“Mas liat ini, deh.”Arhan segera mendekat ke arah sang istri setelah selesai menjalankan tugas untuk memindahkan sang anak ke kamar. Elio tertidur lelap tak lama selesai makan. Acara berenang tadi sepertinya benar-benar menguras energi bayi itu.Suaminya itu melompat dari arah belakang melewati sandaran sofa bahkan hampir mengenai wajah Namira yang tepat berada di sampingnya. Laki-laki itu mendapat dengusan dari istrinya karena tindakan itu.Namira menyerahkan ponsel kepada sang suami, memperlihatkan beberapa pesan yang masuk ke nomor barunya. “Kayaknya ini Iyan,” ujarnya tengah menduga-duga.“Dia tahu nomor kamu dari mana?” tanya Arhan yang mengernyit heran.Namira menggeleng dengan wajah cemas. “Nggak tau aku juga.”Pasalnya nomor Namira itu baru dan tak banyak orang yang tahu. Seperti yang wanita itu ucapkan, kontak di ponselnya saat terakhir kali ia lihat hanya keluarga saja. Tidak mungkin Bima dan Vita yang menyebarkan nomor sang istri. Apalagi ibunya, wanita yang belakangan sib
Keesokan harinya, mereka semua pergi untuk menyusuri kota Bandung. Pak Marwan dan Bi ida pun ikut menemani. Lagi-lagi alasannya untuk bergantian menjaga Elio. Pasangan suami istri itu hendak melakukan kencan tanpa meninggalkan sang anak. Jadi mereka mengajak dua orang tua itu sekalian.Tujuan pertama mereka adalah kost-an peninggalan orang tua Namira. Wanita itu tidak turun langsung untuk merawat dan menjaga bangunan yang tampak seperti rumah biasa dari depan tapi berjejer banyak pintu di dalam. Bangunan itu Namira percayakan kepada suami istri yang sudah sangat lama bekerja untuk kedua orang tuanya.Namun belakangan tak ada laporan apapun mengenai kondisi kost-an peninggalan orang tuanya itu. Namira tak berpikiran buruk kepada keduanya, justru ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada mereka sampai tak ada kabar sedikitpun.Arhan dan Namira turun setelah mereka sampai. Bangunan tiga lantai yang sudah lama sekali tidak ia kunjungi kini terlihat usang, warna catnya pun sudah pudar. Bah
“Kamu ngapain di sini? Lagi cari kost-an?”Arhan membalas pertanyaan itu dengan senyuman, merasa lucu dengan apa yang diucapkan oleh wanita yang kembali bertemu tak sengaja itu. “Kamu ngekost di sini?”Raya mengangguk dengan wajah polos, tak paham kenapa mantan kekasihnya itu sampai tersenyum. Apakah ada yang lucu dari pertanyaannya? Atau ada sesuatu di wajahnya?“Istriku lagi mau ngecek kondisi kost-an di sini,” ucap Arhan yang menjawab kebingungan Raya.Wanita yang menjadi lawan bicara Arhan itu mengerjapkan matanya. Beberapa saat terlihat berpikir dan tak menanggapi ucapan mantan kekasihnya. “Ngapain di cek?” tanyanya dengan bodoh.Arhan bingung dengan pertanyaan Raya. Dahinya sedikit mengernyit untuk bisa mencerna setiap katanya dengan baik. Apa wanita di depannya ini tidak paham dengan apa yang ia ucapkan? Arhan segera menjawab untuk menghilangkan kebingungan yang tergambar jelas di wajah wanita itu. “Ini kost-an punya dia. Jadi emang udah seharusnya dicek, kan?”Seketika Raya in
Arhan masuk ke dalam mobil setelah selesai berbicara ringan dengan Raya. Laki-laki itu sedari awal sudah tahu akan mendapatkan respon seperti apa dari istrinya. Bibir tipisnya semenjak di luar terus dikulum hanya karena membayangkan wajah sang istri yang masam.“Aku liat-liat makin seru aja obrolannya,” sindir Namira setelah suaminya duduk di sisi yang kosong.Arhan yang mendapatkan tatapan sinis dari sang istri hanya terkekeh. Mulut istrinya saat ini penuh dengan satu cilok yang masuk seluruhnya, tapi masih sempat berbicara dengan gaya khasnya ketika wanita itu tengah menyindir kelakuannya.Lidi dengan ujung runcing itu ditusukkan cukup kuat pada makanan yang terbuat dari tepung tapioka itu sehingga membuat Arhan bergidik ngeri. Namira pasti membayangkan kalau benda bulat itu adalah dirinya.“Ternyata dia ngekost di sini, Sayang,” ucap Arhan yang berhasil mengambil alih fokus Namira.Mata wanita itu seketika membola. “Kok bisa?” tanya Namira tak percaya.“Nggak tau aku, juga.”“Dari
