“Mas mau makan lagi nggak?” tanya Namira yang berjalan mendekat ke arah suaminya. Di tangannya ada dua gelas minuman berisikan teh panas yang baru saja dibuat. Wanita itu menyerahkan satu gelas kepada sang suami, lantas ia duduk di sampingnya, yang langsung disambut hangat oleh pelukan laki-laki itu.“Masih kenyang, Ay,” jawab Arhan sembari tersenyum.Sesuai ucapannya saat di mobil tadi, laki-laki itu mengajak istrinya untuk bersantai di teras belakang villa yang lebih nyaman dan juga tertutup, di sekelilingnya dipenuhi kaca besar sehingga pepohonan terlihat dari dalam jika gorden tak diturunkan.Ada kursi panjang yang beralaskan busa tipis di atasnya, sayangnya tidak tersedia meja di sana. Namun terdapat ruang untuk menyimpan barang-barang kecil yang sejajar dengan kepala mereka saat duduk.Suasana malam ini begitu hangat dengan pemandangan pepohonan rindang yang disoroti lampu-lampu berwarna kuning di sepanjang pagar. Keduanya duduk di sudut dengan tubuh dilapisi jaket tebal.Belum
Pada pukul enam pagi, Namira sudah sibuk mondar-mandir dari kamar tidur, dapur, hingga ruang tamu. Banyak sekali yang wanita itu kerjakan sejak langit masih gelap, Bi Ida pun bahkan belum keluar kamar untuk memulai pekerjaannya.Saat ini entah keluar masuk yang ke berapa wanita itu lakukan setelah Arhan membuka mata. Sengaja laki-laki itu tak menegur dengan harap sang istri akan menyadari kalau dirinya sudah bangun dan tengah menatap serta mengawasi pergerakan wanita itu yang kini hendak pergi lagi setelah urusan di sana selesai, tubuh ramping itu sudah kembali berjalan mencapai pintu.“Kamu ngapain, Ay? Masih pagi loh ini.”Langkah Namira terhenti. Kepalanya menoleh sebentar, lantas berbalik dan mendekat saat melihat suaminya yang sudah membuka mata. Tubuh laki-laki itu masih dibalut selimut, memastikan kain tebal yang membungkusnya tak bergeser sedikitpun sebab cuaca dingin pagi ini tidak bisa ia hadapi hanya dengan piyama tidur yang dikenakannya.Satu kecupan berlabuh di bibir Arha
Sebenarnya bukan hanya Arhan yang kesulitan tidur tadi malam, Namira pun dalam keadaan yang sama. Rasa kantuknya hilang seketika setelah mengetahui Iyan yang mencarinya sampai ke kantor sang suami, bahkan sampai bertanya pada pegawai di sana.Tak habis pikir dengan cara kerja otak mantan kekasihnya yang seolah mengibarkan bendera perang kepada suaminya. Tak tahu juga maksud dari tindakannya itu apa. Apa benar mencari dirinya atau hanya untuk memanasi Arhan?Namira yakin Iyan melakukan hal itu karena semua akses untuk menghubunginya ditutup. Maka dengan nekat laki-laki itu mendatangi tempat kerja Arhan.Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri tadi malam sampai melupakan waktu tidurnya. Namira bergegas keluar bersama Elio kala anaknya menangis. Ia takut hal itu akan membangunkan sang suami yang baru merebahkan diri di tengah malam.“Mas mau kopi?” tanya Namira yang masih dalam posisi yang sama.Arhan mengangguk dengan lemas, bibirnya t
Ini adalah momen yang paling Arhan nantikan setelah meratapi semua kado itu ditujukan untuk Elio. Laki-laki itu tak peduli, ia akan membuka satu persatu tumpukan hadiah dengan berbagai motif di depannya itu, berharap ada hadiah untuknya yang terselip.“Emangnya Mas belum pernah dapet kado?” tanya Namira seraya mengambil satu kado dengan ukuran sedang. Tangannya lihai membuka setiap selotip yang menempel, sehingga kertas pembungkus dengan motif mobil itu masih dalam keadaan yang baik-baik saja saat isinya sudah sepenuhnya terlihat.“Nggak pernah. Kasian banget, ya?” Arhan menjawab dengan nada memelas. Mengasihani diri sendiri yang nyatanya belum pernah mendapatkan kado sebanyak yang Elio dapatkan sekarang.“Bohong,” sindir Namira tak percaya.Laki-laki itu diam sejenak. Ia tengah berpikir. “Eh? Pernah, deh, kayaknya.”“Dari siapa?” tanya Namira penasaran.Arhan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya kepada sang istri. “Dari Raya.”“Siapa Raya?” tanya Namira lagi dengan dahi mengerny
