Jadi karena itu kamu menikahiku? Karena kamu mengira, aku akan pasrah saja ketika suamiku membunuh ayahku, begitu maksudmu? Nein, nein, nein! Tapi aku toh tak bisa terus-terusan begini. Bagaimanapun, dia seorang lelaki yang memiliki kebutuhan. “Aku tidak membalas dendam. Tapi aku rasa ini yang terbaik untuk kita. Apakah kamu merasa nyaman, kalau aku tidak nyaman dengan sentuhanmu?”
“Kamu tidak nyaman?” Dahi suaminya berkerut. “Kamu tidak pernah memberikan kesempatan padaku untuk menyentuhmu, bagaimana kamu tahu kamu tidak akan nyaman?”
“Ngg… mana kutahu? Melihatmu saja sudah membuatku sakit.” &n
Cih, cih, cih! Lagaknya, sudah kayak pengantin baru saja! Kamu kira pintu maafku akan terbuka dengan makan malam di teras belakang? Uh, jangan harap. Dasar lelaki!Karena dari awalnya sudah tak niat dengan makan malam itu, Ruby dandan seadanya saja. Mengapa dia bersemangat sekali mengundangku makan, pikirnya heran. Ingin memperbaiki hubungan kami yang sudah mendingin? Mungkin aku akan memaafkannya jika ia bersimpuh di depan makam ayahku. Barulah itu impas.Hari ini bukan hari ulang tahun suaminya maupun dirinya, tapi… Ya ampun! Baru disadarinya mengapa Attar begitu ngotot mengundangnya. Hari ini hari jadi mereka yang ketiga! Mengapa dirinya bodoh sekali, lupa dengan hari jadi mereka!Setahun yang lalu Ruby sengaja melupakannya karena perasaan marah dan kecewa itu masih ada di hatinya. Tapi sekarang, begitu melihat perhatian yang diberikan suaminya, ia tidak tega untuk mengecewakan suaminya lagi.Sudah bukan saatnya ngambek seperti ini. Ia sudah men
Ia segera menyambut suaminya di pintu depan.Begitu melihat dengan siapa suaminya pulang, nyeri di dadanya datang lagi.“Saya bisa mengurus suami saya sendiri!” Dengan gemas Ruby menarik suaminya dari rangkulan Lucy. Suaminya sempoyongan menyangga pada dirinya, dan Ruby langsung tahu, suaminya mabuk! “Kenapa sih kamu!?”Daripada disembur umpatannya, Lucy pamit. “Saya yang mengajaknya minum wine di bar langganan kami. Saya tidak tahu kalau kalian sudah menikah. Ia tidak memberitahu saya. Permisi.”Ruby memanggil Bik Minah untuk membantunya membopong suaminya ke kamar. Dilentangkannya suaminya di tempat tidur. Barangkali putranya tahu ayahnya sedang mabuk. Eda seketika menangis.Ruby merasa kepalanya pusing sekali. Masalah yang satu belum selesai, masalah yang lain datang. Segera digendongnya Eda dan ditepuk-tepuknya bagian belakang bayinya. Begitu anaknya anteng, dibaringkannya di boks bayi.
"...Dan aku mohon, jangan pernah meragukan cintaku padamu.”Bibir Ruby mulai bergetar mendengarnya. Ya ampun, seumur hidupnya, tidak pernah ada yang menatapnya seperti ini. Bibir mungkin bisa saja berdusta, tapi mata yang tengah memandanginya ini… Tiba-tiba keyakinan itu datang dengan sendirinya.Attar tidak berbohong.Dia mencintaiku, sama seperti aku mencintainya.Ia tak kuasa menahan air matanya. “Aku ingin sekali percaya padamu…” Ia menyandarkan dahinya di dada suaminya yang keras. “Tapi rasanya sulit sekali. Aku takut kamu tidak bisa mempertahankan kepercayaan dariku lagi…”“Aku tahu kesalahanku akan selalu membekas dan tidak akan hilang dari memorimu, Nia. Segebung dusta kuberikan padamu, tapi tak pernah kudustai perasaanku padamu.” Attar menyentuhkan bibirnya di kening istrinya. “Aku memang egois dan bodoh dalam tindakanku. Tidak maukah kamu memberi kesempatan pada orang bo
“Eda, watch out!! Eh, syukurlah, dia tidak terjungkal ke kolam renang!”“Jangan terlalu mengkhawatirkannya, Sayang. Banyak yang menjaganya. Kamu tidak lihat Kakek Hasyim dan Kakek Gunawan yang dari tadi harap-harap cemas di tempat duduknya agar Eda tidak celaka?” Ia menyodorkan mug-nya pada suaminya. “Mau?”“Boleh.” Setelah meminumnya, Attar menatapnya dengan heran. “Tumben. Biasanya kamu menyukai kopi.”“Seperti dirimu yang awalnya tidak menyukai kopi, kemudian kamu jadi gila kopi.”“Kamu tahu aku tidak menyukai kopi?”“Satu hal yang tidak bisa kamu bohongi.”Attar mengecup bibir istrinya dengan lembut. Untunglah saat itu tamu-tamu sedang pesta barbeque di halaman belakang. Kalau tidak, muka istrinya pasti memerah. “Aku tidak akan berbohong padamu lagi.”“Aku percaya.”“Tapi a
