Seusai pertemuannya dengan Raya di mall tadi dan berbincang sebentar di sana, saat ini Namira sibuk dengan ponsel yang ditempelkan pada telinga sebelah kanan. Wanita itu sudah mulai menjalankan aksinya. Diawali dengan menelepon Pak Ato.Tujuannya bukan hanya menanyakan foto dan video yang sebelumnya ia terima, tapi juga ingin membicarakan tentang kost-annya yang terlihat berbeda dari yang terakhir ia ingat. Semuanya berubah dan tampak kosong.Bunyi dengungan yang memenuhi pendengarannya itu tak kunjung berhenti sampai membuat telinganya terasa panas. Tentu saja Namira kesal dengan tindakan Pak Ato yang seolah tengah mempermainkan dirinya. Bukan saja tentang tanggung jawabnya mengenai kost-an yang sudah ia percayakan pada laki-laki paruh baya itu, tapi juga informasi yang mendadak ia dapatkan.Jika Pak Ato hendak memberitahu dirinya tentang Arhan pada malam itu melalui foto dan video yang dikirim, ia hanya butuh penjelasan yang sangat mendetail andai beliau menyaksikan secara langsung
Sesampainya di rumah, Namira segera keluar dari mobil dan menuju lantai atas dengan Elio yang tertidur di gendongannya. Kepergian wanita itu mengundang kernyitan di dahi kedua orang tua yang tengah menurunkan barang belanjaan mereka di bagasi.“Mbak Nami kira-kira kenapa lagi, ya, Pak?” tanya Bi Ida seraya menatap punggung wanita itu yang berlalu tanpa berbicara sepatah kata pun, tidak seperti biasanya.Pak Marwan yang juga melakukan hal yang sama menjawab dengan penuh pertimbangan, “Mungkin nggak, sih, Bi karena apa yang Nima omongin?”Keduanya saling menatap, Bi Ida seolah lupa dan tak sadar jika pembicaraan itu sangat sensitif. Pantas saja Namira tidak memberikan jawaban apapun. Kepalanya ia pukul berulang kali sebab melontarkan hal yang tidak seharusnya disampaikan. Semula ia hanya ingin meringankan beban wanita itu dalam aksi mencari tahu apa yang Arhan lakukan pada malam itu. Namun ternyata justru informasi itu membuat sang majikan merasa terpukul dengan kenyataan yang baru dike
“Istri saya mana, Bi?”Sebuah suara mengejutkan Bi Ida yang tengah melamun di depan kompor sembari memanaskan makan siang yang tak tersentuh sama sekali. Pandangannya beralih dari wajan ke sosok Arhan yang berdiri tak jauh dari dapur. Penampilan laki-laki itu masih rapi dengan wajah yang nampak cerah, berbeda dengan istrinya yang berantakan dan memilih mengurung diri sepulang dari berbelanja. “Ada di kamar Mas, tidur. Mbak Nami juga belum makan siang, saya nggak tega mau banguninnya.”Arhan mengernyitkan dahinya. “Suhu badannya normal, kan?”“Pas tadi saya cek sih normal, Mas.” Hanya itu yang mampu Bi Ida sampaikan. Ia tak kuasa memberitahu laki-laki itu mengenai kejadian hari ini yang membuat wanita di balik pintu bercat putih di lantai atas itu sampai enggan untuk keluar dari kamar. Padahal biasanya mereka akan menghabiskan waktu di ruang tamu sembari menunggu Arhan pulang.Bi Ida melangkah sedikit menjauh dari dapur untuk kembali menatapi pintu kamar majikannya yang masih tertutup.
