Sepulang dari makam Ayah ibunya. Namira beserta penghuni villa yang lain akan kembali pulang ke Jakarta. Masa liburan yang tak sepenuhnya menyenangkan akan segera berakhir. Wanita itu akan kembali sibuk dengan posisinya sebagai ibu rumah tangga, meskipun tak ada bedanya dimanapun ia berada. Arhan juga harus segera kembali bekerja karena jadwalnya yang mulai padat. Pasti banyak hal yang perlu diurus.Semua pakaian dan juga berbagai barang sudah ada di bagasi mobil. Pak Marwan yang mengangkut semuanya saat mereka tidak ada. Sementara Bi Ida mengecek kembali seisi villa, takut ada barang yang tertinggal. Wanita paruh baya itu menyusuri dari mulai halaman belakang, semua kamar tidur hingga kamar mandinya, dapur, serta ruang tamu, dan yang terakhir halaman depan. Semua sudah tampak seperti saat pertama mereka datang.Namira dan Bi Ida belum masuk ke dalam mobil. Dua wanita itu terlebih dahulu menyerahkan kunci kepada pemilik villa dan sedikit mengobrol tentang suasana yang nyaman dan kondi
Setelah menghabiskan waktu dua jam lebih tanpa berhenti. Pak Marwan berhasil membawa orang-orang di dalam mobil yang dikendarai olehnya sampai dengan selamat tanpa bertukar posisi dengan yang lain.Laki-laki paruh baya itu bahkan tak mengeluh lelah kala semua barang ia turunkan untuk dibawa sebagian oleh Bi Ida dan Arhan. Sementara Namira memangku Elio yang menghabiskan banyak waktu dalam perjalanan dengan tidur.Wanita itu jadi merasa bersalah karena telah membuat sang anak kelelahan dalam dua minggu terakhir ini. Akan tetapi ia tidak bisa meninggalkan dan menitipkan anaknya kepada orang lain. Jadi mau tidak mau bayi itu harus selalu ada bersamanya.Semua orang berjalan menuju teras depan rumah yang sudah ditinggalkan beberapa hari itu. Pasti akan ada debu yang cukup tebal karena tidak ada yang merawatnya selama mereka pergi. Bi Ida selaku pemegang kunci segera mendekat ke arah pintu untuk membuka kunci sementara yang lain menunggu dengan tak sabaran.Rasanya punggung mereka ingin se
Kesibukan pagi ini kembali seperti semula, Arhan yang pagi-pagi sekali sudah rapi dengan setelan jasnya, Namira yang sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk keluarganya, dan Elio yang bermain sendiri di depan TV ruang tamu.Meskipun tubuhnya terasa lelah, tapi aktivitas di pagi hari selalu yang paling ia senangi. Seperti halnya saat mereka makan bersama atau saat suara-suara menggemaskan Elio menggema karena gemas sendiri dengan mainannya.Namira menyendok selai cokelat lalu mengoleskannya di atas roti tawar yang berada di tangannya yang lain. Sarapan pagi ini atas permintaan suaminya yang harus segera pergi ke kantor. Laki-laki itu ingin tetap melakukan sarapan bersama tapi dengan sesuatu yang praktis supaya tak begitu banyak menyita waktunya yang sudah kembali memiliki jadwal yang padat.Awalnya Namira ingin menghidangkan semangkuk sereal. Namun sayang bahan utamanya tak tersedia, hanya ada beberapa kotak susu berukuran kecil, itu juga sisa dari perjalanan mereka kemarin. Di dalam k
