Namira membuang napas lelah setelah selesai berbicara dengan Pak Ato yang akhirnya mau mengutarakan alasan menghilangnya saat itu melalui sambungan telepon, jadi ia tidak perlu bersusah payah kembali ke Bandung lagi dalam keadaan rumah tangganya saja sedang tidak baik-baik saja.Alasan yang diberikan Pak Ato benar-benar membuatnya tercengang tentang keadaan kost miliknya. Laki-laki paruh baya itu menyampaikan kalau itu ulah anaknya yang mengamuk, jadi semua tanaman dalam pot hancur. Bunga-bunga cantik yang ditanam mendiang ibunya pun habis dicabut brutal oleh sang anak.Lantas alasan lainnya adalah Pak Ato tidak mampu untuk mengganti itu semua. Gaji yang laki-laki itu dapatkan dari bekerja sebagai pengganti dirinya untuk merawat kost hanya sampai pada alokasi kebutuhan sehari-hari.Namira paham dengan keadaan Pak Ato, tapi kenapa harus sampai bersembunyi? Seingat dirinya selama ini ia tak pernah memberatkan posisi laki-laki paruh baya itu. Jika disampaikan dengan benar, ia pun tidak a
Di sore hari, Bi Ida pulang seperti biasanya sembari menenteng satu kresek mangga yang dibelinya ketika dalam perjalanan. Banyak waktu yang dihabiskan hanya untuk memilih beberapa mangga yang paling bagus dan manis. Pantat mangga itu dicium untuk mengidentifikasi kematangan meskipun tak selalu mendapatkan yang diinginkan. Rasa masamnya terkadang masih tersisa, padahal aroma harumnya sudah menguar menusuk hidung. Ini hanya soal keberuntungan saja.Tanpa perlu mengetuk, Bi Ida masuk dengan menekan gagang pintu supaya benda besar yang melebihi tingginya itu terbuka. Pandangannya menyapu ke seisi rumah demi mencari sosok wanita yang kini tinggal di rumahnya untuk sementara waktu sampai aksi kabur dari suaminya berakhir.Langkah wanita paruh baya itu menuju dapur terlebih dahulu untuk menyimpan kresek berisi mangga yang sebelumnya ia beli. Lantas beralih ke kamar untuk menyimpan tas yang selalu ia bawa ketika pergi bekerja.Bi Ida cukup heran karena belum menemukan Namira di rumahnya yang
Wajah Arhan terpampang merah padam disertai tatapan tajam yang seolah akan melubangi apa saja yang tengah dilihat olehnya saat ini. Bahkan gigi-giginya terdengar bergemeletuk saling menekan menahan amarah. Tak lupa dadanya pun naik turun, ia kesulitan mengatur emosinya yang datang secara tiba-tiba.Genggaman pada ponsel yang semula biasa saja kini mengerat hingga ujung jari-jarinya memutih, melampiaskan amarah yang seketika menggumpal besar di dalam hati. Laki-laki itu siap meledak kapan saja.Larangan darinya untuk tidak membalas pesan dari Iyan terucap beberapa jam yang lalu, pada saat pagi menjelang tengah hari. Dan saat ini masih di hari yang sama. Bahkan malam pun belum datang, tapi bisa-bisanya wanita itu melupakan ucapannya. “Sebenarnya Namira paham tidak, sih, kalau aku larang buat bales, itu artinya bertemu juga tidak boleh?” tanya Arhan entah pada siapa sebab sekarang ini ia hanya seorang diri di ruangannya atau mungkin di gedung yang ia miliki. Jam pulang kerja sudah lewat
