“Itu baru anak Papa, takut gagal,” sambung Attar bangga. “Tapi benar kata mamamu, Endra. Jangan lakukan itu lagi. Tidur malam itu selain membuat kamu gemuk, kamu juga akan sulit berkonsentrasi untuk belajar di pagi harinya. Kamu masih mau kuliah di Harvard, kan?”
“Iya dong, biar bikin kalian capek bolak-balik Amerika-Indonesia,” jawab Eda nyengir.
“Loh, kok maksudnya gitu sih?” tegur Ruby perhatian. “Kalau Eda sudah seusia itu, Papa dan Mama sudah lebih tua dan mungkin kesehatan kita menurun.”
“Apa pun alasannya, kamu harus belajar yang baik, Eda. Papa seratus persen mendukungmu, dalam hal apapun, asalkan itu ada hubungannya dengan pendidikan, oke?”
Eda mengangguk mendengar nasihat orangtuanya. “Mama, tadi malam Kakek Buyut Hasyim menelepon, kan? Kok Kakek Buyut nggak ngobrol sama Eda?”
“Kakek meneleponmu?” tanya Attar dengan dahi berkerut.
&ldquo
“Siapa yang mengatakan itu padamu, Sayang?” tanya Ruby pelan. “Mereka sok tahu sekali.”“Katanya orangtua mereka mendengar desas-desus itu dari forum internet, Ma! Aku jadi tak bisa punya teman lagi, deh.”“Tapi Eda tahu kan kalau itu tidak benar?”Ya, Sayang, itu memang benar. Tapi Mama sudah memaafkan ayahmu, dan kamu tidak bisa menyakitinya, karena bahkan kakek Mama justru mendukungnya.Melihat anaknya diam saja, Ruby melanjutkan untuk meyakinkannya, “Eda sayang, kalau benar Papa membunuh papanya Mama, buat apa Mama menikah dengan Papa? Buat apa kami memiliki Eda?”Biarlah aku tak usah memberitahu bahwa saat itu aku tidak tahu kebenarannya daripada masalahnya lebih runyam. Percaya atau tidak, kata-kata yang keluar dari anak kecil sangat menarik perhatian orang dewasa karena mereka tidak bisa berbohong.“Tapi aku jadi tidak memiliki teman, Ma.”“Terus Eda
“I’m glad that you’re happy, Ruby. Sampaikan salamku pada Attar. Dia memang… lelaki yang pantas mendapatkan ini semua.”Ruby tahu Adam masih mengharapkannya dari nada pria itu bicara, tapi ia tidak akan menganggap itu serius. Masa lalunya dengan Adam sudah berakhir dan tak akan pernah dimulai lagi. Ruby menampilkan senyum. “Well, thank you, Adam. Sampaikan juga salamku untuk istrimu.”**“Papa.”Tanpa menoleh pun Attar tahu suara siapa itu. Ia yang sedang membaca koran tidak mengangkat mukanya. “Yes, Sweetheart?”Eda duduk di samping ayahnya. Ia menghela napas dulu, menunjukkan ia cukup berat untuk mengatakannya. “Sepertinya dua minggu lagi kita tidak bisa mancing ikan deh.”Mereka memiliki kebiasaan memancing ikan di rumah kakek Attar. Di sana ada balong yang berisi banyak ikan mas dan nila. Siapa yang ikannya sedikit dialah yang goreng
“Yang paling penting siapa yang menyebarkan berita itu ke forum. Aku sudah membacanya, dan aku menyarankanmu untuk tidak peduli dengan hal itu, oke?”“Kamu tahu aku akan melakukan sebaliknya.”“Yang aku tahu adalah…” Ruby bangkit dari posisi tidurnya dan menarik tangan suaminya ke area sensitif di tubuhnya. “Suamiku tidak akan menghilangkan momen bahagia bersamaku hanya karena omongan-omongan orang usil.”Dan mereka melakukannya lagi dengan jauh lebih baik.**Eda kembali diantar sopir seperti biasa. Karena jalannya searah dengan kantor ayahnya, mereka selalu pergi di mobil yang sama. Biasanya setelah salam mobil itu akan pergi menjauh, tapi hari ini tidak. “Papa mau makan di kantin selama kamu ujian.”Anak kecil itu mengangguk. Ia yakin, papanya yang hebat ini pasti kuat banget mendengar ocehan-ocehan ibu-ibu yang suka bergosip di kantin. Kemarin
“Kalau saya mengancamnya kita tidak mungkin punya Endra. Satu hal lagi yang saya ingatkan, kalian tidak punya bukti apa-apa dengan perkataan kalian, tapi saya punya bukti pembicaraan kalian. Hentikan omong kosong kalian atau kita bertemu lagi di pengadilan.”Ya, dan itu berhasil. Ibu-ibu itu tidak bicara lagi selama Attar di sana sampai jam sekolah selesai. Bahkan ketika Attar melirik sekali, ibu bertubuh gemuk itu tidak makan apa-apa.Mungkin kata-katanya terlalu kasar, tapi Attar tidak peduli. Dia tahu apa yang dilakukannya. Dia melindungi anaknya. Seperti ayahnya yang tidak meninggalkannya ketika ia trauma dengan kejadian di mana ia membunuh ayah Ruby.Attar jarang mengambil cuti kalau tidak ada alasan mendesak. Kakeknya yang sekarang hanya mengawasi perusahaan, namun bukan komisaris resmi (memang tidak perlu hal semacam itu karena semua anggota dewan komisaris adalah anak-anaknya), memintanya untuk datang ke rumahnya. Entah dari mana telinganya y