Namira tersenyum setelah melihat pesan yang berisikan satu foto dari nomor baru yang tak ia kenal. Wanita itu mendengus seraya menggeleng kepalanya tak percaya. Jika dilihat dari foto yang gambarnya sedikit kabur, pasti itu diambil secara diam-diam. Tapi meskipun begitu, ia tetap bisa mengenali siapa mereka. Tujuan pengirim entah untuk memberitahu dirinya atau untuk alasan yang lain.Cukup lama Namira terpaku menatap ponsel di genggaman sampai mengundang kernyitan di dahi Bi Ida yang ada di sana. “Ada apa, Mbak?” tanya wanita yang kini membelakangi kitchen sink. Dengusan Namira yang membuat Bi Ida penasaran sampai membalikkan badan.Raut wajah Namira seketika berubah, cengkeraman pada ponsel dalam genggaman pun semakin kuat. Ini menjadi pengalaman pertama Bi Ida melihat wanita yang Arhan titipkan untuk dijaga itu berbeda dari biasanya.Bi Ida penasaran tentu saja, ia ingin segera melompat untuk melihat apa yang telah membuat Namira memasang wajah seperti itu, tapi ia cukup sadar diri
“Bibi ingat nggak Pak Marwan pernah nanya ke Mas Arhan tentang kaca mobil yang gelap pas kita lagi makan?” Namira bertanya kepada Bi Ida yang saat ini tengah duduk bersebelahan dengannya di ruang tamu. Keduanya menemani Elio bermain setelah wanita itu selesai menuntaskan tangisnya diselingi juga dengan menenangkan sang anak, Bi Ida juga ikut bergabung setelah menyelesaikan pekerjaannya.Atensi Bi Ida beralih kepada Namira ketika sebelumnya sibuk dengan mainan-mainan yang tergeletak di dekatnya. Ia ingat betul makan bersama terakhir kali itu. Suasananya begitu hangat, hatinya bahkan begitu senang bisa ikut bergabung dengan mereka.Saat itu Bi Ida melihat keharmonisan keduanya yang tak jarang ia lihat, dan juga selalu berhasil membuatnya tak bisa berlama-lama berada di sekitar mereka.“Itu Mas Arhan pergi tengah malem, terus pulang-pulang langsung ganti baju.”Kerutan di dahi Bi Ida semakin bertambah, raut wajahnya tak beda jauh dengan Namira di malam itu. “Aku nggak percaya kalau Mas A
Permintaan maaf Bi Ida yang diucapkan dengan tulus nyatanya menyentak kesadaran Namira yang mengais perhatian sejak dulu. Itu bukan karena ia merasa kurang mendapatkan hal itu dari suaminya serta penghuni rumah di sana, melainkan beberapa hal membuatnya jengkel dan merasa tersisihkan. Padahal ia juga merupakan tuan rumah di sana setelah menjadi istrinya Arhan.Bukankah semua perintahnya juga patut untuk didengar dan dilaksanakan?Namun selama dua tahun ini yang ia dapatkan adalah keterbatasan dalam melakukan apapun di beberapa kesempatan. Arhan tak membiarkannya bebas bahkan hanya untuk sekedar menikmati waktu sendiri. Ia butuh melupakan segala kepenatan rumah tangganya seperti mengurus anak.Namira tahu, semua kebutuhannya selalu terpenuhi. Ia juga tak pernah repot tentang bersih-bersih rumah, mencuci baju, mengepel lantai, mencuci piring sampai memasak. Kebanyakan Bi Ida yang melakukan itu semua. Tentu bukan karena ia tak mampu tapi suaminya yang memberi fasilitasi itu.Kesetiaan du
Terdengar dering ponsel pintar yang tergeletak tak jauh dari pemiliknya, menghentikan obrolan ringan antara dua wanita yang kini saling melempar canda dan melepaskan tawa. Namun setelah benda pipih itu diambil, deringnya berhenti. Lantas terpampang nomor baru yang sebelumnya mengiriminya sebuah foto.Namira mengernyitkan dahi dengan alis saling bertaut. Ia semakin penasaran siapa pemilik nomor itu sampai berani melakukan panggilan suara meski tak terjawab. Tak lama satu pesan masuk dari nomor itu. Kali ini bukan foto, melainkan sebuah video.Pemilik nomor itu sepertinya tak ingin ia abai tentang pesan yang telah diterimanya, oleh sebab itu pemilik nomor kembali mengiriminya pesan. Namira sengaja tak menjawab pesan sebelumnya. Bukan karena tak tersulut, melainkan tengah memikirkan cara untuk memulai semuanya. Orang paling penting dalam aksinya kali ini adalah Pak Marwan. Laki-laki itu harus setuju dan bersedia bekerjasama dengannya kali ini.Namun pesan selanjutnya yang ia terima menam