Setibanya di rumah Pak Ato yang sederhana. Mereka masuk ke halaman depan yang kecil tanpa pagar. Namira berulang kali mengetuk pintu dengan beberapa kali memanggil nama laki-laki paruh baya yang sudah mendapatkan amanat darinya dan juga Bima, tapi tak ada yang menjawab dari arah dalam. Sementara Arhan berjalan mengamati sekitar. Barangkali orang tua itu ada di tempat lain sehingga suara sang istri tak terdengar.“Nggak ada jawaban, Mas,” ucap Namira.“Apa mungkin lagi keluar, ya.”Namira juga tidak tahu, wanita itu berlalu dari hadapan suaminya untuk menghampiri Elio yang baru saja keluar mobil dibantu Bi Ida. Sejak tadi bayi itu tidak rewel. Bahkan di saat ia tengah merajuk kepada Arhan.Elio menepuk-nepuk dada Namira. Anaknya itu haus setelah mencicipi cilok yang dipotong sangat kecil olehnya dan ia lupa memberikan air minum kepada sang anak.Namira kembali masuk ke dalam mobil setelah Pak Marwan keluar mengikuti Bi Ida. Wanita itu ingin menyusui Elio, tapi ia lupa kalau kaca mobiln
Selama dalam perjalanan, Namira tak banyak bicara. Jalanan kota Bandung yang sangat ia hafal dan ia rindukan kini tak lagi menarik di matanya. Kepala bersandar pada pintu mobil dengan tangan yang sibuk memainkan ponsel yang juga tak ada sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya.Suasana hatinya benar-benar buruk sejak tadi, dan Arhan tak ada niat memperbaikinya meskipun istrinya itu banyak diam. Seolah tak ada yang aneh dan hal itu adalah sesuatu yang sangat biasa.Sepertinya memang hanya Namira yang terlalu berharap jika laki-laki yang menjadi suaminya itu menginginkan hal yang sama. Berulang kali wanita itu membuang napas lelah. Entah karena sikap Arhan yang kembali dingin seperti di awal pernikahan mereka, atau karena pikirannya sendiri yang terus menduga-duga banyak hal.Apakah pertemuan Arhan dengan Raya baru-baru ini sudah membuat laki-laki itu goyah?Mobil berhenti tanpa Namira sadari jika mereka sudah sampai di tempat tujuan. Bukan villa seperti yang wanita itu pikirkan kala Ar
“Gimana ini, Mas? Masa nggak jadi,” tanya Namira dengan raut sedih.Benar saja jika Elio sangat sulit berpisah dengannya. Lihatlah lingkaran kecil yang memeluk lehernya, begitu erat dan menyesakkan. Berulang kali Namira terbatuk sebab sang anak yang dipaksa berpisah oleh ayahnya.“Mau gimana lagi, Ay.” Arhan pun bingung harus melakukan apa. Selama ini ia tak tahu cara memisahkan keduanya, kecuali kemarin karena ada kolam renang di villa dan kebetulan mereka berdua suka bermain air.Di saat mereka tengah memikirkan cara lain, leher Namira terasa bebas. Tangan kecil itu lepas dengan sendirinya. Ia ingin tahu apa yang membuat sang anak dengan suka rela membebaskannya, wanita itu mengikuti arah pandang Elio yang tengah terpesona dengan balon yang terbang ke atas sana, lepas dari genggaman tangan kecil yang tengah menangis menatap kepergian benda itu.Telunjuknya terangkat ke atas menunjuk balon yang terbang itu. “Kamu mau itu?” tanya Namira yang tak digubris Elio.Namira memberikan isyara
Mereka sampai di pemberhentian dengan selamat meskipun kebanyakan suaminya itu mengoceh selama melakukan permainan Luge Kart. Salahkan Namira yang bermain secara ugal-ugalan menurut laki-laki itu. Padahal ia tidak merasa melakukan seperti apa yang diucapkan sang suami, wanita itu hanya tengah menikmati aktivitas seru itu.“Udah, ah! Kamu nggak bisa dipercaya,” ucap Arhan seraya melepas helm dan mengambil ponsel yang terpasang di atasnya. Ia merajuk bukan main. Langkah besarnya meninggalkan sang istri yang masih berkutat dengan alat keselamatan di kepala.Namira berlari untuk mengejar suaminya, ia tertinggal cukup jauh. “Kan tadi kata Mas boleh main semuanya. Kenapa sekarang malah mau udahan?” Wanita itu tak terima dengan keputusan sepihak Arhan. Kesepakatan mereka berbeda dengan di awal.“Kamu, tuh, aku bilang pelan-pelan malah makin cepet.” Arhan berucap marah tanpa berniat untuk menghentikan langkahnya.“Kan emang jalannya turunan, Mas,” ucap Namira tanpa mengada-ada. Lintasan di pe