Pada malam hari Arhan pamit untuk pulang. Berulang kali ia meminta Namira untuk ikut bersamanya, tapi wanita itu terus menolak, bilang belum waktunya. Tak ada pilihan lain selain menghargai keputusan istrinya itu. Ia tak mau memaksa, takut akan berakhir tak baik. Selama istri dan anaknya ada di tempat aman dan ia mengetahui keberadaannya, maka itu tidak masalah. “Nanti aku bakal sering ke sini.”Namira mengangguk dengan tersenyum lembut, memberikan suaminya izin jika akan kembali berkunjung. Ia sudah memikirkannya dengan matang tentang kapan dirinya akan pulang. Tentu bukan ketika masalah yang tengah terjadi masih belum selesai sampai tuntas. Wanita itu ingin pulang saat semuanya sudah kembali seperti semula. Saat keadaan rumah tangganya sudah tenang tanpa ada gangguan apapun dan dari sisi manapun.“Hati-hati, ya, Mas,” ucap Namira yang mengantar kepergian Arhan di depan pagar. Wanita itu melambaikan tangan dengan perasaan tak rela sebab harus kembali berpisah dengan suaminya. Padahal
Sesuai usulan Bi Ida yang terdengar kurang ajar untuk ukuran pembantu, Arhan sangat menyetujui hal itu dengan alasan yang serupa. Tidak masalah jika pada akhirnya ia yang akan repot karena harus datang ke rumah wanita paruh baya itu untuk sarapan. Asal bisa bertemu dengan istri dan anaknya di pagi hari sebelum berangkat bekerja.Meskipun begitu, Bi Ida tetap datang bekerja seperti biasa setelah urusan di rumahnya selesai. Kali ini ia cukup melakukan beres-beres rumah saja di tempat sang majikan, tidak dengan memasak untuk menyiapkan sarapan sebab kegiatan mengotori dapur hanya pindah tempat saja.Perlakuannya pun tidak sama dengan saat ia di rumah besar sang majikan. Bi Ida berperan sebagai pemilik rumah pada umumnya, yang menyediakan hidangan untuk tamu yang datang dan ikut menyantap sarapan bersama-sama di meja makan yang memuat empat kursi.Pasangan suami istri itu merasakan suasananya begitu hangat. Apalagi bagi Namira, wanita itu merasa seperti ada sosok ibunya di diri Bi Ida, ya
Arhan menahan diri untuk tidak menghubungi Namira setelah Bianca menyerahkan satu buah foto yang menjadi petunjuk penting tentang siapa ayahnya Iyan. Mati-matian ia bertahan hingga semuanya usai dibahas bersama sang sekretaris.Tujuan Arhan tidak memberitahu Namira sebab ia ingin melihat langsung ekspresi sang istri yang pasti akan terkejut dengan apa yang Bianca dapatkan. Foto yang sekretarisnya bawa itu benar-benar potret Pak Ato. Itu artinya mereka adalah Ayah dan anak.“Jadi Raya sama Iyan itu pernah bekerja di satu tempat yang sama?” Arhan bertanya untuk mengalihkan fokusnya yang sejak tadi ingin menghubungi Namira. Ia memastikan kepada Bianca yang hanya mengangguk sebagai jawaban.Bianca menyerahkan foto lain kepada atasannya. “Ini, Pak.”Selembar foto itu tidak hanya menunjukkan Iyan dan Raya saja, melainkan banyak orang. Sepertinya foto itu juga diambil ketika seluruh pegawai tengah berkumpul dalam satu acara. Arhan bisa melihat keduanya berdiri saling bersisian, bahkan tangan
Rapat yang dilakukan siang tadi hanya pertemuan rutin setiap bulan untuk memantau segala hal tentang kinerja di kantor cabang. Membahas apa saja yang menjadi penyebab turunnya persentase pendapatan, komplain yang masuk, serta solusi apa yang harus dilakukan dalam mengatasi masalah itu.Biasanya Namira juga ikut serta sebagai pendengar dalam rapat tersebut, jika ada usulan tentang sesuatu hal yang bisa membuat penjualan meningkat, sang istri selalu berbicara kepadanya terlebih dahulu. Tak berani menyampaikan langsung di depan banyak orang. Maka setelahnya ia yang akan memberitahukan pada pertemuan selanjutnya setelah berdiskusi panjang dengan istrinya.Akan tetapi karena keadaan rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja, Arhan pun tak bisa fokus dalam mendengarkan keseluruhan materi yang disampaikan masing-masing pihak cabang sebab tak ada sang istri di sampingnya. Laki-laki itu terkesan banyak diam dan terlihat lesu bahkan saat ia sudah tidur siang dengan cukup sebelum rapat dimulai