Setelah mengantongi izin dari suaminya. Namira masuk mobil dan duduk di kursi belakang bersama Elio. Mereka akan pergi untuk berbelanja bahan masakan dan mengisi kulkas yang kosong.Selama dalam perjalanan, tak ada yang bicara. Namira tengah harap-harap cemas untuk membicarakan hal yang serupa dengan Bi Ida kepada Pak Marwan. Ia takut jika sebuah penolakan yang diterima karena laki-laki paruh baya itu sangat setia kepada suaminya, ditambah sopir pribadi Arhan itu seorang laki-laki. Apa bisa masalah ini sampai membuat hatinya terenyuh sehingga bersedia membantunya?Ketika Wanita yang duduk bersebelahan dengan Elio itu tengah dilanda kebingungan serta kecemasan, Bi Ida yang duduk di kursi depan samping Pak Marwan berbalik badan menatapnya. “Mbak Nami katanya mau ngobrol sama Pak marwan.”Namira memelototkan matanya. Bagaimana mungkin Bi Ida bisa dengan ringan mengucapkan itu, padahal ia masih dalam tahap menimang kata yang harus disampaikan supaya bisa menyentuh hati laki-laki paruh bay
Entah pada kata yang mana, hati Iyan melembut sejenak mendengar permintaan maaf dari Raya. Namun tak lama ia kembali mengamuk. Dalam kesadarannya mendadak tak terima jika ia mengampuni wanita itu dengan mudah. Padahal ini sudah berlangsung bertahun-tahun.Iyan berteriak. Menepis tangan Arhan yang mencoba menahan untuk tak kembali menerjang Raya. Laki-laki itu berlalu pergi keluar sampai membuat Namira melongo dan meminta suaminya untuk mengejar sebab masalah mereka belum selesai. Rencana ini harus tetap berjalan bagaimana pun caranya.Saat Namira tengah meminta suaminya untuk melakukan sesuatu, Iyan kembali masuk dengan cara berjalan mundur. Di depannya ada dua orang bertubuh kekar yang menghadang langkah laki-laki itu yang akan meninggalkan villa.“Apa maksudnya ini?” tanya Iyan pada Arhan yang menyunggingkan senyum. Kini tubuhnya sudah sepenuhnya berbalik dan dua orang tak dikenal itu berdiri di belakangnya.Arhan memasukkan dua tangannya pada saku celana. “Siapa yang izinin kamu pe
Iyan refleks berdiri. Ia menghadang Arhan yang berjalan mendekat ke arah mereka seorang diri. Laki-laki itu tahu alasan Namira kabur karena sang suami yang berselingkuh sehingga membuat wanita itu memilih pergi. Ia mencoba melindungi mantan kekasihnya dari suaminya, takut-takut akan menarik pulang dengan paksa apalagi melihat tengah bersama dengan dirinya.Mata kedua laki-laki itu bertemu, saling memandang dengan tatapan sengit penuh pertarungan lewat sorot yang tajam. Langkah Arhan begitu tegas, tapi tak membuat Iyan ciut hanya karena hal itu. Laki-laki itu justru semakin mengepalkan tangan yang terentang, menyembunyikan Namira beserta anaknya di balik punggung. “Kamu diem di situ aja. Biar aku yang hadapi dia.”Andai Namira tengah berada dalam huru-hara rumah tangga yang sebenarnya atau kejadian saat ini sesuai dengan yang Iyan pikirkan, sudah pasti ia terbuai dengan apa yang mantan kekasihnya itu lakukan.Sikap Iyan benar-benar mencerminkan seorang laki-laki pelindung, yang kebanya
