Cih, cih, cih! Lagaknya, sudah kayak pengantin baru saja! Kamu kira pintu maafku akan terbuka dengan makan malam di teras belakang? Uh, jangan harap. Dasar lelaki!
Karena dari awalnya sudah tak niat dengan makan malam itu, Ruby dandan seadanya saja. Mengapa dia bersemangat sekali mengundangku makan, pikirnya heran. Ingin memperbaiki hubungan kami yang sudah mendingin? Mungkin aku akan memaafkannya jika ia bersimpuh di depan makam ayahku. Barulah itu impas.
Hari ini bukan hari ulang tahun suaminya maupun dirinya, tapi… Ya ampun! Baru disadarinya mengapa Attar begitu ngotot mengundangnya. Hari ini hari jadi mereka yang ketiga! Mengapa dirinya bodoh sekali, lupa dengan hari jadi mereka!
Setahun yang lalu Ruby sengaja melupakannya karena perasaan marah dan kecewa itu masih ada di hatinya. Tapi sekarang, begitu melihat perhatian yang diberikan suaminya, ia tidak tega untuk mengecewakan suaminya lagi.
Sudah bukan saatnya ngambek seperti ini. Ia sudah men
Ia segera menyambut suaminya di pintu depan.Begitu melihat dengan siapa suaminya pulang, nyeri di dadanya datang lagi.“Saya bisa mengurus suami saya sendiri!” Dengan gemas Ruby menarik suaminya dari rangkulan Lucy. Suaminya sempoyongan menyangga pada dirinya, dan Ruby langsung tahu, suaminya mabuk! “Kenapa sih kamu!?”Daripada disembur umpatannya, Lucy pamit. “Saya yang mengajaknya minum wine di bar langganan kami. Saya tidak tahu kalau kalian sudah menikah. Ia tidak memberitahu saya. Permisi.”Ruby memanggil Bik Minah untuk membantunya membopong suaminya ke kamar. Dilentangkannya suaminya di tempat tidur. Barangkali putranya tahu ayahnya sedang mabuk. Eda seketika menangis.Ruby merasa kepalanya pusing sekali. Masalah yang satu belum selesai, masalah yang lain datang. Segera digendongnya Eda dan ditepuk-tepuknya bagian belakang bayinya. Begitu anaknya anteng, dibaringkannya di boks bayi.
"...Dan aku mohon, jangan pernah meragukan cintaku padamu.”Bibir Ruby mulai bergetar mendengarnya. Ya ampun, seumur hidupnya, tidak pernah ada yang menatapnya seperti ini. Bibir mungkin bisa saja berdusta, tapi mata yang tengah memandanginya ini… Tiba-tiba keyakinan itu datang dengan sendirinya.Attar tidak berbohong.Dia mencintaiku, sama seperti aku mencintainya.Ia tak kuasa menahan air matanya. “Aku ingin sekali percaya padamu…” Ia menyandarkan dahinya di dada suaminya yang keras. “Tapi rasanya sulit sekali. Aku takut kamu tidak bisa mempertahankan kepercayaan dariku lagi…”“Aku tahu kesalahanku akan selalu membekas dan tidak akan hilang dari memorimu, Nia. Segebung dusta kuberikan padamu, tapi tak pernah kudustai perasaanku padamu.” Attar menyentuhkan bibirnya di kening istrinya. “Aku memang egois dan bodoh dalam tindakanku. Tidak maukah kamu memberi kesempatan pada orang bo
“Eda, watch out!! Eh, syukurlah, dia tidak terjungkal ke kolam renang!”“Jangan terlalu mengkhawatirkannya, Sayang. Banyak yang menjaganya. Kamu tidak lihat Kakek Hasyim dan Kakek Gunawan yang dari tadi harap-harap cemas di tempat duduknya agar Eda tidak celaka?” Ia menyodorkan mug-nya pada suaminya. “Mau?”“Boleh.” Setelah meminumnya, Attar menatapnya dengan heran. “Tumben. Biasanya kamu menyukai kopi.”“Seperti dirimu yang awalnya tidak menyukai kopi, kemudian kamu jadi gila kopi.”“Kamu tahu aku tidak menyukai kopi?”“Satu hal yang tidak bisa kamu bohongi.”Attar mengecup bibir istrinya dengan lembut. Untunglah saat itu tamu-tamu sedang pesta barbeque di halaman belakang. Kalau tidak, muka istrinya pasti memerah. “Aku tidak akan berbohong padamu lagi.”“Aku percaya.”“Tapi a