Arhan parkir di tempat biasa setelah menempuh waktu beberapa menit dari kantornya hingga rumah Bi Ida. Sepertinya untuk beberapa hari ke depan ia akan terus melakukan itu, mampir ke rumah pembantunya untuk melepas rindu pada sang istri dan anaknya.Untuk saat ini bukan rumahnya yang besar itu yang menjadi tujuannya ketika pulang bekerja. Bangunan dua lantai itu tak lagi menarik perhatian pemiliknya sebab hanya kesunyian yang dirasakan. Kerap kali menyebarkan aura kesedihan serta kegelisahan bahkan ketakutan tentang kesudian sang istri dan anaknya untuk pulang. Sehingga membuatnya ikut enggan untuk berada di sana.Beruntung kemarin Elio memberi jalan untuknya dengan cara memanggilnya berulang kali hingga menangis dengan maksud yang ia tangkap supaya dirinya bisa memperbaiki hubungannya dengan Namira. Suatu saat akan ia balas kebaikan anaknya itu dengan sesuatu yang setimpal.Arhan berjalan masuk dengan wajah yang berseri hanya karena membayangkan wajah cantik istrinya. Meskipun beberap
“Udah fix, sih, menurut aku mereka sekongkol.”Namira bersungut-sungut setelah Arhan menceritakan kejadian di parkiran yang tak sengaja ia dengar itu. Setelah makan malam dan menidurkan Elio, mereka kembali ke ruang tengah di rumah Bi Ida. Wanita pemilik rumah juga ikut duduk di sana, mendengarkan dan sesekali terbawa kesal seperti majikannya.Mereka bertiga masih membicarakan perihal Andri yang bertelepon di parkiran itu, beberapa kali Arhan menanggapi dengan terkekeh karena melihat dua wanita di dekatnya yang saling menunjukkan amarah masing-masing.Jika Namira masih bertahan selagi menuntaskan kekesalannya yang sudah menumpuk pada satu cerita saja. Bi Ida justru memilih pergi beristirahat, wanita paruh baya itu menyerah, ia tak bisa bergelut dengan jam tidurnya yang selalu lebih awal.“Mas Arhan menginap saja di sini malam ini, tapi maaf rumahnya kecil. Kemungkinan tidur di sofa juga semisal Mbak Nami tidak mengizinkan untuk tidur bersama.”Mata Bi Ida melirik Namira sebentar melal
“Mereka keliatan mesra banget, ya,” komentar Namira pada kedekatan Raya dan Iyan dalam sebuah foto yang diambil ramai-ramai. Ia bisa melihat kalau keduanya sangat bahagia. Lengkungan senyumnya begitu lebar, siapapun akan menduga jika hubungan mereka sangat baik saat itu.“Kenapa? Kamu nyesel putus sama Iyan?” goda Arhan pada istrinya.Sementara Namira hanya mengerlingkan mata sebentar sebelum kembali fokus pada foto di tangannya. “Nggak usah mancing-mancing, ya,” jawab wanita itu dengan nada ketus.Arhan yang masih sibuk dengan mengumpulkan sampah yang berserakan untuk kemudian di taruh pada satu kresek berukuran sedang hanya terkekeh. Nyatanya menggoda Namira masih sangat ia gemari sebab respon wanita itu yang membuatnya merasa bahagia.Namira beralih pada suaminya setelah sibuk memandangi potret keduanya dengan lekat. Satu pemikiran tiba-tiba terlintas di kepala. “Kayaknya ini emang niat mereka dari awal nggak, sih, Mas?”“Niat apa?”“Sekongkol buat misahin kita.”Arhan terlihat tak
"Berhenti natap aku kayak gitu." Namira terlonjak di tempat. Kedua bola matanya mengerling ke kanan dan ke kiri. Mencoba menghindari tatapan pria yang kini sudah membuka mata sepenuhnya. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi, Namira melakukan hal itu, memandangi sang suami yang tengah tertidur. Tampan dan menawan. Itu jawaban yang selalu ia sematkan setiap Arhan bertanya.Ah, rasanya ia tak ingin membiarkan sang suami untuk pergi keluar rumah. Ia ingin menikmati ketampanannya seorang diri. "Hei!" tegur Arhan disela lamunannya. Namira kembali terlonjak kaget. Namun tak lama ia mengulas senyum manis. "Ayo, bangun. Hari ini Mas ada rapat di kantor." "Tau banget, ya, jadwal suami sendiri." Arhan mencubit hidung Namira, sesekali menggoyangkannya perlahan karena gemas. Sedangkan Namira hanya mengangkat bahu tak acuh. Ia membenarkan posisi duduknya, hendak turun dari ranjang untuk menyiapkan pakaian dan sarapan untuk sang suami. Belum kakinya menginjak lantai marmer, Arhan berhasil me