Setelah menggendong putranya dan melentangkannya di tempat tidur, ia menggamit istrinya ke halaman belakang. Tamu-tamu sudah pulang, tinggal Bik Minah yang sibuk membersihkan rumah.
“Biar besok saja, Bik,” kata Ruby iba. “Saya sudah meminta Mami untuk mengirimkan orang untuk membantu Bik Minah besok pagi.”
Pembantunya manggut, lalu meninggalkan kedua majikannya di sana. Attar menekan saklar dan kerlap-kerlip di setiap bunga menerangi taman. Kemudian, diajaknya istrinya untuk duduk bersebelahan di sebuah bangku.
“Eda aktif sekali hari ini,” katanya.
Ruby bersandar di dada suaminya. “Aku senang, anakku tidak seperti diriku,” sahutnya dengan letih. Hari ini ia terlalu banyak mengeluarkan tenaga. “Dia tidak pemalu.”
“Anak kita,” terdengar koreksi dari suaminya. “Apapun bentuknya, dia adalah anak kita. Dan aku janji, aku tidak akan membiarkan anak kita mengikuti tabiat buruk k
Attar bisa memberikannya sebuah buku kecil yang harganya tak sebanding dengan perhiasan yang ada di depannya, dan ia akan menganggap itu sebuah benda yang paling berharga.“Aku tidak pernah memintamu…”“Sssst, biarkan aku melihat kalung ini tergantung di lehermu yang jenjang, Sayangku. ” Attar mengalungkan berlian itu pada leher istrinya. Selama suaminya melakukannya dengan ia membelakanginya, ia berusaha untuk mengatur napasnya yang mulai sesak karena terharu.Suaminya membalikkan tubuhnya. “Kamu terlihat mengagumkan, dengan atau tanpa kalung itu di lehermu.” Kemudian suaminya mengecup bibirnya dalam-dalam—penuh cinta. “I love you, Sweetheart,” bisik Attar tepat di depan bibir istrinya. Dihapusnya air mata istrinya dengan lidahnya. “Menangislah, untuk kebahagiaan yang kita miliki sekarang dan nanti.”Cinta yang hinggap di hati sanubari keduanya membawa mereka pada pintu keb
“Itu baru anak Papa, takut gagal,” sambung Attar bangga. “Tapi benar kata mamamu, Endra. Jangan lakukan itu lagi. Tidur malam itu selain membuat kamu gemuk, kamu juga akan sulit berkonsentrasi untuk belajar di pagi harinya. Kamu masih mau kuliah di Harvard, kan?”“Iya dong, biar bikin kalian capek bolak-balik Amerika-Indonesia,” jawab Eda nyengir.“Loh, kok maksudnya gitu sih?” tegur Ruby perhatian. “Kalau Eda sudah seusia itu, Papa dan Mama sudah lebih tua dan mungkin kesehatan kita menurun.”“Apa pun alasannya, kamu harus belajar yang baik, Eda. Papa seratus persen mendukungmu, dalam hal apapun, asalkan itu ada hubungannya dengan pendidikan, oke?”Eda mengangguk mendengar nasihat orangtuanya. “Mama, tadi malam Kakek Buyut Hasyim menelepon, kan? Kok Kakek Buyut nggak ngobrol sama Eda?”“Kakek meneleponmu?” tanya Attar dengan dahi berkerut.&ldquo
“Siapa yang mengatakan itu padamu, Sayang?” tanya Ruby pelan. “Mereka sok tahu sekali.”“Katanya orangtua mereka mendengar desas-desus itu dari forum internet, Ma! Aku jadi tak bisa punya teman lagi, deh.”“Tapi Eda tahu kan kalau itu tidak benar?”Ya, Sayang, itu memang benar. Tapi Mama sudah memaafkan ayahmu, dan kamu tidak bisa menyakitinya, karena bahkan kakek Mama justru mendukungnya.Melihat anaknya diam saja, Ruby melanjutkan untuk meyakinkannya, “Eda sayang, kalau benar Papa membunuh papanya Mama, buat apa Mama menikah dengan Papa? Buat apa kami memiliki Eda?”Biarlah aku tak usah memberitahu bahwa saat itu aku tidak tahu kebenarannya daripada masalahnya lebih runyam. Percaya atau tidak, kata-kata yang keluar dari anak kecil sangat menarik perhatian orang dewasa karena mereka tidak bisa berbohong.“Tapi aku jadi tidak memiliki teman, Ma.”“Terus Eda
“I’m glad that you’re happy, Ruby. Sampaikan salamku pada Attar. Dia memang… lelaki yang pantas mendapatkan ini semua.”Ruby tahu Adam masih mengharapkannya dari nada pria itu bicara, tapi ia tidak akan menganggap itu serius. Masa lalunya dengan Adam sudah berakhir dan tak akan pernah dimulai lagi. Ruby menampilkan senyum. “Well, thank you, Adam. Sampaikan juga salamku untuk istrimu.”**“Papa.”Tanpa menoleh pun Attar tahu suara siapa itu. Ia yang sedang membaca koran tidak mengangkat mukanya. “Yes, Sweetheart?”Eda duduk di samping ayahnya. Ia menghela napas dulu, menunjukkan ia cukup berat untuk mengatakannya. “Sepertinya dua minggu lagi kita tidak bisa mancing ikan deh.”Mereka memiliki kebiasaan memancing ikan di rumah kakek Attar. Di sana ada balong yang berisi banyak ikan mas dan nila. Siapa yang ikannya sedikit dialah yang goreng
