Arhan tak terima atas apa yang istrinya katakan. Laki-laki itu lantas berdiri sebab tuduhan itu tak sesuai dengan kenyataan. Ia memang berbicara berdua dengan Raya, tapi tidak sampai menumbuhkan rasa yang disebutkan Namira.Reaksi spontan Arhan mengundang kernyitan di dahi wanita yang tangannya hampir dihempas kasar suaminya. Namira mendongak, menatap bingung laki-laki di hadapannya.“Aku nggak nyangka kamu bisa nuduh aku kayak gitu. Aku cuman ngobrol aja sama Raya. Nggak ada apa-apa, nggak seperti yang kamu bilang. Aku cuman kasian aja sama mereka, terlebih Nima yang ingin ada sosok Ayah di hidupnya.”Ucapan tak terima yang Arhan lontarkan bisa Namira pahami jika tidak disertai dengan emosi yang meluap-luap. Mereka bisa membicarakan ini dengan baik-baik, tanpa perlu meninggikan suara serta respon tubuh yang berlebihan. Kalau begini, ia bisa mengambil kesimpulan jika tuduhan itu benar adanya.Namira menyunggingkan senyumnya. Ia menundukkan kepala seraya memainkan jari-jarinya di atas
Suasana pagi ini berjalan dengan normal. Area dapur terlihat lebih sibuk seperti biasa dibandingkan tempat lain. Namira kembali membantu Bi Ida yang tengah memasak. Wanita yang masih mengenakan pakaian tidur itu berdiri di depan kitchen sink untuk mencuci peralatan dapur yang kotor. Sedangkan Bi Ida terus mengoreksi rasa di depan kompor.Kali ini wanita paruh baya itu tak menolak ketika istri majikannya hendak membantu karena tak ada Arhan di sana yang akan membuatnya beringsut ketakutan. Lagi pula kegiatan seperti ini sering terjadi ketika mereka ada di rumah. Jadi bukan sesuatu yang asing untuk keduanya.“Saya nggak liat Mas Arhan, Mbak,” ucap Bi Ida memecah keheningan. Sejak tadi hanya terdengar suara air serta peralatan dapur yang saling bergesekan.“Ada di kamar masih tidur,” jawab Namira tanpa mengubah fokus dari cucian piring.Bi Ida tak bertanya lagi setelah mendapatkan jawaban dari wanita di sampingnya. Mereka kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sementara di halaman
Sepulang dari makam Ayah ibunya. Namira beserta penghuni villa yang lain akan kembali pulang ke Jakarta. Masa liburan yang tak sepenuhnya menyenangkan akan segera berakhir. Wanita itu akan kembali sibuk dengan posisinya sebagai ibu rumah tangga, meskipun tak ada bedanya dimanapun ia berada. Arhan juga harus segera kembali bekerja karena jadwalnya yang mulai padat. Pasti banyak hal yang perlu diurus.Semua pakaian dan juga berbagai barang sudah ada di bagasi mobil. Pak Marwan yang mengangkut semuanya saat mereka tidak ada. Sementara Bi Ida mengecek kembali seisi villa, takut ada barang yang tertinggal. Wanita paruh baya itu menyusuri dari mulai halaman belakang, semua kamar tidur hingga kamar mandinya, dapur, serta ruang tamu, dan yang terakhir halaman depan. Semua sudah tampak seperti saat pertama mereka datang.Namira dan Bi Ida belum masuk ke dalam mobil. Dua wanita itu terlebih dahulu menyerahkan kunci kepada pemilik villa dan sedikit mengobrol tentang suasana yang nyaman dan kondi
Setelah menghabiskan waktu dua jam lebih tanpa berhenti. Pak Marwan berhasil membawa orang-orang di dalam mobil yang dikendarai olehnya sampai dengan selamat tanpa bertukar posisi dengan yang lain.Laki-laki paruh baya itu bahkan tak mengeluh lelah kala semua barang ia turunkan untuk dibawa sebagian oleh Bi Ida dan Arhan. Sementara Namira memangku Elio yang menghabiskan banyak waktu dalam perjalanan dengan tidur.Wanita itu jadi merasa bersalah karena telah membuat sang anak kelelahan dalam dua minggu terakhir ini. Akan tetapi ia tidak bisa meninggalkan dan menitipkan anaknya kepada orang lain. Jadi mau tidak mau bayi itu harus selalu ada bersamanya.Semua orang berjalan menuju teras depan rumah yang sudah ditinggalkan beberapa hari itu. Pasti akan ada debu yang cukup tebal karena tidak ada yang merawatnya selama mereka pergi. Bi Ida selaku pemegang kunci segera mendekat ke arah pintu untuk membuka kunci sementara yang lain menunggu dengan tak sabaran.Rasanya punggung mereka ingin se
