Setelah mengantongi izin dari suaminya. Namira masuk mobil dan duduk di kursi belakang bersama Elio. Mereka akan pergi untuk berbelanja bahan masakan dan mengisi kulkas yang kosong.Selama dalam perjalanan, tak ada yang bicara. Namira tengah harap-harap cemas untuk membicarakan hal yang serupa dengan Bi Ida kepada Pak Marwan. Ia takut jika sebuah penolakan yang diterima karena laki-laki paruh baya itu sangat setia kepada suaminya, ditambah sopir pribadi Arhan itu seorang laki-laki. Apa bisa masalah ini sampai membuat hatinya terenyuh sehingga bersedia membantunya?Ketika Wanita yang duduk bersebelahan dengan Elio itu tengah dilanda kebingungan serta kecemasan, Bi Ida yang duduk di kursi depan samping Pak Marwan berbalik badan menatapnya. “Mbak Nami katanya mau ngobrol sama Pak marwan.”Namira memelototkan matanya. Bagaimana mungkin Bi Ida bisa dengan ringan mengucapkan itu, padahal ia masih dalam tahap menimang kata yang harus disampaikan supaya bisa menyentuh hati laki-laki paruh bay
Setelah puas memandangi foto di ponsel yang dipegang oleh Bi Ida, tubuh Pak Marwan sedikit menyamping. Matanya bergerak menatap Namira yang duduk tepat di belakangnya. “Itu beneran Mas Arhan, Mbak?”“Aku nggak mungkin salah mengenali suamiku sendiri, Pak,” jawab Namira dengan suara pelan serta raut yang sedih. Apakah Pak Marwan tidak percaya kepadanya?Pak Marwan jadi salah tingkah. Ia bukan bermaksud tidak mempercayai ucapan Namira. Namun bersikap waspada dengan nomor baru itu perlu dilakukan. Apalagi Arhan seorang pengusaha, tidak menutup kemungkinan jika ada orang yang ingin menghancurkan laki-laki itu melalui keluarganya.“Kalau Bapak tidak percaya, aku ada bukti lain,” ucap wanita itu yang menerima ponsel dari Bi Ida. Kemudian menunjukkan satu video yang ia terima. “Bapak bisa lihat ini.”Kali ini ponsel pintar itu diterima oleh Pak Marwan. Selama video itu diputar, tidak ada yang berbicara diantara mereka, membiarkan Pak Marwan fokus dan menilainya sendiri.“Ini ….” Tunjuk Pak M
Tiga orang dewasa berjalan beriringan seraya masing-masing mendorong benda yang cukup besar. Ukurannya hampir sama, yang membedakan adalah Pak Marwan dan Bi Ida mendorong troli belanja, sementara Namira mendorong stroller yang sudah ada Elio di sana tengah duduk berpegangan pada pembatas yang ada di hadapannya seraya menatap sekitar.“Bi Ida belanja kayak biasa aja, ya. Aku sama Pak Marwan mau ke bagian makanan bayi dulu,” ucap Namira yang disetujui oleh Bi Ida. Mereka pergi ke arah yang berlawanan.Bukan tanpa alasan Namira pergi bersama Pak Marwan. Disamping karena sulit mendorong dua benda besar, ia juga hendak berbicara lebih lama bersama sopir pribadi suaminya itu. Barang kali keputusannya ketika di dalam mobil masih menyisakan keraguan, maka akan ia yakinkan lagi supaya laki-laki paruh baya itu tetap berada di pihaknya.Namira berjalan lebih dulu kemudian Pak Marwan mengikuti di belakang. Jika mereka berjalan beriringan takut akan membuat orang lain sulit jika ingin mendahului l
Namira memutuskan mengajak Raya untuk berbicara berdua saja. Padahal ia tahu ada kemungkinan wanita di hadapannya ini akan berbohong mengenai apa saja yang berhubungan dengan suaminya. Namun, dirinya perlu menilai karakter mantan kekasih dari Arhan supaya ia bisa mengambil langkah yang tepat untuk ke depannya.Saat ini keduanya duduk saling berhadapan di tempat makan yang berada di dalam mall. Elio dan Nima sengaja di titipkan kepada Bi Ida dan Pak Marwan agar mereka bisa fokus membahas berbagai hal termasuk masalah yang menjadi beban pikiran Namira belakangan ini, tanpa ada gangguan sedikitpun.Awalnya Bi Ida menolak keinginan Namira tersebut karena khawatir majikannya ini terpengaruh oleh omongan Raya, namun wanita itu memberi penjelasan bahwa dirinya akan lebih berusaha mengontrol emosi jika obrolan mereka tak berjalan baik.Akhirnya dengan penuh pertimbangan, wanita paruh baya yang telah lama mengabdi pada Arhan itu setuju dengan dua syarat, dirinya dan Pak Marwan harus tahu dimana
