Wajah Arhan terpampang merah padam disertai tatapan tajam yang seolah akan melubangi apa saja yang tengah dilihat olehnya saat ini. Bahkan gigi-giginya terdengar bergemeletuk saling menekan menahan amarah. Tak lupa dadanya pun naik turun, ia kesulitan mengatur emosinya yang datang secara tiba-tiba.Genggaman pada ponsel yang semula biasa saja kini mengerat hingga ujung jari-jarinya memutih, melampiaskan amarah yang seketika menggumpal besar di dalam hati. Laki-laki itu siap meledak kapan saja.Larangan darinya untuk tidak membalas pesan dari Iyan terucap beberapa jam yang lalu, pada saat pagi menjelang tengah hari. Dan saat ini masih di hari yang sama. Bahkan malam pun belum datang, tapi bisa-bisanya wanita itu melupakan ucapannya. “Sebenarnya Namira paham tidak, sih, kalau aku larang buat bales, itu artinya bertemu juga tidak boleh?” tanya Arhan entah pada siapa sebab sekarang ini ia hanya seorang diri di ruangannya atau mungkin di gedung yang ia miliki. Jam pulang kerja sudah lewat
Arhan tidak tahu siapa yang menyebarkan informasi tentang dirinya yang masih berada di kantor hingga saat ini. Ketika para pegawainya sudah pulang, pasti tidak ada banyak orang yang tahu mengenai hal itu. Awalnya ia kira Bianca yang belum bisa menghilangkan kebiasaan lama yaitu menunggunya hingga pulang, tapi ternyata sosok yang kini terpampang keseluruhannya justru orang lain, yang tidak bekerja di perusahaannya. Akan tetapi ia sangat mengenalnya.Kening Arhan mengernyit seraya menatap penuh kebingungan saat orang itu berjalan mendekat. “Aya?” tanya Arhan memastikan jika saat ini ia tidak salah lihat.Tatapan matanya tak lepas hingga orang itu berdiri tepat di depannya dengan menenteng map coklat di sisi kiri, dipegang bersamaan dengan tas tangan seukuran ponsel. Meskipun mengundang pertanyaan di kepala dengan kedatangan Raya, sang mantan kekasih. Entah kenapa rasanya Arhan merasa senang melihat wanita itu dalam jarak dekat dan tanpa diduga.“Kok kamu tahu aku masih di sini?”Namira
Arhan berdiri seraya meremas kertas dalam genggaman. Bukan lagi terkejut, tapi ia terguncang membaca setiap tulisan, apalagi kata dengan warna tinta lebih tebal. Mengatakan kalau DNA dirinya dengan Nima cocok. Itu artinya mereka adalah Ayah dan anak.Jadi selama ini ia-lah Ayah Nima? Yang tidak bertanggung jawab? Yang membiarkan Raya menghidupi anak itu seorang diri? Jika benar seperti itu, kenapa baru sekarang mantan kekasihnya itu datang memberitahukan ini semua?Tubuh Arhan berbalik ketika sebelumnya berdiri membelakangi Raya yang duduk seraya menunduk. “Kapan kita melakukannya?” tanya laki-laki itu menuntut. Ia benar-benar tak ingat pernah tidur bersama mantan kekasihnya. Entah ketika mereka masih ada dalam suatu hubungan atau sudah selesai.“Kamu ngada-ngada, kan? Nggak mungkin Nima anak aku, Raya. Aku nggak ingat kapan kita melakukannya,” ucap Arhan dengan nada yang tajam. Ia masih belum bisa menerima kenyataan yang dibawa oleh Raya sampai setiap kata yang keluar rasanya tak mau
Cukup lama mereka terdiam setelah Arhan dengan yakin mengucapkan kalau dirinya tak pernah datang ke reuni lima tahun lalu. Hari itu undangan reuni memang sampai kepada laki-laki itu, tapi ia ingat dengan jelas kalau saat itu keadaan sedang kacau karena ayahnya yang meninggal sehari sebelum acara itu dilangsungkan.Menurutnya menenangkan sang ibu jauh lebih penting ketimbang berkumpul dengan teman yang dulu pernah belajar bersama di satu ruangan. Arhan cukup sadar diri sebagai anak satu-satunya untuk tidak melakukan hal aneh di masa-masa berduka karena berpulangnya sang ayah kepada Yang Maha Kuasa, apalagi sampai tidur dengan gadis yang bukan lagi siapa-siapa dirinya waktu itu.Kabar yang Raya bawa sudah pasti sebuah kebohongan sebab ingatannya tak akan pernah salah tentang saat-saat menyakitkan itu. “Mau kamu apa, Ya? Pekerjaan udah aku bantu cari. Bahkan kontrak kerjanya aku sendiri yang minta sebelum kamu ketemu sama orangnya langsung. Aku emang kasian sama Nima yang tumbuh tanpa se