“Lagi sibuk nggak, Bi?” tanya Arhan kepada sekretarisnya yang ada di ujung telepon.“Tidak, Pak. Ada perlu apa, ya, Pak?”“Tolong cari tahu tentang cowok yang nanyain istri saya kemarin, ya.”“Sekarang, Pak?” Bianca bertanya dengan nada terkejut. Arhan bisa mendengar kegaduhan di sana, suara orang-orang yang berbincang dengan nyaman.Arhan yang merasa tidak enak karena waktu yang kurang tepat ketika meminta Bianca melakukan perintahnya segera menjawab, “Kalau kamu lagi di luar, kerjakan nanti saja.”“Nanti malam tidak apa-apa, Pak?”“Bianca lagi nongkrong, Pak. Jangan di ganggu.” Seseorang berteriak di seberang telepon. Arhan tahu itu suara siapa. Laki-laki yang bekerja di departemen SDM itu selalu bisa membuatnya sadar kalau semua pegawai tidak seperti dirinya yang gila kerja sampai mengesampingkan waktu libur.“Maaf, ya, saya tidak tahu waktu.”“Tidak apa-apa, Pak. Nanti saya kabari kalau sudah mendapatkan informasinya.”Arhan menutup sepihak sambungan telepon itu setelah tahu keber
Dalam setengah tidurnya Namira mendengar tawa yang saling bersahutan. Suara itu tampak tak asing, separuh suara kecil dan menggemaskan, separuh lagi tawa besar yang menghangatkan.Kelopak mata wanita yang sejak tadi tidur itu kini terbuka sepenuhnya. Sejenak ia melamun seraya mengumpulkan energi untuk menggerakkan tubuhnya ke sumber suara.Tawa-tawa itu tidak mengganggu tidurnya. Waktu istirahat sebagai pengganti malamnya yang terlewat begitu saja tanpa memejamkan mata sudah cukup ia gunakan.Setelah merasa semua energi itu terkumpul, Namira turun dari ranjang. Selimut yang menutupi separuh tubuhnya itu ia singkirkan. Lantas melipat dengan rapi dan menaruhnya ke tempat semula.Langit siang hari ini sangat cerah dengan matahari yang menyinari di atas kepala serta hamparan biru dengan gumpalan awan yang menghiasi. Mengganti hawa dingin pagi tadi menjadi lebih hangat.Langkahnya Namira bawa pada bagian belakang villa yang menyediakan kolam renang tidak terlalu besar. Cukup untuk sekedar
“Mas liat ini, deh.”Arhan segera mendekat ke arah sang istri setelah selesai menjalankan tugas untuk memindahkan sang anak ke kamar. Elio tertidur lelap tak lama selesai makan. Acara berenang tadi sepertinya benar-benar menguras energi bayi itu.Suaminya itu melompat dari arah belakang melewati sandaran sofa bahkan hampir mengenai wajah Namira yang tepat berada di sampingnya. Laki-laki itu mendapat dengusan dari istrinya karena tindakan itu.Namira menyerahkan ponsel kepada sang suami, memperlihatkan beberapa pesan yang masuk ke nomor barunya. “Kayaknya ini Iyan,” ujarnya tengah menduga-duga.“Dia tahu nomor kamu dari mana?” tanya Arhan yang mengernyit heran.Namira menggeleng dengan wajah cemas. “Nggak tau aku juga.”Pasalnya nomor Namira itu baru dan tak banyak orang yang tahu. Seperti yang wanita itu ucapkan, kontak di ponselnya saat terakhir kali ia lihat hanya keluarga saja. Tidak mungkin Bima dan Vita yang menyebarkan nomor sang istri. Apalagi ibunya, wanita yang belakangan sib
Keesokan harinya, mereka semua pergi untuk menyusuri kota Bandung. Pak Marwan dan Bi ida pun ikut menemani. Lagi-lagi alasannya untuk bergantian menjaga Elio. Pasangan suami istri itu hendak melakukan kencan tanpa meninggalkan sang anak. Jadi mereka mengajak dua orang tua itu sekalian.Tujuan pertama mereka adalah kost-an peninggalan orang tua Namira. Wanita itu tidak turun langsung untuk merawat dan menjaga bangunan yang tampak seperti rumah biasa dari depan tapi berjejer banyak pintu di dalam. Bangunan itu Namira percayakan kepada suami istri yang sudah sangat lama bekerja untuk kedua orang tuanya.Namun belakangan tak ada laporan apapun mengenai kondisi kost-an peninggalan orang tuanya itu. Namira tak berpikiran buruk kepada keduanya, justru ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada mereka sampai tak ada kabar sedikitpun.Arhan dan Namira turun setelah mereka sampai. Bangunan tiga lantai yang sudah lama sekali tidak ia kunjungi kini terlihat usang, warna catnya pun sudah pudar. Bah