Setelah menggendong putranya dan melentangkannya di tempat tidur, ia menggamit istrinya ke halaman belakang. Tamu-tamu sudah pulang, tinggal Bik Minah yang sibuk membersihkan rumah.“Biar besok saja, Bik,” kata Ruby iba. “Saya sudah meminta Mami untuk mengirimkan orang untuk membantu Bik Minah besok pagi.”Pembantunya manggut, lalu meninggalkan kedua majikannya di sana. Attar menekan saklar dan kerlap-kerlip di setiap bunga menerangi taman. Kemudian, diajaknya istrinya untuk duduk bersebelahan di sebuah bangku.“Eda aktif sekali hari ini,” katanya.Ruby bersandar di dada suaminya. “Aku senang, anakku tidak seperti diriku,” sahutnya dengan letih. Hari ini ia terlalu banyak mengeluarkan tenaga. “Dia tidak pemalu.”“Anak kita,” terdengar koreksi dari suaminya. “Apapun bentuknya, dia adalah anak kita. Dan aku janji, aku tidak akan membiarkan anak kita mengikuti tabiat buruk k
Attar bisa memberikannya sebuah buku kecil yang harganya tak sebanding dengan perhiasan yang ada di depannya, dan ia akan menganggap itu sebuah benda yang paling berharga.“Aku tidak pernah memintamu…”“Sssst, biarkan aku melihat kalung ini tergantung di lehermu yang jenjang, Sayangku. ” Attar mengalungkan berlian itu pada leher istrinya. Selama suaminya melakukannya dengan ia membelakanginya, ia berusaha untuk mengatur napasnya yang mulai sesak karena terharu.Suaminya membalikkan tubuhnya. “Kamu terlihat mengagumkan, dengan atau tanpa kalung itu di lehermu.” Kemudian suaminya mengecup bibirnya dalam-dalam—penuh cinta. “I love you, Sweetheart,” bisik Attar tepat di depan bibir istrinya. Dihapusnya air mata istrinya dengan lidahnya. “Menangislah, untuk kebahagiaan yang kita miliki sekarang dan nanti.”Cinta yang hinggap di hati sanubari keduanya membawa mereka pada pintu keb
“Itu baru anak Papa, takut gagal,” sambung Attar bangga. “Tapi benar kata mamamu, Endra. Jangan lakukan itu lagi. Tidur malam itu selain membuat kamu gemuk, kamu juga akan sulit berkonsentrasi untuk belajar di pagi harinya. Kamu masih mau kuliah di Harvard, kan?”“Iya dong, biar bikin kalian capek bolak-balik Amerika-Indonesia,” jawab Eda nyengir.“Loh, kok maksudnya gitu sih?” tegur Ruby perhatian. “Kalau Eda sudah seusia itu, Papa dan Mama sudah lebih tua dan mungkin kesehatan kita menurun.”“Apa pun alasannya, kamu harus belajar yang baik, Eda. Papa seratus persen mendukungmu, dalam hal apapun, asalkan itu ada hubungannya dengan pendidikan, oke?”Eda mengangguk mendengar nasihat orangtuanya. “Mama, tadi malam Kakek Buyut Hasyim menelepon, kan? Kok Kakek Buyut nggak ngobrol sama Eda?”“Kakek meneleponmu?” tanya Attar dengan dahi berkerut.&ldquo
