Namira seolah tak peduli jika kaca mobil yang biasa ia gunakan sudah berubah sesuai yang ia inginkan sebelumnya. Mungkin jika sedang tidak ada dalam situasi seperti sekarang ini, ia akan senang bukan main karena laki-laki itu mengusahakan dengan harapan menyenangkan hatinya. Namun keadaan membuatnya tak boleh fokus pada hal itu, hatinya seolah ingin segara mendengar alasan Arhan dan Raya bertemu pada malam hari tanpa sepengetahuan dirinya.Kilatan amarah yang dibungkus rapi oleh ekspresi dingin itu tak membuatnya tidak terlihat. Arhan bisa melihat jika masalah yang berhubungan dengan Raya tak bisa lagi ditunda. Wanita itu sudah tak sabar menunggu penjelasan yang akan ia sampaikan.“Tentang itu ….” Arhan memberi jeda pada kalimatnya. Ia tengah menimang apakah yang akan ia ucapkan ini bisa dipahami atau tidak oleh Namira. Sejenak ia terpikir tentang sesuatu yang mungkin akan menyelamatkannya saat ini, namun bisa saja akan berdampak buruk suatu saat nanti.Namira membuang napas kasar ser
“Sembarangan kamu!” seru Arhan tak terima.Kalimat terakhir Namira sangat keterlaluan karena sampai menyimpulkan seperti itu. Sejak mendapatkan permintaan untuk menikahi istrinya, dari dulu hingga saat ini, Arhan tak pernah sampai terbersit akan menceraikan sang istri. Pernikahan itu bagi dirinya bukan sekedar main-main atau ajang coba-coba, apalagi mereka sudah dikaruniai seorang anak. Pikirannya tidak dangkal seperti itu.Namira menyunggingkan senyumnya. “Terus niat kamu sebenarnya apa? Karena kasihan aja sama mereka berdua?” tanya Namira dengan tatapan yang tajam.Suaminya itu bergeming di tempat dengan kepala menunduk, membenarkan ucapan wanita di depannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.“Yang dimintai tolong itu Andri bukan kamu!” seru Namira cukup lantang seraya mendorong dada Arhan dengan jari telunjuknya. Menyadarkan suaminya jika andai saja malam itu laki-laki di depannya tak ikut campur. Keadaannya tidak akan sampai sekacau ini.Arhan meraih tangan istrinya, ia ingin mem
Malam harinya saat jadwal makan malam tiba. Arhan keluar dari ruang kerjanya setelah meregangkan tubuh. Ia tertidur di sofa yang ada di sana. Perdebatan dengan Namira beberapa jam yang lalu ternyata membuatnya kelelahan hingga ia terlelap cukup lama.Arhan tak bisa melihat apapun setelah membuka pintu. Semua lampu di rumahnya belum dinyalakan. Keningnya mengernyit seraya meraih ponsel yang ada di saku celana untuk melihat pukul berapa sekarang sampai rumah dua lantainya dibiarkan gelap gulita, tak lupa ia juga segera menyalakan senter untuk menuntun langkahnya.Jam di ponsel menunjukkan pukul 7.24 malam. Arhan mendesah pelan seraya berjalan ke beberapa titik saklar untuk menyalakan lampu di lantai dua kemudian berlanjut ke lantai satu. Namun yang membuatnya aneh adalah tidak ada sajian makan malam di meja. Pantas saja ketika ia keluar dari ruang kerja tak mencium aroma masakan apapun. Padahal biasanya di jam segini berbagai bebauan yang menggugah selera menguar ke setiap penjuru rumah
“Mbak Nami betulan mau tinggal di sini?”Namira yang mendapat pertanyaan itu hanya mengangguk. Rencana menghukum Arhan kali ini adalah dirinya yang harus hilang dari pandangan laki-laki itu beberapa hari supaya suaminya sadar jika masalah mereka saat ini benar-benar telah membuatnya mengambil tindakan yang tak main-main.Awalnya ia sedikit ragu sebab beberapa kali ada pemikiran yang tiba-tiba terlintas di kepala mengenai Arhan yang pada akhirnya tak mencarinya, melainkan lebih memilih Raya. Jika itu benar terjadi, lalu bagaimana dengan dirinya? Apa yang akan ia lakukan? Apakah pernikahannya akan hancur? Apakah rumah tangganya akan selesai?Namira tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dirinya hanya bisa yakin bahwa Arhan tak akan melakukan hal itu. Semoga suaminya sesuai dengan apa yang ia harapkan. Maka dari itu ia mengambil keputusan untuk meninggalkan laki-laki itu sementara waktu untuk menghukumnya.“Aku bingung harus pergi ke mana, Bi. Ke rumah Ibu pasti cepet ketahuan sama