Arhan tidak tahu siapa yang menyebarkan informasi tentang dirinya yang masih berada di kantor hingga saat ini. Ketika para pegawainya sudah pulang, pasti tidak ada banyak orang yang tahu mengenai hal itu. Awalnya ia kira Bianca yang belum bisa menghilangkan kebiasaan lama yaitu menunggunya hingga pulang, tapi ternyata sosok yang kini terpampang keseluruhannya justru orang lain, yang tidak bekerja di perusahaannya. Akan tetapi ia sangat mengenalnya.Kening Arhan mengernyit seraya menatap penuh kebingungan saat orang itu berjalan mendekat. “Aya?” tanya Arhan memastikan jika saat ini ia tidak salah lihat.Tatapan matanya tak lepas hingga orang itu berdiri tepat di depannya dengan menenteng map coklat di sisi kiri, dipegang bersamaan dengan tas tangan seukuran ponsel. Meskipun mengundang pertanyaan di kepala dengan kedatangan Raya, sang mantan kekasih. Entah kenapa rasanya Arhan merasa senang melihat wanita itu dalam jarak dekat dan tanpa diduga.“Kok kamu tahu aku masih di sini?”Namira
Arhan berdiri seraya meremas kertas dalam genggaman. Bukan lagi terkejut, tapi ia terguncang membaca setiap tulisan, apalagi kata dengan warna tinta lebih tebal. Mengatakan kalau DNA dirinya dengan Nima cocok. Itu artinya mereka adalah Ayah dan anak.Jadi selama ini ia-lah Ayah Nima? Yang tidak bertanggung jawab? Yang membiarkan Raya menghidupi anak itu seorang diri? Jika benar seperti itu, kenapa baru sekarang mantan kekasihnya itu datang memberitahukan ini semua?Tubuh Arhan berbalik ketika sebelumnya berdiri membelakangi Raya yang duduk seraya menunduk. “Kapan kita melakukannya?” tanya laki-laki itu menuntut. Ia benar-benar tak ingat pernah tidur bersama mantan kekasihnya. Entah ketika mereka masih ada dalam suatu hubungan atau sudah selesai.“Kamu ngada-ngada, kan? Nggak mungkin Nima anak aku, Raya. Aku nggak ingat kapan kita melakukannya,” ucap Arhan dengan nada yang tajam. Ia masih belum bisa menerima kenyataan yang dibawa oleh Raya sampai setiap kata yang keluar rasanya tak mau
Cukup lama mereka terdiam setelah Arhan dengan yakin mengucapkan kalau dirinya tak pernah datang ke reuni lima tahun lalu. Hari itu undangan reuni memang sampai kepada laki-laki itu, tapi ia ingat dengan jelas kalau saat itu keadaan sedang kacau karena ayahnya yang meninggal sehari sebelum acara itu dilangsungkan.Menurutnya menenangkan sang ibu jauh lebih penting ketimbang berkumpul dengan teman yang dulu pernah belajar bersama di satu ruangan. Arhan cukup sadar diri sebagai anak satu-satunya untuk tidak melakukan hal aneh di masa-masa berduka karena berpulangnya sang ayah kepada Yang Maha Kuasa, apalagi sampai tidur dengan gadis yang bukan lagi siapa-siapa dirinya waktu itu.Kabar yang Raya bawa sudah pasti sebuah kebohongan sebab ingatannya tak akan pernah salah tentang saat-saat menyakitkan itu. “Mau kamu apa, Ya? Pekerjaan udah aku bantu cari. Bahkan kontrak kerjanya aku sendiri yang minta sebelum kamu ketemu sama orangnya langsung. Aku emang kasian sama Nima yang tumbuh tanpa se
“Jadi apa isi kertas itu?” tanya Bi Ida yang duduk di samping Namira.Mereka berdua tengah menikmati teh hangat di teras depan, duduk di masing-masing kursi rotan yang menghadap halaman tak terlalu besar.Malam ini sangat cerah dengan ditemani banyak bintang yang bergelayut di atas kepala, membuat cantik seluruh langit yang gelap. Bulan sabit pun tak mau kalah memperlihatkan keelokannya. Mereka saling bersisian, menemani setiap orang yang mungkin dalam perjalanan pulang atau tengah menikmati waktu berdua dengan pasangan, mungkin juga sekedar berbincang ringan seperti yang dilakukan Namira dan Bi Ida di teras depan.Suasana rumah Bi Ida begitu tentram untuk ukuran bangunan yang berada di pinggir jalan, yang hanya bisa memuat satu mobil truk kuning melintas. Padahal saat ini masih pukul delapan, tapi orang-orang rasanya sudah memilih untuk berbenah, menikmati tontonan malam di televisi ruang tengah rumah mereka.Namira membuang napas lelah. Tiba-tiba mengingat pertemuan yang menurutnya