Lain halnya dengan Namira yang keliahatan santai, Raya justru merasa terintimidasi oleh tatapan wanita di hadapannya. Sepasang mata itu sama persis dengan Arhan ketika laki-laki itu ada dalam mode yang serius.Sebisa mungkin ia memasang wajah yang ramah dan ceria, sampai senyumnya pun sejak tadi tak luntur dari bibirnya. Raya tahu obrolan terakhirnya bersama Arhan sudah sangat membuat Namira marah. Itu memang tujuannya, tapi ia tidak menyangka jika aura ibu satu anak itu sungguh luar biasa. Pantas saja mantan kekasihnya itu tak bisa merelakannya kepada Iyan.Untuk memecah keheningan dan suasana canggung yang tercipta diantara mereka. Raya meminta maaf sebab belum sempat memperkenalkan diri dengan benar. Padahal ini merupakan pertemuan mereka yang kesekian, meskipun sebelumnya wanita itu memilih untuk menyingkir dan membiarkannya berbicara berdua saja dengan Arhan.Belum sempat tangannya terulur untuk bersalaman sebagai bentuk formalitas, tangan lain sudah lebih dulu terbentang di hada
Seusai pertemuannya dengan Raya di mall tadi dan berbincang sebentar di sana, saat ini Namira sibuk dengan ponsel yang ditempelkan pada telinga sebelah kanan. Wanita itu sudah mulai menjalankan aksinya. Diawali dengan menelepon Pak Ato.Tujuannya bukan hanya menanyakan foto dan video yang sebelumnya ia terima, tapi juga ingin membicarakan tentang kost-annya yang terlihat berbeda dari yang terakhir ia ingat. Semuanya berubah dan tampak kosong.Bunyi dengungan yang memenuhi pendengarannya itu tak kunjung berhenti sampai membuat telinganya terasa panas. Tentu saja Namira kesal dengan tindakan Pak Ato yang seolah tengah mempermainkan dirinya. Bukan saja tentang tanggung jawabnya mengenai kost-an yang sudah ia percayakan pada laki-laki paruh baya itu, tapi juga informasi yang mendadak ia dapatkan.Jika Pak Ato hendak memberitahu dirinya tentang Arhan pada malam itu melalui foto dan video yang dikirim, ia hanya butuh penjelasan yang sangat mendetail andai beliau menyaksikan secara langsung
Sesampainya di rumah, Namira segera keluar dari mobil dan menuju lantai atas dengan Elio yang tertidur di gendongannya. Kepergian wanita itu mengundang kernyitan di dahi kedua orang tua yang tengah menurunkan barang belanjaan mereka di bagasi.“Mbak Nami kira-kira kenapa lagi, ya, Pak?” tanya Bi Ida seraya menatap punggung wanita itu yang berlalu tanpa berbicara sepatah kata pun, tidak seperti biasanya.Pak Marwan yang juga melakukan hal yang sama menjawab dengan penuh pertimbangan, “Mungkin nggak, sih, Bi karena apa yang Nima omongin?”Keduanya saling menatap, Bi Ida seolah lupa dan tak sadar jika pembicaraan itu sangat sensitif. Pantas saja Namira tidak memberikan jawaban apapun. Kepalanya ia pukul berulang kali sebab melontarkan hal yang tidak seharusnya disampaikan. Semula ia hanya ingin meringankan beban wanita itu dalam aksi mencari tahu apa yang Arhan lakukan pada malam itu. Namun ternyata justru informasi itu membuat sang majikan merasa terpukul dengan kenyataan yang baru dike
“Istri saya mana, Bi?”Sebuah suara mengejutkan Bi Ida yang tengah melamun di depan kompor sembari memanaskan makan siang yang tak tersentuh sama sekali. Pandangannya beralih dari wajan ke sosok Arhan yang berdiri tak jauh dari dapur. Penampilan laki-laki itu masih rapi dengan wajah yang nampak cerah, berbeda dengan istrinya yang berantakan dan memilih mengurung diri sepulang dari berbelanja. “Ada di kamar Mas, tidur. Mbak Nami juga belum makan siang, saya nggak tega mau banguninnya.”Arhan mengernyitkan dahinya. “Suhu badannya normal, kan?”“Pas tadi saya cek sih normal, Mas.” Hanya itu yang mampu Bi Ida sampaikan. Ia tak kuasa memberitahu laki-laki itu mengenai kejadian hari ini yang membuat wanita di balik pintu bercat putih di lantai atas itu sampai enggan untuk keluar dari kamar. Padahal biasanya mereka akan menghabiskan waktu di ruang tamu sembari menunggu Arhan pulang.Bi Ida melangkah sedikit menjauh dari dapur untuk kembali menatapi pintu kamar majikannya yang masih tertutup.