“Yang paling penting siapa yang menyebarkan berita itu ke forum. Aku sudah membacanya, dan aku menyarankanmu untuk tidak peduli dengan hal itu, oke?”“Kamu tahu aku akan melakukan sebaliknya.”“Yang aku tahu adalah…” Ruby bangkit dari posisi tidurnya dan menarik tangan suaminya ke area sensitif di tubuhnya. “Suamiku tidak akan menghilangkan momen bahagia bersamaku hanya karena omongan-omongan orang usil.”Dan mereka melakukannya lagi dengan jauh lebih baik.**Eda kembali diantar sopir seperti biasa. Karena jalannya searah dengan kantor ayahnya, mereka selalu pergi di mobil yang sama. Biasanya setelah salam mobil itu akan pergi menjauh, tapi hari ini tidak. “Papa mau makan di kantin selama kamu ujian.”Anak kecil itu mengangguk. Ia yakin, papanya yang hebat ini pasti kuat banget mendengar ocehan-ocehan ibu-ibu yang suka bergosip di kantin. Kemarin
“Kalau saya mengancamnya kita tidak mungkin punya Endra. Satu hal lagi yang saya ingatkan, kalian tidak punya bukti apa-apa dengan perkataan kalian, tapi saya punya bukti pembicaraan kalian. Hentikan omong kosong kalian atau kita bertemu lagi di pengadilan.”Ya, dan itu berhasil. Ibu-ibu itu tidak bicara lagi selama Attar di sana sampai jam sekolah selesai. Bahkan ketika Attar melirik sekali, ibu bertubuh gemuk itu tidak makan apa-apa.Mungkin kata-katanya terlalu kasar, tapi Attar tidak peduli. Dia tahu apa yang dilakukannya. Dia melindungi anaknya. Seperti ayahnya yang tidak meninggalkannya ketika ia trauma dengan kejadian di mana ia membunuh ayah Ruby.Attar jarang mengambil cuti kalau tidak ada alasan mendesak. Kakeknya yang sekarang hanya mengawasi perusahaan, namun bukan komisaris resmi (memang tidak perlu hal semacam itu karena semua anggota dewan komisaris adalah anak-anaknya), memintanya untuk datang ke rumahnya. Entah dari mana telinganya y
Ruby belum tidur. Istrinya sedang menyetrika celananya yang akan dipakai besok. Kalau sudah malam begini, Ruby membawa papan setrikaan serta alat setrikanya ke kamar. Walaupun sudah ada yang namanya mesin uap untuk merapikan pakaian, Ruby masih suka melakukan tindakan tradisional.Untuk pakaian suami dan anaknya, Ruby selalu menyetrikanya sendiri, meski dua bibinya agak keberatan karena gaji mereka terlalu besar. Ia ingin menjadi istri serta ibu yang aktif, bukan yang hanya menghabiskan uang suami dan menjadikan anaknya untuk dijadikan cover majalah.Hari ini Ruby pasti menghadapi situasi yang melelahkan. Bi Minah tidak datang karena anaknya melahirkan. Sementara Mbok Tum sedang demam. Sampai Ruby membuang cabai dan makanan pedas lainnya dari lemari dan kulkas agar tak ada yang sakit di rumahnya.Attar memijat bahu istrinya. “Punya rumah sebesar ini dan hanya kamu yang mengurusnya, maafkan aku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan.”&ld
Satu jam kemudian Eda berangkat ke sekolah diantar sopir. Ruby masih di meja makan bersama ibunya.Ibunya menggeleng-geleng.“Ruby, Mami bukan mau memanas-manasi hatimu,” kata Lestari hati-hati. “Tapi ini mengingatkanmu pada ayahmu. Awalnya dia berangkat pagi, lama-lama pulang malam, dan bahkan tidak memakai sopir. Sama seperti suamimu hari ini.”Ruby mengerti kecemasan ibunya. Ia hanya tersenyum. “Mam, Attar bukan pria seperti itu. Aku sangat percaya padanya.”“Mami kan jarang bertemu Attar, Ruby. Tidakkah dia punya rasa hormat sedikit pada ibu mertuanya? Atau jangan-jangan dia sudah tidak sabar ingin menemui..”“Maafkan sikap Attar pada Mami. Pasti ada urusan mendesak. Banyak sekali proyek yang sedang ditanganinya, wajar saja kalau dia begitu, Mam.”“Suamimu ini sedang di atas, Ruby. Pasti banyak wanita yang mengincarnya.”“Saya tidak yakin Attar ber