Kesibukan pagi ini kembali seperti semula, Arhan yang pagi-pagi sekali sudah rapi dengan setelan jasnya, Namira yang sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk keluarganya, dan Elio yang bermain sendiri di depan TV ruang tamu.Meskipun tubuhnya terasa lelah, tapi aktivitas di pagi hari selalu yang paling ia senangi. Seperti halnya saat mereka makan bersama atau saat suara-suara menggemaskan Elio menggema karena gemas sendiri dengan mainannya.Namira menyendok selai cokelat lalu mengoleskannya di atas roti tawar yang berada di tangannya yang lain. Sarapan pagi ini atas permintaan suaminya yang harus segera pergi ke kantor. Laki-laki itu ingin tetap melakukan sarapan bersama tapi dengan sesuatu yang praktis supaya tak begitu banyak menyita waktunya yang sudah kembali memiliki jadwal yang padat.Awalnya Namira ingin menghidangkan semangkuk sereal. Namun sayang bahan utamanya tak tersedia, hanya ada beberapa kotak susu berukuran kecil, itu juga sisa dari perjalanan mereka kemarin. Di dalam k
Namira tersenyum setelah melihat pesan yang berisikan satu foto dari nomor baru yang tak ia kenal. Wanita itu mendengus seraya menggeleng kepalanya tak percaya. Jika dilihat dari foto yang gambarnya sedikit kabur, pasti itu diambil secara diam-diam. Tapi meskipun begitu, ia tetap bisa mengenali siapa mereka. Tujuan pengirim entah untuk memberitahu dirinya atau untuk alasan yang lain.Cukup lama Namira terpaku menatap ponsel di genggaman sampai mengundang kernyitan di dahi Bi Ida yang ada di sana. “Ada apa, Mbak?” tanya wanita yang kini membelakangi kitchen sink. Dengusan Namira yang membuat Bi Ida penasaran sampai membalikkan badan.Raut wajah Namira seketika berubah, cengkeraman pada ponsel dalam genggaman pun semakin kuat. Ini menjadi pengalaman pertama Bi Ida melihat wanita yang Arhan titipkan untuk dijaga itu berbeda dari biasanya.Bi Ida penasaran tentu saja, ia ingin segera melompat untuk melihat apa yang telah membuat Namira memasang wajah seperti itu, tapi ia cukup sadar diri
“Bibi ingat nggak Pak Marwan pernah nanya ke Mas Arhan tentang kaca mobil yang gelap pas kita lagi makan?” Namira bertanya kepada Bi Ida yang saat ini tengah duduk bersebelahan dengannya di ruang tamu. Keduanya menemani Elio bermain setelah wanita itu selesai menuntaskan tangisnya diselingi juga dengan menenangkan sang anak, Bi Ida juga ikut bergabung setelah menyelesaikan pekerjaannya.Atensi Bi Ida beralih kepada Namira ketika sebelumnya sibuk dengan mainan-mainan yang tergeletak di dekatnya. Ia ingat betul makan bersama terakhir kali itu. Suasananya begitu hangat, hatinya bahkan begitu senang bisa ikut bergabung dengan mereka.Saat itu Bi Ida melihat keharmonisan keduanya yang tak jarang ia lihat, dan juga selalu berhasil membuatnya tak bisa berlama-lama berada di sekitar mereka.“Itu Mas Arhan pergi tengah malem, terus pulang-pulang langsung ganti baju.”Kerutan di dahi Bi Ida semakin bertambah, raut wajahnya tak beda jauh dengan Namira di malam itu. “Aku nggak percaya kalau Mas A
Permintaan maaf Bi Ida yang diucapkan dengan tulus nyatanya menyentak kesadaran Namira yang mengais perhatian sejak dulu. Itu bukan karena ia merasa kurang mendapatkan hal itu dari suaminya serta penghuni rumah di sana, melainkan beberapa hal membuatnya jengkel dan merasa tersisihkan. Padahal ia juga merupakan tuan rumah di sana setelah menjadi istrinya Arhan.Bukankah semua perintahnya juga patut untuk didengar dan dilaksanakan?Namun selama dua tahun ini yang ia dapatkan adalah keterbatasan dalam melakukan apapun di beberapa kesempatan. Arhan tak membiarkannya bebas bahkan hanya untuk sekedar menikmati waktu sendiri. Ia butuh melupakan segala kepenatan rumah tangganya seperti mengurus anak.Namira tahu, semua kebutuhannya selalu terpenuhi. Ia juga tak pernah repot tentang bersih-bersih rumah, mencuci baju, mengepel lantai, mencuci piring sampai memasak. Kebanyakan Bi Ida yang melakukan itu semua. Tentu bukan karena ia tak mampu tapi suaminya yang memberi fasilitasi itu.Kesetiaan du