“Udah fix, sih, menurut aku mereka sekongkol.”Namira bersungut-sungut setelah Arhan menceritakan kejadian di parkiran yang tak sengaja ia dengar itu. Setelah makan malam dan menidurkan Elio, mereka kembali ke ruang tengah di rumah Bi Ida. Wanita pemilik rumah juga ikut duduk di sana, mendengarkan dan sesekali terbawa kesal seperti majikannya.Mereka bertiga masih membicarakan perihal Andri yang bertelepon di parkiran itu, beberapa kali Arhan menanggapi dengan terkekeh karena melihat dua wanita di dekatnya yang saling menunjukkan amarah masing-masing.Jika Namira masih bertahan selagi menuntaskan kekesalannya yang sudah menumpuk pada satu cerita saja. Bi Ida justru memilih pergi beristirahat, wanita paruh baya itu menyerah, ia tak bisa bergelut dengan jam tidurnya yang selalu lebih awal.“Mas Arhan menginap saja di sini malam ini, tapi maaf rumahnya kecil. Kemungkinan tidur di sofa juga semisal Mbak Nami tidak mengizinkan untuk tidur bersama.”Mata Bi Ida melirik Namira sebentar melal
“Mereka keliatan mesra banget, ya,” komentar Namira pada kedekatan Raya dan Iyan dalam sebuah foto yang diambil ramai-ramai. Ia bisa melihat kalau keduanya sangat bahagia. Lengkungan senyumnya begitu lebar, siapapun akan menduga jika hubungan mereka sangat baik saat itu.“Kenapa? Kamu nyesel putus sama Iyan?” goda Arhan pada istrinya.Sementara Namira hanya mengerlingkan mata sebentar sebelum kembali fokus pada foto di tangannya. “Nggak usah mancing-mancing, ya,” jawab wanita itu dengan nada ketus.Arhan yang masih sibuk dengan mengumpulkan sampah yang berserakan untuk kemudian di taruh pada satu kresek berukuran sedang hanya terkekeh. Nyatanya menggoda Namira masih sangat ia gemari sebab respon wanita itu yang membuatnya merasa bahagia.Namira beralih pada suaminya setelah sibuk memandangi potret keduanya dengan lekat. Satu pemikiran tiba-tiba terlintas di kepala. “Kayaknya ini emang niat mereka dari awal nggak, sih, Mas?”“Niat apa?”“Sekongkol buat misahin kita.”Arhan terlihat tak
"Berhenti natap aku kayak gitu." Namira terlonjak di tempat. Kedua bola matanya mengerling ke kanan dan ke kiri. Mencoba menghindari tatapan pria yang kini sudah membuka mata sepenuhnya. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi, Namira melakukan hal itu, memandangi sang suami yang tengah tertidur. Tampan dan menawan. Itu jawaban yang selalu ia sematkan setiap Arhan bertanya.Ah, rasanya ia tak ingin membiarkan sang suami untuk pergi keluar rumah. Ia ingin menikmati ketampanannya seorang diri. "Hei!" tegur Arhan disela lamunannya. Namira kembali terlonjak kaget. Namun tak lama ia mengulas senyum manis. "Ayo, bangun. Hari ini Mas ada rapat di kantor." "Tau banget, ya, jadwal suami sendiri." Arhan mencubit hidung Namira, sesekali menggoyangkannya perlahan karena gemas. Sedangkan Namira hanya mengangkat bahu tak acuh. Ia membenarkan posisi duduknya, hendak turun dari ranjang untuk menyiapkan pakaian dan sarapan untuk sang suami. Belum kakinya menginjak lantai marmer, Arhan berhasil me
Kalau saja Arhan tidak ingat bagaimana mereka bisa menikah sampai mempunyai Elio. Mungkin ia akan marah dan merasa tak dihargai. Terus-menerus dicurigai tentu membuatnya lelah juga pada akhirnya.Pertemuan mereka murni karena perjodohan, tidak saling mengenal satu sama lain sebelumnya. Mungkin itu yang jadi penyebab segala overthinking Namira menurut Arhan.Meski ini sudah masuk tahun ke-2 pernikahan mereka, tak bisa dipungkiri banyak hal yang masih mereka simpan rapat-rapat. Terlebih masalah hati yang tidak mereka tahu kepastiannya.Apakah mereka saling mencintai atau justru hanya berpura-pura?Namira menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan pikiran yang selalu berperang tentang banyak spekulasi tentang sang suami.Selama ini Arhan memang tak pernah melakukan hal yang fatal, ini hanya pikirannya saja yang tak bisa dikendalikan.Memiliki wajah tampan dengan tubuh yang atletis, wanita mana yang tak akan melirik. Pun dengan Arhan, apakah ia akan menyia-nyiakan wajah tampannya begit
