“Istri saya mana, Bi?”Sebuah suara mengejutkan Bi Ida yang tengah melamun di depan kompor sembari memanaskan makan siang yang tak tersentuh sama sekali. Pandangannya beralih dari wajan ke sosok Arhan yang berdiri tak jauh dari dapur. Penampilan laki-laki itu masih rapi dengan wajah yang nampak cerah, berbeda dengan istrinya yang berantakan dan memilih mengurung diri sepulang dari berbelanja. “Ada di kamar Mas, tidur. Mbak Nami juga belum makan siang, saya nggak tega mau banguninnya.”Arhan mengernyitkan dahinya. “Suhu badannya normal, kan?”“Pas tadi saya cek sih normal, Mas.” Hanya itu yang mampu Bi Ida sampaikan. Ia tak kuasa memberitahu laki-laki itu mengenai kejadian hari ini yang membuat wanita di balik pintu bercat putih di lantai atas itu sampai enggan untuk keluar dari kamar. Padahal biasanya mereka akan menghabiskan waktu di ruang tamu sembari menunggu Arhan pulang.Bi Ida melangkah sedikit menjauh dari dapur untuk kembali menatapi pintu kamar majikannya yang masih tertutup.
“Sayang,” panggil Arhan lirih. Ia melihat ada butiran air mata yang jatuh membasahi pipi Namira yang masih asik menyusui Elio. Pandangan wanita itu jatuh pada lantai dingin di kakinya setelah memperlihatkan foto beserta video yang menampilkan dirinya.“Mas itu kenapa, sih? Harus banget buat aku selalu overthinking?” tanya Namira dengan suara bergetar, masih dengan posisi yang sama. Tak kuasa melihat langsung wajah suaminya yang tengah menatapnya sejak tadi.Tangan kiri Namira yang menganggur Arhan raih untuk ia genggam dan mengusapnya dengan lembut. “Maaf Sayang karena nggak bilang sama kamu. Tolong dengerin dulu penjelasan aku, ya?”Setelah mengucapkan permintaan maaf dan meminta kesediaan sang istri untuk mendengarkan penjelasannya, Arhan bergeming sejenak. Ia masih menunggu respon Namira yang masih terdiam. Membiarkan permintaan itu mengambang tanpa ada kejelasan.Arhan akhirnya angkat bicara, berinisiatif menjelaskannya sendiri meskipun ada kemungkinan jika wanita yang masih sibuk
Namira menunggu di sofa panjang yang tersedia di kamar. Pikirannya melayang pada rencana yang semula akan ia lakukan secara diam-diam untuk menyelidiki kedekatan sang suami dan mantan kekasihnya. Ia bahkan sudah meminta Bi Ida dan Pak Marwan untuk bekerja sama dalam misinya.Namun ungkapan Nima yang Bi Ida sampaikan beberapa jam yang lalu membuatnya melupakan segala aksi yang sudah terencana di dalam kepala. Segala persiapan tiba-tiba buyar, tergantikan dengan upaya untuk kabur bersama Elio dari sang suami.Banyak tempat yang ia pikirkan untuk bersembunyi, tapi sayang tak ada yang membuatnya merasa aman dan nyaman sehingga lagi-lagi pilihan terakhirnya hanya menjurus pada laki-laki yang dua tahun lalu ia nikahi. Ketika memikirkan itu, semuanya tampak tak adil untuk dirinya yang sebatang kara.“Lagi ngelamunin apa?” tanya Arhan menyentak kesadaran wanita yang memandang lurus tanpa ekspresi. Kedatangannya bahkan tak dipedulikan oleh istrinya.Arhan duduk di samping Namira setelah menegu
Namira seolah tak peduli jika kaca mobil yang biasa ia gunakan sudah berubah sesuai yang ia inginkan sebelumnya. Mungkin jika sedang tidak ada dalam situasi seperti sekarang ini, ia akan senang bukan main karena laki-laki itu mengusahakan dengan harapan menyenangkan hatinya. Namun keadaan membuatnya tak boleh fokus pada hal itu, hatinya seolah ingin segara mendengar alasan Arhan dan Raya bertemu pada malam hari tanpa sepengetahuan dirinya.Kilatan amarah yang dibungkus rapi oleh ekspresi dingin itu tak membuatnya tidak terlihat. Arhan bisa melihat jika masalah yang berhubungan dengan Raya tak bisa lagi ditunda. Wanita itu sudah tak sabar menunggu penjelasan yang akan ia sampaikan.“Tentang itu ….” Arhan memberi jeda pada kalimatnya. Ia tengah menimang apakah yang akan ia ucapkan ini bisa dipahami atau tidak oleh Namira. Sejenak ia terpikir tentang sesuatu yang mungkin akan menyelamatkannya saat ini, namun bisa saja akan berdampak buruk suatu saat nanti.Namira membuang napas kasar ser
