Percakapan antara Raya dan Iyan di telepon terputus begitu saja. Ini bukan hal baru buat wanita yang kini menatap datar layar ponselnya. Kejadian semacam ini memang sering terjadi dan itu pasti Iyan yang mengakhirinya secara sepihak.Raya membuang napas lelah, ia meletakan ponselnya sembarang di atas kasur. Lantas bangun, tubuhnya terduduk dengan lemas setelah lelah melewati hari ini. Namun matanya terbelalak setelah melihat Nima yang bersila dengan es krim di pangkuan. Isinya sudah hampir habis.“Nima!” Raya geram. Ia berteriak dengan tertahan. “Siapa yang nyuruh kamu ngabisin es krimnya sendirian?”Nima yang beringsut ketakutan menatap ibunya yang tengah menahan amarah. “Ibu mau? Ini masih ada sisa, kok,” ucap anak itu menyerahkan es krimnya ragu-ragu.Kali ini Raya membuang napasnya kasar. Ia terlalu bersemangat menceritakan tentang hari ini kepada Iyan. Padahal respon yang didapat pun tidak sesuai yang ia harapkan. Justru malah membuatnya melupakan sang anak yang dengan nyaman men
Setelah beristirahat sejenak, Namira berlalu dari ruang tamu bersama sang anak yang kini tawanya sudah hilang sepenuhnya. Tergantikan dengan kantuk yang mulai menyergap. Langkah kakinya tak berhenti bahkan ketika Arhan memintanya untuk tinggal lebih lama dan mengobrol, menceritakan lebih jauh tentang kunjungan mereka ke makan sang mertua.Namira berjalan menuju kamar tidur, ia mendudukkan Elio di atas ranjang. Namun sang anak dengan lemas segera menjatuhkan dirinya sendiri hingga tubuhnya terlentang, beruntung alasnya tidak keras sehingga pekikan ibunya tertahan dan berakhir bernapas lega.“Kenapa nggak bilang kalau mau ketemu sama Ayah-Ibu, Ay? Aku juga belum nyapa mereka. Nanti temenin, ya, ke sana.” Arhan mendekat, ikut duduk di sisi ranjang. Memperhatikan sang istri yang tengah mempreteli baju yang seharian digunakan oleh sang anak.Wanita yang tengah sibuk itu hanya berdeham, tak menatap sang suami barang sebentar saja. Hatinya masih diliputi dengan kecemburuan serta kekesalan ba
Makan malam yang disediakan oleh Bi Ida sudah habis tanpa sisa. Meja makan dengan empat kursi di dapur terisi semua. Pak Marwan serta Bi Ida ikut menyantap beberapa hidangan di sana bersama pasangan suami istri yang kebanyakan fokus dengan piring nasi mereka, bahkan hampir tidak ada suara yang keluar sekedar membicarakan aktivitas hari ini.Bi Ida sudah sibuk memindahkan piring-piring kotor ke kitchen sink dibantu oleh Namira yang kentara tengah menghindari Arhan yang sejak tadi menatapnya dengan lekat. Laki-laki itu menunggu tatapan mereka bertemu tanpa sengaja dan tanpa perlu ada teguran untuk memberi isyarat kepada sang istri jika mereka perlu bicara lebih lanjut setelah pelukan keduanya yang dilewati dengan tangisan tanpa ada sepatah kata pun dari istrinya.“Mbak mending istirahat, cucian piringnya biar sama saya aja.”Bi Ida menolak untuk dibantu apalagi digantikan tugasnya. Tatapan Arhan sudah sangat mengintimidasi dirinya saat ini. Laki-laki itu seolah menyuruhnya untuk mengusi
Arhan tak terima atas apa yang istrinya katakan. Laki-laki itu lantas berdiri sebab tuduhan itu tak sesuai dengan kenyataan. Ia memang berbicara berdua dengan Raya, tapi tidak sampai menumbuhkan rasa yang disebutkan Namira.Reaksi spontan Arhan mengundang kernyitan di dahi wanita yang tangannya hampir dihempas kasar suaminya. Namira mendongak, menatap bingung laki-laki di hadapannya.“Aku nggak nyangka kamu bisa nuduh aku kayak gitu. Aku cuman ngobrol aja sama Raya. Nggak ada apa-apa, nggak seperti yang kamu bilang. Aku cuman kasian aja sama mereka, terlebih Nima yang ingin ada sosok Ayah di hidupnya.”Ucapan tak terima yang Arhan lontarkan bisa Namira pahami jika tidak disertai dengan emosi yang meluap-luap. Mereka bisa membicarakan ini dengan baik-baik, tanpa perlu meninggikan suara serta respon tubuh yang berlebihan. Kalau begini, ia bisa mengambil kesimpulan jika tuduhan itu benar adanya.Namira menyunggingkan senyumnya. Ia menundukkan kepala seraya memainkan jari-jarinya di atas
