Arhan menatap nanar semua tumpukan kado di bagasi mobilnya saat ini. Ia masih ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya, tapi tak ada satupun kado yang diberikan khusus untuknya, bahkan dari istrinya sendiri pun tidak ada.Sebenarnya ia bisa maklum karena yang dilakukan Namira tidak membutuhkan biaya sedikit. Dari toko dan villa yang didekorasi lengkap dengan kue-kue dan aksesoris lain supaya lebih menarik saja pasti menguras isi ATM-nya. Ditambah menyewa tempat makan dan semua pesanan yang dibuat tak terbatas.Hatinya senang kala Andri menyerahkan bingkisan kado yang tidak terlalu besar, ia tak menduga-duga isinya apa atau harganya berapa. Tapi boleh dikatakan ia seperti anak kecil yang senang ketika orang lain memberinya hadiah.Senyumnya melebar kala ia menerima kado itu, ucapan terima kasih pun tak lupa ia sampaikan. Namun tangan Andri melengos berubah ke arah lain, menyerahkan kado itu kepada Elio yang ada di pangkuan istrinya.“Bapak sudah tidak pantas mendapatkan kado sep
“Mas mau makan lagi nggak?” tanya Namira yang berjalan mendekat ke arah suaminya. Di tangannya ada dua gelas minuman berisikan teh panas yang baru saja dibuat. Wanita itu menyerahkan satu gelas kepada sang suami, lantas ia duduk di sampingnya, yang langsung disambut hangat oleh pelukan laki-laki itu.“Masih kenyang, Ay,” jawab Arhan sembari tersenyum.Sesuai ucapannya saat di mobil tadi, laki-laki itu mengajak istrinya untuk bersantai di teras belakang villa yang lebih nyaman dan juga tertutup, di sekelilingnya dipenuhi kaca besar sehingga pepohonan terlihat dari dalam jika gorden tak diturunkan.Ada kursi panjang yang beralaskan busa tipis di atasnya, sayangnya tidak tersedia meja di sana. Namun terdapat ruang untuk menyimpan barang-barang kecil yang sejajar dengan kepala mereka saat duduk.Suasana malam ini begitu hangat dengan pemandangan pepohonan rindang yang disoroti lampu-lampu berwarna kuning di sepanjang pagar. Keduanya duduk di sudut dengan tubuh dilapisi jaket tebal.Belum
Pada pukul enam pagi, Namira sudah sibuk mondar-mandir dari kamar tidur, dapur, hingga ruang tamu. Banyak sekali yang wanita itu kerjakan sejak langit masih gelap, Bi Ida pun bahkan belum keluar kamar untuk memulai pekerjaannya.Saat ini entah keluar masuk yang ke berapa wanita itu lakukan setelah Arhan membuka mata. Sengaja laki-laki itu tak menegur dengan harap sang istri akan menyadari kalau dirinya sudah bangun dan tengah menatap serta mengawasi pergerakan wanita itu yang kini hendak pergi lagi setelah urusan di sana selesai, tubuh ramping itu sudah kembali berjalan mencapai pintu.“Kamu ngapain, Ay? Masih pagi loh ini.”Langkah Namira terhenti. Kepalanya menoleh sebentar, lantas berbalik dan mendekat saat melihat suaminya yang sudah membuka mata. Tubuh laki-laki itu masih dibalut selimut, memastikan kain tebal yang membungkusnya tak bergeser sedikitpun sebab cuaca dingin pagi ini tidak bisa ia hadapi hanya dengan piyama tidur yang dikenakannya.Satu kecupan berlabuh di bibir Arha