Karena tiba-tiba ada rencana yang harus dirubah sebab keberadaan Iyan yang tak di sangka-sangka ternyata ada di hotel yang sama dengan Namira. Wanita itu dengan spontan menjalankan rencana di luar yang sudah disepakati.Namira pikir, mengoptimalkan rencana untuk menggaet Iyan tanpa meninggalkan curiga adalah usaha untuk membuat laki-laki itu tetap ada dalam jangkauannya. Itu sebabnya ia meminta tolong pada sang mantan kekasih untuk mengantar dirinya ke villa.Semula Namira merasa bangga akan hal itu, tapi ternyata malah menjadi boomerang untuknya sampai semalaman terpikirkan beberapa kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya dan sang anak.Beruntung semalam Pak Marwan sudah mendapatkan kunci dari sang pemilik villa, jadi pagi ini Namira tinggal menempatinya saja tanpa dicurigai oleh Iyan.Sesampainya mereka di villa. Iyan dengan sigap membantu menurunkan barang-barang milik Namira. Dua tas jinjing di kedua tangannya bukanlah sesuatu yang merepotkan, beratnya saja tak terasa menurut
Akhirnya mereka sampai pada hari di mana akan membungkam dan membuat Iyan dan Raya tak bisa berkutik lagi. Namira berharap semuanya berjalan lancar hari ini supaya bisa fokus pada hal lain yang tak kalah penting.Karena nyatanya masalah yang menimpa rumah tangganya bisa berpengaruh besar ke segala hal dalam hidup mereka, tak terkecuali dampak utamanya adalah hubungannya dengan Arhan.Berbicara tentang hari ini, semalam Namira sudah memberitahu Arhan semuanya mengenai pertemuan tak sengajanya dengan Iyan. Memang ia tak tahu apa yang sebenarnya mantan kekasihnya itu lakukan di Bandung.Namun mengingat laki-laki itu memang asli orang Bandung dan orang tuanya yang baru ia ketahui ternyata Pak Ato juga ada di kota yang sama dengannya saat ini. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau salah satunya urusan Iyan adalah mengunjungi ayahnya.Jika diperkenankan untuk berpikir lebih luas lagi. Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran Namira tentang keberadaan Iyan yang katanya baru sampai kemarin. Apa
Sesampainya di lobi hotel, Namira menghampiri resepsionis terlebih dahulu untuk mengkonfirmasi pesanannya yang dilakukan melalui sebuah aplikasi yang bekerja sama dengan hotel tersebut.Namira tidak langsung pergi untuk beristirahat dengan nyaman, ia memilih untuk duduk sebentar di lobi hotel sembari menunggu Pak Marwan selesai mengangkut semua barang bawaan mereka.Dalam beberapa detik mata Namira menangkap sosok laki-laki yang sebelumnya tidak ia ketahui keberadaannya. Bahkan ia sempat kebingungan untuk membuat sang mantan kekasih untuk mau menemuinya, tapi Tuhan sepertinya tengah berpihak padanya saat ini.Senyum Namira tersungging senang, lalu ia merapikan penampilannya. Satu tas yang tergeletak tak jauh darinya dengan ukuran sedang dan tidak terlalu berat semakin membuat otaknya bekerja lebih cepat. Semua pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan Iyan sudah memiliki jawaban di kepalanya.Mata mereka bertemu kala Namira mengangkat kepala. Ia bisa melihat bahwa Iyan terkejut dengan
“Pak kita ke villa dulu, ya,” ucap Namira yang seketika teringat jika tugas kedua setelah mengecek kondisi rumah orang tuanya adalah mengunjungi penginapan yang sebelumnya mereka sewa untuk melancarkan aksinya besok.Tak ada anggukan atau sesuatu yang menunjukkan kesediaan Pak Marwan dalam menunaikan perintah majikannya itu. Namira sempat mengernyitkan dahi, tapi tak mau ambil pusing. Sudah pasti laki-laki paruh baya itu akan menuruti segala perintahnya saat ini sebab tidak mungkin menunggu persetujuan suaminya dulu.Namun tiba-tiba mobil yang mereka kendarai, Pak Marwan bawa untuk menepi. “Ada apa, Pak?” tanya Namira yang semakin mengernyitkan dahinya. Ia menatap sekeliling, jelas sekali saat ini mereka belum sampai di villa apalagi hotel.Sang sopir itu mengeluarkan ponselnya tanpa berniat mengucapkan apapun kepada Namira yang seketika menjadi marah sebab beranggapan kalau Pak Marwan akan menghubungi suaminya untuk meminta izin membawanya ke villa bukan ke hotel, sesuai yang Arhan u