Arhan berjalan dengan langkah tegas dan terkesan tergesa. Sapaan para pegawai pun ia abaikan demi bisa mencapai ruang kerjanya dengan cepat. Seusai sarapan yang disiapkan Bi Ida. Laki-laki itu segera pergi tanpa membicarakan lagi kerinduan dirinya pada Namira.Sejak semalam setelah melihat sang istri yang mengukir senyum manis kala berbincang dengan Bi Ida, ada perasaan rindu yang semakin menumpuk. Ingin segera membawa wanita itu kembali ke sisinya. Menyingkirkan posisi Bi Ida yang sepertinya mulai nyaman berbincang dengan Namira. Padahal sebelumnya itu adalah tempatnya.Pagi ini ia ingin memulai untuk menuntaskan satu demi satu masalah yang membuat rumah tangganya bersama Namira berantakan. Dari mulai mencari tahu sosok yang Andri hubungi sampai tentang DNA yang Raya perlihatkan kemarin.“Bawa masuk berkasnya,” ucap Arhan seraya menatap serius Bianca yang seketika langsung berdiri melihat kedatangannya.Tanpa menunggu pintu kembali tertutup setelah Arhan masuk. Bianca sudah berjalan
Entah pada kata yang mana, hati Iyan melembut sejenak mendengar permintaan maaf dari Raya. Namun tak lama ia kembali mengamuk. Dalam kesadarannya mendadak tak terima jika ia mengampuni wanita itu dengan mudah. Padahal ini sudah berlangsung bertahun-tahun.Iyan berteriak. Menepis tangan Arhan yang mencoba menahan untuk tak kembali menerjang Raya. Laki-laki itu berlalu pergi keluar sampai membuat Namira melongo dan meminta suaminya untuk mengejar sebab masalah mereka belum selesai. Rencana ini harus tetap berjalan bagaimana pun caranya.Saat Namira tengah meminta suaminya untuk melakukan sesuatu, Iyan kembali masuk dengan cara berjalan mundur. Di depannya ada dua orang bertubuh kekar yang menghadang langkah laki-laki itu yang akan meninggalkan villa.“Apa maksudnya ini?” tanya Iyan pada Arhan yang menyunggingkan senyum. Kini tubuhnya sudah sepenuhnya berbalik dan dua orang tak dikenal itu berdiri di belakangnya.Arhan memasukkan dua tangannya pada saku celana. “Siapa yang izinin kamu pe
Iyan refleks berdiri. Ia menghadang Arhan yang berjalan mendekat ke arah mereka seorang diri. Laki-laki itu tahu alasan Namira kabur karena sang suami yang berselingkuh sehingga membuat wanita itu memilih pergi. Ia mencoba melindungi mantan kekasihnya dari suaminya, takut-takut akan menarik pulang dengan paksa apalagi melihat tengah bersama dengan dirinya.Mata kedua laki-laki itu bertemu, saling memandang dengan tatapan sengit penuh pertarungan lewat sorot yang tajam. Langkah Arhan begitu tegas, tapi tak membuat Iyan ciut hanya karena hal itu. Laki-laki itu justru semakin mengepalkan tangan yang terentang, menyembunyikan Namira beserta anaknya di balik punggung. “Kamu diem di situ aja. Biar aku yang hadapi dia.”Andai Namira tengah berada dalam huru-hara rumah tangga yang sebenarnya atau kejadian saat ini sesuai dengan yang Iyan pikirkan, sudah pasti ia terbuai dengan apa yang mantan kekasihnya itu lakukan.Sikap Iyan benar-benar mencerminkan seorang laki-laki pelindung, yang kebanya