“Siapa yang mengatakan itu padamu, Sayang?” tanya Ruby pelan. “Mereka sok tahu sekali.”“Katanya orangtua mereka mendengar desas-desus itu dari forum internet, Ma! Aku jadi tak bisa punya teman lagi, deh.”“Tapi Eda tahu kan kalau itu tidak benar?”Ya, Sayang, itu memang benar. Tapi Mama sudah memaafkan ayahmu, dan kamu tidak bisa menyakitinya, karena bahkan kakek Mama justru mendukungnya.Melihat anaknya diam saja, Ruby melanjutkan untuk meyakinkannya, “Eda sayang, kalau benar Papa membunuh papanya Mama, buat apa Mama menikah dengan Papa? Buat apa kami memiliki Eda?”Biarlah aku tak usah memberitahu bahwa saat itu aku tidak tahu kebenarannya daripada masalahnya lebih runyam. Percaya atau tidak, kata-kata yang keluar dari anak kecil sangat menarik perhatian orang dewasa karena mereka tidak bisa berbohong.“Tapi aku jadi tidak memiliki teman, Ma.”“Terus Eda
“I’m glad that you’re happy, Ruby. Sampaikan salamku pada Attar. Dia memang… lelaki yang pantas mendapatkan ini semua.”Ruby tahu Adam masih mengharapkannya dari nada pria itu bicara, tapi ia tidak akan menganggap itu serius. Masa lalunya dengan Adam sudah berakhir dan tak akan pernah dimulai lagi. Ruby menampilkan senyum. “Well, thank you, Adam. Sampaikan juga salamku untuk istrimu.”**“Papa.”Tanpa menoleh pun Attar tahu suara siapa itu. Ia yang sedang membaca koran tidak mengangkat mukanya. “Yes, Sweetheart?”Eda duduk di samping ayahnya. Ia menghela napas dulu, menunjukkan ia cukup berat untuk mengatakannya. “Sepertinya dua minggu lagi kita tidak bisa mancing ikan deh.”Mereka memiliki kebiasaan memancing ikan di rumah kakek Attar. Di sana ada balong yang berisi banyak ikan mas dan nila. Siapa yang ikannya sedikit dialah yang goreng
“Bagaimana dengan kontrak itu? Ketika kamu bilang mengenai lamaran itu, aku teringat pada kontrak itu.” “Curse the contract. Kamu tidak akan meninggalkan suamimu yang satu ini, kan?” Attar terus mencium, menggigit, leher serta bahu istrinya. “I will never give up on you, Rubiniaku. You’re the light of my life, I love you so much. Way too much.” “Attar, katakan dulu apa yang terjadi dengan kontrak itu.” Ruby membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya dengan penuh tuntutan. “Apa yang kamu lakukan dengan perjanjian itu?” “Well, aku tidak peduli dengan perjanjian itu. Kakekmu juga sudah tidak ada, bukan? Bahkan notaris yang menyaksikan perjanjian itu sudah pergi juga. Dan aku.” Attar terdiam sejenak. “Aku tidak perlu kontrak atau jaminan apa pun untuk memilikimu dan anak-anak.” “Benarkah?” “Mau taruhan? Sebelumnya, aku ingin tahu apakah aku masih kuat menggendongmu atau tidak.” Dengan tubuhnya yang kekar Attar ma
ItaliaPemuda dengan memakai kemeja kotak-kotak menggandeng gadis kecil berambut panjang. “Papa!” teriak gadis kecil itu.“Miriam!” Attar menghampiri putri kecilnya dan menggendongnya. “Bagaimana jalan-jalannya dengan Kak Eda?”Tujuh tahun berlalu begitu cepat. Attar bersyukur, dengan kesehatannya yang semakin membaik, dan di usianya yang menginjak empat puluh, ia mendapat semuanya—anak-anak yang cantik dan tampan yang pintar—istri yang begitu sabar menghadapinya. Kehidupannya sangat sempurna tujuh tahun terakhir, setelah puluhan tahun sebelumnya ia habiskan dengan kebohongan dan kemarahan yang tak terkendali.Attar menamakan anak keduanya Miriam. Sebagai tanda hormatnya pada sang nenek yang sudah lama pergi. Nenek yang dicintai kakeknya, yang akan selamanya Attar kenang akan kebaikan sang kakek semasa hidupnya.Sebelum meninggalkan Hardana Land dan tinggal di Singapura, Attar melakuk