“Sayang,” panggil Arhan lirih. Ia melihat ada butiran air mata yang jatuh membasahi pipi Namira yang masih asik menyusui Elio. Pandangan wanita itu jatuh pada lantai dingin di kakinya setelah memperlihatkan foto beserta video yang menampilkan dirinya.“Mas itu kenapa, sih? Harus banget buat aku selalu overthinking?” tanya Namira dengan suara bergetar, masih dengan posisi yang sama. Tak kuasa melihat langsung wajah suaminya yang tengah menatapnya sejak tadi.Tangan kiri Namira yang menganggur Arhan raih untuk ia genggam dan mengusapnya dengan lembut. “Maaf Sayang karena nggak bilang sama kamu. Tolong dengerin dulu penjelasan aku, ya?”Setelah mengucapkan permintaan maaf dan meminta kesediaan sang istri untuk mendengarkan penjelasannya, Arhan bergeming sejenak. Ia masih menunggu respon Namira yang masih terdiam. Membiarkan permintaan itu mengambang tanpa ada kejelasan.Arhan akhirnya angkat bicara, berinisiatif menjelaskannya sendiri meskipun ada kemungkinan jika wanita yang masih sibuk
Namira menunggu di sofa panjang yang tersedia di kamar. Pikirannya melayang pada rencana yang semula akan ia lakukan secara diam-diam untuk menyelidiki kedekatan sang suami dan mantan kekasihnya. Ia bahkan sudah meminta Bi Ida dan Pak Marwan untuk bekerja sama dalam misinya.Namun ungkapan Nima yang Bi Ida sampaikan beberapa jam yang lalu membuatnya melupakan segala aksi yang sudah terencana di dalam kepala. Segala persiapan tiba-tiba buyar, tergantikan dengan upaya untuk kabur bersama Elio dari sang suami.Banyak tempat yang ia pikirkan untuk bersembunyi, tapi sayang tak ada yang membuatnya merasa aman dan nyaman sehingga lagi-lagi pilihan terakhirnya hanya menjurus pada laki-laki yang dua tahun lalu ia nikahi. Ketika memikirkan itu, semuanya tampak tak adil untuk dirinya yang sebatang kara.“Lagi ngelamunin apa?” tanya Arhan menyentak kesadaran wanita yang memandang lurus tanpa ekspresi. Kedatangannya bahkan tak dipedulikan oleh istrinya.Arhan duduk di samping Namira setelah menegu
Namira seolah tak peduli jika kaca mobil yang biasa ia gunakan sudah berubah sesuai yang ia inginkan sebelumnya. Mungkin jika sedang tidak ada dalam situasi seperti sekarang ini, ia akan senang bukan main karena laki-laki itu mengusahakan dengan harapan menyenangkan hatinya. Namun keadaan membuatnya tak boleh fokus pada hal itu, hatinya seolah ingin segara mendengar alasan Arhan dan Raya bertemu pada malam hari tanpa sepengetahuan dirinya.Kilatan amarah yang dibungkus rapi oleh ekspresi dingin itu tak membuatnya tidak terlihat. Arhan bisa melihat jika masalah yang berhubungan dengan Raya tak bisa lagi ditunda. Wanita itu sudah tak sabar menunggu penjelasan yang akan ia sampaikan.“Tentang itu ….” Arhan memberi jeda pada kalimatnya. Ia tengah menimang apakah yang akan ia ucapkan ini bisa dipahami atau tidak oleh Namira. Sejenak ia terpikir tentang sesuatu yang mungkin akan menyelamatkannya saat ini, namun bisa saja akan berdampak buruk suatu saat nanti.Namira membuang napas kasar ser
“Sembarangan kamu!” seru Arhan tak terima.Kalimat terakhir Namira sangat keterlaluan karena sampai menyimpulkan seperti itu. Sejak mendapatkan permintaan untuk menikahi istrinya, dari dulu hingga saat ini, Arhan tak pernah sampai terbersit akan menceraikan sang istri. Pernikahan itu bagi dirinya bukan sekedar main-main atau ajang coba-coba, apalagi mereka sudah dikaruniai seorang anak. Pikirannya tidak dangkal seperti itu.Namira menyunggingkan senyumnya. “Terus niat kamu sebenarnya apa? Karena kasihan aja sama mereka berdua?” tanya Namira dengan tatapan yang tajam.Suaminya itu bergeming di tempat dengan kepala menunduk, membenarkan ucapan wanita di depannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.“Yang dimintai tolong itu Andri bukan kamu!” seru Namira cukup lantang seraya mendorong dada Arhan dengan jari telunjuknya. Menyadarkan suaminya jika andai saja malam itu laki-laki di depannya tak ikut campur. Keadaannya tidak akan sampai sekacau ini.Arhan meraih tangan istrinya, ia ingin mem