Karena tiba-tiba ada rencana yang harus dirubah sebab keberadaan Iyan yang tak di sangka-sangka ternyata ada di hotel yang sama dengan Namira. Wanita itu dengan spontan menjalankan rencana di luar yang sudah disepakati.Namira pikir, mengoptimalkan rencana untuk menggaet Iyan tanpa meninggalkan curiga adalah usaha untuk membuat laki-laki itu tetap ada dalam jangkauannya. Itu sebabnya ia meminta tolong pada sang mantan kekasih untuk mengantar dirinya ke villa.Semula Namira merasa bangga akan hal itu, tapi ternyata malah menjadi boomerang untuknya sampai semalaman terpikirkan beberapa kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya dan sang anak.Beruntung semalam Pak Marwan sudah mendapatkan kunci dari sang pemilik villa, jadi pagi ini Namira tinggal menempatinya saja tanpa dicurigai oleh Iyan.Sesampainya mereka di villa. Iyan dengan sigap membantu menurunkan barang-barang milik Namira. Dua tas jinjing di kedua tangannya bukanlah sesuatu yang merepotkan, beratnya saja tak terasa menurut
Akhirnya mereka sampai pada hari di mana akan membungkam dan membuat Iyan dan Raya tak bisa berkutik lagi. Namira berharap semuanya berjalan lancar hari ini supaya bisa fokus pada hal lain yang tak kalah penting.Karena nyatanya masalah yang menimpa rumah tangganya bisa berpengaruh besar ke segala hal dalam hidup mereka, tak terkecuali dampak utamanya adalah hubungannya dengan Arhan.Berbicara tentang hari ini, semalam Namira sudah memberitahu Arhan semuanya mengenai pertemuan tak sengajanya dengan Iyan. Memang ia tak tahu apa yang sebenarnya mantan kekasihnya itu lakukan di Bandung.Namun mengingat laki-laki itu memang asli orang Bandung dan orang tuanya yang baru ia ketahui ternyata Pak Ato juga ada di kota yang sama dengannya saat ini. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau salah satunya urusan Iyan adalah mengunjungi ayahnya.Jika diperkenankan untuk berpikir lebih luas lagi. Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran Namira tentang keberadaan Iyan yang katanya baru sampai kemarin. Apa
Sesampainya di lobi hotel, Namira menghampiri resepsionis terlebih dahulu untuk mengkonfirmasi pesanannya yang dilakukan melalui sebuah aplikasi yang bekerja sama dengan hotel tersebut.Namira tidak langsung pergi untuk beristirahat dengan nyaman, ia memilih untuk duduk sebentar di lobi hotel sembari menunggu Pak Marwan selesai mengangkut semua barang bawaan mereka.Dalam beberapa detik mata Namira menangkap sosok laki-laki yang sebelumnya tidak ia ketahui keberadaannya. Bahkan ia sempat kebingungan untuk membuat sang mantan kekasih untuk mau menemuinya, tapi Tuhan sepertinya tengah berpihak padanya saat ini.Senyum Namira tersungging senang, lalu ia merapikan penampilannya. Satu tas yang tergeletak tak jauh darinya dengan ukuran sedang dan tidak terlalu berat semakin membuat otaknya bekerja lebih cepat. Semua pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan Iyan sudah memiliki jawaban di kepalanya.Mata mereka bertemu kala Namira mengangkat kepala. Ia bisa melihat bahwa Iyan terkejut dengan
“Pak kita ke villa dulu, ya,” ucap Namira yang seketika teringat jika tugas kedua setelah mengecek kondisi rumah orang tuanya adalah mengunjungi penginapan yang sebelumnya mereka sewa untuk melancarkan aksinya besok.Tak ada anggukan atau sesuatu yang menunjukkan kesediaan Pak Marwan dalam menunaikan perintah majikannya itu. Namira sempat mengernyitkan dahi, tapi tak mau ambil pusing. Sudah pasti laki-laki paruh baya itu akan menuruti segala perintahnya saat ini sebab tidak mungkin menunggu persetujuan suaminya dulu.Namun tiba-tiba mobil yang mereka kendarai, Pak Marwan bawa untuk menepi. “Ada apa, Pak?” tanya Namira yang semakin mengernyitkan dahinya. Ia menatap sekeliling, jelas sekali saat ini mereka belum sampai di villa apalagi hotel.Sang sopir itu mengeluarkan ponselnya tanpa berniat mengucapkan apapun kepada Namira yang seketika menjadi marah sebab beranggapan kalau Pak Marwan akan menghubungi suaminya untuk meminta izin membawanya ke villa bukan ke hotel, sesuai yang Arhan u
