Setibanya di rumah Pak Ato yang sederhana. Mereka masuk ke halaman depan yang kecil tanpa pagar. Namira berulang kali mengetuk pintu dengan beberapa kali memanggil nama laki-laki paruh baya yang sudah mendapatkan amanat darinya dan juga Bima, tapi tak ada yang menjawab dari arah dalam. Sementara Arhan berjalan mengamati sekitar. Barangkali orang tua itu ada di tempat lain sehingga suara sang istri tak terdengar.“Nggak ada jawaban, Mas,” ucap Namira.“Apa mungkin lagi keluar, ya.”Namira juga tidak tahu, wanita itu berlalu dari hadapan suaminya untuk menghampiri Elio yang baru saja keluar mobil dibantu Bi Ida. Sejak tadi bayi itu tidak rewel. Bahkan di saat ia tengah merajuk kepada Arhan.Elio menepuk-nepuk dada Namira. Anaknya itu haus setelah mencicipi cilok yang dipotong sangat kecil olehnya dan ia lupa memberikan air minum kepada sang anak.Namira kembali masuk ke dalam mobil setelah Pak Marwan keluar mengikuti Bi Ida. Wanita itu ingin menyusui Elio, tapi ia lupa kalau kaca mobiln
Selama dalam perjalanan, Namira tak banyak bicara. Jalanan kota Bandung yang sangat ia hafal dan ia rindukan kini tak lagi menarik di matanya. Kepala bersandar pada pintu mobil dengan tangan yang sibuk memainkan ponsel yang juga tak ada sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya.Suasana hatinya benar-benar buruk sejak tadi, dan Arhan tak ada niat memperbaikinya meskipun istrinya itu banyak diam. Seolah tak ada yang aneh dan hal itu adalah sesuatu yang sangat biasa.Sepertinya memang hanya Namira yang terlalu berharap jika laki-laki yang menjadi suaminya itu menginginkan hal yang sama. Berulang kali wanita itu membuang napas lelah. Entah karena sikap Arhan yang kembali dingin seperti di awal pernikahan mereka, atau karena pikirannya sendiri yang terus menduga-duga banyak hal.Apakah pertemuan Arhan dengan Raya baru-baru ini sudah membuat laki-laki itu goyah?Mobil berhenti tanpa Namira sadari jika mereka sudah sampai di tempat tujuan. Bukan villa seperti yang wanita itu pikirkan kala Ar
“Gimana ini, Mas? Masa nggak jadi,” tanya Namira dengan raut sedih.Benar saja jika Elio sangat sulit berpisah dengannya. Lihatlah lingkaran kecil yang memeluk lehernya, begitu erat dan menyesakkan. Berulang kali Namira terbatuk sebab sang anak yang dipaksa berpisah oleh ayahnya.“Mau gimana lagi, Ay.” Arhan pun bingung harus melakukan apa. Selama ini ia tak tahu cara memisahkan keduanya, kecuali kemarin karena ada kolam renang di villa dan kebetulan mereka berdua suka bermain air.Di saat mereka tengah memikirkan cara lain, leher Namira terasa bebas. Tangan kecil itu lepas dengan sendirinya. Ia ingin tahu apa yang membuat sang anak dengan suka rela membebaskannya, wanita itu mengikuti arah pandang Elio yang tengah terpesona dengan balon yang terbang ke atas sana, lepas dari genggaman tangan kecil yang tengah menangis menatap kepergian benda itu.Telunjuknya terangkat ke atas menunjuk balon yang terbang itu. “Kamu mau itu?” tanya Namira yang tak digubris Elio.Namira memberikan isyara
Mereka sampai di pemberhentian dengan selamat meskipun kebanyakan suaminya itu mengoceh selama melakukan permainan Luge Kart. Salahkan Namira yang bermain secara ugal-ugalan menurut laki-laki itu. Padahal ia tidak merasa melakukan seperti apa yang diucapkan sang suami, wanita itu hanya tengah menikmati aktivitas seru itu.“Udah, ah! Kamu nggak bisa dipercaya,” ucap Arhan seraya melepas helm dan mengambil ponsel yang terpasang di atasnya. Ia merajuk bukan main. Langkah besarnya meninggalkan sang istri yang masih berkutat dengan alat keselamatan di kepala.Namira berlari untuk mengejar suaminya, ia tertinggal cukup jauh. “Kan tadi kata Mas boleh main semuanya. Kenapa sekarang malah mau udahan?” Wanita itu tak terima dengan keputusan sepihak Arhan. Kesepakatan mereka berbeda dengan di awal.“Kamu, tuh, aku bilang pelan-pelan malah makin cepet.” Arhan berucap marah tanpa berniat untuk menghentikan langkahnya.“Kan emang jalannya turunan, Mas,” ucap Namira tanpa mengada-ada. Lintasan di pe