Sebenarnya bukan hanya Arhan yang kesulitan tidur tadi malam, Namira pun dalam keadaan yang sama. Rasa kantuknya hilang seketika setelah mengetahui Iyan yang mencarinya sampai ke kantor sang suami, bahkan sampai bertanya pada pegawai di sana.Tak habis pikir dengan cara kerja otak mantan kekasihnya yang seolah mengibarkan bendera perang kepada suaminya. Tak tahu juga maksud dari tindakannya itu apa. Apa benar mencari dirinya atau hanya untuk memanasi Arhan?Namira yakin Iyan melakukan hal itu karena semua akses untuk menghubunginya ditutup. Maka dengan nekat laki-laki itu mendatangi tempat kerja Arhan.Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri tadi malam sampai melupakan waktu tidurnya. Namira bergegas keluar bersama Elio kala anaknya menangis. Ia takut hal itu akan membangunkan sang suami yang baru merebahkan diri di tengah malam.“Mas mau kopi?” tanya Namira yang masih dalam posisi yang sama.Arhan mengangguk dengan lemas, bibirnya t
Ini adalah momen yang paling Arhan nantikan setelah meratapi semua kado itu ditujukan untuk Elio. Laki-laki itu tak peduli, ia akan membuka satu persatu tumpukan hadiah dengan berbagai motif di depannya itu, berharap ada hadiah untuknya yang terselip.“Emangnya Mas belum pernah dapet kado?” tanya Namira seraya mengambil satu kado dengan ukuran sedang. Tangannya lihai membuka setiap selotip yang menempel, sehingga kertas pembungkus dengan motif mobil itu masih dalam keadaan yang baik-baik saja saat isinya sudah sepenuhnya terlihat.“Nggak pernah. Kasian banget, ya?” Arhan menjawab dengan nada memelas. Mengasihani diri sendiri yang nyatanya belum pernah mendapatkan kado sebanyak yang Elio dapatkan sekarang.“Bohong,” sindir Namira tak percaya.Laki-laki itu diam sejenak. Ia tengah berpikir. “Eh? Pernah, deh, kayaknya.”“Dari siapa?” tanya Namira penasaran.Arhan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya kepada sang istri. “Dari Raya.”“Siapa Raya?” tanya Namira lagi dengan dahi mengerny
“Lagi sibuk nggak, Bi?” tanya Arhan kepada sekretarisnya yang ada di ujung telepon.“Tidak, Pak. Ada perlu apa, ya, Pak?”“Tolong cari tahu tentang cowok yang nanyain istri saya kemarin, ya.”“Sekarang, Pak?” Bianca bertanya dengan nada terkejut. Arhan bisa mendengar kegaduhan di sana, suara orang-orang yang berbincang dengan nyaman.Arhan yang merasa tidak enak karena waktu yang kurang tepat ketika meminta Bianca melakukan perintahnya segera menjawab, “Kalau kamu lagi di luar, kerjakan nanti saja.”“Nanti malam tidak apa-apa, Pak?”“Bianca lagi nongkrong, Pak. Jangan di ganggu.” Seseorang berteriak di seberang telepon. Arhan tahu itu suara siapa. Laki-laki yang bekerja di departemen SDM itu selalu bisa membuatnya sadar kalau semua pegawai tidak seperti dirinya yang gila kerja sampai mengesampingkan waktu libur.“Maaf, ya, saya tidak tahu waktu.”“Tidak apa-apa, Pak. Nanti saya kabari kalau sudah mendapatkan informasinya.”Arhan menutup sepihak sambungan telepon itu setelah tahu keber
Dalam setengah tidurnya Namira mendengar tawa yang saling bersahutan. Suara itu tampak tak asing, separuh suara kecil dan menggemaskan, separuh lagi tawa besar yang menghangatkan.Kelopak mata wanita yang sejak tadi tidur itu kini terbuka sepenuhnya. Sejenak ia melamun seraya mengumpulkan energi untuk menggerakkan tubuhnya ke sumber suara.Tawa-tawa itu tidak mengganggu tidurnya. Waktu istirahat sebagai pengganti malamnya yang terlewat begitu saja tanpa memejamkan mata sudah cukup ia gunakan.Setelah merasa semua energi itu terkumpul, Namira turun dari ranjang. Selimut yang menutupi separuh tubuhnya itu ia singkirkan. Lantas melipat dengan rapi dan menaruhnya ke tempat semula.Langit siang hari ini sangat cerah dengan matahari yang menyinari di atas kepala serta hamparan biru dengan gumpalan awan yang menghiasi. Mengganti hawa dingin pagi tadi menjadi lebih hangat.Langkahnya Namira bawa pada bagian belakang villa yang menyediakan kolam renang tidak terlalu besar. Cukup untuk sekedar