Berbeda dengan Arhan yang sudah melacarkan aksinya sebelum ia benar-benar pergi ke Bandung. Namira justru sama sekali belum melakukan apapun untuk membuat Iyan mau menemuinya besok. Ia baru sampai di rumah orang tuanya. Dugaannya ternyata benar bahwa rumah yang ditinggali oleh orang tuanya sebelum meninggal itu sudah seperti rumah hantu, bangunan terbengkalai dan tak layak huni. Apa yang dikatakan suaminya pun sepenuhnya benar kalau Pak Ato tidak melakukan pekerjaannya dengan baik, sama seperti masalah kosan yang keadaannya tidak seasri dulu. Namira membuang napas berat, sebelum ia turun untuk mengambil gambar supaya bisa ditunjukkan pada suaminya. Terlebih dahulu ia menghubungi saudara satu-satunya yang ia miliki sebab Bima lah yang menjadikan Pak Ato sebagai penanggung jawab atas bagian luar rumah itu, tapi tak dilakukan dengan benar. Sambungan telepon itu tak kunjung mendapatkan jawaban sampai wanita itu berdecak sebal. "Mana, sih, Kak Bima? Kenapa nggak angkat teleponnya?"
Sepeninggal istri dan anak juga Pak Marwan. Laki-laki yang kedapatan pergi besok untuk menyusul Namira kini tengah duduk di meja makan.Lebih tepatnya Arhan mengikuti langkah Bi Ida hingga dapur. Ia duduk di sana sementara wanita paruh baya itu menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda karena kepergian majikannya.Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tak ada yang berniat membuka suara. Apalagi Bi Ida meskipun sudah lama bekerja dengan Arhan, jika di hadapkan dengan laki-laki itu tetap saja bingung mau memulai pembicaraan apa untuk memecah keheningan.Suasana diantara mereka terkesan canggung meskipun Bi Ida saat ini tengah membelakangi majikannya. Arhan pula tak memedulikan apa yang dilakukan pembantunya di sana. Laki-laki itu hanya merasa kesepian setelah kepergian istri beserta anaknya, jadi di sanalah ia sekarang. Mengalihkan kekosongan dengan kehadiran wanita yang sibuk dengan aktivitasnya.Arhan memainkan ponsel sejak tadi. Ia mulai melancarkan aksi untuk membuat Raya
“Doain lancar dan selamat sampai tujuan, ya, Mas.”Namira mengutarakan permohonan dari ketakutan sebab akan menempuh perjalanan berjam-jam tanpa didampingi suaminya. Ia hanya akan ditemani oleh Pak Marwan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Tentu ini juga menjadi pengalaman pertama selama menikah. Biasanya kemanapun dan mau sejauh apapun pasti Arhan akan selalu berada di sampingnya untuk menemani dan berbagi tugas atas Elio. Namun kali ini sepertinya ia akan mengendalikan dirinya sendiri sebelum laki-laki itu menyusul ke Bandung.Pelukan Namira semakin lama semakin erat. Tak mau berpisah dengan suaminya yang justru tengah merasakan kegembiraan sebab tingkah laku wanita itu yang manja. Berbeda dengan bayangannya saat laki-laki itu mengajaknya pulang. Ia kira yang akan didapatkan itu gerutuan, tatapan sinis, bahkan menghindari dirinya, tapi ternyata semua itu terjadi sebaliknya. Contohnya seperti sekarang ini.“Selalu aku doakan, Sayang. Nanti di sana minta tolong sa