Arhan segera turun dari kursi dan berjongkok di hadapan anak gadis yang berhasil membuat semua orang di meja itu terkejut. Satu tangannya dengan spontan meraih anak itu untuk lebih mendekat, lantas bertanya, “Kamu lagi nyari ayahmu?”Anak itu menggeleng. Rambut yang tergerai bergelombang bergerak pelan, matanya dengan lekat menatap wajah tampan di depannya. Laki-laki dewasa di hadapannya ini persis seperti yang ada di ponsel ibunya.“Om, kan, ayahku,” jawabnya dengan riang.Laki-laki itu mengernyitkan dahinya, ia tatap dengan menelisik dari atas sampai bawah seraya mencoba mencerna ucapan gadis kecil itu. Ia menikah hanya sekali, anaknya pun hanya satu, dan itu Elio, yang tengah asik memakan cemilan kesukaannya di pangkuan sang ibu.“Aku bukan ayahmu. Kayaknya kamu salah orang, deh,” ujar Arhan seraya tersenyum lembut. Mencoba sebisa mungkin tidak menunjukkan raut menyeramkan supaya anak kecil di depannya tak merasakan ketakutan.“Benar, kok, Om ayahku.” Anak perempuan itu menjawab de
Perjalanan pulang mereka terhambat karena Nima yang ingin ikut pulang bersama. Gadis kecil itu tak mau berpisah, kedua tangannya memeluk erat Arhan yang ada di sisinya. Berakhir mereka memutuskan untuk menemaninya terlebih dahulu.Awalnya mereka juga hendak membawa ke pusat informasi supaya tak sulit untuk ditemukan oleh orang tuanya, tapi Nima menolak. Ia ingin bersama laki-laki yang sejak tadi dipanggilnya Ayah untuk menunggu ibunya datang menjemput.Namira sudah sangat bosan saat ini. Bukan karena ia tidak suka dengan Nima di saat anak itu sangat menggemaskan. Ia juga bahkan ingin memiliki satu anak perempuan yang seperti gadis kecil yang menahan sang suami. Namun dengan cara Nima memanggil dan mengklaim Arhan sebagai ayahnya yang membuat ia enggan dekat-dekat bahkan menyambut anak itu dengan lembut.Pikiran Namira sudah terlanjur bercabang ke mana-mana, ia tak mau emosinya akan tumpah ruah di sana apalagi kepada anak kecil yang mungkin saja tak tahu apa-apa. Sudah sangat jelas ia
“Istri saya ke mana, Pak?” tanya Arhan setelah duduk di kursi belakang.“Katanya mau ke toilet dulu sebentar,” jawab Pak Marwan.Arhan mengangguk tanpa menaruh curiga sedikit pun. Laki-laki itu saat ini tengah tersenyum begitu lebar setelah bertemu dengan mantan kekasihnya. Entah topik pembicaraan mana yang sampai membuatnya terlihat begitu senang, atau mungkin saja karena sesederhana pertemuan yang tak disengaja.“Ternyata Nima itu nggak pernah ketemu sama Ayahnya, loh, Pak. Kasian, ya. Anak sekecil itu tumbuh tanpa sosok Ayah di hidupnya. Raya memang wanita kuat bisa merawat anaknya seorang diri.”Pak Marwan tak begitu menanggapi ucapan Arhan yang terlihat iba dengan pasangan ibu-anak yang sesungguhnya tak begitu ia kenal. Saat ini dirinya tengah mengkhawatirkan Namira yang belum juga kembali dari toilet. Percakapan beberapa saat lalu tentang keinginan wanita itu untuk pulang lebih dulu ternyata mengganggu pikiran laki-laki paruh baya itu.“Apa nggak sebaiknya kita susul Mbak Nami,
Raya merasa saat ini semesta berpihak padanya. Awalnya ia mengira bahwa akan sulit untuk membuat Arhan tertarik bahkan hanya sekedar berbincang ringan dengannya setelah kejadian di rumah makan waktu itu.Mantan kekasihnya itu pasti sudah menceritakan siapa dirinya dan hubungan apa yang pernah mereka miliki. Oleh sebab itu, ia tak terkejut kala Namira terus ada bersama Arhan. Di samping karena status mereka, kedatangannya pasti sedikit-banyak membuat wanita itu cukup waspada dan membuatnya kesulitan untuk melancarkan aksinya.Namun ternyata hari ini menjadi waktu yang sangat tepat kala Nima mengenali wajah Arhan dan memanggil laki-laki itu dengan sebutan Ayah. Padahal anak perempuannya itu hanya melihat sekilas fotonya bersama laki-laki itu saat mereka di kereta. Untungnya ia tak memberikan jawaban yang jelas ketika gadis kecil itu bertanya.“Makasih, ya, Nima. Udah mau bantu Ibu,” ucapnya seraya mengusap rambut halus anak perempuannya.Satu mangkuk besar es krim d hadapan gadis kecil