“Mas liat ini, deh.”Arhan segera mendekat ke arah sang istri setelah selesai menjalankan tugas untuk memindahkan sang anak ke kamar. Elio tertidur lelap tak lama selesai makan. Acara berenang tadi sepertinya benar-benar menguras energi bayi itu.Suaminya itu melompat dari arah belakang melewati sandaran sofa bahkan hampir mengenai wajah Namira yang tepat berada di sampingnya. Laki-laki itu mendapat dengusan dari istrinya karena tindakan itu.Namira menyerahkan ponsel kepada sang suami, memperlihatkan beberapa pesan yang masuk ke nomor barunya. “Kayaknya ini Iyan,” ujarnya tengah menduga-duga.“Dia tahu nomor kamu dari mana?” tanya Arhan yang mengernyit heran.Namira menggeleng dengan wajah cemas. “Nggak tau aku juga.”Pasalnya nomor Namira itu baru dan tak banyak orang yang tahu. Seperti yang wanita itu ucapkan, kontak di ponselnya saat terakhir kali ia lihat hanya keluarga saja. Tidak mungkin Bima dan Vita yang menyebarkan nomor sang istri. Apalagi ibunya, wanita yang belakangan sib
Entah pada kata yang mana, hati Iyan melembut sejenak mendengar permintaan maaf dari Raya. Namun tak lama ia kembali mengamuk. Dalam kesadarannya mendadak tak terima jika ia mengampuni wanita itu dengan mudah. Padahal ini sudah berlangsung bertahun-tahun.Iyan berteriak. Menepis tangan Arhan yang mencoba menahan untuk tak kembali menerjang Raya. Laki-laki itu berlalu pergi keluar sampai membuat Namira melongo dan meminta suaminya untuk mengejar sebab masalah mereka belum selesai. Rencana ini harus tetap berjalan bagaimana pun caranya.Saat Namira tengah meminta suaminya untuk melakukan sesuatu, Iyan kembali masuk dengan cara berjalan mundur. Di depannya ada dua orang bertubuh kekar yang menghadang langkah laki-laki itu yang akan meninggalkan villa.“Apa maksudnya ini?” tanya Iyan pada Arhan yang menyunggingkan senyum. Kini tubuhnya sudah sepenuhnya berbalik dan dua orang tak dikenal itu berdiri di belakangnya.Arhan memasukkan dua tangannya pada saku celana. “Siapa yang izinin kamu pe
Iyan refleks berdiri. Ia menghadang Arhan yang berjalan mendekat ke arah mereka seorang diri. Laki-laki itu tahu alasan Namira kabur karena sang suami yang berselingkuh sehingga membuat wanita itu memilih pergi. Ia mencoba melindungi mantan kekasihnya dari suaminya, takut-takut akan menarik pulang dengan paksa apalagi melihat tengah bersama dengan dirinya.Mata kedua laki-laki itu bertemu, saling memandang dengan tatapan sengit penuh pertarungan lewat sorot yang tajam. Langkah Arhan begitu tegas, tapi tak membuat Iyan ciut hanya karena hal itu. Laki-laki itu justru semakin mengepalkan tangan yang terentang, menyembunyikan Namira beserta anaknya di balik punggung. “Kamu diem di situ aja. Biar aku yang hadapi dia.”Andai Namira tengah berada dalam huru-hara rumah tangga yang sebenarnya atau kejadian saat ini sesuai dengan yang Iyan pikirkan, sudah pasti ia terbuai dengan apa yang mantan kekasihnya itu lakukan.Sikap Iyan benar-benar mencerminkan seorang laki-laki pelindung, yang kebanya