Malam harinya saat jadwal makan malam tiba. Arhan keluar dari ruang kerjanya setelah meregangkan tubuh. Ia tertidur di sofa yang ada di sana. Perdebatan dengan Namira beberapa jam yang lalu ternyata membuatnya kelelahan hingga ia terlelap cukup lama.Arhan tak bisa melihat apapun setelah membuka pintu. Semua lampu di rumahnya belum dinyalakan. Keningnya mengernyit seraya meraih ponsel yang ada di saku celana untuk melihat pukul berapa sekarang sampai rumah dua lantainya dibiarkan gelap gulita, tak lupa ia juga segera menyalakan senter untuk menuntun langkahnya.Jam di ponsel menunjukkan pukul 7.24 malam. Arhan mendesah pelan seraya berjalan ke beberapa titik saklar untuk menyalakan lampu di lantai dua kemudian berlanjut ke lantai satu. Namun yang membuatnya aneh adalah tidak ada sajian makan malam di meja. Pantas saja ketika ia keluar dari ruang kerja tak mencium aroma masakan apapun. Padahal biasanya di jam segini berbagai bebauan yang menggugah selera menguar ke setiap penjuru rumah
Entah pada kata yang mana, hati Iyan melembut sejenak mendengar permintaan maaf dari Raya. Namun tak lama ia kembali mengamuk. Dalam kesadarannya mendadak tak terima jika ia mengampuni wanita itu dengan mudah. Padahal ini sudah berlangsung bertahun-tahun.Iyan berteriak. Menepis tangan Arhan yang mencoba menahan untuk tak kembali menerjang Raya. Laki-laki itu berlalu pergi keluar sampai membuat Namira melongo dan meminta suaminya untuk mengejar sebab masalah mereka belum selesai. Rencana ini harus tetap berjalan bagaimana pun caranya.Saat Namira tengah meminta suaminya untuk melakukan sesuatu, Iyan kembali masuk dengan cara berjalan mundur. Di depannya ada dua orang bertubuh kekar yang menghadang langkah laki-laki itu yang akan meninggalkan villa.“Apa maksudnya ini?” tanya Iyan pada Arhan yang menyunggingkan senyum. Kini tubuhnya sudah sepenuhnya berbalik dan dua orang tak dikenal itu berdiri di belakangnya.Arhan memasukkan dua tangannya pada saku celana. “Siapa yang izinin kamu pe
Iyan refleks berdiri. Ia menghadang Arhan yang berjalan mendekat ke arah mereka seorang diri. Laki-laki itu tahu alasan Namira kabur karena sang suami yang berselingkuh sehingga membuat wanita itu memilih pergi. Ia mencoba melindungi mantan kekasihnya dari suaminya, takut-takut akan menarik pulang dengan paksa apalagi melihat tengah bersama dengan dirinya.Mata kedua laki-laki itu bertemu, saling memandang dengan tatapan sengit penuh pertarungan lewat sorot yang tajam. Langkah Arhan begitu tegas, tapi tak membuat Iyan ciut hanya karena hal itu. Laki-laki itu justru semakin mengepalkan tangan yang terentang, menyembunyikan Namira beserta anaknya di balik punggung. “Kamu diem di situ aja. Biar aku yang hadapi dia.”Andai Namira tengah berada dalam huru-hara rumah tangga yang sebenarnya atau kejadian saat ini sesuai dengan yang Iyan pikirkan, sudah pasti ia terbuai dengan apa yang mantan kekasihnya itu lakukan.Sikap Iyan benar-benar mencerminkan seorang laki-laki pelindung, yang kebanya
