Ruby belum tidur. Istrinya sedang menyetrika celananya yang akan dipakai besok. Kalau sudah malam begini, Ruby membawa papan setrikaan serta alat setrikanya ke kamar. Walaupun sudah ada yang namanya mesin uap untuk merapikan pakaian, Ruby masih suka melakukan tindakan tradisional.
Untuk pakaian suami dan anaknya, Ruby selalu menyetrikanya sendiri, meski dua bibinya agak keberatan karena gaji mereka terlalu besar. Ia ingin menjadi istri serta ibu yang aktif, bukan yang hanya menghabiskan uang suami dan menjadikan anaknya untuk dijadikan cover majalah.
Hari ini Ruby pasti menghadapi situasi yang melelahkan. Bi Minah tidak datang karena anaknya melahirkan. Sementara Mbok Tum sedang demam. Sampai Ruby membuang cabai dan makanan pedas lainnya dari lemari dan kulkas agar tak ada yang sakit di rumahnya.
Attar memijat bahu istrinya. “Punya rumah sebesar ini dan hanya kamu yang mengurusnya, maafkan aku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan.”
&ld
Satu jam kemudian Eda berangkat ke sekolah diantar sopir. Ruby masih di meja makan bersama ibunya.Ibunya menggeleng-geleng.“Ruby, Mami bukan mau memanas-manasi hatimu,” kata Lestari hati-hati. “Tapi ini mengingatkanmu pada ayahmu. Awalnya dia berangkat pagi, lama-lama pulang malam, dan bahkan tidak memakai sopir. Sama seperti suamimu hari ini.”Ruby mengerti kecemasan ibunya. Ia hanya tersenyum. “Mam, Attar bukan pria seperti itu. Aku sangat percaya padanya.”“Mami kan jarang bertemu Attar, Ruby. Tidakkah dia punya rasa hormat sedikit pada ibu mertuanya? Atau jangan-jangan dia sudah tidak sabar ingin menemui..”“Maafkan sikap Attar pada Mami. Pasti ada urusan mendesak. Banyak sekali proyek yang sedang ditanganinya, wajar saja kalau dia begitu, Mam.”“Suamimu ini sedang di atas, Ruby. Pasti banyak wanita yang mengincarnya.”“Saya tidak yakin Attar ber
Sedang merapikan begitu, Ruby melihat album foto yang ada di bagian paling bawah. Album foto itu dibawa Attar untuk mengenang masa indahnya bersama keluarganya.Di sana banyak foto-foto dari Attar kecil sampai besar. Banyak sekali foto ia sedang mendapat penghargaan olimpiade. Halaman berikutnya foto Attar yang lulus dari Stanford dengan memakai toga. Lalu halaman terakhir ada foto Attar, seorang perempuan, dan Fariz. Sepertinya foto itu diambil setelah Attar lulus.Untuk memastikan itu Fariz apa bukan, Ruby mengeluarkannya dari album itu dan dilihatnya baik-baik. Ya, itu Fariz, dengan wanita berada di tengah mereka. Ia membalikkan foto itu.The love of my life, Emilia.Hm, pasti foto ini ditulis Fariz dan diberikannya pada suaminya. Wajar saja Fariz belum bisa bangkit. Wanita bernama Emilia ini memang cantik dengan rambut panjangnya. Sayang sekali Fariz harus kehilangan wanita secantik ini.**Istrinya sedang sibuk memoleskan lipstik di bib
Bukan hanya Attar saja yang terlihat aneh. Seisi rumah, terutama keluarga Hardana, kaget melihat sosok wanita itu.“Emilia,” Ruby mendengar suaminya mendesiskan nama itu.Fariz tampak tenang membalas memandang orang-orang di balik kacamatanya itu. “Maaf saya terlambat, saya harus menjemput adik ipar saya, Sandra.”“Bagaimana? Coba jelaskan pada Kakek, Fariz,” kata Kakek dengan wajah kesal. “Kamu mengundang adik Emilia, maksudmu?”“Ya, Kakek, Sandra ini adik Emilia, almarhumah istri saya. Dia pantas untuk datang ke acara ini, bukan?”Kakek ingin sekali marah dan menampar Fariz yang bersikap lancang seperti ini. Tapi, Kakek ingat pada usianya yang sudah lanjut, dan dia tidak ingin menambahkan masalah antara dirinya dengan Fariz. “Well, tentu saja. Kalian datang pada saat yang tepat. Acara potong kue baru saja akan dimulai.”Attar tahu ini akan menjadi mal
Ruby tahu ia akan menghadapi masalah besar karena selama perjalanan pulang suaminya diam saja. Ruby menoleh ke belakang, di mana anaknya sedang terlelap. Malam itu Attar menyetir sendiri karena tidak ingin merepotkan sopir di hari libur seperti ini.Jalanan macet sekali. Attar menyetel radio. Tidak ada lagu yang pas dan akhirnya dimatikannya radio.Hening.Ruby benci kesunyian yang terjadi di antara dirinya dengan suaminya. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Kalau pun Attar cemburu, suaminya pasti sudah mengutarakannya.Tidak, suaminya tidak mengatakan apa-apa. Rahangnya mengeras seperti memendam sesuatu.Ketika tangan suaminya sedang mengganti gigi, Ruby memberanikan diri untuk menyentuhnya, tapi Attar langsung menepisnya dan melanjutkan untuk menyetir.Kontan Ruby kaget. Suaminya tidak pernah menolaknya seperti ini. Apalagi ia sempat mendengar Attar mendesis, seakan sama sekali tidak ingin disentuh istrinya.Sampai rumah mer