Karena tiba-tiba ada rencana yang harus dirubah sebab keberadaan Iyan yang tak di sangka-sangka ternyata ada di hotel yang sama dengan Namira. Wanita itu dengan spontan menjalankan rencana di luar yang sudah disepakati.Namira pikir, mengoptimalkan rencana untuk menggaet Iyan tanpa meninggalkan curiga adalah usaha untuk membuat laki-laki itu tetap ada dalam jangkauannya. Itu sebabnya ia meminta tolong pada sang mantan kekasih untuk mengantar dirinya ke villa.Semula Namira merasa bangga akan hal itu, tapi ternyata malah menjadi boomerang untuknya sampai semalaman terpikirkan beberapa kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya dan sang anak.Beruntung semalam Pak Marwan sudah mendapatkan kunci dari sang pemilik villa, jadi pagi ini Namira tinggal menempatinya saja tanpa dicurigai oleh Iyan.Sesampainya mereka di villa. Iyan dengan sigap membantu menurunkan barang-barang milik Namira. Dua tas jinjing di kedua tangannya bukanlah sesuatu yang merepotkan, beratnya saja tak terasa menurut
Akhirnya mereka sampai pada hari di mana akan membungkam dan membuat Iyan dan Raya tak bisa berkutik lagi. Namira berharap semuanya berjalan lancar hari ini supaya bisa fokus pada hal lain yang tak kalah penting.Karena nyatanya masalah yang menimpa rumah tangganya bisa berpengaruh besar ke segala hal dalam hidup mereka, tak terkecuali dampak utamanya adalah hubungannya dengan Arhan.Berbicara tentang hari ini, semalam Namira sudah memberitahu Arhan semuanya mengenai pertemuan tak sengajanya dengan Iyan. Memang ia tak tahu apa yang sebenarnya mantan kekasihnya itu lakukan di Bandung.Namun mengingat laki-laki itu memang asli orang Bandung dan orang tuanya yang baru ia ketahui ternyata Pak Ato juga ada di kota yang sama dengannya saat ini. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau salah satunya urusan Iyan adalah mengunjungi ayahnya.Jika diperkenankan untuk berpikir lebih luas lagi. Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran Namira tentang keberadaan Iyan yang katanya baru sampai kemarin. Apa
Sesampainya di lobi hotel, Namira menghampiri resepsionis terlebih dahulu untuk mengkonfirmasi pesanannya yang dilakukan melalui sebuah aplikasi yang bekerja sama dengan hotel tersebut.Namira tidak langsung pergi untuk beristirahat dengan nyaman, ia memilih untuk duduk sebentar di lobi hotel sembari menunggu Pak Marwan selesai mengangkut semua barang bawaan mereka.Dalam beberapa detik mata Namira menangkap sosok laki-laki yang sebelumnya tidak ia ketahui keberadaannya. Bahkan ia sempat kebingungan untuk membuat sang mantan kekasih untuk mau menemuinya, tapi Tuhan sepertinya tengah berpihak padanya saat ini.Senyum Namira tersungging senang, lalu ia merapikan penampilannya. Satu tas yang tergeletak tak jauh darinya dengan ukuran sedang dan tidak terlalu berat semakin membuat otaknya bekerja lebih cepat. Semua pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan Iyan sudah memiliki jawaban di kepalanya.Mata mereka bertemu kala Namira mengangkat kepala. Ia bisa melihat bahwa Iyan terkejut dengan
“Pak kita ke villa dulu, ya,” ucap Namira yang seketika teringat jika tugas kedua setelah mengecek kondisi rumah orang tuanya adalah mengunjungi penginapan yang sebelumnya mereka sewa untuk melancarkan aksinya besok.Tak ada anggukan atau sesuatu yang menunjukkan kesediaan Pak Marwan dalam menunaikan perintah majikannya itu. Namira sempat mengernyitkan dahi, tapi tak mau ambil pusing. Sudah pasti laki-laki paruh baya itu akan menuruti segala perintahnya saat ini sebab tidak mungkin menunggu persetujuan suaminya dulu.Namun tiba-tiba mobil yang mereka kendarai, Pak Marwan bawa untuk menepi. “Ada apa, Pak?” tanya Namira yang semakin mengernyitkan dahinya. Ia menatap sekeliling, jelas sekali saat ini mereka belum sampai di villa apalagi hotel.Sang sopir itu mengeluarkan ponselnya tanpa berniat mengucapkan apapun kepada Namira yang seketika menjadi marah sebab beranggapan kalau Pak Marwan akan menghubungi suaminya untuk meminta izin membawanya ke villa bukan ke hotel, sesuai yang Arhan u