“Sembarangan kamu!” seru Arhan tak terima.Kalimat terakhir Namira sangat keterlaluan karena sampai menyimpulkan seperti itu. Sejak mendapatkan permintaan untuk menikahi istrinya, dari dulu hingga saat ini, Arhan tak pernah sampai terbersit akan menceraikan sang istri. Pernikahan itu bagi dirinya bukan sekedar main-main atau ajang coba-coba, apalagi mereka sudah dikaruniai seorang anak. Pikirannya tidak dangkal seperti itu.Namira menyunggingkan senyumnya. “Terus niat kamu sebenarnya apa? Karena kasihan aja sama mereka berdua?” tanya Namira dengan tatapan yang tajam.Suaminya itu bergeming di tempat dengan kepala menunduk, membenarkan ucapan wanita di depannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.“Yang dimintai tolong itu Andri bukan kamu!” seru Namira cukup lantang seraya mendorong dada Arhan dengan jari telunjuknya. Menyadarkan suaminya jika andai saja malam itu laki-laki di depannya tak ikut campur. Keadaannya tidak akan sampai sekacau ini.Arhan meraih tangan istrinya, ia ingin mem
Malam harinya saat jadwal makan malam tiba. Arhan keluar dari ruang kerjanya setelah meregangkan tubuh. Ia tertidur di sofa yang ada di sana. Perdebatan dengan Namira beberapa jam yang lalu ternyata membuatnya kelelahan hingga ia terlelap cukup lama.Arhan tak bisa melihat apapun setelah membuka pintu. Semua lampu di rumahnya belum dinyalakan. Keningnya mengernyit seraya meraih ponsel yang ada di saku celana untuk melihat pukul berapa sekarang sampai rumah dua lantainya dibiarkan gelap gulita, tak lupa ia juga segera menyalakan senter untuk menuntun langkahnya.Jam di ponsel menunjukkan pukul 7.24 malam. Arhan mendesah pelan seraya berjalan ke beberapa titik saklar untuk menyalakan lampu di lantai dua kemudian berlanjut ke lantai satu. Namun yang membuatnya aneh adalah tidak ada sajian makan malam di meja. Pantas saja ketika ia keluar dari ruang kerja tak mencium aroma masakan apapun. Padahal biasanya di jam segini berbagai bebauan yang menggugah selera menguar ke setiap penjuru rumah
“Mbak Nami betulan mau tinggal di sini?”Namira yang mendapat pertanyaan itu hanya mengangguk. Rencana menghukum Arhan kali ini adalah dirinya yang harus hilang dari pandangan laki-laki itu beberapa hari supaya suaminya sadar jika masalah mereka saat ini benar-benar telah membuatnya mengambil tindakan yang tak main-main.Awalnya ia sedikit ragu sebab beberapa kali ada pemikiran yang tiba-tiba terlintas di kepala mengenai Arhan yang pada akhirnya tak mencarinya, melainkan lebih memilih Raya. Jika itu benar terjadi, lalu bagaimana dengan dirinya? Apa yang akan ia lakukan? Apakah pernikahannya akan hancur? Apakah rumah tangganya akan selesai?Namira tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dirinya hanya bisa yakin bahwa Arhan tak akan melakukan hal itu. Semoga suaminya sesuai dengan apa yang ia harapkan. Maka dari itu ia mengambil keputusan untuk meninggalkan laki-laki itu sementara waktu untuk menghukumnya.“Aku bingung harus pergi ke mana, Bi. Ke rumah Ibu pasti cepet ketahuan sama
Keesokan paginya. Teriakan demi teriakan terdengar dari dalam rumah dua lantai. Bi Ida yang baru sampai segera mempercepat langkahnya mendekat ke arah Pak Marwan yang hanya berdiri di depan mobil seraya memandangi bangunan itu.“Ada apa, Pak? Saya kayak dengar teriakan,” ucap Bi Ida sembari menajamkan pendengaran jika suara samar yang sebelumnya melintas ke telinga, sumbernya dari rumah tempat ia bekerja.Pak Marwan menatap Bi Ida sekilas kemudian kembali beralih pada bangunan rumah di depannya. “Dari tadi Mas Arhan sama ibunya bertengkar, Bi.”Bi Ida mengernyitkan kening, fokus wanita itu kini sepenuhnya hanya kepada Pak Marwan. “Kok bisa? Gara-gara apa?”Terdengar helaan napas lelah. “Yang saya dengar, Mbak Nami kabur sama Elio.” Raut wajah Pak Marwan begitu lesu dengan kepala menunduk. Tak menyangka jika pilihan terakhir Namira adalah pergi dari rumah tanpa memberitahu siapapun.“Hah?”“Nggak nyangka, ya, Bi. Mbak Nami pasti sudah nggak bisa lagi menahan semuanya sampai memilih per