuah kafe dekat danau.Keduanya menunjukkan ekspresi berbeda. Namira memasang wajah gugup dengan menempatkan telapak tangan pada gelas kopi yang cukup tinggi. Sedangkan lelaki pemilik lesung pipi di sebelah kiri itu menampilkan senyum sumringah, sesekali gemas dengan tingkah Namira yang kentara gugup.“Gimana kabar kamu?” Kepala dimiringkan untuk bisa melihat wajah cantik Namira yang tengah menunduk. Tak berani beradu tatap.Gerak-gerik lelaki itu mengambil atensi Namira hingga kepala diangkat, tatap mereka bertemu. Namira mengulas senyum canggung namun tetap cantik. “Kabar aku baik, kamu?”“Sebentar. Kamu mas
Arhan menuruni tangga setelah memindahkan Elio yang sejak dalam perjalanan tertidur. Lelaki itu mengambil waktu cukup lama bersama Elio, bukan karena bayi berusia satu tahun itu bangun. Tapi karena Arhan tengah memikirkan cara meredakan amarah sang istri.Setelah mantap dengan tekadnya, ia menghampiri wanita yang selalu menyanggul rambut ketika di dalam rumah itu. Terlihat tangannya mengulur ke bawah dengan kotak bekal yang sedikit miring. Membuang makanan yang sudah berantakan ke tempat sampah.“Ay. Ay,” panggil Arhan dengan sedikit berlari. Menghentikan aksi sang istri..Namira menatap tak suka pada tangan Arhan yang memegang pergelangan tangannya.“Kenapa dibuang?” tanyanya lirih seraya melepaskan genggaman.Ada separuh makanan yang tertinggal, Arhan mengambil kotak bekal itu dan menaruhnya di meja pantry. “Kalo kamu marah sama aku, jangan sampai makanan juga kena imbas-nya.”Lelaki pemilik perusahaan yang bergerak di bidang retail itu memegang kedua lengan atas Namira untuk menghad
Pagi ini mungkin menjadi pagi pertama dalam hidup Arhan setelah menikah, bangun karena suara alarm. Alunan lembut serta tepukan sayang itu tak ia rasakan pagi ini. Sebelah tempat tidurnya sudah kosong. Hanya ia sendiri yang terlelap dan terlambat bangun. Senyuman manis bukan lagi menjadi pembuka paginya, justru detak jarum jam dinding yang terdengar. Ruangan itu kosong. Arhan mengusap wajahnya kasar disertai helaan napas berat. Kemudian ia bangun dan turun ke lantai bawah. Ada Namira yang duduk di kursi, sibuk dengan ponsel dan Elio tengah bermain sendiri di karpet bulu dikelilingi mainan. Pandangannya mengedar, ia melihat meja pantry sudah terisi penuh. Arhan bawa kakinya untuk mendekat dan mengecup pipi Namira dari belakang. “Kenapa nggak bangunin aku?” Tubuhnya memutari kursi untuk bisa menghampiri Elio, melakukan hal yang sama. Menciumi anak semata wayang-nya bertubi-tubi. Setelah puas, kini kedua tangannya melingkari perut Namira, mencoba mengambil fokus sang istri yang mas
“Makan dulu, Ay.”Arhan terus mengetuk pintu yang terkunci. Wanita yang tersentak karena teriakan Arhan itu masih enggan berhadapan langsung dengannya.“Kata Bi Ida semalem kamu juga nggak makan. Makan dulu, Sayang. Kalau kamu nggak mau bareng aku nggak apa-apa. Nanti aku makan kalau kamu udah selesai.”Lelaki dengan wajah basah karena baru sempat mencuci muka itu bersandar dengan salah satu bahunya. Kemarahan Namira ternyata sulit diredakan. Tapi ini memang salahnya.Beruntung hari ini ia tidak perlu pergi bekerja, jadi seluruh atensi dan waktu akan ia gunakan untuk mengembalikan suasana rumah kembali hangat.Ketukan Arhan melemah sebab usahanya tak ada respon. Tapi suaranya tetap mengudara menembus pintu meskipun pelan. “Ay. Makan dulu, Sayang.”“Kamu aja duluan yang makan,” timpal Namira dengan sedikit berteriak.“Aku nggak mau makan kalau kamu nggak makan,” Arhan balik menjawab dengan teriakan.Lelaki yang masih bersandar pada pintu itu kembali pasrah ketika ia tak lagi mendengar
“Keluarin semua yang mengganjal.” Pelukan itu menambah ritme tangisan Namira yang masih terduduk. Kaos yang dikenakan Arhan basah di sekitaran perut bagian atas sebab Namira memeluk dengan posisi Arhan yang berdiri di sampingnya. Arhan membiarkan istrinya meluapkan semua melalui tangisan sampai dadanya terasa longgar. Cukup lama mereka di posisi seperti itu hingga Ida datang untuk mulai bekerja. “Bi, nanti tolong beresin ini sama minta tolong buatin bubur, ya.” Meski terkejut melihat keadaan Namira, Ida mengangguk. Tangannya gesit membereskan selagi Arhan membawa sang istri pindah ke kamar. Tubuhnya panas, jalannya pelan karena lemas. Masih ada sisa tangisan yang Arhan rasa cukup menggemaskan hingga menarik kedua sudut bibirnya. Tak tahan karena langkah mereka lambat, Arhan membopong istrinya ketika menaiki tangga. Terlebih karena lelaki itu ingin Namira segera mengistirahatkan tubuhnya. “Jangan tidur dulu, ya. Kasian Bi Ida lagi masak bubur buat kamu. Abis itu minum obat, baru
Aroma kopi menusuk indra penciuman.Namira bangun setelah cukup lama ia membuka mata. Mengumpulkan energi untuk bisa beranjak dari kasur yang selama dua hari telah menemaninya.Tubuhnya ia bawa dengan langkah gontai mendekat pintu yang terbuka lebar. Sesekali ia sandarkan tubuhnya untuk kembali mengumpulkan energi sebab hanya dengan beberapa langkah membuatnya kelelahan.Pagi ini cukup senyap, tak ada celoteh menggemaskan. Bayi itu juga tak terlihat sejauh mata memandang. Tapi aroma khas menyegarkan memenuhi ruangan. Elio sudah mandi.Namira awas memperhatikan sekitar ketika tangan berpegang pada pagar pembatas di lantai dua. Menelusuri lantai bawah, meja pantry kosong, tak ada yang memasak. Pandangannya ia bawa ke kiri, ada yang duduk di sofa panjang dengan laptop di pangkuannya serta kopi yang asapnya masih mengepul. Baru saja dibuat. Jelas ia tahu itu siapa.Tapi ada yang menarik perhatiannya lebih dalam, yaitu dua koper yang bersisian depan vas bunga besar dekat sofa yang diduduki