Ruby belum tidur. Istrinya sedang menyetrika celananya yang akan dipakai besok. Kalau sudah malam begini, Ruby membawa papan setrikaan serta alat setrikanya ke kamar. Walaupun sudah ada yang namanya mesin uap untuk merapikan pakaian, Ruby masih suka melakukan tindakan tradisional.Untuk pakaian suami dan anaknya, Ruby selalu menyetrikanya sendiri, meski dua bibinya agak keberatan karena gaji mereka terlalu besar. Ia ingin menjadi istri serta ibu yang aktif, bukan yang hanya menghabiskan uang suami dan menjadikan anaknya untuk dijadikan cover majalah.Hari ini Ruby pasti menghadapi situasi yang melelahkan. Bi Minah tidak datang karena anaknya melahirkan. Sementara Mbok Tum sedang demam. Sampai Ruby membuang cabai dan makanan pedas lainnya dari lemari dan kulkas agar tak ada yang sakit di rumahnya.Attar memijat bahu istrinya. “Punya rumah sebesar ini dan hanya kamu yang mengurusnya, maafkan aku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan.”&ld
Satu jam kemudian Eda berangkat ke sekolah diantar sopir. Ruby masih di meja makan bersama ibunya.Ibunya menggeleng-geleng.“Ruby, Mami bukan mau memanas-manasi hatimu,” kata Lestari hati-hati. “Tapi ini mengingatkanmu pada ayahmu. Awalnya dia berangkat pagi, lama-lama pulang malam, dan bahkan tidak memakai sopir. Sama seperti suamimu hari ini.”Ruby mengerti kecemasan ibunya. Ia hanya tersenyum. “Mam, Attar bukan pria seperti itu. Aku sangat percaya padanya.”“Mami kan jarang bertemu Attar, Ruby. Tidakkah dia punya rasa hormat sedikit pada ibu mertuanya? Atau jangan-jangan dia sudah tidak sabar ingin menemui..”“Maafkan sikap Attar pada Mami. Pasti ada urusan mendesak. Banyak sekali proyek yang sedang ditanganinya, wajar saja kalau dia begitu, Mam.”“Suamimu ini sedang di atas, Ruby. Pasti banyak wanita yang mengincarnya.”“Saya tidak yakin Attar ber
Sedang merapikan begitu, Ruby melihat album foto yang ada di bagian paling bawah. Album foto itu dibawa Attar untuk mengenang masa indahnya bersama keluarganya.Di sana banyak foto-foto dari Attar kecil sampai besar. Banyak sekali foto ia sedang mendapat penghargaan olimpiade. Halaman berikutnya foto Attar yang lulus dari Stanford dengan memakai toga. Lalu halaman terakhir ada foto Attar, seorang perempuan, dan Fariz. Sepertinya foto itu diambil setelah Attar lulus.Untuk memastikan itu Fariz apa bukan, Ruby mengeluarkannya dari album itu dan dilihatnya baik-baik. Ya, itu Fariz, dengan wanita berada di tengah mereka. Ia membalikkan foto itu.The love of my life, Emilia.Hm, pasti foto ini ditulis Fariz dan diberikannya pada suaminya. Wajar saja Fariz belum bisa bangkit. Wanita bernama Emilia ini memang cantik dengan rambut panjangnya. Sayang sekali Fariz harus kehilangan wanita secantik ini.**Istrinya sedang sibuk memoleskan lipstik di bib
Bukan hanya Attar saja yang terlihat aneh. Seisi rumah, terutama keluarga Hardana, kaget melihat sosok wanita itu.“Emilia,” Ruby mendengar suaminya mendesiskan nama itu.Fariz tampak tenang membalas memandang orang-orang di balik kacamatanya itu. “Maaf saya terlambat, saya harus menjemput adik ipar saya, Sandra.”“Bagaimana? Coba jelaskan pada Kakek, Fariz,” kata Kakek dengan wajah kesal. “Kamu mengundang adik Emilia, maksudmu?”“Ya, Kakek, Sandra ini adik Emilia, almarhumah istri saya. Dia pantas untuk datang ke acara ini, bukan?”Kakek ingin sekali marah dan menampar Fariz yang bersikap lancang seperti ini. Tapi, Kakek ingat pada usianya yang sudah lanjut, dan dia tidak ingin menambahkan masalah antara dirinya dengan Fariz. “Well, tentu saja. Kalian datang pada saat yang tepat. Acara potong kue baru saja akan dimulai.”Attar tahu ini akan menjadi mal