Suasana pagi ini berjalan dengan normal. Area dapur terlihat lebih sibuk seperti biasa dibandingkan tempat lain. Namira kembali membantu Bi Ida yang tengah memasak. Wanita yang masih mengenakan pakaian tidur itu berdiri di depan kitchen sink untuk mencuci peralatan dapur yang kotor. Sedangkan Bi Ida terus mengoreksi rasa di depan kompor.Kali ini wanita paruh baya itu tak menolak ketika istri majikannya hendak membantu karena tak ada Arhan di sana yang akan membuatnya beringsut ketakutan. Lagi pula kegiatan seperti ini sering terjadi ketika mereka ada di rumah. Jadi bukan sesuatu yang asing untuk keduanya.“Saya nggak liat Mas Arhan, Mbak,” ucap Bi Ida memecah keheningan. Sejak tadi hanya terdengar suara air serta peralatan dapur yang saling bergesekan.“Ada di kamar masih tidur,” jawab Namira tanpa mengubah fokus dari cucian piring.Bi Ida tak bertanya lagi setelah mendapatkan jawaban dari wanita di sampingnya. Mereka kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sementara di halaman
Sepulang dari makam Ayah ibunya. Namira beserta penghuni villa yang lain akan kembali pulang ke Jakarta. Masa liburan yang tak sepenuhnya menyenangkan akan segera berakhir. Wanita itu akan kembali sibuk dengan posisinya sebagai ibu rumah tangga, meskipun tak ada bedanya dimanapun ia berada. Arhan juga harus segera kembali bekerja karena jadwalnya yang mulai padat. Pasti banyak hal yang perlu diurus.Semua pakaian dan juga berbagai barang sudah ada di bagasi mobil. Pak Marwan yang mengangkut semuanya saat mereka tidak ada. Sementara Bi Ida mengecek kembali seisi villa, takut ada barang yang tertinggal. Wanita paruh baya itu menyusuri dari mulai halaman belakang, semua kamar tidur hingga kamar mandinya, dapur, serta ruang tamu, dan yang terakhir halaman depan. Semua sudah tampak seperti saat pertama mereka datang.Namira dan Bi Ida belum masuk ke dalam mobil. Dua wanita itu terlebih dahulu menyerahkan kunci kepada pemilik villa dan sedikit mengobrol tentang suasana yang nyaman dan kondi
Setelah menghabiskan waktu dua jam lebih tanpa berhenti. Pak Marwan berhasil membawa orang-orang di dalam mobil yang dikendarai olehnya sampai dengan selamat tanpa bertukar posisi dengan yang lain.Laki-laki paruh baya itu bahkan tak mengeluh lelah kala semua barang ia turunkan untuk dibawa sebagian oleh Bi Ida dan Arhan. Sementara Namira memangku Elio yang menghabiskan banyak waktu dalam perjalanan dengan tidur.Wanita itu jadi merasa bersalah karena telah membuat sang anak kelelahan dalam dua minggu terakhir ini. Akan tetapi ia tidak bisa meninggalkan dan menitipkan anaknya kepada orang lain. Jadi mau tidak mau bayi itu harus selalu ada bersamanya.Semua orang berjalan menuju teras depan rumah yang sudah ditinggalkan beberapa hari itu. Pasti akan ada debu yang cukup tebal karena tidak ada yang merawatnya selama mereka pergi. Bi Ida selaku pemegang kunci segera mendekat ke arah pintu untuk membuka kunci sementara yang lain menunggu dengan tak sabaran.Rasanya punggung mereka ingin se
Kesibukan pagi ini kembali seperti semula, Arhan yang pagi-pagi sekali sudah rapi dengan setelan jasnya, Namira yang sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk keluarganya, dan Elio yang bermain sendiri di depan TV ruang tamu.Meskipun tubuhnya terasa lelah, tapi aktivitas di pagi hari selalu yang paling ia senangi. Seperti halnya saat mereka makan bersama atau saat suara-suara menggemaskan Elio menggema karena gemas sendiri dengan mainannya.Namira menyendok selai cokelat lalu mengoleskannya di atas roti tawar yang berada di tangannya yang lain. Sarapan pagi ini atas permintaan suaminya yang harus segera pergi ke kantor. Laki-laki itu ingin tetap melakukan sarapan bersama tapi dengan sesuatu yang praktis supaya tak begitu banyak menyita waktunya yang sudah kembali memiliki jadwal yang padat.Awalnya Namira ingin menghidangkan semangkuk sereal. Namun sayang bahan utamanya tak tersedia, hanya ada beberapa kotak susu berukuran kecil, itu juga sisa dari perjalanan mereka kemarin. Di dalam k