Duduk berhadapan dengan lelaki yang menepuk bahunya tadi membuat Namira lupa tentang apa yang sebelumnya ia rasakan. Semua rasa tak nyaman itu seolah melebur setelah melihat wajah tampan dengan warna kulit sedikit kecoklatan.Meski rasanya tak nyaman karena kembali bersinggungan dengan lelaki di masa lalu, Namira tetap setuju atas ajakan untuk menikmati secangkir kopi dingin di sebuah kafe dekat danau.Keduanya menunjukkan ekspresi berbeda. Namira memasang wajah gugup dengan menempatkan telapak tangan pada gelas kopi yang cukup tinggi. Sedangkan lelaki pemilik lesung pipi di sebelah kiri itu menampilkan senyum sumringah, sesekali gemas dengan tingkah Namira yang kentara gugup.“Gimana kabar kamu?” Kepala dimiringkan untuk bisa melihat wajah cantik Namira yang tengah menunduk. Tak berani beradu tatap.Gerak-gerik lelaki itu mengambil atensi Namira hingga kepala diangkat, tatap mereka bertemu. Namira mengulas senyum canggung namun tetap cantik. “Kabar aku baik, kamu?”“Sebentar. Kamu mas
Arhan menuruni tangga setelah memindahkan Elio yang sejak dalam perjalanan tertidur. Lelaki itu mengambil waktu cukup lama bersama Elio, bukan karena bayi berusia satu tahun itu bangun. Tapi karena Arhan tengah memikirkan cara meredakan amarah sang istri.Setelah mantap dengan tekadnya, ia menghampiri wanita yang selalu menyanggul rambut ketika di dalam rumah itu. Terlihat tangannya mengulur ke bawah dengan kotak bekal yang sedikit miring. Membuang makanan yang sudah berantakan ke tempat sampah.“Ay. Ay,” panggil Arhan dengan sedikit berlari. Menghentikan aksi sang istri..Namira menatap tak suka pada tangan Arhan yang memegang pergelangan tangannya.“Kenapa dibuang?” tanyanya lirih seraya melepaskan genggaman.Ada separuh makanan yang tertinggal, Arhan mengambil kotak bekal itu dan menaruhnya di meja pantry. “Kalo kamu marah sama aku, jangan sampai makanan juga kena imbas-nya.”Lelaki pemilik perusahaan yang bergerak di bidang retail itu memegang kedua lengan atas Namira untuk menghad
Pagi ini mungkin menjadi pagi pertama dalam hidup Arhan setelah menikah, bangun karena suara alarm. Alunan lembut serta tepukan sayang itu tak ia rasakan pagi ini. Sebelah tempat tidurnya sudah kosong. Hanya ia sendiri yang terlelap dan terlambat bangun. Senyuman manis bukan lagi menjadi pembuka paginya, justru detak jarum jam dinding yang terdengar. Ruangan itu kosong. Arhan mengusap wajahnya kasar disertai helaan napas berat. Kemudian ia bangun dan turun ke lantai bawah. Ada Namira yang duduk di kursi, sibuk dengan ponsel dan Elio tengah bermain sendiri di karpet bulu dikelilingi mainan. Pandangannya mengedar, ia melihat meja pantry sudah terisi penuh. Arhan bawa kakinya untuk mendekat dan mengecup pipi Namira dari belakang. “Kenapa nggak bangunin aku?” Tubuhnya memutari kursi untuk bisa menghampiri Elio, melakukan hal yang sama. Menciumi anak semata wayang-nya bertubi-tubi. Setelah puas, kini kedua tangannya melingkari perut Namira, mencoba mengambil fokus sang istri yang mas
“Makan dulu, Ay.”Arhan terus mengetuk pintu yang terkunci. Wanita yang tersentak karena teriakan Arhan itu masih enggan berhadapan langsung dengannya.“Kata Bi Ida semalem kamu juga nggak makan. Makan dulu, Sayang. Kalau kamu nggak mau bareng aku nggak apa-apa. Nanti aku makan kalau kamu udah selesai.”Lelaki dengan wajah basah karena baru sempat mencuci muka itu bersandar dengan salah satu bahunya. Kemarahan Namira ternyata sulit diredakan. Tapi ini memang salahnya.Beruntung hari ini ia tidak perlu pergi bekerja, jadi seluruh atensi dan waktu akan ia gunakan untuk mengembalikan suasana rumah kembali hangat.Ketukan Arhan melemah sebab usahanya tak ada respon. Tapi suaranya tetap mengudara menembus pintu meskipun pelan. “Ay. Makan dulu, Sayang.”“Kamu aja duluan yang makan,” timpal Namira dengan sedikit berteriak.“Aku nggak mau makan kalau kamu nggak makan,” Arhan balik menjawab dengan teriakan.Lelaki yang masih bersandar pada pintu itu kembali pasrah ketika ia tak lagi mendengar