“Jadi apa isi kertas itu?” tanya Bi Ida yang duduk di samping Namira.Mereka berdua tengah menikmati teh hangat di teras depan, duduk di masing-masing kursi rotan yang menghadap halaman tak terlalu besar.Malam ini sangat cerah dengan ditemani banyak bintang yang bergelayut di atas kepala, membuat cantik seluruh langit yang gelap. Bulan sabit pun tak mau kalah memperlihatkan keelokannya. Mereka saling bersisian, menemani setiap orang yang mungkin dalam perjalanan pulang atau tengah menikmati waktu berdua dengan pasangan, mungkin juga sekedar berbincang ringan seperti yang dilakukan Namira dan Bi Ida di teras depan.Suasana rumah Bi Ida begitu tentram untuk ukuran bangunan yang berada di pinggir jalan, yang hanya bisa memuat satu mobil truk kuning melintas. Padahal saat ini masih pukul delapan, tapi orang-orang rasanya sudah memilih untuk berbenah, menikmati tontonan malam di televisi ruang tengah rumah mereka.Namira membuang napas lelah. Tiba-tiba mengingat pertemuan yang menurutnya
Arhan berjalan dengan langkah tegas dan terkesan tergesa. Sapaan para pegawai pun ia abaikan demi bisa mencapai ruang kerjanya dengan cepat. Seusai sarapan yang disiapkan Bi Ida. Laki-laki itu segera pergi tanpa membicarakan lagi kerinduan dirinya pada Namira.Sejak semalam setelah melihat sang istri yang mengukir senyum manis kala berbincang dengan Bi Ida, ada perasaan rindu yang semakin menumpuk. Ingin segera membawa wanita itu kembali ke sisinya. Menyingkirkan posisi Bi Ida yang sepertinya mulai nyaman berbincang dengan Namira. Padahal sebelumnya itu adalah tempatnya.Pagi ini ia ingin memulai untuk menuntaskan satu demi satu masalah yang membuat rumah tangganya bersama Namira berantakan. Dari mulai mencari tahu sosok yang Andri hubungi sampai tentang DNA yang Raya perlihatkan kemarin.“Bawa masuk berkasnya,” ucap Arhan seraya menatap serius Bianca yang seketika langsung berdiri melihat kedatangannya.Tanpa menunggu pintu kembali tertutup setelah Arhan masuk. Bianca sudah berjalan
Selama dalam perjalanan bahkan sebelum Arhan menaiki mobilnya untuk menuju suatu tempat atas permintaan Namira, lengkungan senyum itu tak pernah luntur. Hatinya membuncah bahagia hanya karena sebuah pesan singkat yang dikirimkan istrinya saat ia belum sampai satu jam berada di ruangannya.Lantunan musik dalam mobil pun menjadi pengiring perasaan itu hingga sampai di tempat yang kemarin sore ia kunjungi. Namira memintanya untuk datang ke rumah Bi Ida. Wanita itu memberikan alasan kalau Elio menangis sembari memanggil-manggil ‘Papa’.Tentu saja Arhan tak mengartikan pesan itu sesederhana ketikan sang istri. Laki-laki itu menangkap kalau Namira yang merindukan dirinya. Itulah sebabnya hatinya amat sangat bahagia memercayai asumsinya sendiri.Penampilannya ia benahi melalui spion yang ada di dalam mobil. Tatanan rambutnya pun sampai berulang kali di perhatikan supaya tetap rapi. Tak lupa aroma tubuhnya ia cium, takut meninggalkan bau yang tak sedap atau parfum Bianca yang menempel sebab w
“Kenapa cuman berdiri di sana? Duduk sini, Ay,” ujar Arhan seraya menepuk sisinya yang kosong. Laki-laki itu berprilaku seolah ini adalah rumahnya. Padahal baru beberapa menit yang lalu suaminya datang dan ini merupakan kunjungan pertamanya ke rumah Bi Ida.Segaris senyum dari bibir tipis Namira terukir mendapati suaminya yang tampak nyaman dengan situasi saat ini. Mungkin kecanggungan dari diri Arhan tersamar oleh rasa rindu yang pada akhirnya terealisasikan.Namira menuruti perintah suaminya untuk duduk. Lantas ia mengecek isi kantung belanjaan yang dibawa laki-laki itu. “Ini buat Bi Ida?” tanyanya seraya menoleh ke arah Arhan yang juga saat ini tengah menatapnya.Sejak istrinya memutuskan duduk di sisinya, mata Arhan tak lepas dari setiap gerak-gerik wanita itu sampai mengabaikan Elio. Berbeda dengan Namira yang seketika merasakan kecanggungan sebab ditatap intens oleh sang suami. Mendapati istrinya yang salah tingkah, laki-laki itu justru semakin melebarkan senyum. “Iya buat di si