“Bibi ingat nggak Pak Marwan pernah nanya ke Mas Arhan tentang kaca mobil yang gelap pas kita lagi makan?” Namira bertanya kepada Bi Ida yang saat ini tengah duduk bersebelahan dengannya di ruang tamu. Keduanya menemani Elio bermain setelah wanita itu selesai menuntaskan tangisnya diselingi juga dengan menenangkan sang anak, Bi Ida juga ikut bergabung setelah menyelesaikan pekerjaannya.Atensi Bi Ida beralih kepada Namira ketika sebelumnya sibuk dengan mainan-mainan yang tergeletak di dekatnya. Ia ingat betul makan bersama terakhir kali itu. Suasananya begitu hangat, hatinya bahkan begitu senang bisa ikut bergabung dengan mereka.Saat itu Bi Ida melihat keharmonisan keduanya yang tak jarang ia lihat, dan juga selalu berhasil membuatnya tak bisa berlama-lama berada di sekitar mereka.“Itu Mas Arhan pergi tengah malem, terus pulang-pulang langsung ganti baju.”Kerutan di dahi Bi Ida semakin bertambah, raut wajahnya tak beda jauh dengan Namira di malam itu. “Aku nggak percaya kalau Mas A
Permintaan maaf Bi Ida yang diucapkan dengan tulus nyatanya menyentak kesadaran Namira yang mengais perhatian sejak dulu. Itu bukan karena ia merasa kurang mendapatkan hal itu dari suaminya serta penghuni rumah di sana, melainkan beberapa hal membuatnya jengkel dan merasa tersisihkan. Padahal ia juga merupakan tuan rumah di sana setelah menjadi istrinya Arhan.Bukankah semua perintahnya juga patut untuk didengar dan dilaksanakan?Namun selama dua tahun ini yang ia dapatkan adalah keterbatasan dalam melakukan apapun di beberapa kesempatan. Arhan tak membiarkannya bebas bahkan hanya untuk sekedar menikmati waktu sendiri. Ia butuh melupakan segala kepenatan rumah tangganya seperti mengurus anak.Namira tahu, semua kebutuhannya selalu terpenuhi. Ia juga tak pernah repot tentang bersih-bersih rumah, mencuci baju, mengepel lantai, mencuci piring sampai memasak. Kebanyakan Bi Ida yang melakukan itu semua. Tentu bukan karena ia tak mampu tapi suaminya yang memberi fasilitasi itu.Kesetiaan du
Terdengar dering ponsel pintar yang tergeletak tak jauh dari pemiliknya, menghentikan obrolan ringan antara dua wanita yang kini saling melempar canda dan melepaskan tawa. Namun setelah benda pipih itu diambil, deringnya berhenti. Lantas terpampang nomor baru yang sebelumnya mengiriminya sebuah foto.Namira mengernyitkan dahi dengan alis saling bertaut. Ia semakin penasaran siapa pemilik nomor itu sampai berani melakukan panggilan suara meski tak terjawab. Tak lama satu pesan masuk dari nomor itu. Kali ini bukan foto, melainkan sebuah video.Pemilik nomor itu sepertinya tak ingin ia abai tentang pesan yang telah diterimanya, oleh sebab itu pemilik nomor kembali mengiriminya pesan. Namira sengaja tak menjawab pesan sebelumnya. Bukan karena tak tersulut, melainkan tengah memikirkan cara untuk memulai semuanya. Orang paling penting dalam aksinya kali ini adalah Pak Marwan. Laki-laki itu harus setuju dan bersedia bekerjasama dengannya kali ini.Namun pesan selanjutnya yang ia terima menam
Setelah mengantongi izin dari suaminya. Namira masuk mobil dan duduk di kursi belakang bersama Elio. Mereka akan pergi untuk berbelanja bahan masakan dan mengisi kulkas yang kosong.Selama dalam perjalanan, tak ada yang bicara. Namira tengah harap-harap cemas untuk membicarakan hal yang serupa dengan Bi Ida kepada Pak Marwan. Ia takut jika sebuah penolakan yang diterima karena laki-laki paruh baya itu sangat setia kepada suaminya, ditambah sopir pribadi Arhan itu seorang laki-laki. Apa bisa masalah ini sampai membuat hatinya terenyuh sehingga bersedia membantunya?Ketika Wanita yang duduk bersebelahan dengan Elio itu tengah dilanda kebingungan serta kecemasan, Bi Ida yang duduk di kursi depan samping Pak Marwan berbalik badan menatapnya. “Mbak Nami katanya mau ngobrol sama Pak marwan.”Namira memelototkan matanya. Bagaimana mungkin Bi Ida bisa dengan ringan mengucapkan itu, padahal ia masih dalam tahap menimang kata yang harus disampaikan supaya bisa menyentuh hati laki-laki paruh bay