Keesokan paginya. Teriakan demi teriakan terdengar dari dalam rumah dua lantai. Bi Ida yang baru sampai segera mempercepat langkahnya mendekat ke arah Pak Marwan yang hanya berdiri di depan mobil seraya memandangi bangunan itu.“Ada apa, Pak? Saya kayak dengar teriakan,” ucap Bi Ida sembari menajamkan pendengaran jika suara samar yang sebelumnya melintas ke telinga, sumbernya dari rumah tempat ia bekerja.Pak Marwan menatap Bi Ida sekilas kemudian kembali beralih pada bangunan rumah di depannya. “Dari tadi Mas Arhan sama ibunya bertengkar, Bi.”Bi Ida mengernyitkan kening, fokus wanita itu kini sepenuhnya hanya kepada Pak Marwan. “Kok bisa? Gara-gara apa?”Terdengar helaan napas lelah. “Yang saya dengar, Mbak Nami kabur sama Elio.” Raut wajah Pak Marwan begitu lesu dengan kepala menunduk. Tak menyangka jika pilihan terakhir Namira adalah pergi dari rumah tanpa memberitahu siapapun.“Hah?”“Nggak nyangka, ya, Bi. Mbak Nami pasti sudah nggak bisa lagi menahan semuanya sampai memilih per
Sejak bekerja pada Arhan. Bi Ida dan Pak Marwan tidak pernah sekalipun penasaran dengan apa yang terjadi dengan kehidupan majikannya itu. Selama ini keduanya hanya fokus pada tugas masing-masing.Penuturan yang di serukan oleh wanita yang telah melahirkan Arhan itu tentu menjadi kabar mengejutkan bagi keduanya. Dari nada yang tak ramah mereka menyimpulkan jika Ibu mertua Namira itu tidak setuju. Namun wanita itu juga seolah tak bisa mengabaikan hal itu.Dulu kabar mengejutkan tentang pernikahan yang mereka kira terlalu mendadak ternyata bukan perjodohan yang sebelumnya sudah disepakati oleh dua keluarga, tapi hanya berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh mendiang ayahnya Arhan.Apakah itu alasan Namira jarang mengunjungi rumah mertuanya?Namira pasti sudah bisa merasakan kejanggalan itu setelah menikah dengan Arhan, karena tidak mungkin jika di masa perkenalan Ibu mertuanya menunjukkan sikap yang tidak suka pada wanita itu. Apalagi memperlihatkannya di depan keluarga besar.Pa
Namira mengecek satu persatu pesan yang masuk ke ponsel yang sebelumnya sudah ia matikan mode pesawatnya ketika hendak mulai memasak. Saat ini wanita itu memilih mengabaikan sang anak serta ayam kukus buatannya beberapa saat yang lalu. Tak hanya itu, bunyi keroncongan perutnya pun seolah bukan sesuatu yang penting. Ia kini hanya fokus pada satu foto dan deretan pesan dari satu nomor yang ia beri nama ‘Mama’.Gambar yang dikirim oleh Ibu mertuanya itu menampilkan keadaan rumah yang kacau. Semua benda berserakan di mana-mana, bahkan ia bisa melihat ada pecahan gelas kaca dan vas bunga di sana. Di sudut lain pada foto yang ia terima, ada seseorang yang tertangkap kamera ponsel Ibu mertuanya, tengah berselonjor kaki dengan punggung bersandar lesu pada tangan sofa di ruang tamu. Wajahnya basah dengan air mata serta raut yang sedih.“Pulang sekarang, Mir.” Pesan pertama itu Namira baca dengan tersenyum miring. Dalam kalimat yang dikirim pun seolah ia bisa mendengar nada yang digunakan oleh
Ternyata laporan tentang keadaan rumah yang berantakan bukan akal-akalan Ibu mertuanya saja. Namira baru bisa percaya setelah Bi Ida membalas dengan mengirimkan foto sebelum dan sesudahnya rumah itu dibersihkan.Namira menghela napas berat mengetahui apa yang sudah suaminya lakukan. Bisa-bisanya Arhan melakukan hal itu, padahal kepergiannya belum sampai dua puluh empat jam. “Papa kamu kenapa kayak anak kecil, ya, El?” tanya wanita itu pada sang anak yang tengah asik bermain dengan jari-jarinya sembari menyusu.Emosinya yang sebelumnya memenuhi dada seketika menguar begitu saja kala melihat bagian dalam rumah yang ditinggalkannya sudah kembali rapi seperti semula saat ia masih di sana.Bi Ida juga menyampaikan jika hari ini Arhan memilih istirahat di kamar, sementara Ibu mertuanya pulang kala wanita paruh baya itu diizinkan masuk untuk membereskan semua barang yang berserakan ulah majikannya.Beruntungnya ada Pak Marwan yang bebas dari tugas hari ini, jadi laki-laki paruh baya itu bisa