Berbeda dengan Arhan yang sudah melacarkan aksinya sebelum ia benar-benar pergi ke Bandung. Namira justru sama sekali belum melakukan apapun untuk membuat Iyan mau menemuinya besok. Ia baru sampai di rumah orang tuanya. Dugaannya ternyata benar bahwa rumah yang ditinggali oleh orang tuanya sebelum meninggal itu sudah seperti rumah hantu, bangunan terbengkalai dan tak layak huni. Apa yang dikatakan suaminya pun sepenuhnya benar kalau Pak Ato tidak melakukan pekerjaannya dengan baik, sama seperti masalah kosan yang keadaannya tidak seasri dulu. Namira membuang napas berat, sebelum ia turun untuk mengambil gambar supaya bisa ditunjukkan pada suaminya. Terlebih dahulu ia menghubungi saudara satu-satunya yang ia miliki sebab Bima lah yang menjadikan Pak Ato sebagai penanggung jawab atas bagian luar rumah itu, tapi tak dilakukan dengan benar. Sambungan telepon itu tak kunjung mendapatkan jawaban sampai wanita itu berdecak sebal. "Mana, sih, Kak Bima? Kenapa nggak angkat teleponnya?"
Sepeninggal istri dan anak juga Pak Marwan. Laki-laki yang kedapatan pergi besok untuk menyusul Namira kini tengah duduk di meja makan.Lebih tepatnya Arhan mengikuti langkah Bi Ida hingga dapur. Ia duduk di sana sementara wanita paruh baya itu menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda karena kepergian majikannya.Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tak ada yang berniat membuka suara. Apalagi Bi Ida meskipun sudah lama bekerja dengan Arhan, jika di hadapkan dengan laki-laki itu tetap saja bingung mau memulai pembicaraan apa untuk memecah keheningan.Suasana diantara mereka terkesan canggung meskipun Bi Ida saat ini tengah membelakangi majikannya. Arhan pula tak memedulikan apa yang dilakukan pembantunya di sana. Laki-laki itu hanya merasa kesepian setelah kepergian istri beserta anaknya, jadi di sanalah ia sekarang. Mengalihkan kekosongan dengan kehadiran wanita yang sibuk dengan aktivitasnya.Arhan memainkan ponsel sejak tadi. Ia mulai melancarkan aksi untuk membuat Raya
“Doain lancar dan selamat sampai tujuan, ya, Mas.”Namira mengutarakan permohonan dari ketakutan sebab akan menempuh perjalanan berjam-jam tanpa didampingi suaminya. Ia hanya akan ditemani oleh Pak Marwan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Tentu ini juga menjadi pengalaman pertama selama menikah. Biasanya kemanapun dan mau sejauh apapun pasti Arhan akan selalu berada di sampingnya untuk menemani dan berbagi tugas atas Elio. Namun kali ini sepertinya ia akan mengendalikan dirinya sendiri sebelum laki-laki itu menyusul ke Bandung.Pelukan Namira semakin lama semakin erat. Tak mau berpisah dengan suaminya yang justru tengah merasakan kegembiraan sebab tingkah laku wanita itu yang manja. Berbeda dengan bayangannya saat laki-laki itu mengajaknya pulang. Ia kira yang akan didapatkan itu gerutuan, tatapan sinis, bahkan menghindari dirinya, tapi ternyata semua itu terjadi sebaliknya. Contohnya seperti sekarang ini.“Selalu aku doakan, Sayang. Nanti di sana minta tolong sa