Berbeda dengan Arhan yang sudah melacarkan aksinya sebelum ia benar-benar pergi ke Bandung. Namira justru sama sekali belum melakukan apapun untuk membuat Iyan mau menemuinya besok. Ia baru sampai di rumah orang tuanya. Dugaannya ternyata benar bahwa rumah yang ditinggali oleh orang tuanya sebelum meninggal itu sudah seperti rumah hantu, bangunan terbengkalai dan tak layak huni. Apa yang dikatakan suaminya pun sepenuhnya benar kalau Pak Ato tidak melakukan pekerjaannya dengan baik, sama seperti masalah kosan yang keadaannya tidak seasri dulu. Namira membuang napas berat, sebelum ia turun untuk mengambil gambar supaya bisa ditunjukkan pada suaminya. Terlebih dahulu ia menghubungi saudara satu-satunya yang ia miliki sebab Bima lah yang menjadikan Pak Ato sebagai penanggung jawab atas bagian luar rumah itu, tapi tak dilakukan dengan benar. Sambungan telepon itu tak kunjung mendapatkan jawaban sampai wanita itu berdecak sebal. "Mana, sih, Kak Bima? Kenapa nggak angkat teleponnya?"
Sepeninggal istri dan anak juga Pak Marwan. Laki-laki yang kedapatan pergi besok untuk menyusul Namira kini tengah duduk di meja makan.Lebih tepatnya Arhan mengikuti langkah Bi Ida hingga dapur. Ia duduk di sana sementara wanita paruh baya itu menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda karena kepergian majikannya.Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tak ada yang berniat membuka suara. Apalagi Bi Ida meskipun sudah lama bekerja dengan Arhan, jika di hadapkan dengan laki-laki itu tetap saja bingung mau memulai pembicaraan apa untuk memecah keheningan.Suasana diantara mereka terkesan canggung meskipun Bi Ida saat ini tengah membelakangi majikannya. Arhan pula tak memedulikan apa yang dilakukan pembantunya di sana. Laki-laki itu hanya merasa kesepian setelah kepergian istri beserta anaknya, jadi di sanalah ia sekarang. Mengalihkan kekosongan dengan kehadiran wanita yang sibuk dengan aktivitasnya.Arhan memainkan ponsel sejak tadi. Ia mulai melancarkan aksi untuk membuat Raya
“Doain lancar dan selamat sampai tujuan, ya, Mas.”Namira mengutarakan permohonan dari ketakutan sebab akan menempuh perjalanan berjam-jam tanpa didampingi suaminya. Ia hanya akan ditemani oleh Pak Marwan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Tentu ini juga menjadi pengalaman pertama selama menikah. Biasanya kemanapun dan mau sejauh apapun pasti Arhan akan selalu berada di sampingnya untuk menemani dan berbagi tugas atas Elio. Namun kali ini sepertinya ia akan mengendalikan dirinya sendiri sebelum laki-laki itu menyusul ke Bandung.Pelukan Namira semakin lama semakin erat. Tak mau berpisah dengan suaminya yang justru tengah merasakan kegembiraan sebab tingkah laku wanita itu yang manja. Berbeda dengan bayangannya saat laki-laki itu mengajaknya pulang. Ia kira yang akan didapatkan itu gerutuan, tatapan sinis, bahkan menghindari dirinya, tapi ternyata semua itu terjadi sebaliknya. Contohnya seperti sekarang ini.“Selalu aku doakan, Sayang. Nanti di sana minta tolong sa