Percakapan antara Raya dan Iyan di telepon terputus begitu saja. Ini bukan hal baru buat wanita yang kini menatap datar layar ponselnya. Kejadian semacam ini memang sering terjadi dan itu pasti Iyan yang mengakhirinya secara sepihak.Raya membuang napas lelah, ia meletakan ponselnya sembarang di atas kasur. Lantas bangun, tubuhnya terduduk dengan lemas setelah lelah melewati hari ini. Namun matanya terbelalak setelah melihat Nima yang bersila dengan es krim di pangkuan. Isinya sudah hampir habis.“Nima!” Raya geram. Ia berteriak dengan tertahan. “Siapa yang nyuruh kamu ngabisin es krimnya sendirian?”Nima yang beringsut ketakutan menatap ibunya yang tengah menahan amarah. “Ibu mau? Ini masih ada sisa, kok,” ucap anak itu menyerahkan es krimnya ragu-ragu.Kali ini Raya membuang napasnya kasar. Ia terlalu bersemangat menceritakan tentang hari ini kepada Iyan. Padahal respon yang didapat pun tidak sesuai yang ia harapkan. Justru malah membuatnya melupakan sang anak yang dengan nyaman men
Setelah beristirahat sejenak, Namira berlalu dari ruang tamu bersama sang anak yang kini tawanya sudah hilang sepenuhnya. Tergantikan dengan kantuk yang mulai menyergap. Langkah kakinya tak berhenti bahkan ketika Arhan memintanya untuk tinggal lebih lama dan mengobrol, menceritakan lebih jauh tentang kunjungan mereka ke makan sang mertua.Namira berjalan menuju kamar tidur, ia mendudukkan Elio di atas ranjang. Namun sang anak dengan lemas segera menjatuhkan dirinya sendiri hingga tubuhnya terlentang, beruntung alasnya tidak keras sehingga pekikan ibunya tertahan dan berakhir bernapas lega.“Kenapa nggak bilang kalau mau ketemu sama Ayah-Ibu, Ay? Aku juga belum nyapa mereka. Nanti temenin, ya, ke sana.” Arhan mendekat, ikut duduk di sisi ranjang. Memperhatikan sang istri yang tengah mempreteli baju yang seharian digunakan oleh sang anak.Wanita yang tengah sibuk itu hanya berdeham, tak menatap sang suami barang sebentar saja. Hatinya masih diliputi dengan kecemburuan serta kekesalan ba
Makan malam yang disediakan oleh Bi Ida sudah habis tanpa sisa. Meja makan dengan empat kursi di dapur terisi semua. Pak Marwan serta Bi Ida ikut menyantap beberapa hidangan di sana bersama pasangan suami istri yang kebanyakan fokus dengan piring nasi mereka, bahkan hampir tidak ada suara yang keluar sekedar membicarakan aktivitas hari ini.Bi Ida sudah sibuk memindahkan piring-piring kotor ke kitchen sink dibantu oleh Namira yang kentara tengah menghindari Arhan yang sejak tadi menatapnya dengan lekat. Laki-laki itu menunggu tatapan mereka bertemu tanpa sengaja dan tanpa perlu ada teguran untuk memberi isyarat kepada sang istri jika mereka perlu bicara lebih lanjut setelah pelukan keduanya yang dilewati dengan tangisan tanpa ada sepatah kata pun dari istrinya.“Mbak mending istirahat, cucian piringnya biar sama saya aja.”Bi Ida menolak untuk dibantu apalagi digantikan tugasnya. Tatapan Arhan sudah sangat mengintimidasi dirinya saat ini. Laki-laki itu seolah menyuruhnya untuk mengusi
Arhan tak terima atas apa yang istrinya katakan. Laki-laki itu lantas berdiri sebab tuduhan itu tak sesuai dengan kenyataan. Ia memang berbicara berdua dengan Raya, tapi tidak sampai menumbuhkan rasa yang disebutkan Namira.Reaksi spontan Arhan mengundang kernyitan di dahi wanita yang tangannya hampir dihempas kasar suaminya. Namira mendongak, menatap bingung laki-laki di hadapannya.“Aku nggak nyangka kamu bisa nuduh aku kayak gitu. Aku cuman ngobrol aja sama Raya. Nggak ada apa-apa, nggak seperti yang kamu bilang. Aku cuman kasian aja sama mereka, terlebih Nima yang ingin ada sosok Ayah di hidupnya.”Ucapan tak terima yang Arhan lontarkan bisa Namira pahami jika tidak disertai dengan emosi yang meluap-luap. Mereka bisa membicarakan ini dengan baik-baik, tanpa perlu meninggikan suara serta respon tubuh yang berlebihan. Kalau begini, ia bisa mengambil kesimpulan jika tuduhan itu benar adanya.Namira menyunggingkan senyumnya. Ia menundukkan kepala seraya memainkan jari-jarinya di atas