Karena tiba-tiba ada rencana yang harus dirubah sebab keberadaan Iyan yang tak di sangka-sangka ternyata ada di hotel yang sama dengan Namira. Wanita itu dengan spontan menjalankan rencana di luar yang sudah disepakati.Namira pikir, mengoptimalkan rencana untuk menggaet Iyan tanpa meninggalkan curiga adalah usaha untuk membuat laki-laki itu tetap ada dalam jangkauannya. Itu sebabnya ia meminta tolong pada sang mantan kekasih untuk mengantar dirinya ke villa.Semula Namira merasa bangga akan hal itu, tapi ternyata malah menjadi boomerang untuknya sampai semalaman terpikirkan beberapa kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya dan sang anak.Beruntung semalam Pak Marwan sudah mendapatkan kunci dari sang pemilik villa, jadi pagi ini Namira tinggal menempatinya saja tanpa dicurigai oleh Iyan.Sesampainya mereka di villa. Iyan dengan sigap membantu menurunkan barang-barang milik Namira. Dua tas jinjing di kedua tangannya bukanlah sesuatu yang merepotkan, beratnya saja tak terasa menurut
Akhirnya mereka sampai pada hari di mana akan membungkam dan membuat Iyan dan Raya tak bisa berkutik lagi. Namira berharap semuanya berjalan lancar hari ini supaya bisa fokus pada hal lain yang tak kalah penting.Karena nyatanya masalah yang menimpa rumah tangganya bisa berpengaruh besar ke segala hal dalam hidup mereka, tak terkecuali dampak utamanya adalah hubungannya dengan Arhan.Berbicara tentang hari ini, semalam Namira sudah memberitahu Arhan semuanya mengenai pertemuan tak sengajanya dengan Iyan. Memang ia tak tahu apa yang sebenarnya mantan kekasihnya itu lakukan di Bandung.Namun mengingat laki-laki itu memang asli orang Bandung dan orang tuanya yang baru ia ketahui ternyata Pak Ato juga ada di kota yang sama dengannya saat ini. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau salah satunya urusan Iyan adalah mengunjungi ayahnya.Jika diperkenankan untuk berpikir lebih luas lagi. Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran Namira tentang keberadaan Iyan yang katanya baru sampai kemarin. Apa
Sesampainya di lobi hotel, Namira menghampiri resepsionis terlebih dahulu untuk mengkonfirmasi pesanannya yang dilakukan melalui sebuah aplikasi yang bekerja sama dengan hotel tersebut.Namira tidak langsung pergi untuk beristirahat dengan nyaman, ia memilih untuk duduk sebentar di lobi hotel sembari menunggu Pak Marwan selesai mengangkut semua barang bawaan mereka.Dalam beberapa detik mata Namira menangkap sosok laki-laki yang sebelumnya tidak ia ketahui keberadaannya. Bahkan ia sempat kebingungan untuk membuat sang mantan kekasih untuk mau menemuinya, tapi Tuhan sepertinya tengah berpihak padanya saat ini.Senyum Namira tersungging senang, lalu ia merapikan penampilannya. Satu tas yang tergeletak tak jauh darinya dengan ukuran sedang dan tidak terlalu berat semakin membuat otaknya bekerja lebih cepat. Semua pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan Iyan sudah memiliki jawaban di kepalanya.Mata mereka bertemu kala Namira mengangkat kepala. Ia bisa melihat bahwa Iyan terkejut dengan