“Nah, kamu baru saja mengakuinya kamu terpana padanya. Aku dan Adam benar-benar berakhir, terserah kamu percaya atau tidak. Yang jelas malam ini aku tidak menerima segala ocehanmu yang tidak jelas.”Attar mulai panik ketika istrinya membuka pintu kamar. “Hey, mau ke mana?” Ia segera bangun dari posisinya. Ditahannya pintu itu dengan satu tangannya sebelum istrinya keluar. “Kamu tidak akan meninggalkan kamar ini,” desisnya tegas.“Aku tidak akan tidur dengan orang yang tidak percaya padaku,” kata Ruby sambil menatap mata Attar dalam-dalam. “Lagipula aku sudah jarang tidur dengan Eda.”“Oh, begitu ya?”Sikap Attar benar-benar tidak bisa ditebak. Dibukanya pintu kamar itu. “Silakan keluar, Nyonya Hardana. Tapi pintu ini akan selalu terbuka ketika Anda mengetuk lagi.”Kalimat yang penuh percaya diri itu semakin meningkatkan tekad Ruby untuk melakukan sebaliknya. “
Attar melempar map itu dengan gemas. Seharusnya sekarang ia sudah pulang dari kantor. Namun ada seseorang yang mengirimnya beberapa foto dirinya bersama Emilia.Ia menelepon Fariz untuk meminta konfirmasi mengenai foto itu. Dari suaranya Fariz terdengar tidak tahu-menahu. “Ya Tuhan, untuk apa aku punya foto kamu dengan mendiang istriku? Salah sambung, Bung! Malam-malam begini mengganggu orang tidur saja!” Prak, terdengar suara telepon dibanting dari seberang sana.Kurang ajar. Wakil direkturnya memperlakukannya seperti ini? Oh, tidak, topiknya barusan bukan mengenai pekerjaan, jadi wajar saja Fariz merasa terganggu.Attar langsung membuang map itu ke keranjang sampah. Benar-benar menggelikan. Bagaimana bisa ada orang yang menerornya seperti ini. Besok sekretarisnya harus diintrogasinya mengenai map tanpa nama pengirim itu.Dari kantor Attar tidak langsung ke rumah. Dia merindukan suasana pub di mana sudah lama sekali ia tidak datang k
“Kakek yang mengajak saya ke klub malam Kakek di sana,” kata Attar sama dinginnya. “Kakek yang bilang saya layak mendapatkan hiburan semacam itu karena saya berhasil menembus Stanford.”“Saat itu Kakek tidak tahu betapa bodohnya kamu mendefinisikan hiburan! Kamu justru mengencaninya, sampai Kakek sadar kamu mulai serius padanya ketika kamu menelepon kami dari Amerika ingin menikahinya begitu lulus. Dan kamu lihat sendiri, bukan? Selama kamu di sana dia justru berselingkuh dengan sepupumu sendiri!”“Saat itu saya sudah ikhlas melepaskannya, tapi Kakek sepertinya belum cukup sampai di sana.”“Jangan kurang ajar padaku, Tara. Selama ini kamu adalah cucu kesayanganku, dan akan selalu menjadi begitu. Alasanku melakukannya sama seperti mengapa kamu membunuh ayah Ruby.”“Emilia bukan orang yang jahat.”“Tentu saja. Dia bukan orang yang jahat sampai membutakan Fariz cucu
Keluargamu. Keluargaku. Apakah ini yang dinamakan perkawinan? Bukankah teorinya pernikahan adalah penyatuan dua keluarga? Mengapa kesan mereka baru dijodohkan sangat terlihat sekarang?Ruby memalingkan wajahnya agar suaminya tidak melihat air matanya. Posisinya yang membelakangi suaminya itu biasanya memancing Attar untuk memeluk istrinya.Namun itu tidak dilakukannya. Attar memilih diam terjebak dengan pikirannya sendiri. Sementara Ruby menangis dalam diam. Kalau ada lomba pemilihan menahan nyeri untuk diri sendiri, Ruby pasti langsung juara satu.Dia tidak sudi menampilkan kesedihannya di depan suaminya. Tidak peduli sudah berapa lama mereka bersama, seperti ada yang menahan Ruby untuk tidak terlihat lemah di depan suaminya. Ia tahu, kalau Attar sedang seperti monster begini, ia akan menusuknya lebih dalam lagi. Lebih baik Ruby pura-pura tidur saja.Pertengkaran seperti ini mengingatkan Ruby pada masa remajanya yang dihabiskan mendengarkan keri