“Kata Tante Nina, Oom Attar tidak bisa bawa yang berat-berat dulu sejak serangan kayak Kakek.”Anak kecil tidak mungkin berbohong. Agar tidak membahas lebih lanjut, Attar bangkit dan mengajak istrinya untuk ke kamarnya yang berada di lantai yang sama. Sebelumnya ia menitip pesan pada Eda untuk menemani Kakek Malik dan Nenek Lenny di sana.Ketika Attar mendorong kursi roda istrinya ke kamar, sosok Kakek Gun dan keluarga Adiwangsa lainnya muncul. Mereka menjelaskan bahwa di luar macet sekali hingga Kakek Gun harus naik helikopter dari Menara Adiwangsa yang lokasinya tak jauh dari rumah.Kakek Gun meminta Ruby untuk beristirahat dulu sementara keluarga Adiwangsa menjenguk Hasyim. Ruby menolak, namun tak punya pilihan karena Edo dan Shera ikut mengkhawatirkan keadaannya.Begitu sampai kamar Attar membantu istrinya untuk bangun dan berbaring di tempat tidur. Dipastikannya kepala istrinya sudah nyaman dengan bantalnya. Kemudian ia duduk di tepi temp
“Kakek saya tidak pernah terlihat sakit.”“Anda pun juga begitu. Tapi Anda pernah serangan juga, bukan?” Dokter Prapto, dokter yang sama yang menangani Attar ketika ia dirawat. “Sekarang temuilah anggota keluarga yang lain di lorong, Pak Attar.”Dengan lemas Attar keluar dari kamar kakeknya. Di lorong sudah ada semua anggota keluarga Hardana, termasuk dari keluarga menantu. Adam, Fariz, dan sepupu yang lain memeluknya, memberi semangat padanya.Attar menghampiri istrinya yang duduk di atas kursi roda di pojok sebelah ibunya. Sebelumnya Attar memeluk mama-papanya, dan meminta Eda untuk mendoakan kakek buyutnya agar cepat sembuh.Ia duduk di kursi yang paling dekat dengan istrinya. “Bagaimana ceritanya? Kata Pak Mahdi dia serangan di kamarmu.”Ruby mengangguk. “Kakek mengakui semuanya di depanku.”“Apakah kamu menyakitinya?”Mata Ruby menyipit. Apakah suaminya berni
“Kakek Hasyim,” kata Ruby. “Ada perlu apa kemari?” Tidak perlu bertanya sebenarnya. Ia tahu apa yang ingin dikatakan kakek. Mengenai hubungan mereka yang sebenarnya. Tapi Ruby tidak tertarik. Yang diinginkannya adalah menemui Attar, membahas jenis kelamin bayinya.“Apakah Attar belum memberitahu bahwa aku…”“Kakekku? Sudah.”Ketenangan yang ditunjukkan Ruby membuat Hasyim terbelalak. “Kamu tidak marah atau benci padaku, Rubinia…”“Saya tidak punya pilihan, bukan,” jawab Ruby sinis. “Anda sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan. Attar tidak dipenjara, dan saya telah menikah atas kehendak Anda.”“Ruby, saya tidak menyangka kamu berpikir seperti itu mengenai saya…” Hasyim mengira dirinya sudah baik pada cucunya yang satu ini. Ia telah lama berdiam diri dengan fakta yang ditelannya puluhan tahun. Dan reaksi Ruby adalah beban besar untuk