“Pak kita ke villa dulu, ya,” ucap Namira yang seketika teringat jika tugas kedua setelah mengecek kondisi rumah orang tuanya adalah mengunjungi penginapan yang sebelumnya mereka sewa untuk melancarkan aksinya besok.Tak ada anggukan atau sesuatu yang menunjukkan kesediaan Pak Marwan dalam menunaikan perintah majikannya itu. Namira sempat mengernyitkan dahi, tapi tak mau ambil pusing. Sudah pasti laki-laki paruh baya itu akan menuruti segala perintahnya saat ini sebab tidak mungkin menunggu persetujuan suaminya dulu.Namun tiba-tiba mobil yang mereka kendarai, Pak Marwan bawa untuk menepi. “Ada apa, Pak?” tanya Namira yang semakin mengernyitkan dahinya. Ia menatap sekeliling, jelas sekali saat ini mereka belum sampai di villa apalagi hotel.Sang sopir itu mengeluarkan ponselnya tanpa berniat mengucapkan apapun kepada Namira yang seketika menjadi marah sebab beranggapan kalau Pak Marwan akan menghubungi suaminya untuk meminta izin membawanya ke villa bukan ke hotel, sesuai yang Arhan u
Berbeda dengan Arhan yang sudah melacarkan aksinya sebelum ia benar-benar pergi ke Bandung. Namira justru sama sekali belum melakukan apapun untuk membuat Iyan mau menemuinya besok. Ia baru sampai di rumah orang tuanya. Dugaannya ternyata benar bahwa rumah yang ditinggali oleh orang tuanya sebelum meninggal itu sudah seperti rumah hantu, bangunan terbengkalai dan tak layak huni. Apa yang dikatakan suaminya pun sepenuhnya benar kalau Pak Ato tidak melakukan pekerjaannya dengan baik, sama seperti masalah kosan yang keadaannya tidak seasri dulu. Namira membuang napas berat, sebelum ia turun untuk mengambil gambar supaya bisa ditunjukkan pada suaminya. Terlebih dahulu ia menghubungi saudara satu-satunya yang ia miliki sebab Bima lah yang menjadikan Pak Ato sebagai penanggung jawab atas bagian luar rumah itu, tapi tak dilakukan dengan benar. Sambungan telepon itu tak kunjung mendapatkan jawaban sampai wanita itu berdecak sebal. "Mana, sih, Kak Bima? Kenapa nggak angkat teleponnya?"
Sepeninggal istri dan anak juga Pak Marwan. Laki-laki yang kedapatan pergi besok untuk menyusul Namira kini tengah duduk di meja makan.Lebih tepatnya Arhan mengikuti langkah Bi Ida hingga dapur. Ia duduk di sana sementara wanita paruh baya itu menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda karena kepergian majikannya.Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tak ada yang berniat membuka suara. Apalagi Bi Ida meskipun sudah lama bekerja dengan Arhan, jika di hadapkan dengan laki-laki itu tetap saja bingung mau memulai pembicaraan apa untuk memecah keheningan.Suasana diantara mereka terkesan canggung meskipun Bi Ida saat ini tengah membelakangi majikannya. Arhan pula tak memedulikan apa yang dilakukan pembantunya di sana. Laki-laki itu hanya merasa kesepian setelah kepergian istri beserta anaknya, jadi di sanalah ia sekarang. Mengalihkan kekosongan dengan kehadiran wanita yang sibuk dengan aktivitasnya.Arhan memainkan ponsel sejak tadi. Ia mulai melancarkan aksi untuk membuat Raya
“Doain lancar dan selamat sampai tujuan, ya, Mas.”Namira mengutarakan permohonan dari ketakutan sebab akan menempuh perjalanan berjam-jam tanpa didampingi suaminya. Ia hanya akan ditemani oleh Pak Marwan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Tentu ini juga menjadi pengalaman pertama selama menikah. Biasanya kemanapun dan mau sejauh apapun pasti Arhan akan selalu berada di sampingnya untuk menemani dan berbagi tugas atas Elio. Namun kali ini sepertinya ia akan mengendalikan dirinya sendiri sebelum laki-laki itu menyusul ke Bandung.Pelukan Namira semakin lama semakin erat. Tak mau berpisah dengan suaminya yang justru tengah merasakan kegembiraan sebab tingkah laku wanita itu yang manja. Berbeda dengan bayangannya saat laki-laki itu mengajaknya pulang. Ia kira yang akan didapatkan itu gerutuan, tatapan sinis, bahkan menghindari dirinya, tapi ternyata semua itu terjadi sebaliknya. Contohnya seperti sekarang ini.“Selalu aku doakan, Sayang. Nanti di sana minta tolong sa