Setelah puas memandangi foto di ponsel yang dipegang oleh Bi Ida, tubuh Pak Marwan sedikit menyamping. Matanya bergerak menatap Namira yang duduk tepat di belakangnya. “Itu beneran Mas Arhan, Mbak?”“Aku nggak mungkin salah mengenali suamiku sendiri, Pak,” jawab Namira dengan suara pelan serta raut yang sedih. Apakah Pak Marwan tidak percaya kepadanya?Pak Marwan jadi salah tingkah. Ia bukan bermaksud tidak mempercayai ucapan Namira. Namun bersikap waspada dengan nomor baru itu perlu dilakukan. Apalagi Arhan seorang pengusaha, tidak menutup kemungkinan jika ada orang yang ingin menghancurkan laki-laki itu melalui keluarganya.“Kalau Bapak tidak percaya, aku ada bukti lain,” ucap wanita itu yang menerima ponsel dari Bi Ida. Kemudian menunjukkan satu video yang ia terima. “Bapak bisa lihat ini.”Kali ini ponsel pintar itu diterima oleh Pak Marwan. Selama video itu diputar, tidak ada yang berbicara diantara mereka, membiarkan Pak Marwan fokus dan menilainya sendiri.“Ini ….” Tunjuk Pak M
Tiga orang dewasa berjalan beriringan seraya masing-masing mendorong benda yang cukup besar. Ukurannya hampir sama, yang membedakan adalah Pak Marwan dan Bi Ida mendorong troli belanja, sementara Namira mendorong stroller yang sudah ada Elio di sana tengah duduk berpegangan pada pembatas yang ada di hadapannya seraya menatap sekitar.“Bi Ida belanja kayak biasa aja, ya. Aku sama Pak Marwan mau ke bagian makanan bayi dulu,” ucap Namira yang disetujui oleh Bi Ida. Mereka pergi ke arah yang berlawanan.Bukan tanpa alasan Namira pergi bersama Pak Marwan. Disamping karena sulit mendorong dua benda besar, ia juga hendak berbicara lebih lama bersama sopir pribadi suaminya itu. Barang kali keputusannya ketika di dalam mobil masih menyisakan keraguan, maka akan ia yakinkan lagi supaya laki-laki paruh baya itu tetap berada di pihaknya.Namira berjalan lebih dulu kemudian Pak Marwan mengikuti di belakang. Jika mereka berjalan beriringan takut akan membuat orang lain sulit jika ingin mendahului l
Namira memutuskan mengajak Raya untuk berbicara berdua saja. Padahal ia tahu ada kemungkinan wanita di hadapannya ini akan berbohong mengenai apa saja yang berhubungan dengan suaminya. Namun, dirinya perlu menilai karakter mantan kekasih dari Arhan supaya ia bisa mengambil langkah yang tepat untuk ke depannya.Saat ini keduanya duduk saling berhadapan di tempat makan yang berada di dalam mall. Elio dan Nima sengaja di titipkan kepada Bi Ida dan Pak Marwan agar mereka bisa fokus membahas berbagai hal termasuk masalah yang menjadi beban pikiran Namira belakangan ini, tanpa ada gangguan sedikitpun.Awalnya Bi Ida menolak keinginan Namira tersebut karena khawatir majikannya ini terpengaruh oleh omongan Raya, namun wanita itu memberi penjelasan bahwa dirinya akan lebih berusaha mengontrol emosi jika obrolan mereka tak berjalan baik.Akhirnya dengan penuh pertimbangan, wanita paruh baya yang telah lama mengabdi pada Arhan itu setuju dengan dua syarat, dirinya dan Pak Marwan harus tahu dimana
Lain halnya dengan Namira yang keliahatan santai, Raya justru merasa terintimidasi oleh tatapan wanita di hadapannya. Sepasang mata itu sama persis dengan Arhan ketika laki-laki itu ada dalam mode yang serius.Sebisa mungkin ia memasang wajah yang ramah dan ceria, sampai senyumnya pun sejak tadi tak luntur dari bibirnya. Raya tahu obrolan terakhirnya bersama Arhan sudah sangat membuat Namira marah. Itu memang tujuannya, tapi ia tidak menyangka jika aura ibu satu anak itu sungguh luar biasa. Pantas saja mantan kekasihnya itu tak bisa merelakannya kepada Iyan.Untuk memecah keheningan dan suasana canggung yang tercipta diantara mereka. Raya meminta maaf sebab belum sempat memperkenalkan diri dengan benar. Padahal ini merupakan pertemuan mereka yang kesekian, meskipun sebelumnya wanita itu memilih untuk menyingkir dan membiarkannya berbicara berdua saja dengan Arhan.Belum sempat tangannya terulur untuk bersalaman sebagai bentuk formalitas, tangan lain sudah lebih dulu terbentang di hada