Armand memiliki temper yang sulit diduga. Ketika Edo masuk usia remaja, sikap Armand berubah pada putranya. Kasih sayang yang dulu disalurkannya pada anak-anaknya sirna begitu saja. Berganti dengan kemarahan karena anak-anaknya tidak ada yang menghargainya sebagai kepala rumah tangga, kebenciannya pada Gunawan yang tak pernah bersikap tegas padanya, bahkan seakan menunjukkan sikap tidak sayang pada anaknya dengan mendukung hubungan Armand dengan Hasyim.Hingga suatu hari Hasyim melakukan kesalahan.Dia tidak bisa mengekang dirinya untuk mengakui Armand. Pada acara open house Lebaran yang diadakan keluarga Adiwangsa, ia memanggil Ruby dengan sebutan yang tak biasa. “Hai, gadis kecil. Tidak salam pada kakekmu?”Ruby menoleh padanya dengan heran. Saat itu ia sudah remaja dan dia bukan cucu Hasyim. “Saya bukan Nina,” kata Ruby kikuk.“Tentu saja. Kamu Rubinia. Cucuku.”Percakapan mereka tidak berlanjut tatka
“Mustahil untuk membuka pintu maafmu,” bisik Attar di lehernya. “Aku insyaf, lelaki yang kini menjadi suamimu lelaki yang serakah, meraup apa yang diinginkannya, dan sekarang kamu menyadarkan aku bahwa malaikat pun tak sanggup memaafkan aku.”“Aku bukan malaikat,” jawab Ruby, masih memunggungi suaminya. “Aku hanya wanita tolol yang mencintaimu.”“Aku tetap suamimu, Nia. It’s my duty to ease your ache, and…” “Berhentilah mengesankan kamu melakukan ini karena statusmu,” bentak Ruby. Ia berbalik menatap suaminya. “Bisakah sekali saja kamu katakan padaku, kamu merawatku, menolongku, karena kamu seorang manusia yang memiliki hati nurani? Seorang suami yang mencintai istrinya?”“Kalau pun aku mengatakannya, kamu tidak akan percaya lagi padaku,” jawab Attar kaku. “Aku tidak perlu membusakan mulutku dengan janji-janji lagi. Aku akan buktika
“Mengapa kamu di sini?”“Mengapa aku di sini?” Suara Attar meninggi mendengar pertanyaan istrinya. “Well, kenapa aku harus di tempat lain di saat istriku sedang dirawat?”“Kamu terbiasa di kantor setiap akhir tahun atau bersama Nina dan yang lainnya berpesta menyambut tahun baru.”“Aku tidak begitu semangat di Hardana Land untuk saat ini. Bagaimana menurutmu jika aku pindah ke perusahaan Stephen? Hm, Stephen ini teman Fariz yang waktu itu kuceritakan. Dia yang menawarkan aku jadi CEO di Osvaldo Property.”Ruby mengernyit tanda tidak setuju. “Itu artinya kita akan tinggal di Singapura?”“Kita bisa berpisah dan aku bisa pulang setiap akhir minggu. Yah, mungkin juga tidak, karena uangku tidak akan sebanyak saat di Hardana Land dan aku tidak bisa memesan pesawat pribadiku sesukaku di sana.”“Aku tidak setuju jika kita harus berpisah. Maksudku, kita
“Mengapa tidak kamu saja yang melakukan proyek ini? Aku yakin kamu bisa menggantikan aku di sini. Kamu lebih berhak.”“Oh, Tara, bahkan aku tidak merasa ada bedanya kamu cucu Kakek atau bukan,” dengus Fariz. “You’re always my leader, cousin. Aku menyesal telah mengantarkan pesan Stephen mengenai tawaran itu. Mereka selalu welcome kapan pun kamu menerima mereka.”“Tidak ada ketegasan sekali. Mengapa tidak mencari CEO lain saja?”“Memang banyak pengusaha properti yang sukses, tapi mereka memilih untuk menjaga perusahaan mereka sendiri. Stephen berpikir dengan anggota keluarga Hardana yang banyak, melepasmu bukanlah masalah besar untuk kita. Tapi nyatanya, itu masalah juga.”“Aku percaya padamu.”“Tidak, Attar,” jawab Fariz tegas. “Aku akan sangat membencimu jika kamu meninggalkan perusahaan ini. Aku tahu passion-ku bukan di sini.