Setelah menggendong putranya dan melentangkannya di tempat tidur, ia menggamit istrinya ke halaman belakang. Tamu-tamu sudah pulang, tinggal Bik Minah yang sibuk membersihkan rumah.“Biar besok saja, Bik,” kata Ruby iba. “Saya sudah meminta Mami untuk mengirimkan orang untuk membantu Bik Minah besok pagi.”Pembantunya manggut, lalu meninggalkan kedua majikannya di sana. Attar menekan saklar dan kerlap-kerlip di setiap bunga menerangi taman. Kemudian, diajaknya istrinya untuk duduk bersebelahan di sebuah bangku.“Eda aktif sekali hari ini,” katanya.Ruby bersandar di dada suaminya. “Aku senang, anakku tidak seperti diriku,” sahutnya dengan letih. Hari ini ia terlalu banyak mengeluarkan tenaga. “Dia tidak pemalu.”“Anak kita,” terdengar koreksi dari suaminya. “Apapun bentuknya, dia adalah anak kita. Dan aku janji, aku tidak akan membiarkan anak kita mengikuti tabiat buruk k
Attar bisa memberikannya sebuah buku kecil yang harganya tak sebanding dengan perhiasan yang ada di depannya, dan ia akan menganggap itu sebuah benda yang paling berharga.“Aku tidak pernah memintamu…”“Sssst, biarkan aku melihat kalung ini tergantung di lehermu yang jenjang, Sayangku. ” Attar mengalungkan berlian itu pada leher istrinya. Selama suaminya melakukannya dengan ia membelakanginya, ia berusaha untuk mengatur napasnya yang mulai sesak karena terharu.Suaminya membalikkan tubuhnya. “Kamu terlihat mengagumkan, dengan atau tanpa kalung itu di lehermu.” Kemudian suaminya mengecup bibirnya dalam-dalam—penuh cinta. “I love you, Sweetheart,” bisik Attar tepat di depan bibir istrinya. Dihapusnya air mata istrinya dengan lidahnya. “Menangislah, untuk kebahagiaan yang kita miliki sekarang dan nanti.”Cinta yang hinggap di hati sanubari keduanya membawa mereka pada pintu keb
“Itu baru anak Papa, takut gagal,” sambung Attar bangga. “Tapi benar kata mamamu, Endra. Jangan lakukan itu lagi. Tidur malam itu selain membuat kamu gemuk, kamu juga akan sulit berkonsentrasi untuk belajar di pagi harinya. Kamu masih mau kuliah di Harvard, kan?”“Iya dong, biar bikin kalian capek bolak-balik Amerika-Indonesia,” jawab Eda nyengir.“Loh, kok maksudnya gitu sih?” tegur Ruby perhatian. “Kalau Eda sudah seusia itu, Papa dan Mama sudah lebih tua dan mungkin kesehatan kita menurun.”“Apa pun alasannya, kamu harus belajar yang baik, Eda. Papa seratus persen mendukungmu, dalam hal apapun, asalkan itu ada hubungannya dengan pendidikan, oke?”Eda mengangguk mendengar nasihat orangtuanya. “Mama, tadi malam Kakek Buyut Hasyim menelepon, kan? Kok Kakek Buyut nggak ngobrol sama Eda?”“Kakek meneleponmu?” tanya Attar dengan dahi berkerut.&ldquo
“Siapa yang mengatakan itu padamu, Sayang?” tanya Ruby pelan. “Mereka sok tahu sekali.”“Katanya orangtua mereka mendengar desas-desus itu dari forum internet, Ma! Aku jadi tak bisa punya teman lagi, deh.”“Tapi Eda tahu kan kalau itu tidak benar?”Ya, Sayang, itu memang benar. Tapi Mama sudah memaafkan ayahmu, dan kamu tidak bisa menyakitinya, karena bahkan kakek Mama justru mendukungnya.Melihat anaknya diam saja, Ruby melanjutkan untuk meyakinkannya, “Eda sayang, kalau benar Papa membunuh papanya Mama, buat apa Mama menikah dengan Papa? Buat apa kami memiliki Eda?”Biarlah aku tak usah memberitahu bahwa saat itu aku tidak tahu kebenarannya daripada masalahnya lebih runyam. Percaya atau tidak, kata-kata yang keluar dari anak kecil sangat menarik perhatian orang dewasa karena mereka tidak bisa berbohong.“Tapi aku jadi tidak memiliki teman, Ma.”“Terus Eda