Setelah permainan yang paling membuat Namira penasaran akhirnya berakhir, mereka berjalan bersama saling berpegangan tangan dengan wajah yang bahagia. Sisa tawa dari menaiki ATV terbawa sampai di café yang sebelumnya mereka lihat ketika pertama kali datang.Kehadiran keduanya disambut dengan teriakan menggemaskan yang membuat Namira segera melepas tautan tangan bersama suaminya itu, menghampiri Elio yang sudah tak sabaran ingin masuk ke pelukan ibunya.Sementara Arhan di belakang berjalan gontai seraya menatap tangannya dengan nanar. Lagi-lagi ia kalah dan kembali terabaikan oleh kehadiran sang anak. Tubuhnya ia dudukkan di kursi kosong samping Namira yang tengah bertanya kepada Bi Ida dan Pak Marwan tentang kegiatan ketiganya. Ia hanya sibuk mendengarkan, kemudian melambaikan tangan memanggil pegawai yang berdiri dekat kasir.“Rewel nggak, Bi?” tanya Namira seraya mengusap punggung sang anak yang jatuh terkulai di pelukan. Sepertinya Elio tengah mengisi lagi energi setelah lelah berm
Arhan segera turun dari kursi dan berjongkok di hadapan anak gadis yang berhasil membuat semua orang di meja itu terkejut. Satu tangannya dengan spontan meraih anak itu untuk lebih mendekat, lantas bertanya, “Kamu lagi nyari ayahmu?”Anak itu menggeleng. Rambut yang tergerai bergelombang bergerak pelan, matanya dengan lekat menatap wajah tampan di depannya. Laki-laki dewasa di hadapannya ini persis seperti yang ada di ponsel ibunya.“Om, kan, ayahku,” jawabnya dengan riang.Laki-laki itu mengernyitkan dahinya, ia tatap dengan menelisik dari atas sampai bawah seraya mencoba mencerna ucapan gadis kecil itu. Ia menikah hanya sekali, anaknya pun hanya satu, dan itu Elio, yang tengah asik memakan cemilan kesukaannya di pangkuan sang ibu.“Aku bukan ayahmu. Kayaknya kamu salah orang, deh,” ujar Arhan seraya tersenyum lembut. Mencoba sebisa mungkin tidak menunjukkan raut menyeramkan supaya anak kecil di depannya tak merasakan ketakutan.“Benar, kok, Om ayahku.” Anak perempuan itu menjawab de
Perjalanan pulang mereka terhambat karena Nima yang ingin ikut pulang bersama. Gadis kecil itu tak mau berpisah, kedua tangannya memeluk erat Arhan yang ada di sisinya. Berakhir mereka memutuskan untuk menemaninya terlebih dahulu.Awalnya mereka juga hendak membawa ke pusat informasi supaya tak sulit untuk ditemukan oleh orang tuanya, tapi Nima menolak. Ia ingin bersama laki-laki yang sejak tadi dipanggilnya Ayah untuk menunggu ibunya datang menjemput.Namira sudah sangat bosan saat ini. Bukan karena ia tidak suka dengan Nima di saat anak itu sangat menggemaskan. Ia juga bahkan ingin memiliki satu anak perempuan yang seperti gadis kecil yang menahan sang suami. Namun dengan cara Nima memanggil dan mengklaim Arhan sebagai ayahnya yang membuat ia enggan dekat-dekat bahkan menyambut anak itu dengan lembut.Pikiran Namira sudah terlanjur bercabang ke mana-mana, ia tak mau emosinya akan tumpah ruah di sana apalagi kepada anak kecil yang mungkin saja tak tahu apa-apa. Sudah sangat jelas ia
“Istri saya ke mana, Pak?” tanya Arhan setelah duduk di kursi belakang.“Katanya mau ke toilet dulu sebentar,” jawab Pak Marwan.Arhan mengangguk tanpa menaruh curiga sedikit pun. Laki-laki itu saat ini tengah tersenyum begitu lebar setelah bertemu dengan mantan kekasihnya. Entah topik pembicaraan mana yang sampai membuatnya terlihat begitu senang, atau mungkin saja karena sesederhana pertemuan yang tak disengaja.“Ternyata Nima itu nggak pernah ketemu sama Ayahnya, loh, Pak. Kasian, ya. Anak sekecil itu tumbuh tanpa sosok Ayah di hidupnya. Raya memang wanita kuat bisa merawat anaknya seorang diri.”Pak Marwan tak begitu menanggapi ucapan Arhan yang terlihat iba dengan pasangan ibu-anak yang sesungguhnya tak begitu ia kenal. Saat ini dirinya tengah mengkhawatirkan Namira yang belum juga kembali dari toilet. Percakapan beberapa saat lalu tentang keinginan wanita itu untuk pulang lebih dulu ternyata mengganggu pikiran laki-laki paruh baya itu.“Apa nggak sebaiknya kita susul Mbak Nami,